*

*

Ads

Minggu, 12 Mei 2019

Pendekar Bodoh Jilid 068

Mendengar persetujuan yang keluar dari mulut gadis ini, Yousuf menjadi girang sekali, akan tetapi ia menyembunyikan perasaannya ini dan berkata,

“Nah, kita berempat bisa berangkat sekarang juga, akan tetapi, perahumu begitu kecil. Sayang sekali perahuku telah tenggelam!”

Nelayan Cengeng biarpun sudah tua, akan tetapi pandangan matanya tajam. Melihat wajah orang Turki itu berseri-seri ketika mendengar kata-kata persetujuan yang diucapkan oleh Lin Lin, di dalam hatinya timbul kecurigaan yang membuatnya menjadi hati-hati. Akan tetapi, sambil tertawa ia menjawab pertanyaan Yousuf,

“Apakah susahnya untuk mendapatkan perahu yang tenggelam?”

Setelah berkata demikian, kakek nelayan ini lalu memperlihatkan kepandaiannya di dalam air yang benar-benar hebat.

Ia menanggalkan jubah luarnya dan dengan pakaian ringkas lalu meloncat ke dalam air. Tubuhnya yang kurus itu terjun ke dalam air tanpa bersuara seakan-akan sebatang anak panah dilepas ke dalam air saja.

Agak lama semua orang menanti dengan hati berdebar, kecuali Ma Hoa yang sudah maklum akan kepandaian gurunya. Kemudian air itu bergelombang hebat dan dari bawah muncullah tubuh perahu Yousuf yang tadi tenggelam!

Ternyata Si Nelayan Cengeng telah mendapatkan tubuh perahu itu dan menariknya ke atas permukaan air dalam keadaan miring hingga tidak ada air yang memasuki tubuh perahu itu. Kemudian Si Nelayan Cengeng berenang cepat ke pinggir dan sekali ia menggerakkan tangan, perahu besar itu dapat didorongnya ke pinggir hingga meluncur cepat dan mendarat di pinggir sungai! Yousuf segera menarik perahu itu ke atas dan tiada hentinya memuji.

“Ah, kau betul-betul gagah luar biasa. Di darat kau telah membuat aku kagum, akan tetapi kepandaianmu di air ini betul-betul membuat aku tunduk!”

Sambil berkata demikian Yousuf lalu menjura di depan Kong Hwat Lojin yang telah melompat ke darat. Akan tetapi kakek nelayan itu hanya tertawa sambil mengeringkan tubuhnya dengan jubah luarnya yang tadi ditanggalkan, lalu berkata,

“Sudahlah di antara kawan sendiri mana ada aturan puji-memuji? Lebih baik kita sekarang memperbaiki perahumu ini agar dapat segera berangkat!”

Kedua orang itu lalu memperbaiki badan perahu yang tadi pecah berlubang karena pukulan dayung Si Nelayan Cengeng dan sebentar saja perahu itu telah baik kembali. Yousuf lalu memerintahkan kedua orang pembantunya untuk pergi dari situ oleh karena ia tak memerlukan tenaga mereka lagi. Ia merogoh kantongnya dan memberi empat potong uang emas kepada dua orang itu yang menerimanya dengan girang.

Setelah itu, maka berangkatlah Yousuf bersama Si Nelayan Cengeng, Ma Hoa, dan Lin Lin. Perahu mereka meluncur cepat oleh karena selain terbawa hanyut oleh aliran sungai yahg deras, juga dibantu oleh tenaga dayung Si Nelayan Cengeng yang kuat sekali. Sebelum senja hari, perahu mereka telah sampai di mulut sungai dan memasuki laut yang luas!

Baik kita tinggalkan dulu Lin Lin bersama kawan-kawannya yang menuju ke Pulau Kim-san-to itu, dan kita mengikuti pengalaman Kwee An!

Ketika terjadi perkelahian bebas di atas perahu Pangeran Vayami dan menerima tendangan di betisnya yang dilakukan oleh Pangeran Mongol itu hingga ia terjatuh ke dalam sungai, Kwee An telah mencoba tenaga dan kepandaiannya yang dipelajari dari Nelayan Cengeng untuk berenang ke pinggir. Akan tetapi, aliran air sungai itu amat deras dan kuatnya, hingga usahanya gagal bahkan tubuhnya hanyut dengan cepatnya!

Baiknya Kwee An telah mendapat latihan dari Nelayan Cengeng, kalau tidak, pasti ia akan tenggelam atau tubuhnya akan hancur terbentur pada batu-batu karang yang banyak menonjol di permukaan air. Ia lalu mengeluarkan kepandaiannya dan menggunakan gerakan Ular Air Menyeberang Laut berenang sambil mengikuti aliran air dalam cara berlenggang-lenggok bagaikan seekor ular hingga ia dapat menghindarkan diri daripada tubrukan dengan batu-batu karang.

Ia masih dapat melihat betapa perahu di mana Cin Hai masih bertempur seru melawan Hai Kong Hosiang itu terbakar hebat, hingga diam-diam ia menjadi gelisah, menguatirkan keselamatan kawannya itu. Akan tetapi, sungai itu mengalir dalam sebuah tikungan yang tajam sekali hingga ia harus mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menjaga keselamatan dirinya sendiri.

Setelah hanyut jauh sekali, sedikitnya terpisah lima li dari tempat di mana ia terjatuh, aliran air mulai lemah dan dengan hati girang Kwee An berenang ke pinggir dengan maksud setelah dapat mendarat akan segera lari kembali ke tempat tadi dan membantu Cin Hai.






Akan tetapi, tiba-tiba ia menjadi terkejut sekali oleh karena melihat beberapa ekor binatang aneh yang berenang cepat menuju ke arah dirinya. Kwee An cepat berenang ke tepi, akan tetapi, kembali ia terkejut oleh karena binatang-binatang seperti yang sedang berenang di tengah sungai itu, terdapat pula di darat dan memenuhi tepi sungai. Agaknya mereka sedang berjemur diri di pantai itu dan jumlah yang berada di pantai bahkan ada seratus lebih.

Binatang-binatang yang terlihat oleh Kwee An ini adalah binatang sebangsa buaya, akan tetapi lebih menyerupai cecak besar dan panjangnya sampai ada sepuluh kaki dan mulutnya terbuka lebar. Ketika Kwee An tiba di tepi, maka binatang-binatang yang berada di pantai itu pun lalu maju merangkak dan menyerbu.

Kwee An menjadi bingung. Untuk naik ke darat, puluhan ekor binatang buas ini telah siap menanti sedangkan untuk tinggal di dalam air, dari tengah telah berenang beberapa belas ekor yang menuju kepadanya.

Ia pikir, lebih baik menghadapi puluhan ekor di darat daripada belasan ekor di air, oleh karena binatang itu dapat berenang cepat sekali sedangkan kepandaiannya di dalam air masih rendah. Ia lalu terus berenang ke pinggir dan ketika air telah menjadi dangkal hingga sampai ke paha, dari tepi telah turun lima ekor yang terbesar dan cepat menyerbunya dengan mulut ternganga lebar.

Kwee An lalu menggenjot tubuhnya melompat hingga kedua kakinya melewati permukaan air dan ketika dua ekor buaya itu menyambar dengan mulut mereka yang runcing, ia lalu menendangkan kaki kanan ke arah kepala binatang itu dan mempergunakan kepala itu sebagai batu lonpatan ke darat.

Akan tetapi jumlah binatang-binatang itu terlalu banyak hingga ke mana saja ia melompat, ia selalu disambut oleh beberapa ekor buaya yang menyerbunya dengan dahsyat dan liar.

Kwee An lalu mempergunakan kecepatan dan seluruh tenaganya untuk melawan. Ia menendang, memukul, menangkap ekor dan membanting, hingga sebentar saja puluhan ekor binatang kena dibinasakan. Akan tetapi yang datang makin banyak saja hingga Kwee An kehabisan tenaga dan menjadi ngeri dan jijik.

Binatang-binatang yang masih hidup segera menerkam dan menyerang yang terluka dan makan daging kawan-kawannya sendiri, sedangkan yang lain-lain masih saja menyerbu dengan hebat. Oleh karena merasa ngeri melihat banyaknya binatang yang mengeroyoknya, dan oleh karena tenaganya tadi memang telah banyak dihabiskan untuk melawan air hingga ia menjadi lelah sekali, maka Kwee An berlaku kurang cepat hingga tiba-tiba ia merasa kaki kirinya sakit sekali.

Ia menengok dan melihat bahwa seekor buaya telah berhasil menggigit betis kaki kirinya. Cepat Kwee An berjongkok dan sekali tangannya bergerak, maka dua buah jari tangannya berhasil memasuki rongga mata buaya yang menggigit itu!

Binatang itu merasa kesakitan dan tak terasa pula mulut yang menggigit betis mengendor hingga dengan cepat melepaskan kakinya! Darah mengucur membasahi kaus kaki dan celananya, dan dengan muka meringis kesakitan, pemuda itu menjadi begitu marah hingga ia lalu mengamuk hebat!

Ia mencabut pedangnya dan dengan senjata ini ia menghajar semua buaya yang berani mendekat hingga mayat binatang itu sampai bertumpuk-tumpuk dan malang melintang di sekitarnya.

Tiba-tiba terdengar suara suitan keras dan aneh! Buaya-buaya yang masih hidup dan belum terluka, lalu nampak terkejut dan buru-buru mereka lari ke sungai! Kwee An sudah terlalu lemah, maka kepalanya menjadi pening dan pemandangan matanya berkunang-kunang.

Ia melihat seorang gemuk tetapi pendek sekali berdiri di depannya dengan sebuah cambuk panjang di tangan dan suara orang itu terdengar keras dan besar ketika menegur,

“Pemuda kurang ajar dari manakah berani mengganggu dan membunuh hewan ternakku?”

Kwee An yang sudah lelah dan pusing itu, merasa seperti bertemu dengan iblis sungai, oleh karena siapakah orangnya yang menganggap buaya-buaya itu sebagai hewan ternaknya selain iblis sungai? Pemuda itu tak dapat menguasai dirinya lagi oleh karena lapar, lelah, dan lemas kehilangan banyak darah.

“Aku… aku… lelah…” katanya dan ia lalu roboh terguling dan pingsan. Tubuhnya roboh di atas mayat-mayat binatang yang tadi diamuknya!

Ketika ia sadar kembali, Kwee An mendapatkan dirinya telah berbaring di atas balai-balai bambu dalam sebuah kamar yang terbuat daripada bambu pula. Ia segera bangun dan mengeluh oleh karena kaki kirinya terasa sakit dan perih.

Ketika ia teringat akan luka di kakinya oleh gigitan buaya itu, ia segera menengok ke arah betisnya dan ternyata bahwa kakinya telah dibalut erat-erat. Ia dapat menduga bahwa orang pendek yang disangkanya iblis sungai itu tentu yang telah menolongnya, maka ia merasa berterima kasih sekali.

Biarpun keluhan suaranya perlahan sekali, akan tetapi ternyata telah didengar orang, oleh karena dari luar pintu kamar segera terdengar suara orang,

“Eh, anak muda, kau sudah bangun?”

Ketika Kwee An memandang, ternyata penolongnya yang pendek itu muncul dari pintu dengan sepiring masakan yang masih mengepul berada di tangan kirinya. Si Kate memasuki bilik itu dan berkata sambil tertawa,

“Nah, kau makanlah. Kesehatanmu tentu akan pulih lagi seperti sediakala!”

Ketika Kwee An hendak bangkit untuk menghaturkan terima kasih, tiba-tiba ia merasa lehernya seakan-akan tercekik dan dadanya berdebar keras. Wajahnya tentu akan terlihat menjadi pucat sekali kalau saja kulit mukanya tidak memang sudah pucat sekali hingga tidak nampak perubahan itu.

Pada saat itu ia telah mengenal orang pendek ini yang bukan lain adalah Hek Moko, Si Iblis Hitam yang lihai dan yang dulu pernah bertempur dengan Cin Hai di depan rumahnya! Kwee An berpikir cepat dan ia segera memaksa mulutnya bersenyum. Sambil menerima piring itu ia berkata dengan pura-pura masih lemas tak bertenaga,

“Terima kasih, Lopek. Kau baik sekali dan atas pertolonganmu ini aku mengucapkan banyak-banyak terima kasih.”

Kwee An sengaja berbuat seakan-akan ia tidak kenal kepada Si Iblis Hitam ini. Ia maklum bahwa iblis ini pun tidak tahu siapa adanya dia dan kalau iblis ini tahu bahwa Cin Hai berada dekat, tentu ia akan pergi mengejarnya!

“Kau makanlah yang enak. Aku hendak mengurus hewan ternakku lebih dulu! Kau gagah sekali dan telah berhasil membunuh dua puluh empat ekor hewanku hingga aku menderita rugi bukan sedikit!” katanya lalu keluar dari pintu dengan langkah-langkahnya yang pendek tetapi cepat.

Kwee An menarik napas lega. Ternyata iblis itu tidak mengenal dan tidak mencurigainya, hingga untuk sementara waktu ia akan selamat. Ia maklum bahwa Iblis Hitam ini lihai sekali apalagi kalau di situ ada pula Iblis Putih yang tinggi besar oleh karena menurut penuturan Cin Hai, kedua Iblis Hitam Putih atau Hek Pek Moko ini jarang sekali berpisah.

Sambil memikirkan jalan untuk melarikan diri dari tempat berbahaya ini, Kwee An yang telah merasa lapar sekali, lalu makan daging yang masih panas mengepul di atas piring itu.

Ia tidak tahu masakan daging apakah ini, akan tetapi oleh karena perutnya lapar sekali, ia tidak peduli dan segera makan daging itu. Di luar dugaannya semula, daging ini rasanya manis dan harum serta gurih sekali hingga sebentar saja sepiring besar daging itu telah habis memasuki perutnya!

Kemudian ia turun dari pembaringan dan mencoba berjalan. Ia dapat berjalan, akan tetapi dengan pincang dan tak mungkin untuk melarikan diri, oleh karena ia belum dapat mempergunakan ilmu lari cepat. Kwee An menjadi bingung dan ia amat menguatirkan nasib Cin Hai yang masih bertempur di atas perahu melawan Hai Kong Hosiang yang lihai itu, karena perahunya telah dibakar oleh Pangeran Vayami!

Tak lama kemudian, Hek Moko masuk ke dalam kamar itu sambil tertawa-tawa. Jubahnya yang hitam itu melambai-lambai di belakangnya.

“Ha, kau sudah makan! Bagaimana, enakkah hidanganku itu?”

KweeAn tersenyum.
“Enak sekali, entah daging apakah yang Lopek suguhkan tadi?”

Tiba-tiba Hek Moko tertawa bergelak-gelak dan suara ketawanya membuat bulu tengkuk KweeAn berdiri oleh karena memang suara ini amat menyeramkan.






Tidak ada komentar :