*

*

Ads

Jumat, 31 Mei 2019

Pendekar Bodoh Jilid 114

Mendengar ini, kakek itu berpikir keras.
“Kalau menurut kebiasaan kami, tiada halangan bagi seorang pemuda untuk mempunyai dua orang isteri, sungguhpun hal itu jarang sekali terjadi. Aku maklum akan penolakanmu, dan ternyata kau memang seorang yang baik budi. Baiknya diatur begini saja, yang terpenting bagi seorang gadis kami ialah upacara pernikahan. Apabila upacara itu telah dilangsungkan, kau tidak berhalangan untuk meninggalkan isterimu walaupun tidak menjadi isteri dalam arti sesungguhnya. Setelah upacara selesai, kau boleh pergi kalau itu benar-benar kau kehendaki dan Meilani hanya akan merasa malu dan membunuh diri. Dengan demikian, kau tidak menghina bangsa kami dan tidak menghina Meilani.”

“Akan tetapi, Lopek, tentu Meilani akan memandang aku sebagai seorang laki-laki berhati rendah dan seakan-akan menipunya kalau setelah melakukan upacara pernikahan aku lalu pergi meninggalkannya!” Kwee An membantah.

“Jangan kuatir, sebelum upacara dilangsungkan malam ini juga aku akan memberitahukan kepadanya bahwa kau menjalankan upacara hanya untuk melindungi mukanya dari perasaan rendah dan malu, dan bahwa kau tidak mungkin menjadi suaminya karena kau telah mempunyai calon istri lain.”

Kwee An memegang tangan kakek itu dengan pernyataan terima kasihnya karena ia anggap itu adalah cara terbaik. Malam itu, lima orang gadis yang berwajah manis-manis dan bergigi hitam mengkilap, menyerbu masuk ke kamarnya di pondok kakek itu.

Sambil tertawa-tawa dan bicara tidak karuan karena tidak dimengerti oleh Kwee An, gadis-gadis itu menghampiri Kwee An. Ada yang memegang tangannya dan menarik-nariknya, ada yang memegang kepalanya, dan ada pula yang hendak menggunakan sesuatu untuk digosokkan di bawah hidungnya. Kwee An terkejut sekali dan dengan hati berdebar ketakutan ia lalu memberontak dan melepaskan diri dari serbuan kelima orang gadis itu!

“Eh, eh, kalian pergilah! Keluar dari kamar ini! Apakah kalian gila dan hendak menggangguku?” katanya dengan keras dan mata terbelalak.

Akan tetapi oleh karena kelima orang gadis itu tidak mengerti ucapannya, mereka hanya tertawa saja dan menghampirinya kembali! Kwee An lari ke sana ke mari di dalam kamarnya, akan tetapi dikejar-kejar oleh para gadis itu sambil tertawa-tawa! Karena merasa ngeri dan takut, Kwee An berteriak dan tak lama kemudian, datanglah kakek penghisap huncwe itu ke dalam kamarnya untuk melihat apakah yang terjadi di situ.

Melihat betapa Kwee An telah melompat ke atas pembaringan dan berdiri mepet di sudut sambil memandang lima orang gadis yang mengurungnya dengan mata terbelalak bagaikan seekor tikus melihat lima ekor kucing, tak tertahan lagi kakek itu tertawa bergelak!

Girang sekali hati Kwee An melihat kedatangan kakek itu dan ia lalu melompat turun dan lari ke belakang tubuh kakek tadi.

“Lopek, tolonglah aku. Mereka ini apakah tiba-tiba menjadi gila?”

“Ini termasuk upacara perayaan pernikahan yang akan dilangsungkan besok. Mereka datang untuk menggodamu dan untuk menggosok hidungmu dengan obat penumbuh kumis!”

“Apa?”

Kwee An berseru sambil menutupi hidungnya dengan tangan kanan, seakan merasa ngeri sekali bahwa hidungnya tadi telah terkena obat itu dan tumbuh kumis!

“Aku tidak mau… aku tidak mau, Lopek. Usirlah mereka keluar!” Sedangkan di dalam hatinya, Kwee An berkata, “Alangkah akan kagetnya Ma Hoa kalau ia kelak melihat aku berkumis panjang menjungat ke atas!”

Kakek itu lalu mengucapkan perkataan kepada para gadis itu yang lalu pergi sambil terkekeh-kekeh, akan tetapi ketika mereka memandang Kwee An, mereka merasa kecewa sekali! Kwee An menghela napas panjang karena lega hatinya melihat gadis-gadis itu sudah pergi.

“Bagaimana Lopek, apakah kau memberi tahu dan berterus terang kepada Meilani?”
Kakek itu mengangguk dengan muka sedih.

“Dan marahkah dia kepadaku?”

“Tidak, tidak marah. Hanya kecewa dan berduka. Kau… kau memang kejam.”

“Eh, mengapa kau berkata demikian, Lopek? Pernikahan ini terjadi karena salah sangka dan bukan terjadi atas kehendakku. Bahkan upacara ini pun terpaksa kulakukan hanya untuk menolong dia.”






Kakek itu mengangguk-angguk dan kembali menghela napas.
“Alangkah baiknya kalau kau benar-benar menjadi suami Meilani dan menjadi anggota keluarga kami. Kepandaianmu lihai sekali dan kau dapat kami harapkan untuk membantu kami mengusir para pengganggu kami, keparat-keparat Mongol itu!”

Tergerak hati Kwee An melihat wajah kakek yang telah keriputan itu nampak sedih sekali.

“Lopek, untuk membantu kalian, tak perlu aku harus menjadi keluarga saja. Kalau memang terdapat kesulitan dan aku bisa membantu, pasti aku akan membantu sekuat tenaga. Katakanlah, apakah yang telah terjadi dan apa pula yang diperbuat oleh orang-orang Mongol kepada bangsamu?”

Setelah menghela napas berulang-ulang kakek itu bercerita,
“Bangsa kami, yaitu suku bangsa Haimi, adalah yang besar dan memiliki kebudayaan tinggi. Akan tetapi, oleh karena kami merupakan bangsa perantau dan tidak punya tempat tinggal yang tetap, maka inilah yang merupakan kelemahan kami. Selama beberapa tahun ini, kami selalu mendapat pukulan dan gangguan dari bangsa Mongol yang memperluas daerah kekuasaan mereka. Banyak anggota keluarga kami dibinasakan, wanita diculik, dan harta benda kami dirampas! Hinaan-hinaan ini terpaksa kami terima dengan cucuran air mata dan dengan helaan napas, karena kami tidak berdaya.

Makin banyak kami melakukan perlawanan, makin banyak jatuh korban di pihak kami hingga makin lama makin kecillah jumlah keluarga kami, oleh karena pihak Mongol memang jauh lebih kuat daripada kami. Telah lama kami mengimpikan datangnya bintang penolong, dan setelah kini kau datang, maka besarlah harapanku dan harapan Sanoko bahwa kaulah orangnya yang dapat menolong kami membalas dendam kepada orang-orang Mongol serta mengusir mereka kalau berani datang mengganggu lagi. Akan tetapi, memang nasib bangsaku yang buruk… kau bahkan mengecewakan kami, menghancurkan hati puteri kami yang bernasib malang…”

Setelah mengucapkan kata-kata itu, dari kedua mata kakek itu mengalirlah beberapa butir air mata! Kwee An merasa terharu sekali dan ia segera memegang lengan kakek itu.

“Lopek, jangan kau kuatir. Aku bersumpah bahwa aku akan mengusir dan menghajar orang-orang Mongol yang berani mengganggu kalian. Tunjukkan dimana mereka berada, akan kudatangi dan kuhajar mereka!” kata-kata ini diucapkan dengan penuh semangat hingga kakek itu dapat tersenyum lagi.

“Hal itu mudah, nanti kalau upacara perkawinan sudah dilanjutkan akan kutunjukkan padamu dimana keparat-keparat itu berada.”

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, kakek itu telah memberi sesetel pakaian Haimi yang indah kepada Kwee An, lengkap dengan ikat kepala yang lebar.

“Pakailah ini, hanya untuk memenuhi syarat upacara adat.”

Agar jangan melukai perasaan kakek itu dan semua orang, terpaksa Kwee An lalu mengenakan pakaian itu.

“Ah, kau memang gagah sekali. Kalau kau membiarkan kumismu tumbuh, kau akan menjadi pemuda yang paling tampan di antara kami dan kau akan menjadi suami yang cocok sekali bagi Meilani! Sayang… sayang…” kata kakek itu sambil memandang dengan kagum.

Kemudian sambil menabuh kendang dan tambur, serombongan anak gadis “mengambil” pengantin laki-laki dan diiringkan menuju ke pondok pengantin perempuan.

Ketika kedua mempelai dipertemukan, Kwee An melihat betapa wajah “isterinya” itu basah dengan air mata dan diam-diam ia lalu menghela napas panjang dan terkenanglah ia kepada Ma Hoa. Ah, alangkah baiknya kalau yang menjadi mempelai wanita itu Ma Hoa.

Seorang pendeta Haimi membaca doa-doa dalam bahasa Haimi, akan tetapi dari cara-cara ia membaca doa, tahulah Kwee An bahwa upacara adat ini berdasarkan Agama Buddha yang telah berubah, disesuaikan dengan kepercayaan nenek moyang mereka.

Kwee An harus mengakui kecantikan Meilani yang benar-benar jelita itu, hanya kalau mengingat gigi yang dihitamkan itu, ia merasa sayang sekali. Pada saat upacara dilakukan, tiba-tiba seorang pemuda Haimi datang dengan tergesa-gesa dan melaporkan sesuatu kepada Sanoko.

Mendengar laporan ini, ributlah orang-orang yang berada di situ. Bahkan Meilani lalu membuka penutup mukanya dan segera mengambil goloknya yang telah dikembalikan oleh Kwee An.

“Apakah yang telah terjadi?”

Kwee An bertanya kepada Sanoko yang memberi aba-aba dan mengatur orang-orangnya yang telah berkumpul dengan senjata di tangan.

“Seorang Perwira Mongol yang kosen dan yang sering mengganggu kami telah datang dengan seorang kawannya. Dia telah menculik dua orang gadis dan membunuh tiga orang pemuda kami!”

“Keparat!” Kwee An memaki sambil mencabut Oei-kang-kiam “Hayo tunjukkan dimana ia berada!”

“Kami hendak mengeroyoknya, karena kepandaiannya tinggi sekali!” kata Sanoko dengan ragu-ragu.

“Jangan kuatir, biar aku yang menghadapinya!” Maka semua orang lalu mengiringkan pemuda itu, berlari keluar dari hutan.

Akan tetapi ketika mereka tiba di tempat yang dimaksudkan, ternyata bahwa dua orang gadis yang diculik itu telah tertolong oleh orang lain! Dan pada saat itu, kedua orang jahat itu sedang bertempur melawan seorang gadis yang gagah perkasa.

Hampir saja Kwee An menjerit karena girang, terkejut dan heran. Ternyata bahwa dua orang pengacau yang dimaksudkan itu adalah Ke Ce sendiri dan Bo Lang Hwesio! Sedangkan gadis berambut riap-riapan yang cantik jelita dan yang memainkan sepasang bambu runcing dengan hebatnya melawan kedua orang kosen itu, bukan lain ialah Ma Hoa sendiri!!

“Hoa-moi…!” Kwee An berseru dan ia segera menerjang maju dengan pedangnya.

Ketika Ma Hoa memandang, ia terbelalak heran melihat kekasihnya berada di tempat itu dan mengenakan pakaian yang aneh itu.

“Koko mari kita gempur bangsat-bangsat ini dan membalas dendam!” katanya sambil mengerjakan kedua batang bambu runcingnya dengan hebat dan luar biasa.

Biarpun merasa heran sekali melihat betapa kekasihnya itu dapat memainkan senjata aneh secara lihai itu, namun Kwee An tidak sempat bertanya. Ia lalu memutar pedangnya dan menyerang Bo Lang Hwesio yang bersenjata sebatang pedang pula karena kewalahan menghadapi Ma Hoa dengan tangan kosong saja.

Melihat munculnya Kwee An, Ke Ce menjadi jerih karena ia maklum bahwa setelah kini gadis itu memiliki ilmu silat yang demikian lihainya, maka ditambah dengan bantuan Kwee An yang juga lihai sekali, tak mungkin pihaknya akan memperoleh kemenangan. Apalagi ia melihat bahwa serombongan besar orang-orang Haimi dengan golok mereka di tangan juga ikut datang pula.

Orang Mongol yang licik ini lalu berseru keras dan segera melompat pergi dengan maksud melarikan diri. Akan tetapi, Ma Hoa tentu saja tidak mau melepaskannya. Sambil berseru nyaring, dara itu lalu melompat ke atas sebuah batu besar dan ketika Ke Ce lari, ia segera menyambar turun dengan kedua bambu runcing di tangan, bagaikan seekor burung rajawali menyambar korbannya. Ke Ce menjadi terkejut sekali ketika tiba-tiba dari atas terdengar bentakan Ma Hoa yang halus tapi nyaring,

“Bangsat keji hendak lari ke mana?”

Ke Ce menengok ke belakang dan mempercepat larinya oleh karena tadi ia telah merasa betapa lihai sepasang bambu runcing di tangan gadis ini hingga ia merasa percuma saja untuk melawan terus. Ia hendak mempergunakan ginkangnya yang tinggi untuk melarikan diri, akan tetapi Ma Hoa mengejar sambil berlompatan hingga sebentar saja ia sudah melompati kepala Ke Ce dan berdiri menghadang di depan pemuda Mongol itu!

“Kalau mau lari, hanya boleh lari ke neraka untuk menerima hukuman!” kata lagi Ma Hoa sambil mengirim tusukan dengan bambu runcingnya, yang kiri ke arah lawan, sedangkan yang kanan ke arah jalan darah di dada!






Tidak ada komentar :