*

*

Ads

Minggu, 16 Juni 2019

Pendekar Bodoh Jilid 148

Dengan gemas Ang I Niocu mengulurkan tangan hendak mencubit pipi Ma Hoa.
“Jangan main-main, Adik Hoa. Benar-benarkah kau bertemu dengan dia?”

“Eh… dia siapakah…? Jelaskan namanya, ah…”

Ma Hoa menggoda lagi, akan tetapi Kwee An merasa kasihan kepada Ang I Niocu maka ia berkata,

“Kami memang telah bertemu dengan taihiap Lie Kong Sian.”

“Dimana? Bagaimana kalian bisa bertemu dengan dia?” tanya Ang I Niocu dengan heran.

“Sabar, Enci Im Giok. Sabar dan tenang. Kau duduklah baik-baik dan dengarlah ceritaku bagaimana kami bertemu dengan… calon suamimu yang gagah perkasa itu!”

Dengan muka merah karena jengah dan malu, Ang I Niocu yang “mati kutunya” terhadap godaan Ma Hoa itu, lalu duduk dan mendengarkan penuturan Ma Hoa.

Setelah berpisah dari Ang I Niocu di dalam hutan, Ma Hoa, Kwee An, dan Nelayan Cengeng lalu melanjutkan perjalanan mereka menuju ke barat. Tujuan mereka ialah Propinsi Kan-su dan ibu kotanya, yaitu Lan-couw. Mereka bertiga kini lebih bergembira melanjutkan perjalanan, oleh karena kenyataan bahwa Ang I Niocu masih hidup benar-benar membuat mereka merasa gembira sekali, lebih-lebih Ma Hoa yang merasa suka sekali kepada Dara Baju Merah yang lihai itu.

Gadis ini merasa betapa beruntungnya hidup ini. Ia dan kekasihnya selamat, bahkan mendapat guru baru yang lihai, dan kini mendapat kenyataan bahwa Ang I Niocu juga selamat pula. Dan ia merasa yakin bahwa Lin Lin dan Yousuf tentu akan terhindar dari bahaya pula. Alangkah akan senangnya kalau ia dapat bertemu dengan Lin Lin lagi.

Kegembiraannya membuat ia merasa seakan-akan seekor burung yang terbang bebas di udara, sehingga seringkali ia mendahului Kwee An dan Nelayan Cengeng, berlari-lari di depan.

Kwee An dan Nelayan Cengeng hanya tertawa saja melihat kegembiraan gadis itu. Mereka berdua dalam hati dan cara masing-masing mengagumi Ma Hoa dan memandang rambut gadis yang terurai dan berkibar-kibar di belakang leher itu. Kwee An merasa terharu melihat kesetiaan Ma Hoa yang untuk menyenangkan hatinya, benar saja menepati janjinya dan selalu membiarkan rambutnya terurai indah.

Ketika Ma Hoa sedang berlari-lari seorang diri di depan dan Kwee An Nelayan Cengeng berjalan di belakang seenaknya, tiba-tiba gadis itu mendengar teguran suara halus,

“Aduh, alangkah indah dan jelitanya bidadari berambut panjang.”

Ketika ia memandang, ia melihat seorang pemuda yang tampan dan yang berpakaian indah mewah sedang duduk di atas cabang pohon di atasnya sambil memandang dengan kagum dan tersenyum kepadanya.

“Laki-laki ceriwis! Tutup mulutmu yang lancang!” kata Ma Hoa dan ia tidak mau terganggu kegembiraannya, karena di dalam hatinya ia merasa bangga dan girang mendapat pujian itu.

Wanita manakah yang tidak suka menerima pujian tentang kecantikannya, apalagi kalau yang memuji itu seorang pemuda tampan? Ma Hoa melanjutkan perjalanannya, akan tetapi ia menahan tindakan kakinya karena pemuda itu berkata lagi sambil tertawa.

“Bidadari manis! Hatimu gembira menerima pujianku, mengapa kau tidak membentangkan sayapmu dan terbang melayang kesini, duduk di atas cabang yang enak ini di sampingku, menikmati angin yang bersilir di pohon?”

Kini marahlah Ma Hoa.
“Bangsat bermulut lancang! Apakah kau sudah ingin mampus?”

“Eh, eh, makin manis saja kalau marah-marah. Jarang aku melihat seorang gadis semanis kau! Sayang sekali rambut itu terlalu liar dan seharusnya diikat dengan pita merah ini!”

Sambil berkata demikian, pemuda itu lalu mengeluarkan sehelai pita merah dan sekali ia mengayun tangannya, pita merah itu meluncur ke bawah dan menyambar kepala Ma Hoa!






Ma Hoa mengelak dan miringkan kepalanya, akan tetapi agaknya pemuda itu memang telah memperhitungkan hal ini, maka ia menyambit ke arah belakang kepala, karena ketika Ma Hoa miringkan kepala, rambutnya terbawa angin gerakan ini dan terurai di belakangnya sehingga dengan tepat pita merah itu mengenai rambutnya dan secara aneh sekali pita merah itu betul-betul membelit rambutnya, seakan-akan dipasang oleh tangan seorang ahli!

Ma Hoa marah sekali. Ia merenggutkan pita merah itu, membantingnya ke atas tanah dan menginjak-injaknya!

“Bangsat liar! Kau betul-betul sudah bosan hidup!” teriaknya sambil meloloskan sepasang bambu runcingnya dan dengan gerakan kilat ia melompat ke atas sambil menyerang!

Pemuda itu terkejut juga karena sama sekali tak pernah disangkanya bahwa gadis yang digodanya itu pandai ilmu silat yang luar biasa ini, maka ia lalu menggerakkan tubuh dan mengelak sambil melayang turun, lalu berdiri dan bertolak pinggang.

“Ah, ah, tidak tahunya bidadari rambut panjang ini lihai juga! Mari, kau majulah untuk main-main denganku sebentar!”

Ma Hoa tidak dapat mengeluarkan kata-kata lagi saking marahnya. Ia lalu menyerang dengan gesit dan sengit hingga pemuda tampan itu terpaksa harus berlaku waspada. Akan tetapi, begitu ia bergerak, Ma Hoa merasa kaget. Sambaran angin yang keluar dari kebutan tangan pemuda itu telah berhasil membuat serangan bambu runcingnya jadi miring! Alangkah hebatnya tenaga ini. Maka ia lalu menyerang lagi bertubi-tubi dengan ganas dan penasaran.

Pada saat itu, datanglah Kwee An dan Nelayan Cengeng. Melihat betapa Ma Hoa sedang menggunakan sepasang bambu runcing menyerang seorang laki-laki yang hebat sekali gerakannya, mereka lalu berlari cepat menghampiri.

“Tahan…!” kata Nelayan Cengeng hingga Ma Hoa meloncat mundur dengan taat.

Pemuda tampan itu memandang kepada Nelayan Cengeng dan Kwee An, lalu mengernyitkan hidungnya dengan pandang menghina dan bertanya.

“Tuan besarmu sedang bermain-main dengan gadis cantik, mengapa kalian ini budak-budak hina berani mengganggu?”

Merahlah wajah Kwee An mendengar ini, maka ia segera mencabut pedang dan membentak,

“Darimana datangnya bajingan yang kurang ajar?”

Sementara itu, Nelayan Cengeng yang menerima hinaan ini balas mengejek,
“Eh, eh! Ma Hoa, Kwee An, kalian lihatlah baik-baik. Manusia ini bukan seorang laki-laki asli, juga bukan seorang wanita.”

Kwee An tidak tahu bahwa kakek ini sedang berolok-olok, maka dengan heran ia bertanya,

“Kalau bukan laki-laki juga bukan wanita, habis apa?”

“Banci…! Ia seorang banci…! Ha-ha-ha!” dan Nelayan Cengeng tertawa bergelak-gelak sehingga bercucuranlah air matanya. Juga Ma Hoa dan Kwee An ikut pula tertawa.

Akan tetapi, laki-laki tampan itu dengan masih bertolak pinggang, lalu bertanya,
“Kakek gila, dengan alasan apakah kau menyebutku banci?”

“Tidak ada laki-laki yang membedaki mukanya dan tidak ada perempuan yang berlagak seperti ini, akan tetapi kau tidak hanya membedaki mukamu, bahkan kulihat memakai yancu dan pemerah bibir! Ha-ha-ha!”

Memang laki-laki itu pesolek benar sehingga mukanya sampai dibedaki dan diberi merah-merah. Akan tetapi ketika mendengar kata-kata ini ia menjadi marah dan berkata,

“Kakek gila, kau belum tahu siapa adanya orang yang kau hina ini, maka kau berani membuka mulut secara sembrono. Ketahuilah, aku Song Kun yang berjuluk Kwie-eng-cu Si Bayangan Iblis, tidak biasa memberi ampun kepada orang yang telah menghinaku!”

Setelah berkata demikian, secara tiba-tiba pemuda itu lalu menggerakkan tangannya dan memukul kepada Nelayan Cengeng. Melihat pukulan ini, terkejutlah Nelayan Cengeng karena pukulan itu luar biasa sekali dan dari tangan yang melakukan pukulan mengepul uap putih!

Inilah Pek-in-hoatsut yang pernah ia mendengarnya dan yang dimiliki oleh Cin Hai! Ia cepat melompat jauh untuk menghindarkan diri dari serangan itu dan karena maklum bahwa pemuda ini tangguh sekali, sambil melompat ia lalu mengayun dayungnya, memukul dengan sekuat tenaga. Akan tetapi, pemuda itu memang pantas diberi gelar Si Bayangan Iblis, oleh karena gerakan tubuhnya luar biasa cepatnya dan hampir tak dapat diikuti oleh pandangan mata!

Melihat kelihaian pemuda ini, Kwee An tidak mau tinggal diam dan lalu menyerang dengan pedangnya, juga Ma Hoa maju pula mengerjakan sepasang bambu runcingnya.
Pemuda itu memang benar Song Kun adanya, murid dari Han Le Sianjin yang lihai. Inilah sute dari Lie Kong Sian yang menjalani kesesatan dan yang telah bertemu dan bertempur dengan Cin Hai!

Tadinya Song Kun memandang rendah lawan-lawannya, akan tetapi setelah menyaksikan gerakan pedang Kwee An dan gerakan dayung di tangan Nelayan Cengeng, diam-diam ia terperanjat dan mengeluh bahwa ia ternyata telah “salah tangan” dan mencari perkara dengan orang-orang yang berilmu tinggi!

Akan tetapi, ilmu silatnya memang hebat dan setelah beberapa lama ia menghadapi mereka dengan tangan kosong, akhirnya ia mencabut pedang Ang-ho-sian-kiam yang mengeluarkan cahaya merah berapi-api dan berhawa panas itu!

Nelayan Cengeng terkejut sekali melihat pedang itu dan ia berseru kepada Ma Hoa dan Kwee An,

“Hati-hati terhadap pedangnya!”

Song Kun tertawa mengejek dan ia lalu memutar-mutar pedangnya dengan gerakan luar biasa cepat dan hebatnya sehingga sibuklah ketiga orang itu mengeroyok dari kanan kiri! Biarpun tidak berani mengadu pedangnya, namun Kwee An yang mempergunakan ilmu silat yang diwarisinya dari Hek Mo-ko, cukup hebat dan berbahaya.

Sementara itu, Ma Hoa juga merupakan pengeroyok yang berbahaya oleh karena gadis ini selain memiliki Ilmu Silat Bambu Runcing yang aneh, juga tidak takut mengadu senjata, oleh karena bambu lemas kecil itu tidak takut terkena pedang tajam.

Di samping dua orang anak muda yang tangguh ini, masih ada lagi Nelayan Cengeng yang memiliki ilmu silat tinggi dan tenaganya luar biasa sehingga Song Kun sendiri merasa ragu-ragu untuk mengadu pedangnya dengan dayung yang besar dan berat itu, takut kalau-kalau pedangnya akan menjadi rusak!

Oleh karena ini, maka pertempuran berjalan seru dan ramai, akan tetapi mereka lebih banyak bertempur dari jarak jauh dan berlaku hati-hati hingga dapat diduga bahwa pertempuran itu akan berjalan lama sekali.

Song Kun memaklumi hal ini dan karena itu ia lalu mendesak maju. Ketika dayung Nelayan Cengeng menyambar, ia memapaki dengan pedangnya yang disabetkan dan putuslah ujung dayung itu!

Nelayan Cengeng terkejut dan hampir saja ia menjadi korban sabetan pedang pada pinggangnya kalau tidak Ma Hoa yang menjadi nekat telah melakukan serangan kilat dari belakang, menotok ke arah kedua iga lawan itu!

Song Kun menarik kembali pedangnya dan kalau ia mau, ia akan dapat menjatuhkan Ma Hoa dengan serangan pedang, akan tetapi Song Kun memang mempunyai kelemahan terhadap wanita cantik. Ia tidak tega melukai Ma Hoa, maka ia hanya menahan kedua bambu runcing itu dengan pedangnya di tangan kanan, sedangkan tangan kirinya ia ulur ke depan untuk mengusap pipi Ma Hoa!

Gerakannya ini adalah pecahan dari limu Silat Kong-ciak-sin-na, dan kecepatannya luar biasa hingga colekan itu berhasil! Ma Hoa yang merasa betapa pipinya diusap oleh tangan Song Kun, menjerit marah dan menyerang lebih seru!

Namun dengan ilmu pedangnya yang luar biasa, Song Kun dapat menjaga diri dan kini bahkan melancarkan serangan-serangan mematikan ke arah Nelayan Cengeng dan Kwee An! Ia mengambil keputusan untuk membunuh dua orang laki-laki itu untuk dapat melarikan gadis muda berambut panjang ini!

Pada saat itu, terdengarlah bentakan keras.
“Song Kun…! Janganlah kau terjerumus ke jurang makin dalam saja!”

Mendengar suara ini, Song Kun terkejut sekali dan melompat jauh ke belakang.
“Suheng…!” katanya.






Tidak ada komentar :