*

*

Ads

Sabtu, 18 Mei 2019

Pendekar Bodoh Jilid 081

“Merak ajaib itu lalu turun dan sambil mengembangkan semua sayap dan ekornya yang indah, ia berjalan hilir mudik seakan-akan membanggakan keunggulan dan kecantikannya. Aku merasa sangat tertarik dan timbul keinginanku hendak menangkap dan memelihara Sin-kong-ciak (Merak Sakti) itu, akan tetapi tiba-tiba ia mengibaskan sayap kirinya dan aku jatuh terpelanting! Angin kibasan sayapnya ini mempunyai tenaga yang luar biasa besarnya hingga aku mengerti mengapa Harimau Bertanduk dan Rajawali Emas itu takut menghadapinya. Ternyata merak itu bukanlah binatang sembarangan dan mempunyai kesaktian luar biasa!”

Nelayan Cengeng menjadi kagum sekali mendengar cerita tentang merak ajaib ini, maka ia lalu berkata,

“Aku pernah mendengar tentang burung merak yang datang dari negeri sebelah selatan Tiongkok, dan kabarnya merak di negeri itupun amat cantik dan kuat, akan tetapi belum pernah aku mendengar tentang burung merak sehebat seperti yang kau ceritakan itu.”

Juga Lin Lin dan Ma Hoa merasa kagum sekali, dan Lin Lin segera mendesak agar Yousuf suka melanjutkan penuturannya!

“Terpaksa kami berdua membawa kawan kami yang terluka dan melarikan diri ke atas perahu. Kami tidak berani mendarat oleh karena pulau itu ternyata mempunyai penghuni yang aneh-aneh dan lihai. Kami hanya mendayung perahu mengitari pulau itu dan sungguh aneh. Selain tiga ekor binatang aneh itu, kami tidak melihat apa-apa lagi. Kami lalu mendarat dari bagian lain untuk menyelidiki dan ternyata di puncak bukit terdapat sebuah telaga yang airnya berwarna indah, kadang-kadang hijau, ada merahnya, lalu kuning, bagaikan warna pelangi di udara, akan tetap pada dasarnya berwarna kehitam-hitaman.

Kami mempunyai keyakinan bahwa pulau itu tentu menyimpan harta yang luar biasa, maka kami lalu berputar sambil memeriksa. Untung sekali kami tidak pergi terlalu jauh dari pantai, oleh karena selagi kami berjalan, tiba-tiba dari atas terdengar suara yang menakutkan dan betul saja, burung Rajawali Emas yang kami takuti itu telah menyambar dari atas dan menyerang kami! Kami berdua lalu memutar-mutar pedang di atas kepala untuk melindungi kepala kami dari terkaman burung hantu itu sambil berlari ke perahu kami.

Dan dengan penuh ketakutan, kami lalu pergi dari pulau itu, dan kawan kami yang terluka itu terpaksa kami lempar ke laut oleh karena ia meninggal dunia karena lukanya. Demikianlah kami kembali ke negeri kami dan Raja kami yang mendengar tentang penuturanku, lalu memerintahkan barisan besar untuk menyelidiki keadaan pulau itu. Dan harap kalian jangan kaget, aku adalah seorang yang ditugaskan untuk memimpin rombongan penyelidik atau mata-mata Pemerintah Turki.”

Ketika melihat betapa ketiga orang Han itu tidak terpengaruh oleh pengakuannya, ia lalu melanjutkan,

“Dan aku pergi sekarang ini pun oleh karena perintah Rajaku untuk membuka jalan sebagai perintis menuju ke pulau itu.” Sambil berkata begini, ia memandang tajam kepada Nelayan Cengeng untuk melihat perubahan muka pendengarnya, akan tetapi Nelayan Cengeng agaknya tidak tertarik sama sekali, bahkan lalu berkata,

“Aku ingin sekali melihat binatang-binatang aneh itu.”

Juga Lin Lin dan Ma Hoa berkata.
“Alangkah senangnya kalau dapat membawa pulang burung merak sakti itu.”

Maka gembiralah hati Yousuf melihat keadaan ketiga orang itu yang sama sekali tidak mau atau ambil peduli tentang segala urusan negeri. Saking girang dan lega hatinya, Yousuf lalu bernyanyi sebuah lagu Turki yang didengar oleh kawan-kawannya dengan penuh perhatian, kagum dan geli, oleh karena biarpun mereka harus mengakui bahwa Yousuf memiliki suara yang empuk dan merdu, namun lagu yang dinyanyikannya terasa asing bagi telinga mereka hingga terdengar sumbang dan lucu.

Pada saat Yousuf selesai bernyanyi, hari telah menjadi gelap dan mereka telah tiba di dekat Pulau Kim-san-to. Tiba-tiba Yousuf menunjuk ke depan dan berkata,

“Nah, kalian lihatlah baik-baik, bukankah Kim-san-to benar-benar pulau yang menakjubkan?”

Nelayan Cengeng, Lin Lin dan Ma Hoa menengok dan ketiganya menahan napas dengan mata terbelalak ketika melihat pemandangan ajaib yang terbentang di depan mata mereka. Mereka telah melihat Kim-san-to di waktu malam, melihat bukit yang mencorong dan berkilauan seakan-akan bukit itu terbuat daripada emas murni.

“Mungkinkah ini?” Nelayan Cengeng menggerakkan bibirnya.






“Apakah aku sedang mimpi?” bisik Lin Lin sambil mengucek-ngucek kedua matanya seakan-akan tak percaya kepada matanya sendiri. Ma Hoa juga terpesona hingga gadis ini berdiri diam bagaikan patung batu.

“Hebat bukan? Aku sendiri ketika melihat untuk pertama kalinya, telah berlutut dan menyebut nama Dewata, karena menyangka bahwa aku telah melihat Surga diturunkan di atas tempat ini. Tempat seperti itu, pantasnya menjadi kediaman para Dewata, bukan?” terdengar Yousuf berkata hingga ketiga orang itu tersadar dan menghela napas.

“Benar-benar hebat, Saudara Yousuf. Terus terang saja, tadinya aku masih ragu-ragu dan timbul persangkaanku bahwa kau membohong atau melebih-lebihkan ceritamu, akan tetapi melihat pemandangan ini aku menjadi percaya penuh kepadamu, juga tentang penghuni pulau yang aneh-aneh itu,” kata Nelayan Cengeng.

“Mari kita ke sana sekarang juga!” kata Ma Hoa dengan gembira, dan Lin Lin juga mendesak supaya mereka segera pergi ke pulau indah dan ajaib itu.

Akan tetapi Yousuf menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata,
“Jangan pergi sekarang aku belum tahu benar, apakah selain ketiga binatang sakti itu tidak ada lain makhluk berbahaya di pulau itu. Mendarat malam-malam adalah hal yang sembrono dan berbahaya sekali. Lebih baik kita menanti di perahu sampai besok pagi, barulah kita mendarat dengan hati-hati.”

Nelayan Cengeng yang dapat memaklumi hal ini dan dapat berpikir lebih luas menyetujui ucapan ini hingga terpaksa Lin Lin dan Ma Hoa yang sudah tidak sabar menanti itu menekan perasaan mereka dan semalam suntuk mereka tidak mau tidur, hanya duduk di atas perahu sambil menikmati pemandangan indah itu dan mengaguminya.

Melihat pemandangan indah sekali itu, Lin Lin dan Ma Hoa yang duduk berdua saja, lalu teringat kepada kekasih masing-masing. Dan tiba-tiba wajah mereka menjadi berduka. Ma Hoa tahu akan perubahan pada muka Lin Lin dan ia bertanya perlahan,

“Lin Lin mengapa tiba-tiba kau menghela napas dan seperti orang berduka?”

Lin Lin tiba-tiba menjadi merah mukanya dan dengan perlahan sambil memegang tangan Ma Hoa, ia bertanya,

“Enci Hoa, apakah kau tidak teringat pada kakakku Kwee An?”

Ma Hoa memegang tangan Lin Lin erat-erat sambil bermerah muka, lalu berkata,
“Jadi itukah yang mengganggu pikiranmu? Kita harus meneguhkan hati dan bersabar, Adikku. Aku yakin bahwa Saudara Cin Hai dan… dia akan selamat oleh karena mereka berdua memiliki kepandaian yang tinggi.”

Lin Lin maklum bahwa keadaan hati dan pikiran Ma Hoa pada saat itu sama dengan keadaan hati dan pikirannya maka ia tidak mau bicara tentang hal kedua pemuda itu terlebih lanjut. Dalam berdiam, mereka seakan-akan mendengar bisikan jantung mereka masing-masing yang membuat mereka merasa saling tertarik lebih dekat lagi.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi setelah matahari naik ke puncak bukit, Yousuf baru berani mendarat di pulau yang aneh itu. Dilihat pada siang hari, pulau itu merupakan sebuah pulau kecil yang berbukit satu dan yang kelihatan biasa saja seperti pulau-pulau lainnya.

Mereka berempat lalu mendarat dan bersiap sedia dengan senjata mereka kalau-kalau ada binatang luar biasa yang datang menyerang. Akan tetapi aneh sekali, dan terutama Yousuf merasa heran karena tak seekor binatang pun yang dulu dilihatnya kelihatan muncul.

“Apakah selama beberapa tahun ini mereka telah mati?” katanya pada diri sendiri akan tetapi diucapkan dengan mulut.

“Mungkin juga, karena benda atau mahluk apakah di dunia ini yang tidak akan menyerah terhadap kematian?” kata Nelayan Cengeng yang membawa dayungnya yang besar dan berat dipanggul di pundak.

Mereka lalu menjelajah di pulau itu dan ternyata bahwa selain burung-burung kecil yang berkicau di atas pohon pulau itu nampaknya tidak ada mahluk yang berbahaya. Mereka lalu mengunjungi danau yang dulu diceritakan oleh Yousuf dan bersama-sama mengagumi danau yang berwarna macam-macam itu.

“Ada sesuatu yang mengerikan di bawah danau ini agaknya,” kata Nelayan Cengeng hingga Lin Lin dan Ma Hoa lalu saling mendekat dan saling berpegang tangan oleh karena kedua gadis ini pun merasa betapa danau ini berbeda dengan danau biasa, seakan-akan di dasarnya yang hitam dan mengerikan!

Yousuf lalu mengajak mereka memeriksa terus keadaan pulau itu dengan pengharapan untuk mendapatkan harta atau emas yang disangkanya berada di pulau itu akan tetapi mereka tidak mendapatkan sesuatu yang berharga.

Matahari telah naik tinggi ketika mereka tiba di sebuah puncak lain yang ditumbuhi banyak bunga-bunga indah. Tiba-tiba Lin Lin berseru,

“Ada gua disini!”

Ketika semua orang menghampiri, benar saja, tertutup oleh rumput alang-alang yang tinggi terdapat pintu gua yang cukup besar dan tinggi. Gua itu tadinya gelap oleh karena terhalang oleh alang-alang, akan tetapi segera setelah Yousuf menggunakan pedangnya untuk membabat alang-alang itu, di dalam gua menjadi terang oleh karena kebetulan sekali gua menghadap ke barat dan matahari yang sudah condong ke barat itu menyinarkan cahayanya ke dalam gua.

Dengan didahului Yousuf dan Nelayan Cengeng, keempat orang itu memasuki gua dengan perlahan dan hati-hati, dan tak lupa mereka menyiapkan senjata di tangan masing-masing menghadapi bahaya yang mungkin timbul. Gua itu ternyata memang cukup luas, akan tetapi dalamnya hanya kira-kira tiga tombak saja dan di dalamnya kosong tidak menampakkan sesuatu yang aneh.

Tiba-tiba Lin Lin menjerit perlahan dan melompat seakan-akan diserang oleh sesuatu yang mengerikan dari bawah tanah! Semua orang terkejut dan bertanya,

“Ada apakah?”

Lin Lin dengan tangan menggigil menunjuk ke bawah dan ternyata bahwa kaki gadis itu tadi telah tersangkut oleh sebuah tulang tangan orang yang menonjol keluar dari tanah yang tertutup pasir itu! Tangan ini hanya kelihatan lima jarinya saja, sedangkan tulang rangka selebihnya terpendam di bawah pasir! Tentu saja melihat lima buah jari tangan yang sudah menjadi rangka itu di tempat yang mengerikan menimbulkan hati takut dan ngeri.

“Tentu ada apa-apanya di bawah ini,” berkata lagi Nelayan Cengeng dan ia segera mulai menggali pasir yang menimbun tangan rangka itu.

Setelah digali, maka tampaklah rangka manusia yang lengkap terpendam di pasir dan disebelah rangka itu terdapat sebatang pedang yang telah habis dimakan karat dan pedang itu hanya tinggal sisanya sepanjang paling banyak satu kaki saja lagi. Sisa ini pun telah merupakan besi berkarat dan gagangnya sudah tinggal sepotong kayu lapuk.
Sambil memegang pedang bobrok itu dan mengamat-amatinya dengan penuh perhatian, Nelayan Cengeng berkata sambil menghela napas.

“Ah, kalau saja pedang bobrok ini dapat bicara, tentu ia akan menceritakan riwayat orang ini yang tentu indah menarik sekali. Apalagi tubuh manusia sedangkan pedang yang aku percaya tadinya adalah sebatang pedang pusaka yang ampuh, kini hanya tinggal sisanya yang sudah tidak berharga lagi saja!”

Sambil berkata demikian, Nelayan Cengeng lalu menaruh kembali pedang yang tinggal sepotong dan karatan itu di dekat rangka itu.

“Kita harus tanam kembali rangka ini dengan pasir,” katanya penuh kekecewaan karena tidak mendapatkan sesuatu di situ.

“Nanti dulu, Locianpwe!” tiba-tiba Lin Lin berkata. “Agaknya tidak percuma tangan rangka ini tadi menowel kakiku dan karena di sini tidak terdapat sesuatu, biarlah kusimpan sisa pedang ini sebagai kenang-kenangan kunjunganku ke pulau ini.”

Nelayan Cengeng tertawa.
“Kau ini memang aneh! Untuk apakah sisa pedang bobrok itu?”

Akan tetapi semua orang tidak melarang ketika Lin Lin dengan hati-hati mengambil pedang bobrok itu dan membungkusnya dengan baik-baik di dalam saputangannya, lalu menyelipkannya di ikat pinggang.

Setelah mengubur kembali rangka itu dengan baik-baik, mereka lalu mengambil keputusan untuk bermalam di gua ini yang merupakan tempat baik sekali untuk berlindung dari serangan angin atau binatang buas yang mungkin menyerang di waktu malam.






Tidak ada komentar :