*

*

Ads

Sabtu, 04 Mei 2019

Pendekar Bodoh Jilid 049

Mereka berdua tahu kemana harus mencari musuh-musuh mereka, yakni ke kota raja! Mereka berdua berangkat berjalan kaki saja dan mempergunakan kepandaian mereka berlari cepat.

Ketika Cin Hai dan Kwee An sudah pergi Lin Lin berlari masuk ke dalam kamarnya. Biauw Suthai menggeleng-gelengkan kepala melihat ini dan ia lalu berkata kepada Pek I Toanio,

“Anak itu kecewa karena ditinggal pergi oleh Sie-taihiap! Benar-benar anak panah asmara telah tertancap di hatinya, dan selain itu, ia pun merasa bersedih karena merasa sunyi ditinggal seorang diri oleh mereka berdua. Kau pergilah, hiburlah hatinya dan katakan bahwa kami akan tinggal disini untuk sementara waktu dan menemaninya.”

Sambil tersenyum maklum, Pek I Toanio lalu mengejar Lin Lin ke dalam kamarnya dan ia mendapatkan gadis itu sedang berbaring telungkup di atas tempat tidur dan tubuhnya bergoyang-goyang karena menahan isak tangisnya! Kakak seperguruan yang sangat mencintai sumoinya ini lalu memeluk pundaknya dan berkata menghibur,

“Sumoi, seorang gadis gagah seperti engkau tidak patut bersikap begini lemah.”

Lin Lin bangun dan duduk di dekat sucinya,
“Suci aku tidak sedih karena tidak boleh ikut pergi, akan tetapi sedih karena yang menyebabkan aku tidak dapat ikut adalah kedangkalan ilmu silatku.”

“Sumoi, kalau begitu, mengapa sementara menanti mereka kembali kau tidak memperdalam ilmu silatmu? Ketahuilah, aku dan Suthai akan tinggal disini menemanimu untuk sementara waktu.”

Tiba-tiba wajah gadis yang muram itu berubah terang dan ia tersenyum! Pek I Toanio menjadi geli melihat gadis yang aneh mudah berubah ini. Baru saja menangis sekarang sudah tersenyum.

Lin Lin lalu menghadap kepada gurunya dan ia sendiri mengatur dua buah kamar di dalam rumah yang besar itu untuk suci dan gurunya. Kemudian ia minta kepada gurunya untuk memberi petunjuk-petunjuk untuk memperdalam ilmu silatnya. Ia berlatih giat sekali karena ia pikir bahwa untuk mengimbangi Cin Hai yang berilmu tinggi, ia harus mempertinggi kepandaiannya pula!

Pada suatu sore ia berlatih silat di dalam pekarangan belakang sambil mendengarkan petunjuk-petunjuk Biauw Suthai yang berdiri memandang gerakan-gerakannya. Setelah selesai bersilat Lin Lin lalu duduk bercakap-cakap dengan Biauw Suthai.

“Suthai, bagaimana pendapatmu tentang ilmu silat Engko Hai?”

“Ilmu silat Sie Taihiap sudah mencapai tingkat yang tidak dapat diukur tingginya, muridku. Ia telah mewarisi kepandaian tunggal dari Gurunya yakni Bu Pun Su yang luar biasa. Biarpun anak muda itu tidak memperlihatkannya, akan tetapi sebenarnya ia telah memiliki segala inti sari ilmu silat dan mendapat gemblengan yang hebat secara aneh dari Bu Pun Su orang tua sakti itu.”

“Suthai, apakah teecu bisa mendapat kemajuan sampai setinggi tingkatnya?”

Biauw Suthai tertawa dan wajahnya yang menyeramkan itu kini nampak gembira.
“Muridku, kepandaian manusia tidak ada batasnya dan asalkan orang mau berusaha, tentu ia akan mencapai tujuannya. Akan tetapi untuk dapat memiliki kepandaian silat seperti Sie-taihiap orang harus memiliki bakat dan jodoh dengan guru yang luar biasa seperti Bu Pun Su.”

“Dan sampai di mana tingkat kepandaian Ang I Niocu?” tiba-tiba Lin Lin bertanya.

“Dia? Ah, kepandaiannya pun hebat, karena sesungguhnya ilmu kepandaiannya dan ilmu kepandaian Sie-taihiap adalah secabang. Ketahuilah, kalau aku tidak salah, Ang I Niocu adalah cucu murid dari Bu Pun Su karena Kakek itu adalah susiok-couwnya. Dalam hal ilmu silat, biarpun Ang I Niocu memiliki gerakan yang indah dan lebih matang, akan tetapi ia masih kalah setingkat oleh Sietaihiap.”

“Suthai, teecu ingin sekali mencoba kepandaian Ang I Niocu. Agaknya teecu takkan kalah melawan dia,” entah mengapa tiba-tiba suara Lin Lin terdengar marah dan sengit karena perasaan cemburu telah menyerang hatinya.






Gurunya heran mendengar ini, dan tiba-tiba Biauw Suthai yang berkepandaian tinggi dapat mendengar suara tindakan kaki yang ringan sekali di belakang mereka ketika nenek ini mengerling, ternyata Ang I Niocu telah berada di belakang mereka, bersembunyi di balik sebatang pohon.

“Wanita itu agaknya sombong dan sangat bangga akan kecantikannya. Coba saja Suthai ingat kembali betapa ia berlagak ketika memperlihatkan kepandaiannya dulu itu.”

“Lin Lin, kalau belum tahu jelas, jangan suka menyangka yang tidak-tidak terhadap orang lain. Pula, bukankah ia telah membantu pihakmu dalam pertempuran dulu itu?” kata Biauw Suthai yang merasa tidak enak sekali karena tentu saja Ang I Niocu dapat mendengar percakapan mereka.

“Suthai, teecu tidak menyangka yang tidak-tidak, karena teecu juga tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan dia kecuali… karena ia… kawan baik Engko Hai, maka ia pun boleh kuanggap sebagai kawan. Akan tetapi, kalau ia tidak sombong, mengapa ia pergi diam-diam dan tanpa pamit? Ia menjadi kawan baik Engko Hai, akan tetapi ketika Engko Hai terluka, mengapa ia tidak peduli bahkan meninggalkannya pergi?”

“Sudahlah Lin Lin, kau membicarakan seorang yang berdiri tidak jauh dari kita!” kata Biauw Suthai, lalu nenek ini berpaling dan berkata, “Niocu, silakan duduk!”

Ang I Niocu keluar dari belakang pohon itu dan Lin Lin cepat berdiri dan memandang kepada Dara Baju Merah itu dengan mata terbelalak. Ia merasa heran sekali ketika melihat betapa wajah Ang I Niocu pucat sekali dan dari kedua mata yang bagus itu keluar dua titik air mata yang masih menetes di atas pipinya.

Akan tetapi, ketika pandangan matanya bertemu dengan Lin Lin, bibir Ang I Niocu mengeluarkan senyum sedih.

“Adikku yang baik, kata-katamu semua benar belaka. Memang aku seorang yang sombong dan bodoh. Adikku, aku maklum akan isi hatimu, jangan kau khawatir. Hai-ji dan aku hanya… hanya kawan baik dan kawan senasib belaka…”

Dara Baju Merah itu memejamkan mata seakan-akan menahan rasa sakit yang menyerang dadanya, kemudian ia berkata lagi, kini suaranya terdengar tegas,

“Akan tetapi, dalam hal kepandaian, agaknya kau masih harus belajar banyak untuk dapat mengimbangi kepandaianku, apalagi kalau hendak menyamai ilmu kepandaian Hai-ji. Kau tadi menyatakan keinginanmu hendak mencoba ilmu silatku, bukan? Nah, marilah kita main-main sebentar!”

Lin Lin memang berhati tabah, sedikit pun ia tidak menjadi jerih ia lalu menarik keluar belati pendek yang menjadi senjata ampuh baginya. Biauw Suthai hendak mencegah, akan tetapi Ang I Niocu menghadapi nenek ini sambil berkata dan menjura,

“Suthai, aku bukan anak kecil lagi, jangan Suthai salah sangka. Aku hanya bermaksud menambah pengertiannya dan kepandaian Adik ini.”

Mendengar ucapan dan melihat sikap Ang I Niocu, Biauw Suthai menarik napas lagi, ia hanya menggerakkan tangannya kepada Lin Lin dan berkata.

“Lin Lin, jangan kau berlaku kurang ajar kepada tamu dan belajarlah baik-baik dari Ang I Niocu!”

Ang I Niocu lalu menghunus pedangnya dan berkata kepada Lin Lin,
“Nah, kau maju dan seranglah, Adikku yang baik, dan jangan kau berlaku sungkan-sungkan lagi.”

Lin Lin adalah seorang gadis yang masih muda sekali dan belum mempunyai banyak pengalaman. Hatinya masih keras dan tabah, maka ketika mendengar ucapan Ang I Niocu, ia merasa bahwa ia disindir dan dipandang ringan. Maka tanpa mengeluarkan kata-kata lagi ia lalu menyerang dengan belatinya.

Ang I Niocu mengelak cepat dan keduanya lalu bertempur seru. Senjata Lin Lin yang berupa belati pendek itu membuat gerakan tangannya cepat sekali jauh lebih cepat daripada gerakan pedang. Lagipula, gadis ini telah mendapat didikan ilmu silat semenjak kecil oleh Biauw Suthai yang berilmu tinggi, maka dapat dimengerti bahwa gadis ini telah memiliki kepandaian yang lumayan dan tak mudah dikalahkan oleh sembarang orang. Selain memiliki ilmu silat tinggi, juga tubuhnya ringan sekali dan gerakannya gesit bagaikan seekor burung walet.

Akan tetapi sekarang ia menghadapi Ang I Niocu yang selain memiliki kepandaian tinggi, juga telah memiliki pengalaman luas daripada Lin Lin. Juga, kalau Lin Lin bertempur dengan bernafsu sekali, adalah Ang I Niocu menghadapinya dengan tenang.

Nona Baju Merah ini memainkan pedangnya sambil mengeluarkan ilmu Pedang Tari Bidadari yang indah dan lihai. Tubuhnya bergerak-gerak perlahan dan lemah gemulai, pedangnya berkelebat cepat dan dapat menangkis setiap serangan Lin Lin yang makin bernafsu melancarkan serangan-serangan hebat.

Ang I Niocu sengaja berlaku mengalah dan lebih banyak mempertahankan diri daripada menyerang. Ia membiarkan Lin Lin melakukan serangan bertubi-tubi dan hanya menggunakan sedikit gerakan untuk menangkis atau mengelak, hingga ia hanya sedikit mengeluarkan tenaga, sedangkan Lin Lin bagaikan seekor naga yang muda dan ganas menyambar-nyambar dengan belatinya!

Lama juga mereka saling mengeluarkan kepandaian. Lin Lin terus mengejar dan Ang I Niocu mengelak dan mempertahankan diri. Peluh telah membasahi wajah Lin Lin yang menjadi kemerah-merahan dan kedua matanya yang indah itu bersinar-sinar galak, sedangkan Ang I Niocu tetap saja bermain dengan tenang.

Rambut Ang I Niocu yang diikat dengan saputangan merah dan terurai ke belakang itu berkibar dalam gerakannya, sedangkan rambut Lin Lin yang hitam dan panjang serta dikuncir dua menyabet ke sana ke mari bagaikan dua ekor ular hitam.

Biauw Suthai berdiri menonton pertempuran itu dengan kagum. Karena asyiknya ia menonton, Biauw Suthai tak terasa lagi kadang-kadang menggerak-gerakkan tangan seakan-akan ia sendiri yang sedang bertempur menghadapi Ang I Niocu.

Kalau Lin Lin membuat kesalahan dalam gerakannya, ia menjadi kecewa dan membanting-banting kakinya, sedangkan kalau Lin Lin melepaskan kesempatan baik dalam sebuah penyerangan, ia menjadi marah dan mengeluarkan suara dengan lidahnya. Orang tua ini benar lupa diri karena asyik dan kagumnya melihat pertempuran itu.

Sebetulnya Ang I Niocu hanya hendak mengukur saja sampai dimana kepandaian gadis itu. Maka setelah puas melayani Lin Lin, tiba-tiba ia merubah gerakannya dan kini melancarkan serangan-serangan hebat hingga pedangnya berkelebat cepat dan bayangan tubuhnya bergulung-gulung karena cepatnya gerakannya.

Lin Lin terkejut sekali dan terdesak hebat. Akan tetapi Ang I Niocu tidak mau menyerang terus, bahkan lalu melompat ke belakang sambil berkata,

“Adik, sudah cukup kita mengukur tenaga.”

Lin Lin merasa kagum sekali. Kini ia tahu bahwa kepandaian Ang I Niocu jauh lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri dan tahu pula bahwa Nona Baju Merah itu tidak bermaksud buruk. Maka buru-buru ia simpan belatinya dan menghampiri Ang I Niocu.

“Cici, kepandaianmu lihai sekali dan aku mohon engkau sudi memberi petunjuk.”

Ang I Niocu ketika mendengar kata-kata ini dan melihat sikap yang polos dari Lin Lin, timbul perasaan sukanya. Ia memegang Lin Lin, dan berkata,

“Adik Lin Lin, engkau masih harus belajar banyak kalau ingin mengimbangi kepandaian Hai-ji”

Ketika melihat betapa wajah gadis ini tertutup oleh kedukaan, ia bertanya,
“Adik Lin Lin, mengapa wajahmu nampak murung? Bagaimana dengan keluargamu, baik-baik saja bukan?”

Ternyata Ang I Niocu sama sekali tidak tahu akan peristiwa hebat yang menimpa keluarga Kwee, oleh karena ketika rasa cemburu dan iri hati merusak hatinya hingga membuat ia angkat kaki dan pergi tanpa pamit dulu, ia lalu menjauhkan diri dari dusun itu dan hendak melanjutkan perantauannya. Telah dicobanya dengan berkeras hati untuk melupakan Cin Hai, akan tetapi ternyata ia gagal.

Makin dilupa, makin ia teringat kepada pemuda itu dan akhirnya ia tak dapat menahan hatinya lagi. Ia teringat betapa Cin Hai mendapat luka dan ia menjadi kuatir sekali. Inilah yang membuat ia kembali ke kampung itu dan dengan diam-diam masuk pekarangan belakang hingga mendengar percakapan antara Lin Lin dan Biauw Suthai.

Ketika mendapat pertanyaan dari Ang I Niocu tentang keluarganya, tak tertahan lagi Lin Lin lalu memeluk Nona Baju Merah itu sambil menangis keras dan sedih. Ang I Niocu menjadi bingung, akan tetapi ketika ia memandang ke arah Biauw Suthai, nenek tua ini memberi isyarat kepadanya hingga ia hanya mengelus-elus kepala Lin lin yang disandarkan di dadanya.

“Adikku yang baik. Tenangkanlah hatimu dan mari kita bicara dengan baik.”

Ia lalu menuntun Lin Lin ke dalam rumah menurut isyarat yang diberikan oleh Biauw Suthai.






Tidak ada komentar :