*

*

Ads

Selasa, 30 April 2019

Pendekar Bodoh Jilid 039

Boan Sip melompat berdiri dengan marah sekali, sedangkan Pek I Toanio juga sudah bangun berdiri. Boan Sip sambil bertolak pinggang memandang sekeliling, lalu menegur dengan suara nyaring,

“Tuan rumah tidak kenal malu dan sengaja membantu secara diam-diam! Siapakah yang begitu berani mati melempar bangku tadi?”

Sementara itu, dengan marah Kwee Tiong menegur Cin Hai,
“Cin Hai, engkau bodoh dan lancang tangan! Apa maksudmu melemparkan bangku tadi?”

Cin Hai pura-pura gugup dan bingung.
“Aku… aku merasa ngeri melihat pertempuran itu dan berusaha memisahkannya!” semua orang yang mendengar ini tertawa geli dan diam-diam Kwee Tiong mentertawakan Cin Hai. Mengapa ia masih begini bodoh, pikirnya!

Di antara semua orang merasa heran dan mentertawakan Cin Hai karena ketololannya, hanya Biauw Suthai dan Pek I Toanio saja yang mempunyai pikiran lain. Pek I Toanio insyaf akan kesalahan gerakannya tadi yang membuka punggungnya ketika ia bergulingan dan hal ini pun diketahui baik oleh gurunya, dan mengapa secara kebetulan sekali pemuda itu melemparkan bangku pada saat yang demikian tepat hingga jiwa Pek I Toanio terbebas dari ancaman? Bahkan Ang I Niocu sendiri tidak tahu akan hal ini karena ia tidak kenal gerakan-gerakan Pek I Toanio, dan Gadis Baju Merah ini pun merasa agak heran melihat perbuatan Cin Hai.

Sekali lagi Boan Sip berseru,
“Tuan rumah berlaku curang! Hayo keluarkan dia yang telah berani mengganggu,” katanya dengan lagak sombong, sementara itu, atas isyarat gurunya, Pek I Toanio kembali ke tempat duduknya setelah menjura kepada Kwee In Liang dan menyatakan penyesalannya karena tidak berhasil mengalahkan lawannya.

Tiba tiba Kwee Tiong yang diikuti oleh ketiga orang adiknya meloncat dengan pedang di tangan sambil membentak,

“Orang she Boan jangan sombong! Yang melempar bangku adalah adik keponakanku yang tolol dan bodoh, tak perlu engkau memusuhi dan menantangnya. Kalalu engkau memang gagah, aku Kwee Tiong yang akan melawanmu!”

Boan Sip memandang kepada Kwee Tiong dengan senyum sindir. Pemuda ini mengeluarkan ucapan gagah, akan tetapi ternyata sekali maju membawa tiga orang adiknya. Melihat gerakan mereka, Boan Sip memandang sebelah mata dan berkata sambil tertawa,

“Ha, ha, kalian ini putera-putera Kwee In Liang? Aneh, Harimau itu ternyata hanya mempunyai putera-putera berupa kucing yang hanya pandai mengeong!”

Kwee In Liang hendak memanggil putera-puteranya, akan tetapi Kwee Tiong sudah tak dapat menahan lagi marahnya. Ia lalu berseru keras dan menubruk dengan pedangnya diikuti oleh ketiga orang adiknya yang menyerang dengan berbareng.

Boan Sip mengeluarkan suara di hidung dan gerakkan goloknya menangkis. Sekali tangkis saja, dua dari empat buah pedang saudara-saudara Kwee itu terlempar. Dan Boan Sip melanjutkan gerakannya dengan serangan pembalasan. Baiknya perwira muda ini masih ingat bahwa keempat anak muda ini adalah kakak-kakak dari Lin Lin yang ia rindukan, maka tidak berniat mencelakakan mereka, hanya ingin menggoda dan memperlihatkan kegagahannya saja.

Maka serangan-serangannya hanya nampak hebat mengerikan karena goloknya menyambar nyambar hebat, akan tetapi tidak digerakkan cepat hingga keempat anak muda itu masih dapat berkelit ke sana ke mari dengan wajah pucat.

Tiba-tiba Cin Hai memegang sebuah bangku yang ditinggalkan oleh dua orang tamu yang berdiri karena tegangnya menonton pertempuran itu dan dengan bangku di tangan, Cin Hai lari menuju ke tempat pertempuran. Lalu ia menyerang Boan Sip secara membabi buta sambil berseru berkali-kali,

“Jangan membunuh kakak-kakakku, jangan mencelakakan kakak-kakakku!”

Mendapat serangan kacau-balau itu, Boan Sip terkejut dan melihat penyerangnya. Karena ia tujukan perhatiannya kepada penyerang baru ini, maka keempat saudara Kwee dapat mundur, sedangkan Cin Hai masih terus mengobat-abitkan bangkunya. Boan Sip ketika melihat bahwa pemuda inilah yang tadi menghalangi kemenangannya atas Pek I Toanio menjadi marah sekali.

“Orang tolol, engkau mencari mampus!” bentaknya dan ia lalu menggunakan goloknya menyerang.






Akan tetapi Cin Hai mengobat-abitkan bangkunya yang cukup panjang hingga Boan Sip menjadi bingung. Gerakan pemuda ini tidak teratur dan kacau balau, bahkan seperti gerakan orang gila mengamuk, akan tetapi justru inilah yang membingungkan Boan Sip.

Gerakan silat dapat diduga karena teratur, akan tetapi gerakan-gerakan menggila ini sungguh membingungkan dan sebelum ia dapat menyerang, sebuah kaki daripada bangku yang diobat-abitkan itu telah mengenai tubuh belakangnya hingga terdengar suara “buk!” karena bokongnya kena dihajar kaki bangku.

Semua orang tertawa geli melihat tingkah laku Cin Hai yang mereka anggap sebagai seorang pemuda tolol itu, akan tetapi karena pemuda itu dalam ketololannya berani membela keempat pemuda Kwee, biarpun mereka mentertawakannya, akan tetapi di dalam hati mereka suka kepadanya. Maka bersoraklah para tamu melihat betapa tanpa disengaja kaki bangku itu dapat memukul bokong Boan Sip yang sombong.

Sementara itu, Cin Hai sambil mengobat-abitkan bangkunya berkata kepada Kwee Tiong dan adik-adiknya,

“Engko Tiong, kau ajaklah adik-adikmu mundur, biar aku tahan mengamuknya babi hutan ini!”

Kembali terdengar suara orang-orang tertawa karena pemuda yang dari gerak-geriknya ternyata bahwa ia tidak mengerti ilmu silat itu dengan sikap gagah sekali membuka mulut besar dan hendak membela keempat saudara Kwee dan menghadapi Boan Sip yang lihai.

Sungguh satu pemandangan yang lucu mengherankan! Akan tetapi, keadaan ini merupakan tamparan hebat bagi keangkuhan dan kesombongan Boan Sip. Kembali ia menyerang sambil memaki-maki.

Ketika bangku itu menyambar kembali, dengan gemas Boan Sip membacok kaki bangku dengan goloknya. Mana bisa kayu itu dapat menahan bacokan golok Boan Sip. Dengan mudah saja kaki bangku itu terbabat putus.

Akan tetapi sungguh malang bagi Boan Sip, yakni dalam pandangan semua orang yang menonton pertempuran itu, ketika kaki bangku itu terbabat putus ternyata saking tajam golok yang membabat, kaki bangku itu melayang dan kebetulan sekali dapat menampar pipi Boan Sip! Terdengar suara “plok!” dan pipi Boan Sip yang kena dilanggar potongan kaki bangku itu menjadi merah kulitnya dan terasa pedas sekali!

Hal ini terlihat jelas oleh semua orang dan kembali terdengar sorak riuh rendah karena ternyata biarpun tolol dan tidak mengerti ilmu silat, agaknya pemuda tolol itu sedang “hok-khi” (beruntung), maka secara kebetulan sekali lawannya kena tamparan kaki bangku yang dipotongnya sendiri!

Pada saat itu, di bagian tamu di mana tadi Cin Hai duduk, terjadilah lain hal yang menimbulkan tertawa geli. Ternyata dua orang tamu yang tadi berdiri melihat pertempuran seru antara Kwee Tiong dibantu adiknya dan Boan Sip hingga bangku mereka diambil oleh Cin Hai di luar tahu mereka, ketika melihat betapa dua kali Boan Sip kena terpukul kaki bangku, mereka begitu gembira hingga sambil tertawa terkekeh-kekeh, mereka menjatuhkan diri di atas bangku di belakang mereka.

Akan tetapi suara mereka segera terganti seruan kaget dan kesakitan karena mereka berdua ternyata menjatuhkan diri ke belakang yang kosong dan tidak ada bangkunya lagi, maka tentu saja mereka terjengkang dan jatuh tunggang langgang!

Orang-orang di sekitarnya tertawa bergelak dan kedua orang itu berdiri sambil meringis kesakitan, akan tetapi ketika mereka mengetahui bahwa bangku yang berhasil menghajar Boan Sip adalah bangku yang tadi mereka duduki, maka berserilah wajah mereka!

Boan Sip marah sekali dan ia menyerang bagaikan kerbau gila. Bangku di tangan Cin Hai sudah tak karuan lagi macamnya bekas bacokan golok.

“Eh, eh, tak tahu malu! Menyerang orang yang tidak memegang senjata!”

Cin Hai memaki dengan suara mengejek. Kata-kata ini mengingatkan Boan Sip bahwa jika ia nanti membunuh anak muda tolol yang tak bersenjata ini dengan goloknya, maka ia tentu akan dipandang rendah oleh orang-orang gagah. Pula untuk menyingkirkan bangku dari tangan pemuda bodoh ini, lebih mudah menggunakah tangan kosong. Maka, ia lalu membanting golok dan perisainya di atas lantai hingga mengeluarkan suara berkerontangan, lalu sambil mendelikkan mata ia memaki,

“Baik, aku telah membuang senjataku, orang gila! Tunggulah aku akan mencekik lehermu!”

“Mengapa bermain cekik-cekikan? Kita bukan sedang bermain adu gulat!” jawab Cin Hai dengan muka lucu hingga kembali semua orang tertawa.

Sementara itu, Lin Lin merasa heran sekali, dan juga kagum. Ia heran dan kecewa melihat bagaimana Cin Hai setelah dewasa berubah menjadi seorang pemuda tolol, akan tetapi ia juga merasa kagum melihat betapa dalam ketololannya, Cin Hai ternyata mempunyai hati yang tabah, bersemangat, dan berani membela kakak-kakaknya!

Juga, Kwee In Liang menggeleng-gelengkan kepala karena ia ikut merasa malu mempunyai seorang keponakan setolol itu. Bahkan Biauw Suthai yang mempunyai pemandangan tajam dan pengalaman luas dapat pula dikelabuhi oleh aksi Cin Hai yang ketolol-tololan hingga diam-diam wanita tua ini bersiap sedia menolong jiwa anak muda yang tolol tapi pemberani itu, Loan Nio duduk dengan wajah pucat, hendak mengeluarkan suara saking terperanjat, dan kuatirnya.

Ketika Cin Hai mengangkat bangku menyerang kembali, Boan Sip menyambut bangku itu dengan kedua tangannya dan ia membetot. Akan tetapi, alangkah terkejutnya ketika ternyata bahwa ia tidak mampu membetot bangku itu dari tangan Cin Hai! Ia terkejut dan heran sekali. Apakah mungkin pemuda tolol ini memiliki tenaga sebesar itu? Ia membetot kembali dan Cin Hai mempertahankan sambil mengeluarkan suara “uhh… uh…” dan demikian keduanya saling membetot mempertahankan, sedikit pun tak mau mengalah!

Bangku itu sebentar terbetot ke kanan, sebentar terbetot, ke kiri hingga seakan-akan kedua orang itu sedang mengadu tenaga membetot-betot bangku hingga air muka keduanya berubah merah!

Yang merasa gembira sekali adalah para penonton. Mereka bersorak riuh rendah dan lupa bahwa kedua orang itu sebenarnya sedang berkelahi dan lupa pula bahwa Boan Sip sedang marah besar dan dari kedua matanya mengeluarkan nafsu membunuh karena benci dan marahnya kepada pemuda tolol itu!

Pada saat itu mereka merasa seakan-akan sedang menonton dua orang mengadu tenaga dengan menarik-narik bangku sebagai gantinya tambang yang biasa digunakan untuk mengadu tenaga bertarik-tarikan! Maka terdengarlah suara-suara yang memihak kepada Cin Hai sambil berteriak-teriak,

“Hayo, tarik… tarik…! Keluarkan tenagamu…”

Jika bangku itu terbetot ke arah Cin Hai, maka semua orang berseru gembira,
“Hayo… lebih keras lagi… tarik…!”

Akan tetapi apabila bangku itu terbetot ke arah Boan Sip, terdengar teriakan-teriakan lain yang mengandung kekuatiran,

“Awas… pertahankan… jangan sampai kalah…!”

Untuk beberapa lamanya kedua orang itu saling tarik, saling betot dan saling keluarkan tenaga, Boan Sip makin marah dan penasaran saja. Tenaganya untuk membetot bangku ini lebih dari pada tujuh ratus kati, akan tetapi sungguh aneh sekali bahwa pemuda tolol ini dapat mempertahankannya sedemikian rupa. Ia lalu mengerahkan seluruh tenaganya dan dengan tenaga yang tidak kurang dari seribu kati kuatnya.

Dan tiba-tiba Cin Hai mengendurkan pegangannya hingga dengan cepat sekali bangku itu terbetot ke arah Boan Sip dan terbawa tubuhnya yang terhuyung-huyung ke belakang ini. Akan tetapi Cin Hai tidak melepaskan pegangannya hingga tubuhnya ikut terbetot dengan bangku itu.

Tarikan Boan Sip kian kerasnya hingga karena tenaga bertahan dilepas secara tiba-tiba, tidak mampu lagi perwira itu bertahan dan terlempar ke belakang terhuyung-huyung ke belakang dan akhirnya jatuh terjengkang dengan bangku dan tubuh Cin Hai menimpa di atasnya.

Orang-orang tertawa geli dan bersorak-sorak. Akan tetapi pada saat itu Lin Lin sudah melompat ke tempat itu karena gadis ini yakin bahwa ketika tubuh Cin Hai menimpa di atas tubuh Boan Sip, maka perwira itu dapat memberi pukulan maut kepada pemuda itu.

Dan alangah herannya Lin Lin ketika tanpa terlihat, tahu-tahu Ang I Niocu juga berada di situ dan cepat sekali Dara Baju Merah ini telah memegang tangan Cin Hai dan membetotnya! Ternyata bahwa Ang I Niocu juga kena ditipu oleh ketololan Cin Hai dan menguatirkan keselamatan pemuda ini.






Tidak ada komentar :