*

*

Ads

Kamis, 16 Mei 2019

Pendekar Bodoh Jilid 079

Bahkan Cin Hai tak sempat menceritakan pengalamannya, dan sambil memandang ke arah dua iblis yang sedang bertempur itu, ia tak tahan pula untuk tidak menyatakan keheranannya dan bertanya kepada Kwee An,

“Mengapa mereka saling hantam sendiri?”

Dengan muka sedih Kwee An berkata kepadanya tanpa menjawab pertanyaan itu,
“Cin Hai, hanya kau yang bisa menolong. Pergunakanlah kepandaianmu dan cegahlah mereka saling membunuh.”

Cin Hai tidak mengerti akan maksud Kwee An oleh karena ia tidak tahu hubungan Kwee An dengan Hek Mo-ko, akan tetapi oleh karena ia percaya penuh kepada Kwee An, ia lalu bangkit berdiri dan mengumpulkan seluruh tenaganya yang telah lemas.

Akan tetapi ia terlambat. Pada saat itu, Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko yang bertempur sambil mempergunakan pedang mereka yang luar biasa, telah mempergunakan serangan-serangan nekad dan pada suatu saat, keduanya menjerit ngeri dan terhuyung-huyung ke belakang.

Pek Mo-ko terus roboh binasa dengan dada terluka oleh pedang Hek Mo-ko, sedangkan Iblis Hitam ini sendiri telah terkena pukulan tangan kiri Pek Mo-ko yang tepat menghantam dadanya hingga Pek Mo-ko mendapat luka dalam yang hebat dan jantungnya terguncang.

Setelah melihat Pek Mo-ko roboh tak bernyawa, Hek Mo-ko yang masih dapat bergerak, lalu merangkak menghampiri adik seperguruannya ini dan setelah tertawa bergelak-gelak ia lalu memeluk mayat Pek Mo-ko sambil menangis sedih sekali. Kemudian ia muntahkan darah dari mulutnya dan roboh pingsan di dekat mayat Pek Mo-ko.

Mengapa kedua iblis yang biasanya sehidup semati dan saling membela ini tiba-tiba bisa bertempur mati-matian dan saling membunuh di pantai itu, ditonton oleh Kwee An, Biauw Suthai, Pek I Toanio dan Si Nelayan Cengeng? Baiklah kita melihat keadaan di situ sebelum Cin Hai terdampar ke pantai.

Setelah Kwee An dan kedua iblis itu mengamuk dan membasmi Pangeran Vayami dan seluruh anak buahnya, mereka bertiga lalu mengajukan perahu itu ke arah Pulau Kim-san-to. Akan tetapi di pulau itu, mereka melihat api berkobar hebat hingga menjadi takut dan memutar arah perahu.

Tiba-tiba terjadi letusan hebat itu dan perahu mereka yang besar menjadi permainan gelombang air laut dan terbawa ke pantai daratan Tiongkok kembali. Dengan pucat dan ketakutan ketiganya lalu melompat ke darat sambil memandang ke arah Pulau Emas yang menjadi neraka itu.

Mereka bergidik, bahkan Hek Pek Mo-ko dua iblis yang berhati kejam dan tak kenal takut, kini setelah melihat pemandangan mengerikan itu, menjadi pucat dan merasa ngeri juga.

Terutama sekali Kwee An, oleh karena pemuda ini teringat akan Cin Hai dan Ang I Niocu yang telah disaksikan dengan kedua mata sendiri bahwa kedua orang itu tadi menuju ke Pulau Emas. Bagaimanakah nasib mereka? Kwee An tak terasa pula mengalir air mata oleh karena ia tidak ragu-ragu lagi bahwa jiwa kedua orang itu pasti sukar ditolong dalam keadaan seperti itu. Siapakah orangnya yang kuasa menolong mereka yang berada di dekat neraka dan lautan api itu?

Menjelang fajar, tiba-tiba sesosok bayangan orang melompat dari air ke dekat mereka dan ternyata bahwa bayangan orang ini adalah Si Nelayan Cengeng! Tepat pada saat itu, dari jurusan darat datang berlari dua orang yang gerakannya cepat sekali dan ketika telah dekat, dua orang itu bukan lain ialah Biauw Suthai dan Pek I Toanio!

Kwee An yang mengenal ketiga orang yang baru muncul pada waktu yang sama ini segera berlari menghampiri berteriak memanggil.

Akan tetapi, Pek Mo-ko yang masih haus darah dan agaknya masih belum puas dengan pembunuhan-pembunuhan hebat yang ia lakukan dengan Hek Mo-ko di atas perahu Pangeran Vayami, telah mendahului Kwee An dan tanpa bertanya apa-apa lagi ia lalu menyerang Si Nelayan Cengeng yang berada terdekat.

Kaget sekali Nelayan Cengeng ketika melihat dirinya diserang hebat oleh seorang tinggi besar yang berjubah putih! Akan tetapi Nelayan Cengeng bukanlah orang lemah maka dengan mudah ia lalu berkelit dan balas menyerang sambil berseru,

“Eh, iblis dari mana datang-datang menyerang orang? Apakah tiba-tiba kau kemasukan setan Pulau Kim-san-to?”

Akan tetapi, ketika melihat bahwa kakek yang muncul dari dalam air itu dengan mudah dapat mengelak seranganpya, Pek Mo-ko menjadi marah sekali dan menyerang lebih hebat lagi.

“Pek-susiok, jangan menyerang dia! Dia adalah Kong Hwat Lojin Si Nelayan Cengeng!”






Akan tetapi, Pek Mo-ko tidak mau pedulikan teriakan Kwee An bahkan menyerang makin hebat lagi.

Sementara itu, Biauw Suthai yang mendengar nama kedua orang yang sedang bertempur itu disebut oleh Kwee An, tak ragu-ragu lagi untuk memilih hak. Ia telah lama mendengar nama Nelayan Cengeng sebagai seorang tokoh persilatan golongan pendekar berbudi, sedangkan nama Pek Mo-ko telah terkenal bagai iblis jahat yang kejam, maka ketika melihat bahwa lambat laun Si Nelayan Cengeng terdesak hebat, Biauw Suthai lalu melompat maju sambil mencabut keluar hudtimnya dan berseru,

“Pek Mo-ko, jangan kau mengganggu orang di depanku!”

Pek Mo-ko tertawa ketika melihat tokouw ini, oleh karena ia dapat mengenal wanita pendeta yang bermata satu dan beroman buruk ini.

“Biauw Suthai, kebetulan sekali aku sedang gembira! Mari kau maju sekalian untuk menerima binasa!”

Sambil berkata begini Pek Mo-ko lalu mencabut keluar pedangnya yang luar biasa itu dan menyerang dengan penuh semangat, Biauw Suthai menangkis dan Si Nelayan Cengeng yang mendengar nama Biauw Suthai, lalu berkata,

“Suthai, jangan kuatir, aku membantumu membasmi iblis ini,” lalu kakek nelayan yang gagah ini maju pula dengan tangan kosong melawan pedang Pek Mo-ko.

Ia mengeluarkan pukulan-pukulan keras dan lihai dan biarpun bertangan kosong, namun kakek yang lihai ini tidak kurang berbahayanya. Dikeroyok dua Pek Mo-ko menjadi sibuk juga dan terdesak. Pengeroyoknya bukanlah orang-orang biasa dan adalah tokoh-tokoh tingkat tinggi, maka tidak heran apabila Pek Mo-ko kehilangan kegarangannya menghadapi mereka ini.

Akan tetapi, tiba-tiba berkelebat bayangan hitam dan tahu-tahu Hek Mo-ko telah menyerbu ke tengah pertempuran, membantu Pek Mo-ko. Ilmu silat kedua iblis ini memang merupakan kepandaian pasangan dan apabila kedua iblis ini telah maju berbareng, maka kelihaian mereka menjadi berlipat-ganda. Sebentar saja Biauw Suthai dan Nelayan Cengeng terdesak hebat oleh kedua pedang Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko yang luar biasa.

Pek I Toanio ketika melihat gurunya berada dalam bahaya, tidak mau tinggal dan maju membantu. Namun apa artinya bantuan Pek I Toanio yang tingkatnya masih kalah jauh? Tetap saja sepasang iblis itu mendesak hebat sambil tertawa-tawa.

Kwee An menjadi sibuk sekali. Berkali-kali ia berteriak mencegah Hek Pek Mo-ko, akan tetapi suaranya tidak dihiraukan oleh kedua iblis yang sedang bergembira itu, seperti biasa kalau mereka berkelahi dan dapat mendesak serta mempermainkan lawan!

Kwee An tak dapat membiarkan kedua iblis itu membunuh tiga orang ini, maka terpaksa ia lalu mencabut pedang dan menyerbu membantu Biauw Suthai dan kawan-kawannya. Pertempuran makin hebat, akan tetapi ketika Hek Mo-ko melihat “anaknya” maju membantu lawan, menjadi ragu-ragu dan tiba-tiba ia berteriak,

“Tahan dan mundur semua!”

Suaranya menggeledek dan berpengaruh sekali hingga semua orang menahan senjata masing-masing.

“Siauw-mo (Setan Cilik), mengapa kau membantu musuh?” tanya Hek Mo-ko sambil memandang Kwee An dengan heran tapi suaranya penuh nada mencinta.

“Maaf, Ayah. Mereka ini adalah kawan-kawan baikku, bahkan Kong Hwat Locianpwe ini masih dapat disebut guruku sendiri. Tidak boleh Ayah dan Pek-susiok membinasakan mereka!” kata Kwee An dengan gagah sambil menentang pandangan mata ayah angkatnya.

Hek Mo-ko menghela napas dan berkata perlahan,
“Kalau begitu biarlah aku tidak menyerang mereka lagi.”

Akan tetapi Pek Mo-ko tiba-tiba menjadi beringas dan marah sekali. Ia menuding dengan pedangnya ke arah Kwee An dan membentak.

“Anjing tak kenal budi! Beginikah kau membalas kami? Bagaimana juga, hari ini aku harus mencium bau darah orang-orang ini!”

Setelah berkata demikian, Pek Mo-ko maju menyerang lagi dengan hebat, akan tetapi pedang Kwee An menangkis pedangnya dan anak muda ini berseru, ‘

”Pek-susiok! Kebaikan mereka lebih dari pada kekejamanmu! Kalau kau tetap berkeras, terpaksa aku memberanikan diri melawanmu!”

Pek Mo-ko makin marah.
“Bagus sekali! Aku akan membunuh kau lebih dahulu!”

Ia lalu mengirim serangan hebat dan ketika Kwee An menangkis, pemuda ini terkejut oleh karena tenaga Pek Mo-ko benar-benar hebat sehingga tangkisan itu membuat ia terhuyung-huyung ke belakang. Pek Mo-ko memburu dan mengirim serangan hebat hingga terpaksa Kwee An membuang diri ke belakang sambil bergulingan di atas tanah, untuk menghindarkan diri dari serangan maut.

“Ha-ha-ha! Bangsat rendah, kau hendak lari ke mana!” teriak Pek Mo-ko sambil memburu untuk memberi tusukan terakhir, tetapi pada saat itu Hek Mo-ko melompat maju dan menangkis pedang Pek Mo-ko sehingga terdengar suara keras dan kedua pedang itu mengeluarkan api! Baru kali ini selama mereka hidup, pedang mereka ini saling beradu.

Pek Mo-ko memandang kepada Hek Mo-ko dengan mata terbelalak dan muka berubah merah, tanda bahwa ia merasa penasaran dan marah sekali, juga heran.

“Suheng, kau… kau… hendak melawan aku?” tanyanya gagap.

Hek Mo-ko memandang tajam.
“Sute, kau tidak boleh turunkan tangan kepada anakku!”

“Apa? Dia bukan anakmu, dia adalah kawan musuh-musuh kita!” bentak Pek Mo-ko sambil menubruk lagi ke arah Kwee An yang telah bersiap sedia dan menangkis.

“Pek-sute! Jangan kau serang anakku!” teriak Hek Mo-ko dengan marah.

“Suheng, tinggal kau pilih. Kau membela aku atau membela binatang ini!” jawab Pek Mo-ko dengan melolotkan mata.

“Pikir saja sendiri olehmu! Anak dan Sute, mana lebih berat?”

Tiba-tiba Pek Mo-ko tertawa bergelak.
“Anak? Ha-ha, kau mabok, Suheng! Kau tidak punya anak! Ha-ha, kau tidak punya anak lagi! Anakmu telah mampus, seperti anakku!”

Mengertilah semua orang kini bahwa sebenarnya Pek Mo-ko yang kematian puterinya itu, merasa iri hati melihat Hek Mo-ko mengambil Kwee An sebagai anak angkat! Biauw Suthai, Pek I Toanio, dan Si Nelayan Cengeng memandang perdebatan ini dengan penuh perhatian dan tak terasa pula mereka berdiri saling mendekati, merupakan kelompok yang menonton pertentangan antara kedua iblis itu.

Hek Mo-ko menjadi marah sekali mendengar ucapan adiknya itu, maka ia lalu menggerak-gerakkan pedang di tangannya dan berkata tegas.

“Siapa peduli ocehanmu? Pendeknya, kalau kau mengganggu Siauw Mo, kau harus dapat mengalahkan pedangku ini dulu!”

“Kau sudah bosan hidup!”

Pek Mo-ko membentak dan menyerang dengan hebat. Hek Mo-ko juga menggereng marah dan menangkis lalu balas menyerang. Demikianlah, kedua saudara yang tadinya sehidup semati itu lalu bertempur mati-matian sehingga mereka tidak menghiraukan kedatangan Cin Hai dan bahkan kemudian Pek Mo-ko mati di ujung pedang Hek Mo-ko, sedangkan Iblis Hitam ini terkena pukulan hebat dari Pek Mo-ko hingga menderita luka dalam yang berbahaya dan roboh pingsan.

Melihat keadaan Hek Mo-ko itu, hati Kwee An yang merasa sayang karena berhutang budi, menjadi terharu sekali. Pemuda ini menubruk tubuh Hek Mo-ko dan mengangkat kepala iblis itu di pangkuannya sambil mengeluh,

“Ayah…”

Tentu saja Cin Hai dan lain-lain merasa heran sekali dan saling pandang dengan tak mengerti melihat kelakuan Kwee An itu!






Tidak ada komentar :