*

*

Ads

Minggu, 12 Mei 2019

Pendekar Bodoh Jilid 067

Ketika Boan Sip sedang melangkah mundur dengan bingung, tiba-tiba ia menginjak sebuah batu yang bundar licin hingga ia tergelincir dan terhuyung lalu terjatuh di atas tanah.

Lin Lin dan Ma Hoa menubruk dan pedang Ma Hoa yang menusuk dadanya serta dayung Lin Lin yang menghantam kepalanya membuat nyawa Boan Sip melayang pada saat itu juga!

Melihat betapa musuh besarnya telah menggeletak di atas tanah dalam keadan tak bernyawa, Lin Lin tiba-tiba merasa girang dan terharu sekali. Girang bahkan ia berhasil membunuh manusia yang amat dibencinya ini dengan tangan sendiri, dan terharu oleh karena teringat kepada orang tuanya. Tiba-tiba ia menjatuhkan diri berlutut dan berkata perlahan,

“Ayah, anak yang puthau (tak berbakti) baru berhasil membalas dendam kepada anjing terkutuk ini!”

Kemudian ia menangis terisak-isak ingat kepada ayahnya, ibu tirinya, dan saudara-saudaranya yang terbunuh mati oleh Boan Sip dan kawan-kawannya. Ma Hoa juga ikut merasa terharu dan sambil memeluk pundak Lin Lin, Ma Hoa lalu menangis pula.

Sementara itu, pertempuran yang terjadi antara Si Nelayan Cengeng dan Yousuf, masih berlangsung dengan ramai sekali. Akan tetapi, setelah bertempur hampir seratus jurus, Yousuf akhirnya harus mengakui keunggulan lawan.

Dayung Si Nelayan Cengeng sungguh-sungguh hebat dan lihai sekali. Perlahan tapi tentu, orang Turki itu terdesak mundur dan terpaksa mempergunakan ginkangnya untuk menghindarkan diri dari sambaran dayung!

Pada saat Yousuf sudah terdesak sekali, tiba-tiba terdengar Lin Lin berseru,
“Kong Hwat Locianpwe! Jangan mencelakai dia! Dia adalah penolongku!”

Mendengar seruan ini, Nelayan Cengeng cepat melirik dan ketika ia melihat bahwa Boan Sip sudah dibinasakan ia lalu tertawa bergelak dan melompat mundur menahan gerakan dayungnya.

Yousuf menjura sangat dalam sampai sorbannya hampir menyentuh tanah.
“Kau orang tua sungguh hebat sekali dan patut menjadi guruku!”

“Ah, jangan kau terlalu memuji, Saudara Yo Se Fei! Kepandaianmu pun hebat dan mengagumkan!” jawab Si Nelayan Cengeng.

Kemudian Yousuf memandang ke arah Lin Lin dan senyumnya melebar serta pandangan matanya melembut.

“Nona, kau benar-benar seorang berbudi tinggi.”

Ketika pandangan matanya melihat mayat Boan Sip yang menggeletak di atas tanah ia menghela napas dan berkata,

“Memang hukum alam adil sekali. Dia memang orang jahat dan sudah sepatutnya mati di ujung senjata!”

Melihat sikap orang asing ini, Nelayan Cengeng menjadi tertarik hatinya. Ia memegang tangan orang itu dan berkata,

“Sahabat, kita adalah sama orang gagah, biarpun kita berkebangsaan lain! Marilah kita bersahabat dan menuturkan riwayat masing-masing.”

“Apakah kau terpengaruh pula oleh keadaan negara dan politiknya, orang tua?”

Nelayan Cengeng tertawa terkekeh hingga kembali air matanya mengalir.
“Siapa sudi memperhatikan keadaan politik yang jahat? Tidak, bagiku politik hanya satu yaitu yang jahat harus dibasmi dan yang baik dibela! Kau orang asing asal saja jangan mengganggu tanah air dan bangsaku, aku akan menjadi sahabat baikmu!”

Kembali Yousuf menghela napas.
“Kalian orang-orang Han memang aneh dan patut dikagumi! Kalian berjiwa patriot dan mencinta tanah air dan bangsa, akan tetapi kalian tidak mau terlibat dalam urusan ketata negaraan dan segala politiknya yang serba berbelit-belit! Sebenarnya, mengapakah kalian bermusuhan dengan perwira itu?”






Lin Lin maju dan memberi penjelasan.
“Perwira itu adalah seorang jahat yang oleh karena ditolak lamarannya oleh Ayah terhadap diriku, lalu mengajak kawan-kawannya untuk membasmi keluargaku. Ayah serta kakak-kakak dan juga Ibuku telah dia bunuh habis. Tinggal aku dan seorang kakakku yang masih hidup. Ketika aku bertemu dengan dia dan bertempur, atas bantuan gurunya yang juga jahat ia berhasil menawanku dan membawaku ke sebuah tempat tahanan. Kemudian ia membawa aku lari dan bertemu dengan kau.”

“Hm, pantas, pantas! Pantas kau membunuhnya, memang hutang nyawa harus dibayar jiwa pula!”

“Dan kau hendak pergi ke manakah Saudara? Aku mendengar dari percakapanmu bahwa kau hendak pergi ke sebuah pulau dengan perwira itu,” kata pula Lin Lin.

Yousuf termenung sejenak. Tiba-tiba ia mendapat pikiran yang tak disengaja. Telah lama ia mempunyai sebuah cita-cita untuk dapat menduduki tahta kerajaan. Ketika ia dan beberapa orang kawannya yang merantau mendapatkan pulau emas itu, telah timbul dalam hatinya cita-cita ini.

Dengan memiliki semua harta kekayaan itu, mudah saja baginya untuk merebut kekuasaan Raja Turki yang sekarang dan menggantikannya. Memang masih ada darah pangeran dalam tubuh Yousuf dan sayangnya ia adalah seorang miskin. Kalau saja pulau itu dapat terjatuh ke dalam tangannya!

Kini, melihat Lin Lin, ia merasa sangat tertarik dan suka. Ia merasa yakin bahwa di dalam kehidupannya yang dulu tentu ada hubungan sesuatu antara dia dan Lin Lin, oleh karena entah mengapa, ia merasa suka sekali dan rela membela gadis itu, biar dengan jiwanya sekalipun.

Perasaan inilah yang merupakan cita-cita ke dua baginya, dan timbul setelah ia bertemu dengan Lin Lin. Ia juga ingin mendapatkan harta di Pulau Emas itu, mengangkat diri sendiri menjadi raja dan membujuk Lin Lin agar suka menjadi permaisurinya.

Inilah cita-citanya dan inilah pikiran yang pada saat itu mengaduk hati dan otaknya. Ia telah melihat kegagahan Nelayan Cengeng dan muridnya yang ternyata seorang gadis pula, telah menyaksikan pula kegagahan Lin Lin yang tidak lemah. Kalau ditambah dengan dia sendiri menjadi empat orang, dan bukankah empat orang gagah yang tangguh, kuat, akan sanggup mengusir musuh yang manapun juga?

Untuk menjawab pertanyaan Lin Lin ia mengangguk,
“Memang benar, Nona Lin Lin, aku hendak pergi menuju ke sebuah Pulau Emas. Sayang sekali perahu telah rusak dan tenggelam.”

Mendengar disebutnya Pulau Emas, Nelayan Cengeng tertarik sekali dan ia lalu berkata,

“Saudara Yo Se Fei! Benar-benar adakah pulau dongeng itu? Semenjak aku masih kecil, seringkali aku mendengar dongeng tentang Pulau Emas, dan dalam beberapa hari ini, telah dua kali aku mendengar pula tentang Pulau Emas ini.”

Yousuf memandangnya tajam.
“Telah dua kali? Lo-enghiong, dari siapa pulakah kau mendengar tentang Pulau Emas ini?”

Nelayan Cengeng lalu menceritakan bahwa beberapa hari yang lalu, dalam perantauannya dengan Ma Hoa, ia bertemu dengan seorang bangsa Mongol tua yang juga menyebut akan adanya Pulau Emas itu, bahkan orang Mongol itu dalam mengobrol telah membuka rahasia bahwa Pangeran Vayami, pemimpin Agama Buddha Merah itu, juga hendak mencari pulau ini.

Yousuf terkejut sekali mendengar ini.
“Ah, sudah kusangka bahwa Pangeran Vayami tentu mempunyai maksud tertentu dengan kunjungannya ke pedalaman dan hendak menghadap Kaisar Tiongkok! Tidak tahunya, ia juga menghendaki pulau itu. Ah, kita harus cepat ke sana, jangan sampai didahului orang!”

Melihat bahwa orang Turki ini pucat dan bingung, Nelayan Cengeng bertanya lagi,
“Saudara yang baik, sebetulnya pulau itu dimanakah letaknya dan apa namanya?”

Yousuf telah habis sabar, akan tetapi oleh karena maklum bahwa kakek nelayan yang gagah ini merupakan tenaga bantuan yang amat berguna, ia bersabar dan menerangkan dengan singkat,

“Pulau itu bernama Kim-san-to (Pulau Gunung Emas) dan berada di sebelah timur pantai Tiongkok. Kalau belum tahu jalannya, memang sukar sekali rnencari pulau yang berada di antara puluhan pulau-pulau kecil lain itu.”

Nelayan Cengeng menjadi sangat tertarik hatinya dan demikianlah, kedua orang ini bercakap-cakap dan Yousuf dengan amat sabarnya menjawab tiap pertanyaan Nelayan Cengeng sehingga kakek nelayan ini akhirnya terbangkit pula keinginan tahunya dan ia ingin sekali melihat dan menyaksikan dengan mata sendiri keadaan pulau yang telah dikenal dalam dongeng itu.

Sementara itu, Lin Lin lalu menceritakan kepada Ma Hoa tentang semua pengalamannya dan ketika Ma Hoa bertanya di mana adanya Ang I Niocu, ia menjawab,

“Siapa yang dapat mengetahui dimana adanya dia sekarang.” Lin Lin menghela napas khawatir. “Sungguh sial sekali, belum juga kami bertemu dengan Hai-ko, sekarang Cici Im Giok sudah harus berpisah lagi denganku! Ah, sekarang menjadi makin ruwet, karena selain harus mencari Hai-ko dan Ang-ko, aku pun harus mencari Cici Im Giok! Eh, Enci Hoa, semenjak tadi aku saja yang banyak mengobrol sedangkan kau hanya menjadi pendengar saja. Kau ceritakanlah, bagaimanan kau bisa sampai di sini dan menolong aku?”

Memang Ma Hoa orangnya agak pendiam dan tak banyak bicara. Kini mendengar pertanyaan Lin Lin, tiba-tiba kedua matanya menjadi merah dan ia mengeraskan hati untuk menahan keluarnya air matanya. Lin Lin terkejut dan memegang lengannya.

“Enci Ma Hoa, apakah yang telah terjadi? Kau nampak pucat sekali!”

Dengan mengeraskan hati, Ma Hoa lalu menceritakan malapetaka yang menimpa keluarganya, akan tetapi ketika melihat betapa sepasang mata Lin Lin yang lebar itu memandangnya dengan terbelalak dan dari kedua matanya itu mengalir butiran-butiran air mata karena terharu dan kasihan, Ma Hoa tak dapat menahan lagi kesedihannya. Ia mengakhiri penuturannya dengan kata-kata yang sukar keluarnya,

“Adik Lin, habislah seluruh keluargaku, mereka telah binasa semua, tinggal aku seorang diri… sebatangkara…!”

Lin Lin memeluk gadis itu dan keduanya lalu bertangis-tangisan oleh karena memang terdapat banyak persamaan antara mereka berdua, oleh karena seperti juga Ma Hoa, keluarga Lin Lin juga habis binasa.

“Enci Hoa, jangan kau khawatir, bukankah kau masih mempunyai kawan-kawan baik seperti Suhumu itu dan aku dan Engko An? Juga Hai-ko dan Enci Im Giok adalah kawan-kawan yang baik dan yang senantiasa bersiap sedia membantu dan menolongmu!”

Mendengar hiburan ini, agak redalah kesedihan yang menekan hati Ma Hoa dan mereka berdua lalu memandang ke arah Yousuf yang masih bercakap-cakap dengan Nelayan Cengeng.

Sebuah permufakatan telah dicapai oleh kedua orang ini, yaitu Nelayan Cengeng telah mengambil keputusan untuk ikut Yousuf mencari Pulau Emas!

“Hai, Ma Hoa dan Lin Lin, ke marilah! Jangan hanya bertangis-tangisan saja, ada kabar baik yang harus dibicarakan bersama!”

Si Nelayan Cengeng berkata dan kedua orang gadis itu lalu menghampiri mereka sambil menyusut air mata dengan saputangan.

Nelayan Cengeng lalu memberitahukan bahwa mereka bertiga akan ikut Yousuf mencari Pulau Emas itu.

“Akan tetapi, Locianpwe, bagaimana dengan usahaku mencari saudara dan kawan-kawanku?”

Nelayan Cengeng tersenyum.
“Dengarlah, Lin Lin. Kita tidak tahu ke mana perginya mereka itu dan tanpa petunjuk yang tepat, ke manakah kita harus mencari mereka! Pula, dari Saudara Yo Se Fei ini aku mendengar bahwa besar sekali kemungkinan Pangeran Vayami juga akan pergi mencari Pulau Emas ini hingga bukan tak mungkin bahwa Hai Kong Hosiang akan menemani rombongan Pangeran Vayami itu. Sudah terang bahwa Cin Hai, Kwee An, maupun Ang I Niocu mengejar-ngejar hwesio itu dan apabila hwesio itu berada dalam rombongan Pangeran Vayami, tentu mereka akan menuju ke pulau itu pula! Nah, bukankah ini lebih baik daripada kita berkeliaran tidak karuan tanpa tujuan tertentu?”

Lin Lin menganggap alasan ini cukup kuat, oleh karena ia tahu bahwa Ang I Niocu sedang mencari Cin Hai dan Kwee An, sedang kedua pemuda itu mengejar Hai Kong Hosiang, maka kalau benar hwesio itu pergi juga mencari pulau emas, memang bukan tak mungkin mereka semua menuju ke tempat yang sama! Maka akhirnya ia berkata,

“Terserah kepada Locianpwe saja, aku yang muda dan bodoh hanya menurut dan percaya penuh kepadamu, orang tua!”






Tidak ada komentar :