*

*

Ads

Jumat, 31 Mei 2019

Pendekar Bodoh Jilid 113

Ketika Kwee An mengerling ternyata ruang yang luas itu telah penuh orang-orang, laki-laki dan wanita, serta kanak-kanak yang kesemuanya memandangnya dengan kagum! Dikelilingi oleh sekian banyak laki-laki berkumis sedangkan ia sendiri tidak, dan sekian banyak wanita-wanita cantik yang bergigi hitam, ia merasa seakan-akan ia berada di dunia lain!

“Anak muda, ketahuilah bahwa aku adalah Sanoko, pemimpin rombongan bangsaku yang terdiri dari dua ratus jiwa lebih. Meilani adalah puteriku dan pemuda yang kau kalahkan tadi adalah puteraku. Kau siapakah dan dimana kau mempelajari ilmu cambuk yang hebat hingga telah mengalahkan puteraku?” pertanyaan ini diajukan dengan mata memandang kagum.

“Aku bernama Kwee An, tentang ilmu cambuk itu, sesungguhnya aku belum pernah mempelajarinya. Hanya sedikit ilmu silat bangsaku pernah kupelajari hingga aku dapat mempertahankan diri terhadap serangan cambuk puteramu.”

Tiba-tiba gadis yang bernama Meilani itu lalu bicara kepada ayahnya, dan ternyata suaranya merdu dan nyaring. Ayahnya tertawa bergelak, lalu bertanya kepada Kwee An,

“Kwee-taihiap, apakah kau juga pandai bermain golok?”

Mendengar bahwa kepala suku bangsa Haimi ini tiba-tiba menyebut taihiap (pendekar besar), Kwee An merasa sungkan juga, maka sambil merendah ia menjawab,

“Aku pernah mempelajari sedikit ilmu pedang, akan tetapi sayang sekali pedangku itu telah hilang di jalan.”

Ketika Sanoko menterjemahkan ucapan Kwee An kepada anak perempuannya, tiba-tiba gadis itu berlari masuk ke dalam rumah dan keluar pula sambil membawa sebatang pedang yang terbungkus kain kuning. Ia lalu menyerahkan pedang itu kepada Kwee An yang ketika menerima dan melihat pedang itu, menjadi terkejut sekali karena pedang itu bukan pedang sembarangan, akan tetapi sebuah pedang mustika yang ringan sekali dan tajam serta mengeluarkan cahaya kekuningan! Meilani lalu bicara kepada ayahnya yang menjelaskan pada Kwee An,

“Anakku Meilani dulu pernah menemukan golok dan pedang ini di dalam sebuah gua dan oleh karena kami tidak pernah mempelajari ilmu pedang, hanya mempelajari sedikit ilmu golok, maka pedang ini tidak ada yang dapat menggunakannya. Maka karena anakku juga pernah belajar main golok, ia sekarang minta supaya kau suka melawannya dengan pedang ini dan apabila kau dapat mengalahkannya, maka pedang ini dihadiahkan kepadamu!”

Bukan main girang hati Kwee An, oleh karena ia maklum bahwa ini benar-benar pedang yang ampuh dan tajam. Pada tempat dekat gagang ini melihat ukiran dua huruf “Oei Kang” yang berarti “Baja Kuning”.

Akan tetapi, pada saat itu ia tidak sempat memperhatikan keadaan Oei-kang-kiam itu terlebih teliti lagi oleh karena ia merasa kaget mendengar bahwa dara cantik bergigi hitam itu mengajaknya pibu! Tak pernah disangkanya bahwa gadis itu pun pandai ilmu golok.

Ketika ia melihat golok itu, ia maklum pula bahwa golok itu pun terbuat daripada logam yang sama dengan pedangnya, karena mengeluarkan cahaya kekuningan. Sebagai seorang ahli silat, tentu saja Kwee An tidak menolak ditantang pibu, maka ia segera menjawab,

“Baik, hanya kuharap saja Nona Meilani akan berlaku murah hati kepadaku.”

Setelah mendengar jawaban pemuda itu, Meilani lalu bertindak keluar dari pondok, diikuti oleh ayahnya dan adiknya. Kwee An juga keluar dari situ membawa pedang Oei-kang-kiam, dan semua orang lalu keluar pula dengan wajah berseri gembira, seakan-akan mereka hendak menghadiri pesta perayaan yang menarik hati.

Setelah berada di halaman pondok yang luas, Meilani lalu melompat dengan gerakan ringan dan lincah sambil membawa goloknya. Gadis ini lalu mempererat ikat pinggangnya, mengikat pula dua kuncir rambutnya lalu diselipkan di dalam baju di belakang punggung. Setelah itu, dengan gagah dan cantik, ia berdiri menanti Kwee An dengan golok di tangan kanan dan senyum manis menghias bibirnya.

Ketika melihat gerakan gadis yang melompat tadi, Kwee An merasa kagum juga karena Meilani ternyata memiliki gerakan yang gesit. Maka ia menjadi gembira juga dan sambil memegang pedang Oei-kang-kiam di tangan kanan, ia lalu membuat gerakan Naga Sakti Menembus Awan, melompat ke hadapan gadis itu.

Ia telah melompat cepat dari tempat yang jauhnya kira-kira lima tombak, maka gerakannya ini disambut dengan tampik sorak oleh semua penonton yang secara cepat sekali mengelilingi tempat adu silat itu!






Melihat bahwa pemuda ini telah melompat di depannya, Meilani berseru nyaring yang maksudnya memberitahu bahwa ia hendak mulai menyerang. Ia menggerakkan goloknya, diputar-putar di atas kepala seperti gerakan orang Haimi bermain cambuk, kemudian tubuhnya menerjang dengan sebuah lompatan cepat dan golok itu menyambar ke arah leher Kwee An! Seperti juga pedang Oei-kang-kiam, golok di tangan gadis itu tipis dan tajam, akan tetapi ringan sekali hingga gerakan Meilani cepat sekali datangnya.

Kwee An hendak mencoba pedangnya, maka ia lalu mengangkat pedang menangkis. Terdengar suara nyaring dan ketika dua batang senjata itu beradu, dari pedang dan golok yang terbuat dari logam yang sama itu keluarlah bunga-bunga api berwarna hijau. Meilani berseru kaget karena ketika goloknya beradu dengan Oei-kang-kiam, hampir saja senjata itu terlepas dari pegangannya!

“Hebat sekali tenagamu!” katanya dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Kwee An, akan tetapi yang membuat para pendengarnya, terutama Sanoko, menjadi kagum, karena ia tahu bahwa puterinya itu telah diberi latihan tenaga dalam yang cukup tinggi maka dengan sekali tangkis saja membuat puterinya memuji, tentu pemuda tanpa kumis itu benar-benar lihai!

Meilani lalu memutar-mutar goloknya dan memainkan ilmu golok yang cukup hebat. Golok di tangannya berubah menjadi sinar kuning yang bergulung-gulung bagaikan gelombang menderu mengancam diri Kwee An, akan tetapi Kwee An lalu mengeluarkan ilmu pedangnya Hai-liong-koamsut yang dulu ia pelajari dari Nelayan Cengeng.

Melihat betapa pemuda itu berkelebat cepat sekali seakan-akan menerobos di antara sinar goloknya dan kadang-kadang lenyap dari pandangan matanya, Meilani menjadi terkejut sekali.

Sedangkan semua penonton menjadi melongo keheranan melihat kehebatan ilmu sitat Kwee An dan pertandingan yang seru itu membuat mereka menahan napas dan lupa untuk bersorak.

Sanoko juga merasa kagum sekali karena puterinya yang tadinya menggerakkan golok hendak mengurung, kini bahkan kena dikurung oleh pedang Kwee An. Saking tegangnya, ia sampai berdiri dari tempat duduknya dan memandang dengan penuh perhatian. Gerakan pedang Kwee An benar-benar merupakan seekor naga laut yang mengamuk hingga diam-diam ia mengakui bahwa belum pernah ia menyaksikan ilmu silat sedemikian lihainya.

Kwee An yang merasa gembira karena mendapatkan pedang yang baik sekali, mendemonstrasikan ilmu pedangnya tanpa bermaksud melukai lawannya, hanya mengurungnya dengan pedang saja. Kalau ia mau, dengan mudah saja ia dapat menjatuhkan Meilani, akan tetapi mana hatinya tega untuk melukai gadis cantik yang tidak bermaksud buruk terhadap dirinya itu.

Dikurung oleh sinar pedang Kwee An yang lihai, lambat laun Meilani merasa pening dan pandangan matanya kabur. Tiba-tiba ia berseru keras dan segera tubuhnya melompat tinggi dan jauh. Ketika ia turun, ia berdiri memandang dengan wajah kemerah-merahan, kemudian setelah memandang dengan kagum kepada pemuda itu ia lalu melemparkan goloknya kepada Kwee An yang disambut dengan baik oleh tangan kiri Kwee An!

Melihat hal ini, semua orang bersorak riang dan bahkan ada beberapa orang yang menghampiri Kwee An, memeluk dan menciumi pipinya hingga pemuda itu merasa geli sekali karena merasa betapa kumis-kumis mereka itu seakan-akan mengitik-itiknya. Kakek yang dapat berbahasa Han itu pun menghampirinya dan menjura sambil berkata,

“Kionghi, kionghi, (selamat, selamat)…!”

Kwee An hanya menyangka bahwa kakek itu memberi selamat atas kemenangannya, maka alangkah terkejutnya ketika Sanoko datang menghampirinya, memeluknya sambil berkata dengan suara yang penuh keharuan.

“Kwee An, puteriku telah memilih jodohnya dan aku merasa girang sekali mendapat seorang mantu seperti engkau!”

“Apa…? Apa maksudmu…?” Ia bertanya sambil memandang dengan mata terbelalak heran.

“Meilani telah memberikan goloknya dan kau telah menerimanya dengan baik, masih bertanya apa lagi? Harap kau berlaku seperti seorang laki-laki sejati dan jangan berpura-pura atau malu-malu. Upacara pernikahan dilakukan besok pagi dan sementara itu, kau boleh mengadakan persiapan dan dibantu oleh pamanku ini!” kata Sanoko sambil menunjuk kepada kakek penghisap huncwe yang ternyata adalah pamannya sendiri. Kemudian ia masuk ke dalam rumah dengan tindakan kaki gagah.

Kwee An berdiri bagaikan sebuah patung dan ketika kakek itu menariknya menuju ke sebuah pondok tak berjauhan dari tempat itu, Kwee An segera bertanya,

“Lopek, apakah maksudnya ini semua?”

“Barangkali kau tidak tahu, anak muda. Sudah menjadi kebiasaan kami bahwa apabila seorang gadis memberikan goloknya pada seorang pemuda dan pemberian itu diterimanya, maka itu berarti bahwa mereka telah mengikat diri menjadi jodoh masing-masing. Tadi Meilani telah memberikan goloknya kepadamu dan kau telah menerimanya, maka berarti bahwa kau adalah jodoh Meilani. Kau boleh merasa bangga dan bahagia oleh karena Meilani adalah gadis tercantik diantara bangsa kami dan telah banyak pemuda yang merindukannya. Selain berkepandaian tinggi dan menjadi puteri kepala kami, dia juga berilmu tinggi dan berbudi baik. Tidak kau lihatkah betapa cantik jelitanya dia?”

Pucatlah wajah Kwee An mendengar ini.
“Tapi… tapi… bukan maksudku untuk menerimanya sebagai… sebagai… jodohku. Aku tidak tahu akan kebiasaan menerima golok itu. Ia melemparkan goloknya kepadaku, sudah tentu saja kusambut dengan tangan. Lopek tolonglah aku karena aku sungguh-sungguh tak dapat menerima perjodohan ini!”

Wajah kakek itu berubah tak senang.
“Mengapa begitu? Apakah dia kurang cantik? Anak muda, ingatlah bahwa di seluruh daerah ini tak mungkin kau akan mendapatkan seorang gadis seperti Meilani. Dia telah memilihmu tanpa mempedulikan wajahmu yang tidak patut karena tidak berkumis, semata-mata karena ia kagum melihat kelihaian ilmu pedangmu. Sanoko juga telah menyetujuinya, maka kau tidak boleh menolak. Penolakanmu ini akan berarti penghinaan kepada kami seluruh suku bangsa Haimi dan tentu kau akan dikeroyok dan dibunuh kalau kau berani menolak. Untung bahwa penolakanmu ini hanya terdengar olehku yang masih dapat berpikir panjang, kalau terdengar oleh orang lain terutama oleh Sanoko, tentu kau akan dibunuh!”

Bukan main terkejut hati Kwee An mendengar ini. Ia segera berdiri dan sambil menyerahkan kembali golok Meilani kepada kakek itu, ia lalu berkata,

“Lopek, kau kembalikan golok ini dan sampaikan salam serta hormatku kepada Sanoko, serta penyesalan dan maafku kepada Meilani, karena kalau memang demikian halnya, sekarang juga aku mau pergi agar jangan timbul hal-hal yang tidak diinginkan.”

Akan tetapi begitu menerima kembali golok baja kuning itu kakek ini lalu melompat berdiri dengan sikap mengancam.

“Tidak bisa, anak muda! Ketahuilah bahwa perbuatanmu ini hanya akan membuat Meilani malu sekali dan pasti ia akan membunuh diri, sesuai dengan adat kami. Dan karena ini, sebagai paman kakek gadis itu, aku takkan membiarkan kau pergi! Kau baru bisa meninggalkan tempat ini setelah melewati mayatku!”

“Jangan, Lopek, biarkan aku pergi!” kata Kwee An dengan gugup akan tetapi, kakek itu lalu menyerangnya dengan golok di tangan!

Penyerangannya hebat sekali, jauh lebih lihai daripada gerakan golok Meilani, hingga Kwee An terpaksa mengeluarkan ilmu silat yang ia pelajari dari Hek Mo-ko. Dan sekali tubuhnya berkelebat dan tangannya diulurkan, golok itu telah terampas olehnya!

“Kau benar-benar lihai, nah, kau bunuhlah dulu aku sebelum pergi dari sini!”

Lemaslah tubuh Kwee An. Ia merasa bingung sekali. Kalau sampai benar-benar gadis itu membunuh diri karena ia tinggal pergi, ia merasa tidak tega sekali. Maka ia lalu memandang kakek itu dengan mata mengandung permintaan tolong.

“Kakek, aku… tidak dapat melukaimu. Kalian telah berlaku amat baik kepadaku, begitu ramah tamah, bagaimana aku sampai hati mendatangkan malapetaka? Akan tetapi, perkawinan itu sungguh-sungguh tak mungkin kulakukan. Ketahuilah bahwa aku telah mempunyai seorang tunangan. Aku tidak bisa kawin dengan gadis lain.”






Tidak ada komentar :