*

*

Ads

Kamis, 02 Mei 2019

Pendekar Bodoh Jilid 041

Pernah terjadi kelambatan pergerakan Kwee An yang hampir saja mencelakakan anak muda ini karena Tan Song mempergunakan kesempatan itu untuk mengirim sebuah pukulan maut yang keras ke arah dada Kwee An.

Semua orang terkejut, bahkan Ang I Niocu mengeluarkan seruan tertahan. Kwee An merasa betapa angin pukulan Pek-mo-ciang ini mengiris kulit dadanya, akan tetapi berkat kegesitannya, ia segera melempar diri ke belakang sambil menggerakkan kedua kakinya menendang ke depan bergantian.

Untung saja ia mempergunakan Ilmu Gerakan Kera Jatuh Dari Cabang ini, karena kalau saja ia tidak mempergunakan gerakan ini dan tidak menendangkan kedua kakinya, tentu lawannya akan menubruk maju dan mengirim serangan ke dua.

Cepat sekali Kwee An menggunakan kedua tangan menekan lantai hingga tubuhnya dapat mencelat ke atas kembali dan kini ia menghadapi lawannya yang tangguh dengan lebih hati-hati.

Setelah bertempur seratus jurus lebih, lambat laun Tan Song mulai terdesak. Kwee An yang muda dan bertenaga kuat itu melancarkan serangan-serangan yang terlihai dari Kim-san-pai dan karena cabang persilatan ini memang tak banyak dikenal orang, maka Tan Song menjadi bingung menghadapi gerakan-gerakan yang aneh ini.

Cin Hai merasa gembira sekali dan ia bersorak-sorak gembira sambil berseru-seru
“Hayo, Kwee An, hantam terus… hantam terus…”

Semua penonton melihat dan mendengar Cin Hai ikut merasa gembira karena mereka ini hampir semua berpihak kepada tuan rumah dan membenci perwira-perwira Sayap Garuda yang terkenal jahat.

Kwee In Liang merasa girang sekali melihat bahwa puteranya yang tadinya disangka bodoh dan paling lemah diantara semua puteranya yang lain, ternyata kini datang-datang membawa pulang kepandaian yang sangat tinggi, bahkan mungkin lebih tinggi daripada Lin Lin!

Ketika mendapat kesempatan baik, pada saat lawannya terhuyung mundur karena serangan yang datang bertubi-tubi, Kwee An lalu melangkah maju dan memukul dengan tangan kiri ke arah mata lawan.

Tan Song cepat mengelak tetapi segera berteriak kaget karena tiba-tiba kaki kanan Kwee An melayang dan menendang lawan yang tidak menyangka dan sedang berada dalam posisi yang lemah itu. Tak ampun lagi dada Tan Song berkenalan dengan ujung sepatu Kwee An dan perwira pendek itu berteriak kesakitan lalu roboh sambil memegangi dadanya! Kawan-kawannya lalu datang menolong dan mengangkatnya ke pinggir.

Kwee In Liang lalu menghampiri Kwee An. Ayah dan anak ini berpelukan. Lalu Kwee An digandeng oleh ayahnya menuju ke tempat duduk Loan Nio dimana Kwee An disambut oleh Loan Nio dengan terharu dan girang. Juga saudara-saudaranya lalu datang menyerbu menghujani pertanyaan dalam suasana gembira. Mereka ini merasa bangga sekali akan kepandaian Kwee An.

“Nah, inilah baru disebut kepandaian asli,” kata Kwee Tiong sambil mengerling ke arah Cin Hai, “diam-diam engkau mengeluarkan tenaga dan dengan jujur engkau mengalahkan orang she Tan yang tangguh itu. Engkau sungguh hebat, An!” Kwee Tiong menepuk-nepuk pundak adiknya dengan wajah bangga sekali.

Pada saat itu perwira ke tiga masuk ke dalam arena adu silat. Perwira ini bertubuh tinggi kurus dan gerak-geriknya lambat tetapi penuh mengandung tenaga sedangkan sepasang matanya tajam berpengaruh.

Melihat sepintas lalu saja Cin Hai dapat mengetahui bahwa orang ini adalah seorang ahli lweekeh yang tangguh. Perwira ini sebenarnya adalah kakak Tan Song dan bernama Tan Bu, sedangkan kepandaian ilmu silatnya masih jauh lebih tinggi daripada Tan Boan Sip. Tetapi adatnya pendiam dan tidak sombong.

Setelah berdiri di tengah-tengah arena, Tan Bu lalu menjura ke arah Kwee In Liang dan berkata dengan suaranya yang besar,

“Kwee-enghiong, puteramu tadi sungguh lihai, kalau kiranya tidak terlalu lelah dan sudi memberi pelajaran kepdaku yang bodoh, aku akan merasa gembira sekali!”

Kwee An hendak maju lagi, tetapi ia ditahan oleh Kwee In Liang.
“Kau terlalu lelah, baru saja datang sudah bertempur dengan musuh tangguh. Kalau sekarang kau maju lagi, maka kau akan terlalu letih. Lebih baik beristirahat dulu.”






“Habis siapa yang akan maju melayani perwira itu?” tanya Kwee An.

Tiba-tiba Bhok Ki Sun yang menjadi kawan Kwee In Liang berdiri dan berkata,
“Biarlah aku yang tua ikut meramaikan pesta ini dan mencoba-coba tenaga.”

Muka Kwee In Liang berseri. Ia maklum bahwa kepandaian Bhok Ki Sun jago tua dari selatan ini cukup lihai dan lebih tinggi daripada kepandaianya sendiri, maka ia cepat menjura sambil berkata,

“Kalau kau sudi membantu, aku merasa berhutang budi besar sekali.”

Bhok Ki Sun lalu bertindak maju dan menghampiri Tan Bu. Jago tua yang berpakaian seperti seorang petani sederhana ini lalu menjura dan berkata,

“Belum tahu siapa nama Ciangkun dan apakah pendirian Ciangkun sama dengan pendirian Tan-ciangkun bahwa orang luar tidak boleh membantu Tuan rumah? Aku Bhok Ki Sun karena menjadi kawan baik dari Kwee In Liang, maka mengajukan diri untuk melayanimu.”

Berbeda dengan Tan Song, Tan Bu ini mempunyai pendirian yang lebih adil, maka ia menjawab,

“Aku bernama Tan Bu dan maafkan ucapan adikku yang berpikiran pendek tadi. Kalau Bhok Lo-enghiong hendak turun tangan, aku merasa gembira sekali dan marilah kita bermain-main sebentar!”

Bhok Ki Sun adalah seorang anak murid dari Kun-lun-pai, maka ia pun memiliki tenaga lweekang yang cukup sempurna. Setelah keduanya menjura dan saling memberi hormat, pertempuran segera dimulai. Keduanya bergerak lambat-lambatan dan lemas, seperti biasa ahli-ahli lweekeh bergerak.

Akan tetapi setelah beberapa kali beradu lengan dan mendapat kenyataan bahwa pihak lawan sama kuatnya, mereka lalu mempercepat gerakan mereka dan tidak hanya mengandalkan tenaga lweekang semata. Mereka lalu mengeluarkan kecepatan dan kelihaian ilmu silat masing-masing, maka pertempuran segera berubah cepat dan hebat.

Dan beberapa puluh jurus kemudian ternyatalah bahwa Bhok Ki Sun bukanlah lawan Tan Bu karena orang tua itu segera terdesak hebat. Ilmu silat Tan Bu benar-benar mengagumkan karena selain sukar diduga, juga mempunyai pecahan dan perubahan gerakan yang banyak sekali macamnya dan yang kesemuanya dilakukan dengan gerak cepat.

Beberapa kali Bhok Ki Sun hampir celaka karena serangan lawan hingga akhirnya ia pikir lebih baik mundur sebelum terluka dalam pertempuran yang sebetulnya lebih bersifat mengukur kepandaian ini. Dengan gerakan Ikan Hiu Menerjang Ombak Bhok Ki Sun meloncat ke belakang dan berjumpalitan hingga tubuhnya terpental jauh. Ia turun sambil merangkapkan kedua tangannya dan berkata,

“Tan-ciangkun, kepandaianmu sungguh luar biasa dan aku Bhok Ki Sun mengaku kalah!”

Ia lalu menjura kepada Kwee In Liang sebagai pernyataan maafnya karena tak berhasil membela nama keluarga Kwee.

Pek I Toanio tertarik sekali melihat kepandaian Tan Bu, maka setelah mendapat perkenan dari gurunya, ia lalu maju menggantikan Bhok Ki Sun.

“Ingin sekali aku merasai kelihaian Tan-ciangkun bermain senjata,” kata Pek Toanio sambil mencabut pedang di tangan kanan dan mengeluarkan juga sebuah hudtim (kebutan) di tangan kiri.

Nyonya baju putih ini memang pernah mempelajari ilmu memainkan hudtim dan pedang dari gurunya.

“Baik, baik. Aku pun telah melihat permainanmu yang lihai tadi dan ingin sekali mencobanya,” jawab Tan Bu yang segera mengambil senjatanya, yakni sebatang toya panjang yang ujungnya dipasangi kaitan.

Setelah saling memberi hormat, maka kedua orang ini lalu menggerakkan senjata masing-masing dalam pertempuran, yang jauh lebih hebat dan seru dari pada ketika Tan Bu bertempur melawan Bhok Ki Sun dengan tangan kosong.

Sinar pedang Pek I Toanio bergulung-gulung dibarengi menyambarnya hudtimnya yang cukup lihai, hingga permainannya mendatangkan pemandangan yang menarik sekali. Akan tetapi permainan toya dari Tan Bu juga mengagumkan, dan berbareng mengerikan. Toya itu sangat berat dan digerakkan dalam putaran yang demikian cepatnya hingga mendatangkan angin berkesiur yang dirasai oleh semua penonton yang duduk di situ!

Baru anginnya saja sudah memiliki tenaga hebat hingga menggerakkan pakaian dan rambut orang di sekitarnya, apalagi jika terkena kemplang toya yang berat dan digerakkan cepat ini!

Baru bertempur dalam beberapa belas jurus saja, Pek I Toanio telah maklum bahwa jika ia mengadu tenaga, maka ia tentu akan kalah. Maka ia lalu berkelebat ke sana ke mari menghindarkan diri dari sabetan toya, sambil menggunakan kesempatan-kesempatan baik untuk membalas menusuk dengan pedang atau memukul jalan darah dengan ujung kebutan.

Ketika Tan Bu menggunakan gerak tipu Hing-sau-chian-kun atau Serampang Bersih Ribuan Tentara dan tiba-tiba memutarkan toyanya ke arah Pek I Toanio sambil berseru keras, nyonya itu melompat ke atas melewati kepala lawannya. Akan tetapi cepat bagaikan kitiran angin, toya Tan Bu telah mengejar tubuh yang di atas itu dan cepat menusuk ke arah Pek I Toanio!

Serangan ini berbahaya sekali hingga semua orang menahan napas. Akan tetapi, Pek I Toanio benar-benar memiliki ginkang yang sempurna. Melihat bahwa serangan lawan ini berbahaya sekali dan baginya tiada waktu lagi untuk berkelit dan untuk menangkis ia akan kalah tenaga maka ia segera memperlihatkan kegesitannya.

Ketika ujung toya menyambar ke arahnya, ia mementangkan kaki dan menggunakan ujung kaki kanannya ditotolkan ke ujung toya itu lalu ia mengikuti gerakan toya yang menyerangnya sambil tidak lupa mengebutkan hudtimnya ke arah jalan darah kin-hu-hiat di pundak kanan Tan Bu!

Gerakan ini luar biasa indah dan beraninya hingga Tan Bu sama sekali tidak menduga dan pundaknya kena terpukul tertotok oleh ujung hudtim yang tiba-tiba berubah keras, sedangkan tubuh Pek I Toanio terbawa oleh dorongan toya dan mencelat ke atas kepalanya hampir tebentur kepada tiang yang melintang di atas!

Pek I Toanio tak kalah kagetnya. Totokannya tadi telah mengenai tempat di tubuh lawan dengan tepat sekali, akan tetapi Tan Bu kelihatan biasa saja seakan-akan tak pernah terpukul, apa lagi terluka!

Cepat nyonya ini meluncur turun dan ia merasa bahwa melawan terus takkan ada gunanya, karena harus ia akui bahwa kepandaian lawannya dalam memainkan senjata sungguh-sungguh hebat dan lebih tiggi daripada kepandaiannya sendiri. Maka ia lalu menjura dan berkata,

“Terima kasih atas petunjuk Ciang-kun.”

Tepuk sorak ramai terdengar dari pihak para perwira yang merasa senang sekali betapa dalam dua pertempuran berturut-turut, Tan Bu telah berhasil mengalahkan lawan! Dengan dua kali kemenangan itu, sekaligus Tan Bu telah membersihkan muka mereka dan menebus kekalahan Tan Song tadi.

“He, Kwee In Liang, kalau kau sudah tidak mempunyai jago lain lagi, majukan saja pemuda tolol itu!”

Tiba-tiba Boan Sip berseru keras dengan suara menghina. Semua penonton memandang ke arah Kwee In Liang dengan cemas karena setelah kedua jago itu kalah, siapa lagi yang hendak maju?

Kwee In Liang tidak berani minta tolong kepada Kwee An.
“Sekarang kau, Lin Lin, atau aku sendiri yang maju dan herternpur mati-matian, membela nama kita!”

“Kwee-enghiong, sabar dulu. Biarkan pinni maju menghajar mereka,” kata Biauw Suthai, akan tetapi tiba-tiba Ang I Niocu yang merasa marah sekali mendengar Cin Hai dimaki tolol, segera berdiri dan setelah berkata cepat-cepat tanpa menanti jawaban,

“biarkan aku saja yang maju!” lalu sekali melompat tubuhnya telah berada di hadapan Tan Bu!

Orang tidak melihat bagaimana ia mencabut pedangnya, akan tetapi tahu-tahu tangan kanan nona itu telah memegang sebatang pedang yang tajam berkilau.

“Manusia sombong yang membuka mulut besar, kau keluarlah dan mari kau rasakan tajamnya pedangku!” katanya sambil menggunakan telunjuk kiri menuding ke arah Boan Sip!






Tidak ada komentar :