*

*

Ads

Sabtu, 11 Mei 2019

Pendekar Bodoh Jilid 064

Kita ikuti Lin Lin yang ditangkap dan dibawa lari oleh Boan Sip, perwira yang lihai itu. Biarpun Boan Sip mempergunakan ilmu larinya yang cukup tinggi, akan tetapi tak lama kemudian ia dapat tersusul oleh gurunya yaitu Bo Lang Hwesio. Mereka berdua lalu membawa Lin Lin ke sebuah rumah yang telah disediakan oleh Boan Sip untuk tempat tinggal sementara ia bersembunyi dari kejaran musuhnya.

Menurut kehendak Boan Sip ia hendak membunuh gadis itu, akan tetapi Bo Lang Hwesio melarangnya, dan adanya hwesio ini menyelamatkan jiwa Lin Lin, oleh karena Boan Sip sama sekali tidak berani mengganggu atau mencelakainya.

“Kau bermusuhan dengan keluarga Kwee hanya oleh karena engkau ingin mengawini gadis ini. Sekarang keluarga Kwee telah terbasmi dan gadis ini telah kau tawan, kalau engkau membunuhnya pula, maka hal ini adalah keterlaluan sekali. Boan Sip, aku tidak peduli akan segala perbuatanmu yang kau lakukan menghadapi urusan-urusan pribadi, akan tetapi aku merasa malu kalau engkau melakukan gangguan terhadap seorang gadis di depan mataku. Selama engkau minta pembelaanku dan aku berada disini, aku takkan mengizinkan engkau berlaku sesuka hatimu, kecuali kalau engkau sudah tidak membutuhkan tenaga bantuanku lagi!”

Tentu saja Boan Sip tak berdaya. Ia merasakan perlunya Bo Lang Hwesio mengawaninya, oleh karena selama Cin Hai dan Kwee An masih belum dibunuh dan berkeliaran mencarinya, ia merasa tidak aman kalau berada jauh dari gurunya.

Oleh karena ini maka ia terpaksa menurutinya hingga Lin Lin hanya dikurung dalam sebuah kamar saja dengan tak berdaya melarikan diri oleh karena jalan darahnya telah ditotok hingga ia tak dapat mempergunakan tenaganya!

Pada beberapa hari kemudian, di waktu malam, di atas genteng rumah persembunyian Boan Sip nampak berkelebat bayangan hitam yang tak dapat diikuti dengan pandangan mata hingga kalau kebetulan ada orang yang melihat bayangan itu, ia takkan tahu apakah bayangan itu bayang-bayang burung yang sedang terbang atau bayangan apa.

Akan tetapi Bo Lang Hwesio yang sedang duduk bersamadhi di dalam kamarnya, dapat mendengar desir angin yang lain daripada desir angin biasa. Selagi ia masih berada dalam keadaan curiga dan ragu-ragu, tiba-tiba dari atas genteng terdengar orang berkata,

“Bo Lang! Percuma saja engkau bersamadhi kalau perbuatanmu tidak sesuai dengan jubah pendetamu!”

Bo Lang Hwesio terkejut sekali. Bagaimana ada orang yang begitu tinggi ilmu ginkangnya hingga suara kakinya sama sekali tak dapat terdengar olehnya? Padahal Bo Lang Hwesio memiliki ketajaman pendengaran yang luar biasa dan terlatih puluhan tahun lamanya. Belum pernah ia bertemu dengan orang yang memiliki kepandaian meringankan tubuh sedemikian sempurnanya hingga biarpun sedang dalam samadhi, ia sama sekali tak mendengarnya!

“Sahabat yang berilmu tinggi, jangan bicara seperti setan tak berujud, kau masuklah memperlihatkan muka!” kata Bo Lang Hwesio, akan tetapi orang di atas genteng terkekeh-kekeh dan menjawab,

“Bo Lang Hwesio aku datang untuk minta kembali Kwee-siocia yang kau tawan, apakah engkau tetap tidak mau keluar? Aku tidak mau bertindak sebagai maling, lebih baik kuminta terang-terangan!”

Bo Lang Hwesio merasa mendongkol juga mendengar orang berlaku begitu berani dan menantang, maka tiba-tiba ia menggerakkan tubuhnya dan bagaikan seekor burung besar, hwesio ini sudah melayang keluar jendela, terus menuju ke atas genteng.

Ternyata bahwa di atas genteng itu telah berdiri seorang kakek dengan sikap tenang dan ketika Bo Lang Hwesio melihat kakek ini, tak terasa pula ia berseru keras,

“Ah… Bu Pun Su! Apakah kehendakmu dengan malam-malam datang di sini? Apakah kau hendak mengganggu pinceng pula?”

“Ha, ha, Bo Lang, hwesio gundul! Kau kira aku memang mengganggu manusia tanpa alasan? Dulu aku mengganggumu di Thian-san oleh karena kau hendak merusak persahabatan dengan tokoh Thian-san-pai. Sekarang aku datang oleh karena kau telah mengumbar nafsu dan membela seorang perwira yang berlaku sewenang-wenang!”

“Bu Pun Su, pinceng tahu bahwa kau memang memiliki kepandaian tinggi, tapi jangan kira pinceng takut kepadamu. Bo Lang Hwesio dulu bukan Bo Lang Hwesio sekarang!”






“Benar, benar! Bo Lang Hwesio dulu nafsunya sendiri yang bernyala-nyala, sedangkan Bo Lang Hwesio sekarang karena sudah tua bangka maka mengumbar nafsunya dengan membela muridnya yang murtad!”

“Bu Pun Su, jembel tua! Jangan sembarang menuduh. Seorang guru membela muridnya yang terancam bahaya oleh musuh-musuhnya, bukankah hal itu sewajarnya? Boan Sip dikejar-kejar musuh-musuhnya yang lihai dan kalau bukan pinceng yang membela, habis siapa lagi? Tentang Nona Kwee yang tertawan kami perlakukan baik-baik dan adalah salah Nona itu sendiri mengapa kurang tinggi kepandaiannya hingga kalah oleh muridku!”

“Ha, ha, alasan anak kecil! Sudahlah, Bo Lang Hwesio, kalau kau menyerahkan Lin Lin Siocia dengan baik-baik aku si tua bangka pun tak mau membuat ribut lagi. Akan tetapi kalau kau menolak biarlah kita main-main sebentar!”

“Kau sombong!” teriak Bo Lang Hwesio yang lalu menyerang dengan pukulan tangan terbuka.

Pukulannya ini luar biasa hebatnya hingga biarpun gerakan tangannya masih jauh jaraknya dari tubuh Bu Pun Su, namun baju dan rambut kakek jembel itu telah berkibar tertiup angin pukulan!

“Bagus, lweekangmu sudah banyak maju!” jawab Bu Pun Su yang lalu mengelak dan membalas memukul dengan lima jari tangan kanan terbuka.

Pukulan ini tertuju kepada pundak kanan Bo Lang Hwesio dan untuk menilai kehebatan pukulan ini dapat diukur dari suara genteng pecah, dan ternyata genteng di belakang Bo Lang Hwesio yang cepat berkelit itu menjadi terdorong oleh angin pukulan Bu Pun Su yang menggunakan gerak tipu Burung Merak Mengulur Cakar ini tidak mengenai sasaran.

Bo Lang Hwesio lalu mengeluarkan seluruh kepandaiannya yang lihai dan sebentar saja kedua orang tua yang gagah itu telah bergerak-gerak pergi datang di atas genteng itu.

Bo Lang Hwesio memang lihai sekali dan tingkat kepandaiannya lebih tinggi setingkat daripada kepandaian Hek Pek Moko, akan tetapi menghadapi Bu Pun Su, ia tak dapat berbuat banyak.

Setelah bertempur sengit dua puluh jurus lebih akhirnya Bo Lang Hwesio tak kuat menghadapi kakek jembel itu lebih lama lagi oleh karena gerakan Bu Pun Su benar-benar cepat hingga bagi Bo Lang Hwesio, tubuh lawannya seolah-olah berubah menjadi puluhan banyaknya yang menyerang dan mengeroyoknya dari seluruh jurusan.

Kalau orang lain yang menghadapi Bu Pun Su, tentu akan mengira bahwa kakek aneh ini mempergunakan ilmu sihir, akan tetapi Bo Lang Hwesio maklum bahwa ginkang kakek ini sudah sampai di puncak kesempurnaan, sedangkan tenaga lweekangnya sudah jauh lebih tinggi daripada tenaganya sendiri.

Bu Pun Su memang tidak mau mencelakakan atau melukai Bo Lang Hwesio, maka kakek itu hanya mempermainkannya saja dengan gerakannya yang cepat dan kadang-kadang menowel pundak atau perut Si Hwesio. Bo Lang Hwesio menjadi jerih dan berseru,

“Bu Pun Su, benar-benar kau lihai dan aku tidak malu untuk mengaku kalah!”

Setelah berseru demikian, Bo Lang Hwesio lalu melompat ke belakang dengan cepat sekali dan alangkah heran dan kagetnya ketika ia merasa betapa dadanya dingin tertiup angin dan ketika ia memandang, mukanya menjadi pucat sekali oleh karena jubahnya di bagian dada telah robek dan bolong.

Ia bergidik oleh karena maklum bahwa kalau Bu Pun Su memang bermaksud jahat, tentu jiwanya telah melayang sejak tadi. Ia menghela napas dan menggeleng-geleng kepala saking kagumnya dan ia tidak berani mengejar ketika melihat tubuh kakek jembel itu melayang turun ke dalam rumah. Ia harapkan saja kakek itu tidak akan mencelakakan Boan Sip.

Akan tetapi, tak lama kemudian nampak Bu Pun Su melayang naik lagi dan tahu-tahu telah berada di hadapannya sambil membentak,

“Bo Lang Hwesio! Jangan kau mempermainkan aku! Di mana adanya Nona Kwee dan di mana pula sembunyinya muridmu yang jahat itu?”

Bo Lang Hwesio memandang heran.
“Bu Pun Su, jangan kau sembarang menuduh aku. Biarpun dengan bersumpah, pinceng berani menerangkan bahwa kedua orang itu masih berada di dalam rumah!”

“Hm, kalau begitu kau bersumpah!”

Mendengar bahwa benar-benar ia tidak dipercaya Bu Pun Su, Bo Lang Hwesio marah sekali, akan tetapi ia tidak berdaya untuk membantah, apalagi ia sendiri yang sanggup untuk mengangkat sumpah. Maka ia merangkapkan kedua tangan di dada dan bersumpah,

“Kalau keteranganku tadi tidak betul biarlah Buddha yang suci akan mengutukku!”

“Bagus, kau benar-benar tidak bohong!” setelah berkata demikian, sekali berkelebat, tubuh kakek jembel itu telah lenyap.

“Bu Pun Su, lain kali kutebus hinaan ini!”

Bo Lang Hwesio berseru, akan tetapi kakek pendekar yang luar biasa itu telah pergi jauh.

Memang sebenarnya Bo Lang Hwesio tidak membohong ketika ia katakan bahwa sebelum ia bertempur dengan Bu Pun Su, Boan Sip masih berada di dalam rumah demikian pula Lin Lin masih dikeram di dalam kamar tahanannya. Hwesio ini sama sekali tidak mengira bahwa muridnya yang licin telah membawa Lin Lin pergi dari tempat itu!

Oleh karena maklum bahwa yang datang menolong Lin Lin adalah seorang tua yang sakti maka Boan Sip tidak berani menunda-nunda larinya. Ia mengempit tubuh Lin Lin sambil berlari secepatnya di malam gelap, menuju ke sebuah anak sungai yang berada kurang lebih dua puluh li dari tempat itu.

Ketika ia tiba di tepi sungai, di situ telah menanti sebuah perahu yang cukup besar dan tiga orang kelihatan berdiri di kepala perahu. Seorang di antaranya adalah seorang berpakaian asing dan ternyata bahwa ia adalah seorang Turki yang berkulit hitam dan bermata lebar. Usianya kurang lebih empat puluh tahun dan jubahnya panjang dan lebar, terbuat daripada kain berbulu yang indah.

“Eh, eh, Boan-ciangkun, mengapa malam-malam datang tergesa-gesa?”

“Yo-suhu (nama aslinya Yousuf), lekas jalankan perahu. Cepat!” Sambil berkata demikian Boan Sip melompat ke dalam perahu pula.

Yousuf tersenyum dan ia tetap tenang akan tetapi ia lalu memerintahkan kepada dua orang anak buahnya untuk menjalankan perahunya sebagaimana yang diminta oleh Boan Sip.

“Heran sekali, siapakah adanya orang yang begitu ditakuti oleh Boan-ciangkun?” tanyanya.

“Yo-suhu, kau tidak tahu. Seorang kakek luar biasa yang bernama Bu Pun Su dan yang kepandaiannya seratus kali lebih tinggi dari kepandaianku sendiri, sedang mengejarku, dan celakalah kalau ia dapat menyusulku!”

“Aah, Saudara Boan benar-benar tidak memandang aku. Bukankah aku sahabat baikmu?”

Boan Sip teringat bahwa Yousuf adalah seorang berilmu tinggi pula, maka ia segera menjura,

“Maaf, Yo-suhu. Bukan maksudku hendak merendahkanmu, akan tetapi Bu Pun Su ini benar-benar lihai dan namanya sudah cukup membikin gemetar semua orang.”

Kemudian Yusuf menunjuk ke arah Lin Lin yang masih terduduk di dalam perahu dan yang kini tangannya telah diikat olah Boan Sip, lalu bertanya dengan suara kurang senang,

“Dan Nona ini siapakah, Saudara Boan?”

“Dia ini adalah musuh besarku yang hendak membunuhku, akan tetapi dapat kutawan. Tadinya hendak kubinasakan, tetapi Suhu melarangku dan… dan aku sayang kepadanya.”

Yousuf menggeleng-gelengkan kepalanya,
“Memang Suhumu benar. Tak pantas membunuh seorang gadis yang tak berdaya.”

Sambil berkata demikian, orang Turki itu lalu menghampiri Lin Lin yang menjadi kuatir dan takut, akan tetapi orang Turki ini lalu menggerakkan tangan ke arah belenggu yang mengikat tangan Lin Lin. Sekali ia menggerakkan tenaga, belenggu itu terlepas dengan mudahnya!






Tidak ada komentar :