*

*

Ads

Jumat, 03 Mei 2019

Pendekar Bodoh Jilid 040

Akan tetapi, ketika orang-orang melihat Boan Sip merangkak bangun, ternyata dari mulut perwira muda itu mengalirkan darah dan ia berdiri dengan terhuyung-huyung. Karena terlalu menghabiskan tenaga dan tiba-tiba bangku dilepas, maka tenaganya membalik dan telah melukainya sendiri hingga ia mendapat luka dalam yang hebat juga!

Kawan-kawannya segera menghampiri dan menuntunnya duduk di atas sebuah bangku. Ma Ing segera mengetuk pundak dan mengurut-urut dadanya, dan memberinya sebuah pil untuk ditelan. Boan Sip lalu duduk diam dan mengatur napas untuk memulihkan tenaganya kembali.

Lin Lin dan Ang I Niocu kembali ke tempat duduk masing-masing dan Cin Hai dengan mendapat sambutan tepuk tangan dan tertawa geli, dipanggil oleh ie-ienya, yakni di bagian para tamu wanita. Ketika Biauw Suthai memandang pemuda itu, teringatlah wanita gagah ini, ia lalu berdiri dan menghadapi Cin Hai.

“Bukankah kita pernah bertemu?” tanyanya mengingat-ingat.

“Sudah, Suthai,” jawab Cin Hai, “Sudah empat kali kita bertemu.”

“Empat kali?” Biauw Suthai mengingat-ingat.

“Ya, empat kali. Pertama kali ketika engkau menculik Adik Lin Lin. Ke dua kalinya ketika engkau menolongku dari serangan Biauw Leng Hosiang, ketiga kalinya di dalam Gua Tengkorak, dan ke empat kalinya… sekarang ini!”

Biauw Suthai tertawa senang.
“Ah, benar… pantas saja kalau begitu. Memang semenjak dulu engkau telah memiliki keberanian yang besar!”

Lin Lin memandang kepada Cin Hai dengan kagum, lalu berkata,
“Hai-ko, kau benar-benar gagah berani!”

Dan aneh sekali, mendengar pujian dan melihat sinar mata gadis ini Cin Hai merasa demikian girang hingga ia tersenyum dan tiba-tiba mukanya menjadi merah. Ang I Niocu dari tempat duduknya melayangkan pandang tajam ke arah kedua anak muda ini.
Sementara itu, Kwee Tiong dan adik-adiknya merasa iri hati dan jengkel melihat betapa Cin Hai yang tolol itu mendapat pujian dari orang-orang.

“Sungguh menjemukan, sungguh menyebalkan…!” Kwee Tiong bersungut-sungut.

Pada saat itu seorang perwira lain yang bertubuh pendek dan bermuka hitam, meloncat masuk ke dalam arena. Dengan tertawa dingin ia menggulung lengan bajunya ke atas hingga nampak sepasang tangannya yang pendek dan berkulit halus putih, jauh berbeda dengan warna kulit mukanya. Ia memandang ke sekeliling dan berkata kepada Kwee In Liang,

“Kwee-ciangkun…”

“Aku bukan seorang pembesar lagi, jangan kau menyebutku ciangkun.” Kwee In Liang memotong. Perwira kate itu tertawa,

“Kwee Lo-enghiong,” katanya lagi.

“Pertempuran antara Boan-sute dan Pek I Toanio, berakhir dengan seri karena kedatangnya gangguan dari pemuda tolol tadi, dan pertempuran antara Boan-sute dan pemuda itu tidak termasuk hitungan karena itu bukanlah pertempuran. Jadi keadaan pihak kami masih belum ada yang kalah belum ada yang memang. Sekarang kuharap kau suka maju, atau boleh kau mengajukan pemuda tolol setengah gila tadi untuk menghadapiku, dalam sebuah pertempurah sungguh-sungguh! Tetapi, tentu anak bodoh itu tidak berani!”

“Siapa yang tidak berani?” tiba-tiba Cin Hai berteriak. “Mentang-mentang mukanya hitam, jangan membuka mulut besar!”

Terdengar orang-orang tertawa keras karena geli mendengar ini. Muka perwira yang hitam itu menjadi lebih hitam lagi karena darah mengalir ke mukanya.

“Anjing tolol, jangan kau suka berbuat kepada lain orang sesuatu yang kau sendiri tak suka orang lain berbuat kepadamu! Kau datang-datang memaki orang, mengapa kau tidak suka mendengar disebut muka hitam?”

Sambil berkata demikian, Cin Hai bangun berdiri hendak menyambut tantangan orang itu, akan tetapi Loan Nio yang duduk di dekatnya lalu memegang pundaknya dan mencegahnya membuat onar lebih jauh.






Tiba-tiba Ang I Niocu berdiri sambil tersenyum. Ia mengangguk kepada Biauw Suthai, lalu menghampiri Kwee In Liang dan bertanya,

“Kwee Lo-enghiong, bolehkah aku mewakili Saudara Cin Hai?”

Kwee In Liang yang merasa bahwa ia sendiri tidak berdaya, hanya menganggukkan kepala dengan bingung. Setelah mendapat perkenan Kwee In Liang, dengan sekali gerakan kaki tubuhnya, melayang cepat dan tahu-tahu telah berdiri di depan perwira muka hitam tadi.

Semua orang memuji keindahan gerakan ini dan perwira muka hitam itu terkejut sekali. Ia maklum bahwa ia menghadapi seorang lawan yang lihai dan tangguh, maka ia tidak berani main-main dan segera menjura dengan hormat.

“Tuan rumah telah berhasil mengumpulkan pembela-pembela yang pandai. Bolehkah kiranya aku mengetahui nama Lihiap dan apa hubungan Lihiap dengan Kwee-enghiong?”

Ang I Niocu tersenyum dan orang-orang heran mendengar betapa tiba-tiba Ang I Niocu mengucapkan sajak,

“Berkawan sebatang pedang Menjelajah ribuan li tanah dan air Tanpa maksud, tiada tujuan, Hanya mengandalkan kaki dan hati. Kau hendak bertanya nama? Lihat pakaian dan pedang. Dan cari sendiri siapa namaku!”

Perwira itu memikir-mikir sebentar sambil memandang pakaian Ang I Niocu dengan penuh perhatian. Kemudian ia berkata dengan kaget,

“Ah, bukankah Lihiap ini Ang I Niocu?”

Ang I Niocu tersenyum manis, dan sekalian orang yang hadir, juga Kwee In Liang, Kwee Tiong dan semua adiknya terkejut sekali. Telah lama nama ini sangat tersohor akan tetapi tak seorang pun pernah menyangka bahwa orangnya sedemikian muda dan cantiknya!

“Apakah artinya nama bagi kita? Hal itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan pibu yang kita hadapi. Dan tentang perhubungan dengan keluarga Kwee yang kau tanyakan tadi, terus terang saja aku pun hanya seorang tamu biasa bahkan tamu yang tak diundang seperti juga kalian! Akan tetapi, karena maksudku baik aku diterima dengan baik pula, tidak seperti kalian hanya datang mengacau!”

“Maaf, maaf! Tidak tahu bahwa Lihiap adalah Ang I Niocu maka berlaku hormat. Pertempuran ini tak dapat dilanjutkan!” kata Si Muka Hitam.

“Bukan karena aku tidak menghormat Lihiap, akan tetapi karena kami datang khusus untuk mengadu kepandaian dengan keluarga Kwee, maka aku Tan Song takkan mau melayaninya!”

Mendengar kata-kata ini, Ang I Niocu tak berdaya dan ia tak dapat memaksa, maka ia lalu bertindak ke tempatnya semula setelah berkata,

“Kalau begitu, masih kuharapkan lain kali kau suka memperlihatkan kepandaianmu yang membuat kau sombong ini, Tan-ciangkun!”

Tan Siong merasa malu dan marah mendengar sindiran ini, akan tetapi ia memang cerdik dan pura-pura tak mendengar sindiran yang disengaja oleh Ang I Niocu itu.

“Hie, orang she Kwee, bagaimanakah? Apakah kau dan kaum kerabatmu tidak berani menghadapi aku? Mana pemuda gila yang menjadi keponakanmu tadi, suruh ia keluar, jangan sembunyi di dalam pelukan ibunya saja!”

Bukan main hebatnya hinaan ini dan Cin Hai sudah bermaksud hendak bertindak memperlihatkan kepandaian, akan tetapi pada saat itu dari luar berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu seorang pemuda berpakaian seperti seorang sasterawan telah berada di situ. Pemuda ini langsung menuding muka Tan Siong dan berkata,

“Manusia sombong yang suka mengacau! Jangan kau menghina Ayahku, aku putera ke lima siap menghadapimu!”

“An-ji…”

Kwee In Liang dan Loan Nio berseru hampir berbareng, akan tetapi karena pada saat itu Kwee An sedang menghadapi musuh, maka mereka hanya memandang dengan girang dan juga kuatir.

Apalagi Kwee An hanya memiliki kepandaian silat yang masih rendah saja. Hanya saja cara melihat masuknya Kwee An tadi timbul harapan baru dalam hatinya. Ia sendiri yang berkepandaian cukup, hampir tak melihat gerakan Kwee An yang demikian cepat!

Cin Hai dengan jelas dapat melihat bahwa ketika masuk tadi, Kwee Ang telah mempergunakan Ilmu Loncat Naga Sakti Mengejar Mustika dan bahwa ilmu loncat ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang mempelajari keng-sin-sut atau ilmu berlari cepat dan telah memiliki ginkang tinggi. Maka ia tahu bahwa Kwee An telah mempelajari silat dari orang pandai. Juga Ang I Niocu, Biauw Suthai, Pek I Toanio, dan Lin Lin mengetahui hal ini hingga mereka menjadi girang.

Akan tetapi, Cin Hai adalah seorang yang sangat teliti dan hati-hati. Biarpun maklum bahwa Kwee An memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi ia masih merasa kuatir dan pada saat yang tegang itu, tiba-tiba ia berlari-lari menghampiri Kwee An sambil berteriak,-teriak

“Kwee An… Kwee An…”

Kwee An cepat berpaling dan wajahnya yang cakap itu berseri girang melihat Cin Hai.
“Cin Hai, engkau juga datang??”

Mereka lalu berpelukan karena memang dengan Kwee Ang, semenjak dahulu Cin Hai mempunyai perhubungan yang akrab.

Ketika mereka berpelukan, dengan perlahan sekali Cin Hai berbisik,
“Dia mempunyai Pek-mo-jiu.”

Akan tetapi dengan suara keras ia berkata,
“Kwee An, engkau begini gagah perkasa! Ah, Si Muka Hitam ini sebentar lagi akan bermuka biru!”

Setelah berkata demikian, Cin Hai lalu bertindak kembali ke tempat duduknya. Semua orang tertawa mendengar olok-oloknya kepada Muka Hitam. Diam-diam Kwee An heran melihat sikap Cin Hai yang ketolol-tololan, padahal bisikan tadi menyatakan bahwa mata Cin Hai tajam sekali. Ia sendiri kalau tidak diberi tahu tentu tak akan menyangka, karena memang seorang yang memiliki Pek-mo-jiu, tidak nampak dari luar, tidak seperti halnya Hek-seejiu atau Ang-see-jiu, karena orang yang memiliki ilmu ini, tangannya hitam atau merah.

Pek-mo-jiu atau Tangan Iblis Putih adalah semacam ilmu yang dipelajari dengan melatih tangan dan lengan sedemikian rupa menggunakan bubuk perak putih yang dicampur obat-obat kuat dan digosok-gosokkan ke seluruh lengan tangan, juga melatih dengan memukul-mukul bubuk perak kasar hingga kebal dan keras dan memiliki tenaga luar biasa!

Pertempuran antara Kwee An dan Tan Song segera dimulai dan dalam beberapa gebrakan saja Cin Hai dapat tahu bahwa Kwee An telah mempelajari ilmu silat dari Kim-san-pai, sebuah cabang persilatan dari Go-bi-san yang mempunyai banyak cabang persilatan itu.

Pernah dulu Bu Pun Su memberi tahu kepadanya tentang cabang persilatan ini yang biarpun kurang ternama, akan tetapi sesungguhnya memiliki ilmu silat yang tinggi. Dan sekarang Cin Hai membuktikan sendiri hingga ia merasa girang sekali karena Kwee An yang baik hati dan sederhana itu ternyata memiliki kepandaian silat yang tidak saja lebih tinggi dari Lin Lin, akan tetapi agaknya tak kalah dengan kepandaian Si Muka Hitam ini!

Benar saja seperti dugaan Cin Hai semula, Tan Song yang maklum bahwa lawannya yang masih muda ini memiliki kepandaian tinggi dan merupakan lawan yang tangguh, lalu berusaha mencapai kemenangan mengandalkan kedua tangannya yang memiliki tenaga Pek-mo-jiu. Ia mengerahkan tenaga dan kepandaian melancarkan seragan kilat yang dapat membawa maut.

Akan tetapi Kwee An berlaku hati-hati sekali. Ginkang pemuda ini sudah mencapai tingkat tinggi dan ia memiliki ilmu meringankan tubuh yang lebih tinggi daripada lawannya maka ia mempergunakan ginkangnya untuk bergerak ke sana ke mari demikian cepatnya laksana seekor burung kepinis!

Orang-orang bersorak gembira melihat pertunjukkan ini, karena pertempuran mereka seakan-akan seekor ular yang mengejar burung yang terlalu gesit dan cepat untuk dapat dicaploknya. Kwee An mengeluarkan ilmu silat Kim-san-pai yang lihai dan balas menyerang dengan totokan-totokan ke arah urat dan jalan darah lawan.






Tidak ada komentar :