*

*

Ads

Sabtu, 11 Mei 2019

Pendekar Bodoh Jilid 063

Sedangkan di tengah tengah tumpukan tengkorak yang dinaiki kakek tua renta tadi pun terdapat sebuah kepala yang kini mengeluarkan suara tertawa terkekeh-kekeh menyeramkan. Akan tetapi, tiba-tiba rasa ngeri dan takut di dalam hati Ang I Niocu berubah rasa girang oleh karena ia segera dapat mengenal suara ketawa terkekeh ini. Bu Pun Su, kakek gurunya orang luar biasa itu, entah bagaimana telah bersembunyi di dalam tumpukan tengkorak yang diinjak oleh kakek tua renta itu.

Memang benar, ketika tiba-tiba di dalam tumpukan terjadi gerakan yang membuat semua tengkorak menggelinding ke sana ke mari, muncullah Bu Pun Su dari tumpukan itu sambil berseri mukanya dan mulutnya tertawa geli. Dengan gerakan sebelah tangannya, Bu Pun Su membuat tumpukan yang satu lagi menjadi runtuh dan dari dalam tumpukan itu muncullah seorang suku bangsa Jungar yang sudah tua sekali dan yang sama sekali tidak dikenal oleh Ang I Niocu.

Ternyata orang tua bangsa Mongol ini adalah dukun atau ahli pengobatan yang ikut dalam rombongan Pangeran Vayami dan yang telah diculik oleh Bu Pun Su dan dibawa ke situ serta dipaksa masuk dan bersembunyi di dalam tumpukan tengkorak.

Hai Kong Hosiang menjadi pucat sekali ketika melihat Bu Pun Su. Ia maklum akan kelihaian kakek jembel ini, akan tetapi oleh karena ia ditemani oleh kakek tua renta yang bukan lain adalah supeknya (uwa gurunya) yang bernama Kam Ki Sianjin, orang yang sudah tua usianya hingga telah gagu tak dapat bicara pula, maka Hai Kong Hosiang berbesar hati dan mengandalkan tenaga supeknya ini untuk melawan Bu Pun Su.

“Supek, inilah Bu Pun Su si manusia jahil yang telah berkali-kali menggangu teecu!”

Hai Kong Hosiang berkata sambil menuding ke arah Bu Pun Su yang masih berdiri sambil tertawa. Kam Ki Sianjin masih dapat menggunakan telinganya untuk mendengar, bahkan ia memiliki ketajaman pendengaran yang luar biasa, akan tetapi lidahnya telah membeku dan ia tak dapat berbicara lagi. Maka ia lalu menatap wajah Bu Pun Su dan tiba-tiba menepuk kedua tangan sekali, menunjuk ke arah Bu Pun Su dengan tangan kiri dan arah diri sendiri dengan tangan kanan, lalu mengangkat kedua tangan itu ke atas kepala dengan jari-jari ke atas dan sama tingginya. Ia hendak menyatakan bahwa dia dan Bu Pun Su boleh mengadakan pibu karena tingkat kepandaian mereka sama tingginya.

Bu Pun Su tertawa lagi dengan hati geli, kemudian ia pun menepuk tangan, menuding ke arah tengkorak-tengkorak yang bergelimpangan di bawah dan ke arah Kam Ki Sianjin, lalu menurunkan kedua tangannya ke bawah, sama rendahnya. Ia hendak menyatakan bahwa Kam Ki Sianjin mempunyai tingkat yang sama rendahnya dengan tengkorak-tengkorak itu! Ini bukan semata-mata penghinaan yang tak berdasar oleh karena Bu Pun Su tahu bahwa kakek tua renta itu berjuluk Si Tengkorak Hidup.

Kam Ki Sianjin menjadi marah sekali dan segera melompat maju menyerang Bu Pun Su. Gerakannya cepat bagaikan menyambarnya kilat hingga Ang I Niocu terkejut sekali oleh karena belum pernah ia menyaksikan ginkang demikian tingginya, lalu menepuk pundak Cin Hai yang memandang semua itu dengan bengong tapi nyata kelihatan tertarik sekali. Ketika ia menengok ke arah Ang I Niocu yang menepuk pundaknya, Ang I Niocu berkata,

“Hai-ji, hwesio tinggi besar itu adalah Hai Kong Hosiang dan ia adalah musuh besarmu. Hayo kita serang dia!”

“Aku tidak punya musuh. Apakah engkau bermusuhan dengan dia?” tanya Cin Hai.

Ang I Niocu menjadi gemas dan ia berkata keras,
“Ya, ya, dia musuh besarku, hayo kita serang dia!”

“Baik! Kalau dia musuhmu, aku, akan menyerang dia!”

Ia lalu melompat dan menyerang Hai Kong Hosiang yang melayaninya sambil memaki-maki.

“Ang I Niocu! Perempuan rendah, perempuan curang!”

“Bangsat gundul, hari ini kau harus mampus!”

Ang I Niocu berseru marah dan mencabut pedangnya, terus membantu Cin Hai mengeroyok hwesio itu.

Demikianlah, disaksikan oleh puluhan tengkorak yang bergelimpangan di atas tanah dan oleh dukun tua berbangsa Mongol yang berdiri tak bergerak bagaikan hantu malam, di tempat yang mengerikan itu terjadi perkelahian hebat sekali.

Yang paling hebat adalah perkelahian yang terjadi antara Bu Pun Su dan Kam Ki Sianjin, oleh karena di tempat mereka bertempur itu tidak kelihatan apa-apa sama sekali, yang ada hanyalah dua bayangan yang berkelebat ke sana ke mari bagaikan dua iblis sedang bertempur.






Tak terdengar suara tangan atau kaki mereka, akan tetapi di sekitar tempat mereka bertempur itu bertiup angin keras yang membuat tengkorak-tengkorak yang tadi menggelinding dekat, kini menggelinding lagi menjauhi seakan-akan tengkorak itu takut dan ngeri menyaksikan pertandingan yang dahsyat itu dari dekat!

Sementara itu, dikeroyok dua oleh Cin Hai dan Ang I Niocu, Hai Kong Hosiang merasa sibuk sekali. Baru menghadapi seorang di antara mereka saja, terutama Cin Hai, ia takkan dapat menang, apalagi kini dikeroyok dua! Ia telah mengeluarkan seluruh kepandaiannya, bahkan ia telah memainkan tongkat ularnya dengan ganas, akan tetapi tetap saja terdesak hebat oleh pedang Ang I Niocu dan kepalan tangan Cin Hai!

Sebetulnya, selama beberapa hari ini, kepandaian Hai Kong Hosiang, terutama lweekang dan khikangnya, telah naik dan maju pesat sekali oleh karena ia mendapat latihan lweekang dengan berjungkir balik dari supeknya, yaitu Kam Ki Sianjin!

Akan tetapi oleh karena latihannya belum masak benar, maka kini menghadapi dua orang muda yang tangguh itu, ia tak berdaya dan terdesak hebat. Keringat dingin mengucur dari jidatnya dan setiap saat jiwanya terancam bahaya maut.

Tiba-tiba terdengar suara Bu Pun Su tertawa bergelak dan dari tempat ia bertempur, nampak bayangan Kam Ki Sianjin melesat keluar dari kalangan pertempuran, dan kakek tua renta ini langsung menyambar ke arah Hai Kong Hosiang dan tahu-tahu ia telah dikempit dengan gerakan cepat sekali!

Ternyata bahwa Kam Ki Sianjin tak kuat melawan Bu Pun Su dan ketika ia hendak kabur, ia melihat betapa Hai Kong Hosiang terdesak, maka ia mempergunakan kecepatan untuk menolong murid keponakannya itu dan membawa lari dari situ!

Bu Pun Su masih tertawa bergelak ketika Ang I Niocu menjatuhkan diri berlutut di depannya. Akan tetapi Cin Hai yang tidak ingat siapa adanya kakek tua kosen ini, hanya berdiri dengan bingung dan memandang dengan sinar mata kosong.

“Bagus, Im Giok. Kau telah dapat menolongnya sebelum terlambat. Dan orang Mongol inilah yang akan menyembuhkannya!”

Bu Pun Su lalu memanggil dukun tua itu mendekat, lalu ia menunjuk kepada Cin Hai sambil berkata dalam bahasa Mongol,

“Obatmu yang membuat dia menjadi seperti itu dan obatmu pula yang harus menyembuhkannya!”

Dukun tua bangsa Mongol itu mengangguk-angguk dan dengan tenang ia mengeluarkan sebuah guci tanah kecil dari kantung dalam.

“Cin Hai, kau majulah dan terimalah pengobatan dari dukun sihir ini!” berkata Bu Pun Su dengan suara memerintah kepada Cin Hai yang tidak mengenal nama sendiri dan tidak mengenal pula kakek lihai itu.

“Anak tolol!!”

Bu Pun Su mencela dan tiba-tiba kakek ini berkelebat ke arah muridnya dan menyerang dengan sebuah totokan. Akan tetapi Cin Hai cepat mengelak dan setelah tujuh kali menyerang dengan gagal, barulah ke delapan kalinya Bu Pun Su berhasil menotok Cin Hai hingga pemuda itu roboh tak ingat orang!

Disini dapat diukur kepandaian Bu Pun Su dan kelihaian Cin Hai pula oleh karena biasanya tiap kali menyerang orang, jarang ada yang dapat mengelak dari serangan kakek jembel ini!

Setelah Cin Hai dibikin tidak berdaya, dukun itu lalu menuangkan isi guci yang berbau harum ke mulut Cin Hai, kemudian ia memijit-mijit dan mengurut-urut kepala pemuda itu.

Agaknya dukun itu bekerja dengan sepenuh tenaga dan semangat oleh karena ternyata bahwa seluruh mukanya berpeluh, padahal malam itu hawa amat dingin! Akhirnya, setelah beberapa lama ia mengurut-urut kepala Cin Hai, ia berdiri sambil mengangguk-anggukkan kepalanya kepada Bu Pun Su. Kakek ini lalu maju dan menepuk pundak Cin Hai yang segera sadar,

Pemuda ini seakan-akan baru sadar dari sebuah mimpi buruk. Ia memandang dan ketika melihat Ang I Niocu, ia tersenyum. Sebaliknya ketika melihat suhunya berada di situ pula, ia cepat menjatuhkan diri berlutut sambil berkata,

“Maafkan teecu, suhu. Teecu tidak tahu bahwa Suhu datang di sini dan… dan… sebenarnya teecu berada di manakah?”

Bu Pun Su tertawa terkekeh-kekeh, tanda bahwa hatinya girang sekali melihat betapa muridnya telah sembuh kembali. Juga Ang I Niocu tak dapat menahan keharuan hatinya hingga dua titik air mata melompat keluar dari pelupuk matanya.

Ang I Niocu lalu menuturkan betapa ia mendapatkan pemuda itu berada dalam rombongan Pangeran Vayami dalam keadaan linglung dan hilang ingatan. Kemudian dukun bangsa Mongol itu melanjutkan cerita Ang I Niocu, menceritakan betapa rombongan pangeran itu menolong Cin Hai dari dalam air dan memberi madu merah.

Maka teringatlah Cin Hai bahwa ketika itu ia berkelahi mati-matian dengan Hai Kong Hosiang dan akhirnya ia hanyut dalam sungai dalam keadaan pingsan. Cin Hai berlutut lagi di depan suhunya dan berkata,

“Baiknya Suhu datang dan membawa dukun ini untuk menyembuhkan teecu. Kalau tidak, entah bagaimana dengan keadaan teecu.”

“Ha, ha, kalau aku tidak mendengar tentang keadaanmu, tentu saja sampai sekarang kau masih menjadi pendekar tolol dan Im Giok masih bingung dan sedih. Hai, Im Giok, setelah Cin Hai sembuh, mengapa kau masih saja berduka?” tanya Bu Pun Su kepada Ang I Niocu.

Mendengar pertanyaan ini, Gadis Baju Merah itu menahan air matanya dan ia pun lalu bertutut sambil berkata,

“Susiok-couw, bagaimana teecu takkan bersedih? Adik Lin Lin telah terculik oleh Boan Sip dan suhunya yang lihai, yaitu Bo Lang Hwesio!”

Cin Hai terkejut sekali dan menjadi pucat mendengar ini, dan Ang I Niocu lalu menuturkan pengalamannya. Tak tertahan lagi kesedihan hati Cin Hai, ia lalu berdiri dan membanting-banting kakinya.

“Boan Sip, kalau kau sampai mengganggu Lin Lin, aku Cin Hai akan mengejarmu biar kau lari sampai ke neraka sekalipun!”

Pemuda ini mengepal-ngepal tinjunya dan matanya menyinarkan kemarahan besar. Bu Pun Su melihat ini lalu mengangguk-angguk maklum.

“Jadi Nona Lin Lin adalah puteri Kwee ciangkun? Bagus, bagus, Im Giok, kali ini kau benar-benar harus dipuji!”

Sehabis mengeluarkan ucapan yang tak dimengerti oleh Cin Hai akan tetapi dapat dimengerti oleh Ang I Niocu itu, Bu Pun Su lalu mengempit tubuh dukun bangsa Mongol yang tadi menolong Cin Hai, lalu berkata,

“Biarlah aku Si Tua Bangka melakukan sebuah tugas lagi. Akulah yang akan mencari tunanganmu, Cin Hai!”

Cin Hai dan Ang I Niocu cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut sambil menghaturkan terima kasih, akan tetapi ketika mereka mengangkat muka memandang, ternyata kakek jembel itu telah lenyap dari situ.

Setelah suhunya pergi, mereka berdua dapat bercakap-cakap dengan leluasa dan kembali Ang I Niocu menuturkan pengalamannya dengan lebih jelas dan panjang lebar. Kemudian Ang I Niocu bertanya,

“Dan di manakah adanya Kwee An? Aku telah bertemu dengan Ma Hoa dan mendengar akan perjodohan anak muda itu.”

Dengan sedih Cin Hai menuturkan pengalamannya dengan Kwee An ketika bertempur dengah Hai Kong Hosiang dan pengawal-pengawal Pangeran Vayami, hingga Kwee An tercebur ke dalam air sungai yang deras.

“Entah bagaimana dengan nasib Kwee An,” Cin Hai menutup ceritanya dengan penuh hati kuatir, “mari kita mencarinya dan sekalian mencari Hai Kong Hosiang si keparat itu!”

Keduanya lalu meninggalkan tempat itu dan ketika Ang I Niocu mencari kuda putihnya, ternyata kuda itu telah lenyap dan di atas tanah dapat dibaca coret-coretan di atas tanah yang berbunyi,

“Kuda dan dukun yang dipinjam harus dikembalikan kepada pemiliknya!”

Kedua anak muda itu maklum bahwa ini tentu perbuatan Bu Pun Su yang berwatak aneh dan penuh rahasia. Maka mereka melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sambil bercakap-cakap dengan asyik.

**** 063 ****





Tidak ada komentar :