*

*

Ads

Senin, 06 Mei 2019

Pendekar Bodoh Jilid 055

Kwee An memandang wajah kakek itu dengan heran. Mulutnya tidak berani bertanya, akan tetapi sinar matanya mengandung penuh pertanyaan, yaitu bagaimana kakek ini dapat menduga demikian?

Agaknya kakek nelayan ini dapat membaca pikiran orang karena setelah tertawa terkekeh-kekeh ia lalu berkata,

“Dalam pertempuran kalian tadi telah jelas terlihat sifat menyayang dan suka dari kalian berdua, apakah kalian dua orang bodoh dapat menipuku? He, Hoa-ji bukankah kau suka kepada pemuda she Kwee ini?”

Ma Hoa memang telah kenal betul akan sifat suhunya yang selalu bersikap terus terang dan jujur, akan tetapi sebagai seorang gadis yang masih bodoh dan pemalu, tentu saia ia merasa malu sekali orang membicarakan tentang perjodohan dan tentang hati suka secara begitu blak-blakan tanpa tedeng aling-aling lagi! Maka ia lalu menundukkan muka dan melompat ke dalam perahunya terus mendayung perahu itu meninggalkan mereka!

“Ha-ha-ha… hi-hi… lihatlah dia telah menjawab pertanyaanku. Dia suka kepadamu! Kalau dia tidak suka tentu ia telah marah dan mengamuk. Kalau dia pergi dan berlari, itu tandanya ia setuju! Nah, anak muda, kau tidak boleh menolak murid Si Nelayan Cengeng!”

Cin Hai terkejut mendengar nama ini karena ia pernah mendengar dari Bu Pun Su bahwa diantara tokoh-tokoh luar biasa terdapat seorang nelayan tua yang disebut Nelayan Cengeng dan yang menjadi ahli silat di darat maupun di dalam air. Juga Kwee An pernah mendengar nama ini dari suhunya, maka mereka berdua lalu memperlihatkan sikap menghormat sekali.

“Locianpwe, harap kau orang tua sudi maafkan teecu yang bodoh. Sebagaimana dikatakan oleh Saudara Cin Hai tadi, dalam soal perjodohan, bukan teecu menampik, akan tetapi harus teecu minta nasihat Suhu terlebih dahulu.”

“Eh, siapa Suhumu yang beradat kukuh dan kuno itu?” tanya Nelayan Cengeng.

“Suhu adalah Eng Yang Cu.”

“Oh, tosu dari Kim-san itu? Ha, ha, aku suaah menduga bahwa engkau tentu anak murid Kim-san-pai, akan tetapi tak kuduga bahwa imam tua itu masih mau mencapaikan diri menerima seorang murid. Bagus, bagus! Kau tak usah menanyakan dia, karena kalau dia tahu bahwa engkau menjadi suami muridku, tentu dia setuju sepuluh bagian!”

“Teecu menghaturkan banyak terima kasih atas budi kebaikan Lo-cianpwe, akan tetapi sungguh, teecu pada waktu ini belum berani mengikat diri dengan perjodohan!”

Si Nelayan Cengeng yang sebenarnya bernama Kong Hwat Lojin ini memang mempunyai perasaan yang mudah sekali tersinggung, maka mendengar ucapan dan penolakan Kwee An, ia lalu membanting-banting kakinya dan tanah dimana kakinya terbanting menjadi berlubang setengah kaki lebih!

“Apa katamu? Kau menolak? Baik, akan tetapi kau harus mengajukan alasan yang kuat dan dapat diterima, kalau tidak jangan harap kau dapat meninggalkan tempat ini!”

Kini Cin Hai buru-buru berdiri dan mewakili Kwee An menjawab, karena ia cukup mengenal adat Kwee An yang biarpun pendiam akan tetapi keras hati dan tak kenal takut. Ia khawatir kalau-kalau Kwee An akan menjadi nekad dan membikin marah orang tua itu.

“Locianpwe, sesungguhnya Saudara Kwee An sama sekali tidak menolak dan bahkan merasa bahagia sekali karena mendapat kehormatan besar dan dipilih sebagai jodoh muridmu yang lihai. Akan tetapi ketahuilah bahwa saudaraku ini berada dalam keadaan berkabung dan sekarang sedang melakukan perjalanan dengan teecu untuk mencari musuh besarnya dan membalaskan sakit hati orang tua dan keluarganya yang terbunuh oleh musuh besar itu.”

Cin Hai lalu dengan singkat menuturkan pengalaman Kwee An dan betapa keluarga pemuda itu terbasmi oleh musuh-musuhnya. Mendengar tentang peristiwa yang menyedihkan ini, tak tertahan lagi Kong Hwat Lojin menangis tersedu-sedu hingga Kwee An merasa sangat terharu dan tak dapat menahan lagi keluarnya air mata yang membasahi pipinya.

“Jadi musuh-musuh yang belum terbalas itu adalah Hai Kong Hosiang dan seorang perwira? Ah, Hai Kong, engkau memang jahat sekali. Kalau kau kebetulan bertemu dengan aku, tentu kau akan kurendam dalam air sampai perutmu menjadi kembung!” katanya dengan marah. Kemudian ia teringat akan sesuatu dan berkata kepada Cin Hai,

“Kepandaian Hai Kong Hosiang kabarnya telah maju pesat karena ia selalu melatih diri dengan ilmu-ilmu silat baru. Tunangan Hoa-ji ini tentu tak dapat melawannya. Mungkin kau dapat menandingi hwesio itu, akan tetapi ketahuilah bahwa hwesio itu selain pandai ilmu silat, juga licin dan cerdik sekali. Apakah engkau mengerti ilmu dalam air?”

Cin Hai menggeleng kepalanya, juga Kwee An menyatakan bahwa ia hanya dapat berenang sedikit saja.






“Ah, kalau begitu, kalian harus berlatih dulu hingga kau akan siap menghadapi hwesio itu, baik di darat maupun di air!”

Cin Hai dan Kwee An merasa girang sekali dan semenjak hari itu, selama dua minggu mereka menerima latihan-latihan dari Nelayan Cengeng itu. Kwee An mendapat latihan ilmu pedang yang disebut Hai-liong-kiam-hwat atau Ilmu Pedang Naga Laut dan latihan napas untuk dapat bertahan di dalam air serta gerakan-gerakan renang, sedangkan untuk Cin Hai, nelayan itu mengatakan bahwa ia tidak berani memberi pelajaran ilmu pukulan karena kepandaian pemuda itu katanya sudah melebihi kepandaiannya sendiri. Maka Cin Hai lalu mendapat latihan bermain di dalam air.

Karena Cin Hai memang telah memiliki lweekang yang tinggi dan dapat menahan napas sampai lama, maka sebentar saja ia dapat menguasai ilmu itu dan dapat bermain di air bagaikan seekor ikan saja.

Tentu saja kedua pemuda itu merasa girang sekali. Selama dua minggu itu, Ma Hoa tidak muncul, akan tetapi pada saat Cin Hai dan Kwee An hendak meninggalkan Nelayan Cengeng dan melanjutkan perjalanan ke utara mencari Hai Kong Hosiang, tiba-tiba gadis itu mendatangi dengan naik perahu dari jauh.

Cin Hai lalu menunda keberangkatannya dan menanti kedatangan gadis itu, sedangkan Kwee An tidak berani mengangkat muka dan menunduk kemalu-maluan!

Ketika gadis itu meloncat ketuar dari perahu dan kebetulan Kwee An mengangkat muka memandang, ia menjadi tercengang dan tak kuasa mengalihkan pandangan matanya lagi dari gadis itu.

Ternyata bahwa kali ini Ma Hoa mengenakan pakaian wanita dan ia telah merubah diri menjadi seorang dara yang luar biasa cantiknya. Bajunya berwarna merah jambon, celananya sutera biru dan ikat pinggangnya serta pengikat rambutnya berwarna merah darah, berkibar-kibar tertiup angin gunung. Gagang pedang yang tergantung di pinggang menambah kegagahan dan kecantikannya. Diam-diam Cin Hai merasa girang sekali karena gadis ini memang pantas sekali menjadi jodoh Kwee An.

Nelayan Cengeng melebarkan kedua matanya ketika melihat pakaian muridnya itu.
“Aduh, sudah bertahun-tahun aku tidak melihat kau mengenakan pakaian seperti ini! Bagus muridku, bagus sekali. Kebetulan kau datang karena tunanganmu hendak pergi melanjutkan perjalanan.”

Memang orang tua ini terlalu sekali. kejujurannya yang luar biasa hingga ia menyebut Kwee An sebagai tunangan muridnya itu telah membuat kedua anak muda itu menjadi jengah dan malu sekali.

“Ma Hoa, kita adalah orang-orang sendiri dan bukanlah orang-orang lemah, apa artinya segala sikap malu-malu kucing? Kesinikan pedangmu!”

Biarpun ia keras hati, akan tetapi Ma Hoa tunduk dan takut kepada suhunya yang menganggapnya sebagai anak sendiri, maka sambil menundukkan kepala ia bertindak maju.

Langkahnya lemah gemulai dan menarik hati sekali. Dengan perlahan dan tangan gemetar ia melolos pedangnya dan diberikan kepada suhunya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun karena ia tahu bahwa jika ia mengeluarkan suara, maka suaranya akan terdengar menggigil.

Nelayan Cengeng gembira, lalu ia berkata kepada Kwee An dengan suara memerintah,
“Kwee An, terimalah pedang ini dan sebagai gantinya kau harus memberikan pedangmu kepada tunanganmu!”

Dengah sikap menghormat, Kwee An menerima pedang itu, kemudian ia mencabut pedangnya sendiri dan hendak diberikan kepada kakek itu. Akan tetapi, tiba-tiba Cin Hai yang sedang bergirang hati, berkata,

“Saudaraku, engkau tidak boleh memberikan kepada Locianpwe. Harus kau berikan sendiri kepada tunanganmu! Bukankah begitu, Locianpwe?”

Nelayan Cengeng itu memandang dengan heran kepada Cin Hai, akan tetapi hanya sebentar saja karena ia tertawa bergelak dan berkata,

“Benar, benar! Cin Hai berkata betul sekali! Kau harus memberikan sendiri kepada tunanganmu agar kalian jangan terus bersikap malu-malu kucing!”

Dapat dibayangkan betapa malunya kedua anak muda itu karena godaan kedua orang ini. Dengan hati berdebar-debar Kwee An menghampiri Ma Hoa dan mengangsurkan pedang itu. Akan tetapi, karena dara itu sedang menunduk dan sama sekali tidak berani mengangkat muka dan tidak melihat ia mengangsurkan pedang, maka gadis itu tidak menerima pedang yang diberikan kepadanya. Kwee An menjadi bingung dan serba salah, terpaksa ia menggerakkan bibirnya memanggil,

“Moi… eh… Siocia, kau terimalah pedang ini!”

Barulah Ma Hoa mengangkat mukanya. Dua pasang mata bertemu dengan mesra dan cepat sekali Ma Hoa menyambar pedang itu lalu dimasukkan ke dalam sarung pedang dan ia lalu tertunduk kembali!

“Ah, salah… salah…!” Cin Hai menggoda terus. “Saudara An, kau harus memanggil moi-moi, dan Ma Hoa harus memanggil koko, ini baru benar!”

Bukan main girangnya Nelayan Cengeng itu. Ia bersorak-sorak dan meloncat-loncat sambil bertepuk-tepuk tangan.

“Benar, benar…! Bagus…”

Ma Hoa tak dapat menahan lagi jengah dan malunya. Setelah mengerling sekali lagi ke arah Kwee An dan melempar senyum yang mesra dan penuh arti, dara ini lalu lari ke perahunya mendayung pergi secepatnya! Cin Hai dan Nelayan Cengeng tertawa terbahak-bahak.

“Nah, kalian pergilah, pergilah! Cepat pergi dan lekas kembali!” kata Kong Hwat Lojin sambil bertindak pergi.

Kwee An dengan mulut cemberut lalu berkata kepada Cin Hai,
“Cin Hai, kau sungguh terlalu! Menggoda orang sampai hampir mati karena malu. Awas, kalau kelak bertemu kembali dengan Lin Lin, pasti akan kubalas sepuas hatiku!”

Mendengar nama ini, tiba-tiba Cin Hai termenung. Ia lalu teringat akan gadis kekasihnya itu dan merasa sedih sekali. Akan tetapi, cepat ia dapat menekan perasaannya dan berkata,

“Aah, bukankah godaan-godaan tadi diam-diam membikin engkau berbahagia sekali?”

Kwee An tak dapat menjawab, hanya tersenyum dan memukul bahu Cin Hai. Keduanya lalu melanjutkan perjalanan ke utara, akan tetapi seperempat bagian dari hati dan perasaan Kwee An tersangkut pada duri bunga Botan yang tumbuh di pinggir Sungai Liong-kiang itu!

Beberapa pekan kemudian, Cin Hai dan Kwee An telah tiba di perbatasan Tiongkok Utara dimana bertemu dengan suku-suku Mongol dan Mancu yang hidup secara berkelompok. Pada suatu hari mereka tiba di sebuah sungai yang cukup besar dan melihat sebuah perahu yang dihias mewah sekali di tengah itu.

Orang-orang Mongol dari suku Jungar hilir mudik naik turun perahu itu mengangkut kantong-kantong yang agaknya berat. Di antara suku-suku Jungar ini, banyak yang sering merantau ke pedalaman Tiongkok hingga mereka dapat berbicara dalam bahasa Han, yang biarpun kaku akan tetapi cukup dimengerti oleh Cin Hai dan Kwee An.

Dari mereka ini kedua pemuda itu mengetahui bahwa perahu itu adalah milik seorang Pangeran Mongol bernama Vayami. Pangeran ini telah bertukar nama karena ia telah memeluk Agama Buddha Merah, dan bahkan menjadi pemuka dari pada Agama Sakya Buddha ini. Barang-barang yang diangkut ke dalam perahu itu adalah sumbangan-sumbangan dari pada para pemeluk Agama Buddha yang diberikan kepada Pangeran Vayami.

Ketika Cin Hai dan Kwee An sedang melihat di pinggir sungai, tiba-tiba mereka melihat Hai Kong Hosiang di atas perahu itu. Hwesio ini dapat dikenal dengan mudah karena jubahnya yang berwarna kotak-kotak merah putih dan kepalanya yang gundul licin.

Pada saat itu, perahu telah bergerak ke tengah dan hendak meninggalkan tempat itu, sedangkan para pemeluk agama yang berdiri di tepi sungai berlutut memberi hormat yang terakhir kepada Pangeran Vayami.






Tidak ada komentar :