*

*

Ads

Jumat, 21 Juni 2019

Pendekar Bodoh Jilid 156

Cin Hai dan Lin Lin yang melakukan perjalanan dengan perlahan dan seenaknya, akhirnya sampai pula di luar batas kota Lan-couw dan mereka lalu berhenti dan beristirahat dalam sebuah gua di luar hutan.

“Mudah-mudahan Suhu akan berhasil mendapatkan obat itu secepatnya agar hatiku tidak menjadi gelisah sekali,” kata Cin Hai.

“Hai-ko, jangan kau gelisah. Suhu pasti akan bisa mendapatkan obat itu dan andaikata Suhu gagal, aku pun masih tetap percaya bahwa akhirnya kau akan berhasil menolongku,” kata Lin Lin dengan mata memandang mesra dan penuh kepercayaan.

Tiga ekor burung sakti, Yaitu Sin-kong-ciak, Kim-tiauw dan Ang-siang-kiam Si burung bangau, melihat kedua orang itu berhenti di dalam gua, lalu melayang turun dan mengeluarkan suara seakan-akan mereka merasa kecewa, karena tempat itu memang kurang menyenangkan bagi mereka.

Tempat itu merupakan tanah tak berumput, penuh gunung batu karang dan banyak pula gua-gua besar disitu, dengan batu-batu karang bergantungan dari atas merupakan pedang tajam dan di dalam gua pun lantainya dari batu karang yang menyakitkan kaki bila menginjaknya.

Akan tetapi oleh karena panas terik matahari membakar tempat yang gundul tak berpohon itu, maka gua dimana mereka berteduh merupakan tempat yang enak dan melindungi mereka dari serangan matahari yang panas.

“Lin-moi,” kata Cin Hai sambil membelai kepala Sin-kong-ciak yang mendekatinya, “Kalau kita sudah beristirahat dan menghilangkan lelah, kita harus melanjutkan perjalanan memasuki kota Lan-couw. Betapapun juga, aku merasa amat gelisah mengingat akan nasib Suhu yang berada dalam pengaruh dan kekuasaan orang-orang jahat seperti Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya.”

“Tenangkanlah hatimu, Hai-ko. Suhu bukan sembarangan orang yang akan mudah dicelakai oleh orang-orang macam Hai Kong itu. Aku yakin sepenuh hatiku bahwa Suhu pasti akan tiba dengan segera membawa obat itu.”

Tiba-tiba Sin-kong-ciak dan kedua burung yang lain itu berteriak keras dan ketiga-tiganya lalu terbang keluar gua sambil memekik-mekik marah. Cin Hai melompat keluar, diikuti oleh Lin Lin.

Mereka terkejut sekali karena melihat bahwa yang datang itu adalah Song Kun! Ketiga burung itu telah mengenal Song Kun dan telah mengetahui kelihaiannya, maka mereka hanya terbang rendah sambil mengeluarkan suara teriakan seakan-akan memberi tanda kepada Cin Hai dan Lin Lin agar supaya bersiap menghadapi lawan.

“Obat sudah didapatkan!” teriak Song Kun dengan wajah berseri. “Cin Hai, adikku yang baik. Sekarang akulah yang berhak membawa gadis ini, karena jiwanya berada dalam tanganku. Aku telah mendapatkan obat itu dan akulah pula yang berhak mendapatkannya karena hanya aku yang dapat menyembuhkannya!”

Cin Hai menjadi pucat dan ia memandang penuh ketidak percayaan.

“Kau tidak percaya?” kata Song Kun sambil tersenyum dan melirik ke arah Lin Lin. “Inilah obat itu!” Ia mengeluarkan sebotol obat warna merah dari saku bajunya dan mengangkat tinggi-tinggi.

“Song Kun! Betulkah bicaramu itu?” tanya Cin Hai dengan hati berdebar.

“Kau anggap aku ini orang apakah maka bicaraku harus diragukan lagi? Dengar, Sute. Obat untuk menyembuhkan Lin Lin hanyalah sebotol ini yang berada di tangan dukun Mongol. Obat inilah yang seharusnya diberikan kepada orang yang berhasil mendapatkan harta pusaka untuk rombongan yang dikepalai Hai Kong Hosiang, demikian menurut dukun Mongol itu. Akan tetapi dengan berkeras, aku berhasil merampas botol ini, dan segera aku mencari kalian untuk mengobati Lin Lin. Akan tetapi, aku baru memberi obat ini kepada Lin Lin kalau ia mau berjanji untuk menjadi isteriku yang tercinta.”

Song Kun berkata demikian sambil mempermain-mainkan botol itu di tangannya dan mengerling ke arah Lin Lin yang menjadi merah mukanya.

“Suheng!” teriak Cin Hai yang merasa girang dan juga kaget.

Girang karana ada harapan bagi Lin Lin untuk sembuh kembali akan tetapi, kaget mendengar permintaan dan syarat Song Kun itu.

“Kau tolonglah Lin Lin dan berikan obat itu kepadanya. Kesembuhannya merupakan hal yang terpenting bagiku dan biarpun kau menghendaki jiwaku, akan kuberikan dengan rela asalkan kau suka menyembuhkan Lin Lin. Akan tetapi, jangan kau memaksanya menjadi isterimu kalau ia tidak suka.”






Song Kun tertawa bergelak,
“Sute, kau membolak-balik omonganmu sendiri. Kau tidak ingin melihat tunanganmu itu meninggal dan juga tidak ingin melihat ia menjadi isteri orang lain! Cin Hai, apakah kau benar-benar mencinta kepadanya?”

“Tak perlu kau bertanya lagi. Aku rela mengorbankan nyawa untuknya.”

“Kalau benar cintamu itu murni, kau tentu tidak keberatan untuk mengalah padaku. Pilih saja, membiarkan ia sembuh sama sekali dan menjadi isteriku, atau obat ini akan kubuang dan membiarkan ia mati.”

Sambil berkata demikian, Song Kun membuat gerakan seolah-olah ia benar-benar hendak melempar botol itu ke dalam jurang batu karang! Cin Hai menjadi bingung karena ia maklum bahwa seorang macam Song Kun itu bukan hanya pandai menggertak saja, akan tetapi dapat melakukan segala perbuatan yang keji.

“Jangan buang botol itu, Suheng! Tentu saja aku lebih suka melihat Lin Lin sembuh kembali!”

“Dan menjadi isteriku?” tanya Song Kun.

“Soal itu.terserah kepadanya,” jawab Cin Hai tanpa berani memandang muka kekasihnya.

Lin Lin semenjak tadi mendengarkan percakapan mereka itu dengan hati panas, akhirnya tak dapat menahan kemarahan hatinya lagi. Ia melompat berdiri dan mencabut pedang pendeknya.

“Song Kun manusia berbatin rendah! Aku lebih baik seribu kali mati dari pada menjadi isterimu. Buanglah botol itu! Kau kira aku takut mati?”

Sambil berkata demikian, dengan kemarahan besar gadis itu lalu menerjang Song Kun dengan pedang pendeknya dalam serangan yang hebat. Song Kun cepat menyimpan botol itu kembali ke dalam saku bajunya dan segera mencabut pedangnya Ang-ho-sian-kiam untuk menghadapi serangan Lin Lin yang tak boleh dipandang ringan itu.

Melihat betapa kekasihnya menjadi nekat, Cin Hai lalu mencabut keluar pedang Liong-cu-kiam dan menerjang sambil berseru,

“Song Kun, jangan kau lawan dia yang masih lemah. Akulah lawanmu!”

Dengan tikaman hebat ia menyerang yang segera ditangkis oleh Song Kun. Lin Lin tetap menyerang dan membantu kekasihnya, akan tetapi Cin Hai yang berkuatir melihat kelemahan Lin Lin segera berkata kepadanya,

“Lin-moi mundurlah dan biarkan aku menghadapi iblis ini! Aku telah yakin akan perasaan hatimu dan jangan kau kuatir. Kalau perlu, kita akan mati bersama!”

Lin Lin melompat mundur dan membiarkan kekasihnya menghadapi lawan yang terlampau tangguh baginya itu, apalagi karena ia memang merasa pening dan lemah. Ia berdiri saja memandang dan menyaksikan pertempuran yang berjalan hebat itu.

Sekali lagi kedua orang muda yang lihai itu mengadu kepandaian diantara batu-batu karang yang menjulang tinggi, disaksikan oleh Lin Lin dan tiga ekor burung sakti yang hanya beterbangan di atas dan kadang-kadang saja menyambar turun untuk membantu.

Akan tetapi, sinar pedang Ang-ho-sian-kiam yang hebat dan mengeluarkan hawa panas itu membuat mereka tidak tahan mendekati Song Kun dan terpaksa hanya beterbangan di atas mereka yang sedang bertempur sambil mengeluarkan pekikan-pekikan nyaring.

Karena hatinya telah bulat untuk merobohkan Song Kun yang dibencinya ini, Cin Hai mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaganya, hingga ia dapat mendesak Song Kun setelah mereka bertempur selama puluhan jurus dengan hebat.

Diam-diam Song Kun merasa terkejut sekali karena kini ia mendapat kenyataan bahwa betul-betul pengertian tentang dasar-dasar ilmu silat membuat Cin Hai menjadi lihai sekali dan dapat mengembalikan setiap serangannya bagaimana lihai pun. Juga pedang Liong-cu-kiam di tangan Cin Hai merupakan senjata ampuh yang dapat mengimbangi kehebatan Ang-ho-sian-kiam yang tadinya merupakan pedang tunggal yang jarang menemukan tandingannya.

Song Kun adalah seorang yang tidak saja pandai dan tinggi ilmu silatnya, akan tetapi ia juga cerdik dan memiliki sifat curang. Melihat kehebatan sepak terjang Cin Hai, tiba-tiba ia menarik keluar botol obat itu dan membuat gerakan seakan-akan hendak melempar obat itu ke jurang.

Gerakan ini tentu saja membuat Cin Hai menjadi pucat, karena betapapun juga, ia tidak ingin melihat obat tunggal itu dibuang hingga jiwa Lin Lin takkan tertolong lagi. Ia menggigil kalau memikirkan bahwa kekasihnya itu akan mati karena racun tanpa dapat ditolong lagi. Botol obat di tangan Song Kun itu nampak olehnya seakan-akan nyawa Lin Lin, maka gerakan Song Kun itu tak dapat tiada membuat ia memekik tanpa terasa lagi,

“Jangan lempar botol itu!”

Tentu saja pikiran yang bingung itu membuat gerakan pedangnya menjadi kacau dan pada saat yang tepat, pedang Ang-ho-sian-kiam di tangan Song Kun menyerang seperti kilat dan menusuk ke arah matanya!

Cin Hai cepat menundukkan kepala, akan tetapi gerakan itu terlalu cepat hingga ujung pedang masih menggores kulit jidatnya! Darah mengucur dari kulit itu, terus mengalir turun di sepanjang hidung dan pipinya. Cin Hai menggunakan lengan baju tangan kiri mengusap mukanya dan pada saat itu kembali pedang Song Kun meluncur dalam serangan yang dahsyat, yaitu dengan bacokan ke arah lehernya!

Serangan ini datangnya tak tersangka-sangka, karena rasa perih pada jidatnya membuat Cin Hai kurang dapat memperhatikan pergerakan lawan, maka cepat ia lalu menjatuhkan diri ke belakang untuk berjungkir balik dan menghindarkan diri dari serangan itu, akan tetapi kembali ujung pedang Song Kun masih berhasil melukai kulit pundak kirinya! Darah mengucur lagi dan kini lebih banyak karena sedikit daging di bahunya ikut terpapas oleh pedang yang tajam itu!

Melihat hal ini, tak tertahan pula Lin Lin menjerit dan roboh pingsan karena kembali kekuatiran telah membuat jantungnya terserang racun di tubuhnya!

Melihat keadaan kekasihnya, timbullah kemarahan besar di hati Cin Hai. Ia menjadi nekat dan maklum bahwa menghadapi seorang yang tangguh dan kejam semacam Song Kun, ia tidak boleh merasa kuatir karena betapapun juga, tentu Song Kun takkan mau memberikan obat itu kepadanya. Maka ia lalu menggigit bibirnya dan mempererat pegangan tangan pada pedangnya lalu membentak,

“Song Kun, kalau bukan kau, tentu aku yang akan menggeletak tak bernyawa di tempat ini!”

Setelah berkata demikian, Cin Hai lalu mengirim serangan-serangan balasan kilat yang luar biasa hebatnya, karena ia telah mengerahkan seluruh kepandaian dan kecepatannya dan menyerang dengan maksud merobohkan dan membunuh lawannya ini.

Memang gerakan serangan Cin Hai ini terjadi dengan otomatis. Dalam keadaan sabar, gerakannya menjadi tenang dan kuat, dan dalam keadaan marah dan menggelora, maka kini gerakan pedangnya menjadi berubah ganas seakan-akan seorang iblis mengamuk! Setiap gerakan pedang merupakan tusukan, tikaman, atau sabetan yang dapat membawa maut!

Song Kun terkejut sekali. Ia berseru sambil menangkis serangan Cin Hai,
“Mundur, kalau tidak, benar-benar obat ini hendak kulempar ke jurang,”

Akan tetapi, Cin Hai telah menjadi gelap mata dan tidak mau memikirkan lain hal kecuali merobohkan lawan yang dibencinya ini. Ia tidak menjawab, bahkan memperhebat desakannya. Song Kun terpaksa melayani dengan sungguh hati, karena benar berbahaya baginya.

“Benar-benar kulemparkan botol ini!” teriaknya mencoba sekali lagi, akan tetapi kini Cin Hai tak dapat digertak lagi.

Song Kun menjadi gemas dan ia melompat ke belakang, agak jauh dari Cin Hai. Dengan napas memburu karena menahan marahnya Cin Hai mengejar, akan tetapi ia melihat Song Kun benar-benar melemparkan botol itu ke dalam jurang!

Melihat hal ini, mau tidak mau Cin Hai merasa betapa hatinya menjadi perih seakan-akan melihat Lin Lin meninggal dunia pada saat itu! Ia memekik keras dan ngeri sambil melihat arah botol itu dilemparkan.

Akan tetapi, pada saat itu, dari dalam jurang itu, berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Bu Pun Su telah berdiri di situ dengan botol tadi diangkat tinggi-tinggi.






Tidak ada komentar :