*

*

Ads

Sabtu, 04 Mei 2019

Pendekar Bodoh Jilid 048

Cin Hai meloncat dari tempat tidurnya dan cepat memegang kedua pundak Lin Lin.
“Lin-moi, tenanglah. Ada apakah yang terjadi?”

Lama sekali Lin Lin menangis sedih, baru dia bisa berkata,
“Celaka, Hai-ko! Rumah telah kedatangan musuh, perwira-perwira jahanam itu datang dan mencelakakan serumah tanggaku! Semua terluka dan… dan Ayah…”

Tanpa banyak cakap lagi Cin Hai lalu menarik tangan Lin Lin dan diajak keluar dari kuil itu. Ia menggunakan kepandaiannya berlari cepat sambil menarik tangan Lin Lin hingga gadis ini seakan-akan terbang. Mereka menuju ke rumah keluarga Kwee dan dari jauh mereka telah mendengar suara tangis sedih.

Ketika Lin Lin datang bersama Cin Hai, Kwee Tiong dengan pedang di tangan lalu menyerang Lin Lin dengan hebat. Akan tetapi, sekali layangkan kakinya, Lin Lin telah berhasil menendang pergelangan tangan Kwee Tiong dan pedang itu mencelat jauh.

“Perempuan rendah! Sundal tak tahu malu!” teriak Kwee Tiong dengan mata beringas. “Engkau main gila di luar, tak tahu di rumah ditimpa malapetaka! Aku akan mencekik lehermu dengan tanganku sendiri!”

Pemuda yang sudah kalap ini lalu menubruk maju, akan tetapi Cin Hai lalu mengulurkan jari tangan menotoknya hingga ia roboh dengan lemas, tak dapat berkutik maupun berteriak lagi.

“Lebih baik begini, agar dia jangan membuat gaduh lagi,” kata Cin Hai dan bersama Lin Lin ia lalu lari memasuki rumah.

Pemandangan yang nampak di dalam rumah itu membuat kedua kaki Cin Hai terasa lemas dan memeluk tubuh Kwee In Liang yang rebah di lantai mandi darah! Di sudut masih nampak banyak orang lain rebah mandi darah, di antaranya Loan Nio, Kwee Sin, Kwee Bun, Kwee Siang, dan Kwee An!

Cin Hai cepat melakukan pemeriksaan, Kwee In Liang menderita luka parah di dadanya karena bacokan pedang dan jiwanya sukar ditolong lagi. Loan Nio ternyata telah tewas karena bacokan yang tepat mengenai lehernya. Juga Kwee Sin, Kwee Bun dan Kwee Siang telah tewas. Hanya Kwee An yang masih bisa diharapkan karena biarpun ia menderita luka parah di pundak, akan tetapi tubuh pemuda ini jauh lebih kuat daripada saudara-saudaranya.

Sungguh peristiwa yang mengerikan sekali. Cin Hai tak tahan dan ikut mengucurkan air mata. Ia mengangkat jenazah-jenazah itu dengan baik-baik dan memanggil para pelayan untuk membantu. Kemudian ia lalu menolong Kwee An dan Kwee In Liang. Setelah menotok jalan darah dan mengurut pundak Kwee An, pemuda ini siuman, akan tetapi sangat lemah hingga setelah terbelalak memandang dengan liar untuk mencari-cari musuh-musuhnya, ia lalu rebah lagi dengan lemas dan meramkan mata.

Kwee An lalu dirawat oleh seorang pelayan yang memberi obat dan membalut luka pemuda itu, sedangkan Lin Lin dan Cin Hai menolong Kwee In Liang. Setelah diurut pundaknya oleh Cin Hai, orang tua ini membuka kedua matanya. Untuk beberapa lama kedua matanya memandang sayu seakan-akan tidak dapat mengenal keadaan di sekelilingnya, akan tetapi lambat laun pemandangan matanya makin terang hingga ia dapat mengenal Cin Hai dan Lin Lin. Ia menggerak-gerakkan kedua tangan dan menyuruh kedua anak muda itu mendekat, lalu ia menggerak-gerakkan bibirnya.

Lin Lin dan Cin Hai mendekatkan kepala mereka untuk dapat menangkap kata-kata orang tua ini.

“Lin Lin kau jaga baik-baik dirimu… aku tidak kuat lagi… Cin Hai, kau… kau… balaskan sakit hati ini… jangan kau kawini Lin Lin sebelum kau balaskan sakit hati ini”

Cin Hai dan Lin Lin mengangguk-angguk dan Lin Lin menangis terisak-isak.

“Cin Hai… kau berjanjilah…” suara orang tua itu makin lemah.

“Aku berjanji Ie-thio!” kata Cin Hai dengan sungguh-sungguh, karena ia merasa bahwa sudah menjadi kewajibannya untuk membalas sakit hati bibinya yang terbunuh secara kejam.

“Aku aku puas… balaskanlah sakit hati ini, basmi anjing-anjing itu… kalau sudah berhasil kau betul-betul mantuku yang baik…” setelah berkata demikian, orang tua ini menghembuskan napas terakhir.

Lin Lin menubruk jenazah ayahnya dan jatuh pingsan! Setelah sadar, ia menangis dengan sedih sekali dan menjambak-jambak rambutnya sendiri karena merasa menyesal mengapa kejadian itu terjadi di luar tahunya!






“Sudahlah, Lin-moi, engkau bahkan harus bersukur bahwa engkau tidak berada di rumah. Karena kalau berada di rumah, tentu engkau pun akan menjadi korban. Kwee An yang begitu lihai pun dapat dirobohkan. Kalau engkau dan semua menjadi korban, siapakah yang akan dapat membalas dendam?” Karena hiburan-hiburan Cin Hai, Lin Lin dapat menenteramkan hatinya.

Kwee Tiong lalu dibebaskan totokannya dan dengan kata-kata tajam Cin Hai berhasil mengusir kemurkaan yang menggelora di dada pemuda itu. Kemudian Kwee Tiong menuturkan peristiwa yang hebat itu.

Ketika Cin Hai dan Lin Lin sedang berkejar-kejaran, datanglah serombongan perwira Sayap Garuda menuju ke rumah keluarga Kwee. Mereka ini adalah lima orang perwira yang dulu mengganggu pesta keluarga Kwee. Kini mereka datang bersama tiga orang tua, yakni dua orang perwira Sayap Garuda lain yang menjadi anggauta daripada Santung Ngo-hiap, yakni orang pertama dan ke dua, sedangkan yang ke tiga adalah seorang hwesio gundul yang bukan lain adalah Hai Kong Hosiang adanya!

KEDATANGAN mereka ini sebenarnya hendak mencari Cin Hai untuk menebus kekalahan mereka yang lalu, akan tetapi karena Cin Hai tidak berada di situ, mereka lalu mengamuk membabi buta dan membunuh semua keluarga Kwee!

Tentu saja Kwee In Liang dan putera-puteranya melawan dengan nekad, terutama Kwee An dengan gagah berani menahan serbuan mereka. Dengan pertempuran hebat ini, Kwee An dapat melukai beberapa orang perwira, akan tetapi lawan itu terlampau banyak dan terlampau tangguh terutama Hai Kong Hosiang, hingga akhirnya semua kena dirobohkan!

Hanya pelayan-pelayan saja yang tidak dibunuh, sedangkan Loan Nio sendiri pun dengan nekad menyerbu hingga dirobohkan dengan bacokan pedang, Kwee Tiong yang bersifat pengecut dan licin, melihat kehebatan rombongan itu, cepat melarikan diri dan bersembunyi hingga ia terhindar daripada kebinasaan!

Mendengat penuturan Kwee Tiong yang tiada hentinya mencela dan mempersalahkan Cin Hai dan Lin Lin, gadis itu kembali menangis tersedu-sedu,

“Sudahlah, Saudara Kwee Tiong, jangan kau mempersalahkan adikmu lebih jauh. Ketahuilah sebenarnya aku pergi memang dengan sengaja dan tidak ada maksudku untuk kembali lagi. Sedangkan Adik Lin Lin menyusulku dengan maksud membujuk supaya aku kembali lagi, jangan kau menyangka yang tidak-tidak. Sekarang lebih baik kita urus pemakaman jenazah-jenazah ini dan nanti kalau Kwee An sudah sadar, kita bisa mendengar penjelasan-penjelasan dari padanya.”

Karena ia hanya mengandalkan tenaga Cin Hai untuk membalas dendam akhirnya Kwee Tiong tidak mengomel lagi dan membantu merawat jenazah-jenazah itu dengan sedih.

Setelah sadar dari pingsan dan agak kuat bercakap-cakap, Kwee An dengan air mata berlinang dan gigi dikertak karena sakit hati, berkata kepada Cin Hai.

“Aku bersumpah untuk membalas dendam ini! Mereka itu adalah kelima perwira yang dulu mengacau di sini ditambah tiga orang lagi, yakni orang pertama dan ke dua dari Santung Ngo-hiap, dan yang ke tiga adalah Hai Kong Hosiangl!”

“Hm, aku pernah bertemu dengan hwesio itu!” kata Cin Hai. “Kau tenangkanlah hatimu, Saudaraku. Besok aku berangkat dan demi kehormatanku, aku akan berusaha untuk membasmi delapan orang bangsat kejam itu!”

“Jangan Cin Hai! Kau jangan berangkat besok, tidak boleh!” Tiba-tiba Kwee An berkata penuh semangat.

“Kenapa?”

“Kau kira aku akan enak saja tinggal diam sedangkan orang lain hendak mengadu jiwa untuk membalas dendam ini? Tidak, dendam ini harus kubalas sendiri!”

Cin Hai tersenyum maklum.
“Baiklah, aku akan menanti sampai sembuh dan kita akan pergi bersama!” Setelah mendapat jawaban ini barulah Kwee An merasa lega dan ia lalu jatuh pulas.

Dengan telaten Cin Hai dan Lin Lin menjaga dan melayani Kwee An dan Lin Lin bahkan minta bantuan gurunya untuk mengobati kakaknya ini. Biauw Suthai ikut merasa berduka dan gemas serta berjanji akan membantu usaha pembalasan sakit hati itu.

Dua pekan kemudian, berkat pengobatan Biauw Suthai dan perawatan yang sangat telaten dari Lin Lin dan Cin Hai, Kwee An sembuh kembali dari pada lukanya yang dideritanya. Setelah melihat bahwa Kwee An sembuh dan kuat kembali, barulah Cin Hai mengajak pemuda itu berangkat untuk mencari musuh-musuh mereka.

Ketika mereka hendak berangkat, Lin Lin minta supaya ia dibawa dan ikut membalas dendam. Sebenarnya gadis ini merasa berat sekali untuk berpisah dengan Cin Hai yang amat dicintainya dan ia tidak rela melepas pemuda itu pergi untuk menghadapi bahaya seorang diri. Akan tetapi ketika mereka berdua bicara di dalam ruang belakang Cin Hai berkata,

“Lin Lin, kau sendiri tahu betapa pentingnya perjalanan yang akan kulakukan bersama Kwee An ini. Bukan saja penting akan tetapi sangat berbahaya maka biarkanlah aku pergi berdua dengan Kwee An dan jangan kau ikut menghadapinya.”

Lin Lin menyemberutkan mulutnya,
“Justru karena penting dan berbahaya inilah maka aku harus ikut Engko Hai. Urusan sakit hati ini langsung menjadi tugasku, mengapakah aku harus takut menghadapi bahaya karenanya? Dan kalau memang ada bahaya, apa kau kira aku dapat enak-enak saja berpeluk tangan tinggal di rumah dan membiarkan engkau dan Engko An pergi menempuhnya? Ah, Hai-ko engkau tahu bahwa aku akan menderita karena khawatir dan cemas memikirkan nasibmu berdua. Biarkan aku ikut, Engko Hai!”

Cin Hai menjadi serba salah. Ia memang harus membenarkan pendapat gadis ini akan tetapi kepandaian gadis ini masih belum cukup tinggi untuk menghadapi perwira-perwira Sayap Garuda yang lihai dan kejam itu. Kalau gadis ini dibiarkan ikut, bukan dapat membantu usaha pembalasan sakit hati, sebaliknya akan menambah beban saja, karena ia harus melindungi Lin Lin yang ia cinta.

“Jangan engkau ikut, Adikku yang manis. Tidak percayakah engkau kepadaku? Engkau mendengar sendiri pesan terakhir Ayahmu, dan biarkan tugas pembalasan dendam itu menjadi syarat bagiku untuk dapat menjadi… suamimu!”

Akan tetapi dengan sikap bandel Lin Lin bahkan lalu menangis sambil membanting-banting kaki dan berkata,

“Tidak… tidak… aku mau ikut…!”

Cin Hai melihat sikap Lin Lin yang seperti seorang anak kecil hendak ditinggal pergi oleh ibunya ini, lalu tersenyum dan menyentuh pundaknya,

“Sudahlah jangan engkau marah. Biar kita merundingkan dulu dengan kakakmu dan Gurumu, karena aku bermaksud berangkat besok. Masih banyak waktu bagi kita untuk merundingkan persoalan ini.”

Maka mereka lalu mengadakan perundingan dengan Biauw Suthai dan Kwee An. Juga Pek I Toanio yang sering berkunjung ke situ ikut pula merundingkan hal ini.

“Lin Lin, muridku, pendapat Sie Taihiap memang betul. Engkau tak usah ikut pergi, karena kepandaianmu belum cukup untuk melakukan pembalasan dendam ini. Ketahuilah, kepandaian musuh-musuhmu amat tinggi dan sama sekali bukan lawanmu.”

“Akan tetapi aku sama sekali tidak takut!” jawab Lin Lin sambil berdiri dengan kedua tangan dikepalkan dan kedua mata bernyala penuh semangat.

Biauw Suthai dan yang lain-lain tersenyum melihat sikap gadis ini.
“Aku percaya penuh akan ketabahanmu,” kata Biauw Suthai, “akan tetapi, ketahuilah, bukan soal takut dan berani yang terpenting dalam hal ini. Kalau engkau ikut, maka tidak saja engkau takkan membantu, bahkan akan menambah beban kepada Sie-taihiap dan kakakmu Kwee-kongcu.”

“Menambah beban?” kata Lin Lin penasaran “Teecu tidak minta digendong, teecu sanggup berjalan sendiri, dan mereka berdua ini tak usah pedulikan teecu asal teecu boleh ikut.”

“Lin Lin, engkau sungguh bodoh,” kata gurunya. “Bukan demikian maksudku, akan tetapi apabila terjadi pertempuran, maka tentu engkau akan terancam dan hal ini merupakan tambahan tugas yang lebih berat bagi kedua anak muda ini yang harus melindungimu. Mengertikah engkau? Apakah engkau akan senang apabila pembalasan dendam ini sampai gagal hanya karena ikutmu?” .

Mendengar alasan yang kuat ini, Lin Lin diam saja dan tak dapat menjawab, hanya mulutnya yang berbentuk manis itu cemberut menandakan kekecewaan hatinya. Akhirnya ia dapat dibujuk oleh Pek I Toanio dan gurunya membatalkan keinginannya.

Setelah mendapat pesan dari Biauw Suthai, Pek I Toanio, Lin Lin, dan juga Kwee Tiong yang mendengarkan perdebatan itu diam saja, maka berangkatlah Cin Hai dan Kwee An.






Tidak ada komentar :