*

*

Ads

Rabu, 08 Mei 2019

Pendekar Bodoh Jilid 056

Cin Hai dan Kwee An lalu menggenjot tubuh mereka dan meloncat ke atas perahu hingga mereka yang melihat perbuatan kedua pemuda Han ini berseru marah. Hai Kong Hosiang dengan mata terbelalak dan tindakan lebar menyambut kedatangan pemuda itu dengan bentakan,

“Dua ekor anjing rendah dari manakah berani memperlihatkan kekurang-ajaran di sini?”

“Hai Kong Hosiang, pendeta keparat! Ajalmu sudah berada di depan mata, kau masih banyak bertingkah lagi?” Kwee An balas membentak dan memaki.

Hai Kong Hosiang memandang anak muda itu dan ia lalu teringat dan mengenal wajah Kwee An,

“Eh, kau masih belum mampus bersama Ayahmu?” Tiba-tiba tangan kanannya mencabut keluar tongkat ularnya yang lihai sambil berkata. “Baik, kalau begitu biarlah ini hari kuselesaikan pekerjaan dulu yang agaknya kurang sempurna agar kau tidak menjadi penasaran!”

Sambil berkata demikian, ia maju ke arah Kwee An, akan tetapi pada saat itu, pintu kamar yang terdapat di perahu itu terbuka dan muncul seorang pemuda yang berwajah tampan dan berpakaian pendeta jubah merah. Pendeta ini membentak dengan suaranya yang halus,

“Hai Kong bengyu, tahan dulu!”

Kemudian ia keluar dengan tindakan kaki yang halus, dan anehnya, Hai Kong Hosiang nampak hormat sekali kepadanya, karena pendeta gundul ini lalu menahan senjata dan menjura.

Pemuda ini bukan lain ialah seorang pangeran yaitu Pangeran Vayami sendiri. Vayami memandang kepada Kwee An dan Cin Hai, lalu merangkap kedua tangannya dan berkata dalam bahasa Han yang fasih,

“Jiwi-enghiong (Kedua Tuan yang Gagah Perkasa) telah memberi kehormatan kepadaku dan mengunjungi perahu ini, tidak tahu hendak memberi pelajaran apakah?”

Kwee An dan Cin Hai tercengang melihat Pangeran Mongol yang pandai berbahasa Han dan yang halus tutur sapanya ini, juga mereka merasa heran melihat bahwa kepala agama ini ternyata masih muda sekali takkan lebih dari dua puluh lima tahun usianya! Cin Hai lalu merangkapkan kedua tangan pula dan membalas hormat, diikuti oleh Kwee An.

“Maafkan kami berdua yang tidak tahu adat. Oleh karena melihat hwesio jahat ini berada di atas perahu, kami menjadi lupa diri dan dengan lancang melompat ke atas perahumu. Akan tetapi, kami berdua sama sekali tak hendak mengganggu kepada Tuan, dan urusan kami hanyalah dengan hwesio yang bernama Hai Kong Hosiang ini, karena dia adalah pembunuh keluarga kami dan kami sengaja datang hendak mengadu jiwa dengannya.”

Pangeran Vayami tersenyum halus, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar tajam yang membuat Cin Hai terkejut sekali karena ia dapat menduga bahwa selain memiliki tenaga lweekang yang tinggi juga pangeran ini berpengaruh dan cerdik.

“Jiwi-enghiong yang muda dan gagah! Kiranya Jiwi pun mengerti akan aturan tuan rumah dan tamunya. Hai Kong Hosiang Suhu adalah menjadi tamu kami dan oleh karenanya, selama dia berada di atas perahuku, aku harus melindunginya dengan segala tenaga, bahkan dengan jiwaku sekalipun. Maka, kuharap Jiwi suka memandang mukaku dan tidak mengganggunya selama dia masih berada disini!”

Setelah berkata demikian, pangeran itu menggerakkan kedua tangannya dan bertepuk tangan tiga kali. Tiba-tiba dari segala sudut keluarlah lima orang pendeta Sakya yang berjubah merah dan nampak kuat serta pandai ilmu silat.

Cin Hai dapat merasai kebenaran ucapan pangeran itu, maka ia lalu menuding kepada Hai Kong Hosiang,

“Hai Kong! Kau tentu masih cukup gagah untuk mengakui kedosaan dan perbuatanmu dan tentu tidak begitu pengecut untuk lari dari tuntutan balas kami. Kalau kau memang laki-laki maka harap kau mau turun ke darat dan marilah kita bertanding mengadu jiwa, menentukan siapa yang lebih pandai!”

Hai Kong Hosiang tadi telah melihat gerakan Cin Hai ketika melompat ke dalam perahu, maka ia maklum bahwa anak muda ini jauh lebih lihai daripada Kwee An, maka ia berkata,

“Jangan kau mengacau dan membuka mulut sembarangan. Aku Hai Kong Hosiang tak pernah lari dari musuh-musuhku. Akan tetapi yang kubunuh adalah keluarga pemuda ini, dan kau tidak mempunyai sangkut paut dengan urusan itu, mengapa kau ikut campur?”

“Ha-ha-ha, hwesio gundul yang palsu! Kau juga telah mempunyai hutang padaku. Ingatkah kau dahulu ketika kau bertemu melawan Kanglam Sam-lojin di depan Kuil Ban-hok-tong di Tiang-an? Anak kecil yang meniup suling dan yang hendak kau bunuh dulu itu siapa? Lihat mukaku baik-baik, dan kau tentu akan ingat bahwa kau sekarang berhadapan dengan anak itu yang kini hendak membalas kebaikan budimu dulu!”

Hai Kong Hosiang terkejut. Ia ingat bahwa anak ini ia lihat bersama dengan Ang I Niocu di dalam gua Tengkorak itu, maka diam-diam ia merasa agak jerih. Akan tetapi, Hai Kong Hosiang adalah seorang gagah yang telah lama malang-melintang di dunia kang-ouw dan jarang bertemu tanding, maka tentu saja ia sama sekali tidak takut menghadapi dua orang anak muda yang masih hijau itu.

“Bagus, kalau begitu, kebetulan sekali. Engkau pun rupanya sudah bosan hidup?”






“Hwesio keparat kau turunlah ke darat!” Kwee An membentak marah.

“Ha, ha! Siapa sudi menurut perintah dua ekor anjing cilik! Aku akan turun kalau aku suka dan sekarang aku belum ada ingatan untuk turun dan melayani kalian.”

Cin Hai menjura kepada Pangeran Vayami.
“Maaf, karena hwesio ini membandel, terpaksa kami berlaku kurang ajar dan bertindak disini!”

Pangeran Vayami sambil tersenyum berkata.
“Cobalah kalau engkau dapat, karena aku tak mungkin tinggal diam melihat tamuku diganggu.”

Ia lalu memberi tanda dan kelima orang pendeta Sakya itu lalu maju dengan sikap mengancam dan mengurung Cin Hai serta Kwee An!

“Saudara An, kau lawanlah lima boneka merah itu dan aku akan membinasakan kera tua ini!”

Bukan main marahnya Hai Kong Hosiang mendengar dirinya dimaki “kera tua”! Ia lalu berseru nyaring dan senjatanya yang luar biasa, yaitu seekor ular kering itu meluncur dan menyerang ke arah tenggorokan Cin Hai. Cin Hai berlaku gesit dan waspada, ia lalu mengelak mundur sambil mencabut Liong-coan-kiam.

Kelima pendeta Sakya itu bersenjata tongkat dan mereka lalu mengeroyok Kwee An yang memutar pedangnya dengan hebat. Ternyata bahwa kelima pendeta Mongol itu hanya memiliki tenaga hebat dan kuat bagaikan kerbau jantan, akan tetapi kepandaian silat mereka tak seberapa tinggi, hingga Kwee An tak sampai terdesak oleh mereka.

Akan tetapi, bagi pemuda itu pun tidak mudah merobohkan mereka karena ia harus berlaku hati-hati sekali. Biarpun serangan lawan-lawannya tidak cukup gesit dan berbahaya, namun karena tenaga mereka besar sekali, maka sekali saja terkena pukul tongkat mereka, ia pasti akan celaka! Maka ia berlaku tenang dan hati-hati dan menjaga diri dengan kuatnya, sedikit pun tak memberi waktu kepada mereka untuk dapat memukulnya.

Yang hebat adalah pertarungan antara Cin Hai dan Hai Kong Hosiang. Pendeta ini benar-benar telah mendapat banyak kemajuan dalam ilmu silatnya seperti yang pernah dikatakan oleh Nelayan Cengeng. Karena berkali-kali bertemu dengan lawan-lawan yang tangguh seperti Bu Pun Su, Biauw Suthai, dan yang lain-lain, dan semenjak kena dikalahkan oleh Biauw Leng Hosiang, pendeta ini lalu melatih diri dan mempelajari ilmu silat lain yang tinggi untuk menambah kepandaiannya. Bahkan dalam perjalanannya ke utara, ia sengaja mengunjungi tokoh-tokoh ternama untuk bertukar ilmu silat dan mempelajari kepandaian mereka itu.

Maka dalam pertempuran Cin Hai kali ini, pemuda itu pun harus mengakui bahwa ilmu silat pendeta ini jauh lebih hebat daripada ketika ia bertempur di dalam Gua Tengkorak. Terutama tongkatnya yang hebat itu, yang di dalam tangannya seakan-akan berubah menjadi seeor ular berbisa yang masih hidup, sangat berbahaya sekali.

Biarpun Cin Hai sudah dapat menduga gerakan dalam tiap serangan yang hendak dilancarkan, akan tetapi karena senjata lawannya ini berbahaya dan berbisa, ia menjadi sibuk juga dan terpaksa berlaku hati-hati sekali. Ia lalu mengeluarkan limu Silat Sian-li Utauw pelajaran Ang I Niocu, karena dengan ilmu silat ini ia dapat bergerak gesit sekali dan tubuhnya berkelebat ke sana ke mari menolak serangan lawan dan melakukan serangan balasan yang tak kalah hebatnya.

Melihat pertempuran-pertempuran itu, terutama pertempuran antara Cin Hai dan Hai Kong Hosiang, Pangeran Vayami merasa kagum sekali. Pangeran muda ini berdiri di depan pintu kamarnya dan menonton dengan mata berseri. Ia kagum sekali melihat permainan silat Cin Hai karena ia maklum bahwa terhadap Hai Kong Hosiang, pemuda ini hanya kalah pengalaman dan kalah senjata saja. Namun, betapa herannya ketika ia melihat bahwa pemuda itu makin lama makin hebat permainan silatnya dan beberapa kali gerakan pemuda itu berubah-ubah.

Memang untuk mengacaukan permainan lawannya yang tangguh, Cin Hai sengaja mencampur permainan silatnya dengan ilmu silat lain. Kadang-kadang ia mengeluarkan jurus Liong-san-kiam-hoat, Ngolian-kiam-hoat, bahkan seringkali ia mengimbangi permainan ilmu tongkat Hai Kong Hosiang, yaitu yang berdasarkan jian-coa-kiam-sut atau Ilmu Pedang Seribu Ular.

Hai Kong Hosiang tercengang dan heran sekali hingga ia menunda serangannya dan membentak,

“Bangsat dan maling rendah! Dari mana kau curi ilmu pedangku?”

“Ha, ba, gundul tua berbatin kotor! Siapa sudi mencuri ilmu pedangmu yang tak berguna? Lihatlah, aku mempunyai ilmu pedang yang menjadi nenek moyang ilmu pedangmu itu!”

Setelah berkata demikian, Cin Hai lalu menyerang dengan pedangnya dan Hai Kong Hosiang hampir berseru karena heran dan terkejut, karena Cin Hai benar-benar menyerangnya dengan Ilmu Pedang Jian-coa-kiam-sut, akan tetapi jauh lebih sempurna.

Padahal sebetulnya Cin Hai hanya meniru-niru serangan Hai Kong tadi, hanya saja karena ia telah dapat memecahkan rahasia dasar ilmu silat yang telah dimainkan itu, ia dapat mencari pula ciri-cirinya dan dapat memperbaikinya. Tentu saja gerakannya ini belum matang karena tak pernah dilatih, akan tetapi cukup membuat Hai Kong Hosiang terkejut dan jerih. Tak disangkanya bahwa pemuda ini demikian hebat kepandaiannya.

Kehebatan meniru ilmu silat-ilmu silat ini mengingatkan ia akan Bu Pun Su karena pernah pula ia dipermainkan oleh jembel tua itu, maka tentu saja ia menjadi khawatir dan jerih. Namun, karena melihat bahwa Cin Hai hanya seorang pemuda yang baru dewasa, ia memperkuat hatinya dan sambil membentak keras ia menyerang lagi.

Kini tangan kirinya mencabut keluar sebatang sabuk ular yang penuh bisa. Jangankan sampai terpukul oleh sabuk ini bahkan baru keserempet sedikit saja, racun ular yang mengenai kulit dapat menimbulkan rasa gatal yang hebat dan cepat sekali racun itu dapat meresap ke dalam daging dan meracuni darah hingga membahayakan jiwa lawannya.

Baru saja sabuk ular itu tercabut keluar, Cin Hai telah mencium bau yang amat amis, maka tahulah dia akan bahaya dan lihainya senjata istimewa ini. Ia lalu menggunakan tangan kirinya mencabut keluar sulingnya dan untuk mengimbangi lawan, ia mempergunakan dua macam senjata pula di tangan kanan pedang Liong-coan-kiam, di tangan kiri suling bambunya!

Melihat suling ini, Hai Kong Hosiang menjadi marah karena ia teringat akan peristiwa dulu ketika Cin Hai masih kecil dan dengan suling bambunya telah menggagalkannya untuk mengalahkan Kanglam Sam-lojin, bahkan yang mengakibatkan matinya kelima ularnya karena Bu Pun Su menjatuhkan tangan kejam! Maka ia lalu menyerang sambil berteriak,

“Anak setan, kali ini kalau belum menghancurkan kepalamu, aku takkan puas!”

Cin Hai diam-diam merasa girang melihat kemarahan Hai Kong Hosiang ini, dan ia melayani serbuan hwesio itu dengan tenang, akan tetapi kegesitan dan kehebatan ilmu pedangnya yang dicampur dengan gerakan-gerakan sulingnya tidak dikurangi kecepatannya. Kedua orang ini bertempur mati-matian hingga bayangan kedua orang ini tak tampak lagi, tertutup oleh sinar senjata masing-masing.

Sementara itu, Kwee An yang mengamuk dengan Kim-san-kiam-hoatnya telah berhasil merobohkan dua orang pengeroyoknya hingga Pangeran Vayami menjadi terkejut sekali. Pangeran yang cerdik ini maklum bahwa kedua anak muda yang mengacau di atas perahunya adalah orang-orang tangguh dan jika dilawan terus akan membahayakan keselamatannya, maka ia lalu memberi aba-aba dalam bahasa Mongol.






Tidak ada komentar :