*

*

Ads

Minggu, 16 Juni 2019

Pendekar Bodoh Jilid 147

Ia bertindak benar. Kalau saja ia melanjutkan serangannya mengandalkan ilmu sihir, dia pasti akan menderita celaka karena dalam hal ilmu sihir, gurunya sendiri belum tentu akan dapat mengatasi kekuatan Ibrahim!

Akan tetapi dalam hal ilmu silat, ternyata bahwa keadaan mereka seimbang. Ibrahim yang sudah tua itupun harus mengerahkan kepandaiannya untuk menghadapi lawan yang benar-benar tangguh ini! Kalau saja dia mau, Ibrahim dengan mudah dapat menggunakan kekuatan batinnya untuk merobohkan Wai Sauw Pu tanpa mengeluarkan tenaga tubuh, akan tetapi ia tidak mau melakukan hal ini.

Kalau lawannya mempergunakan ilmu hitam barulah ia akan menjaga diri dan mengembalikan segala serangan itu, akan tetapi oleh karena Wai Sauw Pu kini hanya mengandalkan kepandaian silatnya, Ibrahim yang tidak mau bermain curang itu pun lalu mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk melawan.

Biarpun ilmu silat mereka seimbang, akan tetapi Ibrahim kalah tenaga dan kalah ganas, biarpun ia menang dalam hal ketenangan dan pengalaman. Oleh karena itu, kedua orang itu bertempur dengan ramai sekali, sukar diduga siapa yang akan mendapat kemenangan terakhir.

Ang I Niocu, Ma Hoa, Kwee An, dan Nelayan Cengeng menjadi gelisah juga dan merasa kasihan melihat betapa Ibrahim yang sudah tua sekali itu terpaksa bertempur mati-matian menghadapi Wai Sauw Pu yang mempunyai gerakan ganas dan kuat. Akhirnya Nelayan Cengeng tak dapat menahan hatinya lagi dan dengan keras ia berkata,

“Ha-ha-ha! Alangkah lucunya! Seorang tinggi besar dan kuat seperti itu tidak berdaya menghadapi seorang kakek tua renta. Sedangkan tasbehnya saja gede-gede, segede obrolan dan kesombongannya. Ha-ha-ha. Lihat, lihat, aku berani bertaruh apa saja, dalam sepuluh jurus lagi ia tentu akan roboh bertekuk lutut!”

Bukan main marahnya Wai gauw Pu mendengar ejekan ini, karena ia pun tadi telah merasa penasaran dan panas perut karena kakek rambut putih itu ternyata sukar sekali dijatuhkan, kini ditambah dengan sindiran Nelayan Cengeng, ia tidak dapat menahan marahnya lagi dan sekali ia berseru, tangan kirinya telah mengayun senjata rahasianya yang lihai yaitu golok-golok kecil yang disebut Hui-to (Golok Terbang) dan yang jumlahnya tiga buah itu meluncur cepat ke arah Ibrahim.

Hui-to ini selain harus menggunakan tenaga lweekang untuk menyambitkannya, juga disertai ilmu sihir sehingga golok itu seakan-akan hidup dan menyambar bagaikan digerakkan oleh tangan-tangan yang tidak kelihatan.

Ibrahim tertawa bergelak dan berkata,
“Wai Sauw Pu, mengapa kau menyerang dirimu sendiri dengan hui-to?”

Dan aneh, sehabis kakek itu mengeluarkan ucapan ini disertai gerakan tangan kirinya, tiga batang golok yang meluncur ke arahnya itu tiba-tiba membelok dan membuat gerakan kembali serta menyerang ke arah Wai Sauw Pu sendiri.

Bukan main terkejutnya pendeta bersorban itu ketika melihat betapa tiga batang hui-tonya menyerang dia dan tak dapat dikendalikan oleh kekuatan sihirnya lagi, maka cepat-cepat ia mengebut dengan tasbehnya ke arah tiga batang golok itu sambil membentak.

“Runtuh!!”

Benar saja, tiga batang golok itu runtuh ke bawah, akan tetapi yang sebatang masih menghantam kakinya sehingga terlukalah kakinya oleh ujung golok.

Pada saat itu, di luar terdengar sorak sorai hebat dan Sahimba dengan senyum menyeringai lalu berseru,

“Yousuf, tibalah saatnya kalian binasa di ujung senjata!”

Sambil berkata demikian, Sahimba lalu mencabut pedang dan menyerang Yousuf, diikuti oleh Siok Kwat Mo-li yang mencabut sabuk kuning emas dan mainkan sabuk itu dengan hebat.

Lok Kun Tojin lalu mengeluarkan senjatanya yang lihai, yaitu sepasang roda yang diikat dengan tali. Juga ketiga orang tosu Kang-lam Sam-lojin lalu menarik keluar senjata masing-masing dan maju menyerbu kepada Yousuf dan kawan-kawannya.

“Manusia-manusia curang!” seru Nelayan Cengeng sambil memutar-mutar dayungnya yang hebat bagaikan seekor naga sungai mengamuk.






Ang I Niocu juga lalu mencabut pedang Cian-hong-kiam, Kwee An mencabut pedangnya Oei-hong-kiam yang bercahaya kuning, sedangkan Ma Hoa lalu menggerak-gerakkan sepasang bambu runcingnya!

Pertempuran dalam ruangan itu makin menghebat, dan kini mereka bertempur bukan untuk mengadu kepandaian, akan tetapi mengadu jiwa! Ternyata bahwa sorakan tadi datang dari kawan-kawan Sahimba yang memang telah direncanakan untuk maju menyerbu dan jumlah mereka amat besar sehingga orang-orang kampung pengikut Pangeran Tua yang dikepalai oleh Yousuf terdesak. Para penyerbu itu telah tiba di depan pintu Yousuf dan sebentar lagi mereka menyerbu ke dalam, membantu Sahimba dan kawan-kawannya!

Siok Kwat Mo-li dilawan oleh Ang I Niocu, Lok Kun Tojin dilawan oleh Nelayan Cengeng sedangkan Kang-lam Sam-lojin bertempur melawan Ma Hoa dan Kwee An. Kepandaian mereka berimbang dan pertempuran pasti akan berjalan seru dan lama apabila fihak Sahimba tidak menggunakan kecurangan.

Terdengar seruan Siok Kwat Mo-li dan iblis wanita ini lalu menyebar jarum-jarumnya yang berbahaya, sedangkan Wai Sauw Pu kembali mengeluarkan hui-to-hui-to yang tak kurang berbahayanya pula.

Tak lama kemudian, selagi Yousuf dan kawan-kawannya terdesak karena fihak lawan menyebar senjata-senjata rahasia yang lihai itu, dari luar masuklah para penyerbu yang telah berhasil memecahkan pertahanan para anak buah Yousuf. Pengikut-pengikut Pangeran Muda lebih ganas dan lebih banyak jumlahnya, sehingga banyak sekali anggota pengikut Pangeran Tua kena dilukai atau dibinasakan.

Melihat itu, Ibrahim segera berseru nyaring bagaikan seorang berdoa,
“Ampunkan hamba, Tuhan! Bukan maksud hamba hendak mengotorkan tangan membunuh, akan tetapi demi keselamatan semua kawan ini!” ia lalu mengerahkan kesaktiannya dan tiba-tiba ia mementang kedua lengannya ke depan dengan mata memandang penuh kekuatan batin.

“Sahimba… Dan enam orang kawanmu… dengarlah… aku perintahkan kalian berlutut… berlutut… berlutut…!”

Hal yang aneh terjadi. Sahimba dan kawan-kawannya tiba-tiba merasa kepala mereka pening dan tak dapat menguasai diri sendiri lagi. Akhirnya, seorang demi seorang menjatuhkan diri berlutut dan melempar senjata! Hanya Wai Sauw Pu yang juga memiliki ilmu sihir itu masih kuat mempertahankan diri.

“Ha-ha-ha… tua bangka… kau harus mampus…”

Dan secepat kilat ia mengayun enam batang hui-to ke arah Ibrahim yang masih berdiri diam dengan tangan terpentang bagaikan patung. Enam batang hui-to itu menancap dengan jitu ke sasarannya dan tubuh Ibrahim terhuyung-huyung lalu roboh.

Wai Sauw Pu tertawa bergelak-gelak, akan tetapi pada saat itu sebatang dayung di tangan Nelayan Cengeng menghantamnya dan biarpun ia masih mencoba mengelak, akan tetapi dayung itu masih menghantam dadanya sehingga beberapa tulang iganya patah-patah dan ia roboh di dekat mayat Ibrahim dalam keadaan tidak bernyawa pula!

Sementara itu, karena tewasnya Ibrahim maka pengaruh sihirnya pun lenyap dan Sahimba beserta kawan-kawannya menjadi sadar kembali. Akan tetapi, sebelum mereka sempat mengambil kembali senjata mereka, Yousuf yang marah sekali telah maju menyerang Sahimba hingga tembuslah punggung Sahimba oleh pedang Yousuf. Juga Ang I Niocu dan kawan-kawannya lalu menyerang lawan-lawannya yang kini melakukan perlawanan dengan tangan kosong.

Akan tetapi, para penyerbu yang terdiri dari anak buah Sahimba, telah masuk dan mengeroyok, sehingga Siok Kwat Mo-li, Lok Kun Tojin dan ketiga Kang-lam Sam-lojin telah mendapat kesempatan untuk mengambil senjata mereka kembali.

Pertempuran hebat berlangsung terus dan kini Yousuf dan kawan-kawannya mengamuk seperti harimau-harimau berebut daging. Terutama sekali Nelayan Cengeng yang sambil tertawa bergelak dan mata mengalirkan air mata, memutar-mutar dayungnya dengan dahsyat sehingga tidak saja para penyerbu menjadi gentar, akan tetapi juga Siok Kwat Moli dan kawan-kawannya menjadi jerih juga.

Dalam perkelahian itu, Siok Kwat Mo-li mendapatkan luka oleh tusukan pedang Ang I Niocu di pundaknya, sedangkan sebuah roda dari Lok Kun Tojin telah terampas oleh bambu runcing Ma Hoa. Oleh karena ini, mereka makin cemas dan lenyaplah nafsu perlawanan mereka, apalagi karena kini Sahimba yang mereka bantu telah tewas dan anak buahnya mulai melarikan diri pula.

Dengan teriakan keras, Siok Kwat Mo-li lalu mengajak kawan-kawannya untuk kabur. Yousuf tidak mengejar mereka, bahkan mencegah kawan-kawannya yang hendak mengejar,

“Biarlah, sudah terlalu banyak orang binasa dalam perang saudara yang terkutuk ini!”

Yousuf lalu mengumpulkan anak buahnya yang masih ada dan mereka lalu merawat semua orang baik kawan maupun lawan yang terluka dalam pertempuran itu, serta mengurus yang telah tewas.

Ang I Niocu, Nelayan Cengeng, Kwee An dan Ma Hoa tidak mau mengganggu Yousuf yang sedang berduka dan sedang sibuk mengurus semua itu, maka mereka lalu beristirahat dalam sebuah rumah di dalam kampung itu yang disediakan untuk mereka.
Setelah mereka berempat ramai membicarakan peristiwa yang baru terjadi dan mengambil keputusan untuk membantu Yousuf selama para pengacau dari Turki itu masih mengganggunya, tiba-tiba Ma Hoa lalu berkata kepada Kwee An.

“An-ko, mengapa kita lupa untuk memberi selamat kepada Enci Im Giok?” gadis ini bicara sambil tersenyum gembira sehingga Ang I Niocu menjadi terheran. Apalagi ketika ia melihat Kwee An memandangnya dengan tersenyum pula.

Selagi ia hendak bertanya, tiba-tiba Nelayan Cengeng tertawa girang dan berkata,
“Tadi kita tidak ada kesempatan. Sekarang akulah orang pertama yang harus memberi selamat kepadanya!”

Kemudian ia menghadapi Ang I Niocu lalu mengangkat kedua lengan memberi selamat sambil berkata keras-keras,

“Ang I Niocu, kionghi… kionghi… (selamat, selamat)!”

Ucapan ini diturut oleh Kwee An dan Ma Hoa yang juga berdiri memberi selamat. Ang I Niocu memandang berganti-ganti kepada mereka bertiga lalu katanya gagap,

“Nanti dulu…! Memberi selamat sih mudah, akan tetapi terangkanlah dulu untuk apakah kalian memberi selamat…?”

“Ha, masih berpura-pura lagi! Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu!” Ma Hoa menggodanya sambil memegang lengan Ang I Niocu. “Enci Im Giok, kau memang tidak ingat kepada kawan. Mengapa urusan itu kau rahasiakan saja?”

“Adik Hoa, kalau kau tidak mau lekas menceritakan padaku apa maksud kalian ini, tentu akan kucubit bibirmu!” kata Ang I Niocu dengan gemas sambil memandang kepada Ma Hoa dengan mata dipelototkan.

“Ha-ha-ha!” Nelayan Cengeng tertawa bergelak. “Urusan pertunangan dan jodoh adalah hal biasa saja, mengapa harus dirahasiakan terhadap kawan-kawan?”

“Pertunangan…? Jodoh… ?” Ang I Niocu memandang heran.

“Enci Im Giok, janganlah kau berpura-pura lagi. Kami tanpa disengaja telah mengetahui rahasiamu!” kata Ma Hoa, sedangkan Kwee An hanya tersenyum saja karena ia merasa malu dan tidak berani menggoda Ang I Niocu.

“Nanti dulu, Adik Hoa, aku masih belum mengerti. Urusan pertunangan yang manakah kau maksudkan?”

“Aduh, pandainya bermain sandiwara!” Ma Hoa menggunakan telunjuknya yang runcing menuding ke arah muka Ang I Niocu. “Siapa lagi kalau bukan urusan pertunanganmu? Jangan kau menyangkal bahwa kau telah bertunangan, Enci Im Giok! Buktinya nampak di depan mata!”

“Apa buktinya?”

Ma Hoa menuding ke arah pedang yang tergantung di pinggang Dara Baju Merah itu.
“Bukankah pedang yang kau pakai itu adalah Cian-hong-kiam pemberian tunanganmu?”

Mulai berdebar dada Ang I Niocu.
“Darimana kau dapat mengetahui hal ini?” tanyanya.

“Dari siapa lagi kalau bukan dari Lie-taihiap!”

Ang I Niocu bangkit berdiri dari tempat duduknya.
“Di… di mana dia…?”

Ma Hoa bertepuk tangan.
“Nah, nah… sekarang kau mencari-carinya. Kau mencari dia… siapakah, Enci…?”






Tidak ada komentar :