*

*

Ads

Minggu, 02 Juni 2019

Pendekar Bodoh Jilid 115

Ke Ce terkejut sekali melihat betapa ginkang gadis ini sudah sedemikian sempurnanya dan terlebih kaget lagi ketika ia menghadapi serangan berbahaya itu. Ia membuang diri ke kiri, bergulingan di atas tanah sampai beberapa kaki jauhnya lalu melompat berdiri dan cepat menggerakkan kedua tangannya hendak mengirim pukulan Angin Topan yang hebat!

Akan tetapi Ma Hoa sudah siap menghadapi ilmu pukulan yang pernah membuat ia dan Kwee An terjungkal ke dalam jurang itu, maka sambil berseru keras ia melompat ke kiri dan cepat sekali tangan kanannya bergerak. Bambu runcing di tangan kanannya lalu meluncur melebihi anak panah terlepas dari busur cepatnya dan sebelum Ke Ce dapat berkelit, kembali bambu runcing di tangan kirinya meluncur menyusul bambu pertama!

“Cep, cep!”

Kedua bambu runcing itu menancap di tubuh Ke Ce, sebatang di tengah dada dan sebatang lagi di lehernya. Tubuh orang Mongol itu roboh dan nyawanya melayang pergi meninggalkan tubuh pada saat itu juga!

Terdengar sorak sorai riuh rendah dari orang-orang Haimi ketika melihat betapa musuh besar mereka itu binasa! Ma Hoa segera menghampiri tubuh Ke Ce, mencabut keluar dua bambu runcingnya dan membersihkan ujung bambu itu pada pakaian lawannya. Kemudian ia menghampiri rombongan orang Haimi yang menyambutnya dengan berlutut.

Ma Hoa mendekati Meilani dan mengangkat bangun gadis yang cantik itu, akan tetapi ketika ia bertanya, gadis itu menjawab dengan bahasa yang asing baginya. Gadis itu hanya menunjuk ke arah Kwee An dan Ma Hoa menengok.

Ternyata bahwa Kwee An sedang bertempur hebat melawan Bo Lang Hwesio. Kepandaian Bo Lang Hwesio benar-benar lihai, karena biarpun Kwee An telah mengeluarkan Ilmu Pedang Hai-liong-kiamsut, namun hwesio itu dapat menahan serangannya dengan baik dan bahkan membalas dengan serangan yang tak kalah hebatnya!

Kwee An lalu mengeluarkan ilmu silat yang ia pelajari dari Hek Mo-ko, dan sambil mainkan ilmu silat ini dengan tangan kiri, barulah ia dapat mengimbangi desakan Bo Lang Hwesio.

Namun, dalam lweekang ia masih kalah setingkat hingga tiap kali pedang mereka bertemu, Kwee An merasa betapa tangannya gemetar! Untungnya ia memegang pedang Oei-kang-kiam yang ampuh, kalau ia memegang pedang biasa tentu pedangnya akan dapat dipatahkan oleh pedang Bo Lang Hwesio yang selain merupakan pedang mustika, juga digerakkan dengan tenaga lweekang yang tinggi itu.

Melihat ini, Ma Hoa berseru,
“An-ko, jangan kuatir, aku membantumu!”

Tubuh gadis ini berkelebat dan segera kedua batang bambu runcingnya menyerang dengan hebat sekali. Bo Lang Hwesio harus mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya, karena baru menghadapi Kwee An seorang saja biarpun ia tidak akan kalah akan tetapi sudah amat sukar merobohkan anak muda itu, kini ditambah dengan permainan bambu runcing Ma Hoa dalam gerakan Ilmu Silat Bambu Kuning yang luar biasa, ia menjadi sibuk sekali!

Dengan perlahan akan tetapi tentu, Ma Hoa dan Kwee An mendesak hwesio itu hingga keringat dingin mulai mengucur keluar dari jidat Bo Lang Hwesio. Kwee An merasa gembira sekali oleh karena ia mendapat kenyataan betapa gerakan ilmu silat Ma Hoa amat lihai.

Sedangkan Bo Lang Hwesio amat gelisah menghadapi serangan sepasang orang muda yang lihai ini. Dia pun amat heran menyaksikan ilmu silat gadis itu karena ia teringat bahwa yang memiliki limu Silat Bambu Kuning ini hanyalah seorang pertapa sakti yang bernama Hok Peng Taisu! Mengapa tiba-tiba gadis ini dapat memiliki ilmu kepandaian ini?

Ketika Ma Hoa mendesak makin hebat, akhirnya ujung bambu di tangan kirinya berhasil menusuk pundak Bo Lang Hwesio yang berteriak kesakitan oleh karena biarpun ia memiliki lweekang yang membuat kulitnya menjadi kebal, namun tetap saja ujung bambu yang tajam itu telah melukainya.

Sambil berseru hebat ia memutar pedangnya dan ketika kedua lawannya mengelak, ia lalu melompat ke belakang dengan cepat dan kabur dari tempat itu. Ma Hoa hendak mengejar, akan tetapi Kwee An mencegahnya dan berkata,

“Yang mencelakai kita dulu adalah Ke Ce. Biarlah kita ampuni jiwa rendah hwesio itu!”

Ma Hoa dan Kwee An berdiri saling pandang dan sekarang setelah musuh pergi, mereka saling pandang dengan perasaan terharu sekali. Tak terasa lagi dari mata mereka mengalir air mata karena girang dan terharu, seakan-akan melihat kekasihnya baru bangkit dari lubang kuburan! Bagaikan ditarik oleh tenaga mujijat, keduanya saling rangkul sambil berbisik,

“Koko…”






“Moi-moi… serasa dalam mimpi dapat berjumpa dengan kau lagi…”

“Koko…” kata Ma Hoa setelah melepaskan diri dari rangkulan Kwee An dan memandang kepada pemuda itu dengan mata basah tapi bibir tersenyum, “kau… kelihatan lucu sekali! Dari mana kau peroleh pakaian seperti itu?”

“Untung saja kau tidak melihat aku berkumis seperti mereka itu!” kata Kwee An sambil menahan ketawanya.

Ma Hoa heran mendengar ini dan ketika ia menengok, orang-orang Haimi telah lari menghampiri mereka, dan Meilani lalu memegang tangan Kwee An dengan mesra, oleh karena ia tidak tahu bahwa Ma Hoa adalah wanita yang menjadi tunangan pemuda ini. Hati Meilani terlalu girang, karena Ke Ce terbunuh mati dan terlampau bangga karena betapapun juga, pemuda yang gagah berani dan yang telah berhasil mengusir musuh itu adalah “suaminya”.

“Engko An, siapakah gadis manis ini?”

“Dia adalah isterinya, lihiap!” kata Sanoko, “dan aku adalah pemimpin suku bangsa Haimi, juga menjadi ayah mertua Kwee An!”

Bukan main terkejut hati Ma Hoa mendengar keterangan Sanoko ini dan ia memandang kepada Kwee An dengan wajah pucat. Kwee An memegang tangan Ma Hoa dan berkata,

“Tenanglah, Moi-moi, hal ini memerlukan penjelasan!” Kemudian ia berkata kepada Sanoko dengan suara tegas,

“Dengarlah Sanoko! Kau tentu sudah mendengar keterangan dari Pamanmu dan ketahuilah bahwa Nona ini adalah tunanganku yang kuceritakan itu!”

Karena disitu terdapat banyak orang orang Haimi, biarpun mereka tidak mengerti percakapan mereka, namun Kwee An merasa tidak enak karena kalau sampai terjadi salah paham, maka Ma Hoa tentu akan marah sekali dan Meilani akan tersinggung, maka ia lalu memberi isyarat kepada Sanoko dan kakek penghisap huncwe untuk ikut bicara di tempat yang agak jauh dari mereka.

Meilani hanya memandang dengan heran dan tidak mengerti, akan tetapi ia tidak berani ikut bicara mencampuri pembicaraan mereka yang dilakukan dalam bahasa Han yang tidak dimengertinya.

“Lopek, sekarang harap kau suka ceritakan hal ini terus terang kepada tunanganku, agar tidak sampai terjadi salah paham,” kata Kwee An kepada kakek itu setelah mereka berada jauh dari rombongan itu.

“Lihiap, kata-kata Kwee-taihiap ini memang benar. Biarpun ia terpaksa menjalankan upacara pernikahan dengan Meilani, akan tetapi itu hanya untuk menjaga kehormatan puteri kami itu saja, dan Kwee-taihiap tadinya juga berkeras menolak, akan tetapi akhirnya menyetujui untuk melakukan upacara pernikahan berdasarkan menolong gadis itu.”

Maka dengan panjang lebar kakek itu lalu menuturkan bagaimana telah terjadi kesalah pahaman ketika Kwee An menerima golok dari Meilani, dan betapa kalau pemuda itu tidak memenuhi kebiasaan adat mereka, maka gadis itu tentu akan membunuh diri karena malu.

Ma Hoa mendengarkan semua ini dengan terharu. Tadinya ia marah sekali, akan tetapi setelah tahu akan duduknya perkara, ia merasa kasihan sekali kepada Meilani.

“An-ko, kalau kau memang suka kepada gadis itu, kawinlah dengan dia dan jangan kau pikirkan aku lagi!”

“Eh, eh, Moi-moi, mengapa kau berkata demikian? Selain dengan kau aku tidak mau kawin dengan wanita lain! Setelah mendengar keterangan tadi, apakah kau masih juga merasa cemburu kepadaku?”

“Bukan cemburu, akan tetapi aku merasa kasihan sekali kepada Meilani!”

Kemudian Ma Hoa lalu bertindak menghampiri Meilani dan memeluknya. Biarpun Meilani tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, akan tetapi oleh karena ia sudah mendengar dari Kwee An bahwa pemuda itu tidak bisa menjadi suaminya karena telah bertunangan dengan seorang gadis Han, maka ia dapat juga menduga.

Ketika melihat hubungan antara Ma Hoa dengan Kwee An, ia dapat menduga pula bahwa gadis inilah tentu yang menjadi tunangan Kwee An dan ia tidak hanya kagum akan kelihaian Ma Hoa, akan tetapi juga kagum melihat kecantikannya, hingga ia merasa bahwa memang gadis itu lebih cocok menjadi calon isteri Kwee An. Ketika Ma Hoa memeluknya, ia hanya dapat mengalirkan air mata saja.

Sanoko juga sudah tahu akan hal itu dan dia pun tidak merasa kecewa oleh karena ternyata bahwa “gadis saingan” puterinya adalah seorang pendekar wanita yang bahkan lebih membunuh bangsanya! Maka ketika kedua orang muda itu berpamit, ia hanya menghaturkan selamat jalan dan terima kasih.

Meilani tidak kuat melihat Kwee An pergi, maka ia mendahului lari masuk ke dalam hutan dan menangis di dalam pondoknya dengan hati hancur. Sedangkan semua orang Haimi ketika melihat Kwee An meninggalkan “isterinya” yang baru saja menikah dengannya, merasa tidak puas, akan tetapi mereka tidak berani banyak bertanya, hanya merasa berduka mengingat akan nasib Meilani.

Demikianlah, Ma Hoa dan Kwee An meninggalkan orang-orang Haimi itu dengan diikuti pandangan mata mereka yang merasa kagum sekali melihat betapa kedua orang muda bangsa Han itu berlari cepat sekali melebihi larinya rusa!

Tentu saja Kwee An dan Ma Hoa merasa bahagia sekali dapat bertemu dalam keadaan selamat, bahkan ketika mendengar dari Ma Hoa bahwa gadis itu telah mempelajari Ilmu Silat Bambu Kuning yang luar biasa dari Hok Peng Taisu, Kwee An menjadi gembira dan girang sekali.

Sebaliknya, ketika Kwee An menceritakan betapa ia telah menderita sakit sampai berbulan-bulan di dalam gua dalam keadaan menderita dan sengsara, kekasihnya menjadi terharu dan merasa iba sekali. Namun, masih saja dalam perasaan hati Ma Hoa merasa tidak enak oleh karena peristiwa yang terjadi dengan Kwee An ketika terpaksa menikah dengan Meilani itu.

“Koko,” katanya di tengah perjalanan, “agaknya kau suka kepada gigi hitam! Bagaimana kalau aku membikin hitam gigiku.”

Kwee An tersenyum pahit.
“Sudahlah, Hoa-moi, jangan kau menggoda terus. Sesungguhnya aku merasa ngeri tiap kali teringat akan gigi hitam dan kumis melintang!”

Ma Hoa tertawa.
“Kalau kubayangkan sungguh lucu. Kau berkumis panjang melintang yang ujungnya melingkar ke atas, sedangkan aku bergigi hitam mengkilap!”

“Betapapun juga, mereka adalah orang-orang baik. Bangsa Haimi itu dan nasib mereka buruk sekali. Moi-moi, biarlah kita jangan bicara tentang mereka lagi. Sekarang yang terpenting ialah, kemana kita harus mencari Lin Lin, Cin Hai dan Paman Yousuf?”

“Lin-lin dan Paman Yo dikejar-kejar oleh orang-orang Turki yang datang dari barat daya. Sebelum bertemu dengan kau, aku banyak mendengar orang bercerita bahwa di daerah Kansu dan Cinghai di barat kini terdapat orang-orang Turki yang menjadi pedagang. Aku mendengar bahwa di Kansu pemandangannya amat indah dan disana terdapat gua-gua kuno yang terkenal. Kalau hendak mendengar tentang Lin-lin dan Paman Yo, baiknya kita merantau ke barat dan menyelidiki orang-orang Turki itu, sekalian melihat pemandangan di kedua daerah itu. Bagaimana pendapatmu?”

Bagi Kwee An, jangankan harus pergi merantau dan menikmati perjalanan ke daerah-daerah yang indah dan menarik hati, biarpun harus ke neraka sekalipun, kalau bersama Ma Hoa, ia akan pergi dengan senang hati.

“Dugaanmu ini memang berdasar juga. Mudah-mudahan saja Cin Hai juga berpendapat sama dan pergi ke barat pula,” katanya.

Demikianlah, kedua sejoli itu lalu mulai melakukan perjalanan ke barat melalui sepanjang tapal batas Mongolia. Dalam menyeberangi Propinsi-propinsi Sui-yuan dan Ning-sia.

Siapa yang pernah melakukan perjalanan dengan seorang tunangan atau kekasih yang dicinta, dan mencinta, tentu akan maklum pula bahwa di dalam perjalanan itu, yang terasa hanyalah kegembiraan besar. Segala benda di dunia ini nampak seakan-akan bercahaya gemilang dan berseri, setiap daun dan bunga tersenyum manis, setiap suara terdengar bagaikan nyanyi indah dan merdu!






Tidak ada komentar :