*

*

Ads

Rabu, 19 Juni 2019

Pendekar Bodoh Jilid 155

“Terpaksa aku harus menangkap dan menawanmu untuk dibawa ke kota raja!”

Terdengar suara tertawa riuh rendah dan ternyata bahwa yang tertawa itu adalah Hai Kong Hosiang, Wi Wi Toanio, dan perwira serta pendeta Mongol yang menjadi kawan-kawannya. Hai Kong Hosiang berkata kepada Balaki, perwira Mongol yang kini menjadi kawannya itu.

“Balaki, kau lihat bagaimana sombongnya perwira yang masih kanak-kanak itu, ha, ha, ha!”

Tiba-tiba Bu Pun Su berpaling kepada mereka dan membentak,
“Diam! Perwira ini lebih gagah dan jantan daripada kalian semua, mengapa mentertawakannya?”

Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya tercengang mendengar bentakan ini karena mereka benar-benar tak menyangka bahwa Bu Pun Su akan menjadi demikian marah. Mereka tidak tahu bahwa sebenarnya dalam hatinya Bu Pun Su merasa segan untuk melawan perwira yang gagah perkasa dan yang setia akan tugasnya ini.

“Kam-ciangkun,” kata kakek itu kemudian, “lebih baik Ciangkun kali ini mengalah saja dan kembali ke Kota Raja. Biarlah lain kali kalau ada waktu, aku orang tua akan datang menyatakan maaf.”

“Tak mungkin, Locianpwe. Tugas kewajiban harus dilaksanakan, biarpun aku mempertaruhkan jiwaku. Kalau Locianpwe hendak melanjutkan usaha mengambil harta pusaka itu, betapapun juga terpaksa aku harus turun tangan dan menangkapmu.”

“Hm, kalau begitu, silakan kau maju dan menangkapku kalau kau sanggup, Ciangkun, dan bukalah matamu baik-baik agar kau tidak melewatkan kesempatan baik ini dengan sia-sia!”

Kam Hong Sin tak mengerti akan maksud ucapan ini, akan tetapi ia tidak merasa gentar dan ketika Bu Pun Su menantangnya untuk menangkap, ia lalu mempergunakan ilmu tangkapan tangan yang dulu ia pernah pelajari dari seorang perantau dari seberang laut timur. Perantau itu datang dari seberang timur dan dalam perantauannya ke daratan Tiongkok, ia telah bertemu dengan Kam Hong Sin dan memberinya pelajaran silat yang sifatnya seperti Sin-na-hwat. Oleh karena itu, ia memiliki kepandaian yang luar biasa dan sekali ia dapat menangkap kedua lengan orang, maka sukarlah bagi orang itu untuk melepaskan dirinya lagi!

Ketika Kam Hong Sin melangkah maju hendak menangkapnya, Bu Pun Su hanya berdiri tersenyum dan bahkan mengulurkan kedua lengannya untuk ditangkap! Kam Hong Sin merasa heran dan segera ia menyambar kedua lengan itu untuk terus diputar ke belakang tubuh Bu Pun Su dalam pegangan yang kuat sekali!

Gerakan ini demikian cepat hingga tahu-tahu kedua lengan tangan kakek itu telah ditekuk ke belakang punggung dan ikatan belenggu besi pun takkan lebih kuat dan meyakinkan daripada pegangan ini.

“Ciangkun, perhatikan baik-baik!” kata Bu Pun Su.

Kam Hong Sin maklum bahwa tentu kakek itu akan mempergunakan ilmunya untuk melepaskan diri, maka cepat-cepat ia lalu mempererat pegangannya dan menekuk kedua lengan kakek itu makin tinggi di atas punggungnya!

Bu Pun Su mengangkat sebelah kakinya ditendangkan ke belakang dengan perlahan hingga Kam Hong Sin yang berdiri di belakangnya itu tentu saja harus mengelak dari tendangan yang mengarah ke bagian berbahaya dari tubuhnya. Ia miringkan tubuh dan mengganti kedudukan kakinya dan saat inilah yang digunakan oleh Bu Pun Su untuk melepaskan diri.

Ketika Kam Hong Sin mengangkat kaki untuk membuat perobahan posisi kakinya, tiba-tiba Bu Pun Su membungkuk dan sekali Bu Pun Su berseru keras maka tubuh Kam Hong Sin itu terpelanting melewati kepala Bu Pun Su hingga jatuh tunggang langgang!

Sampai tiga kali Kam Hong Sin mencoba menangkap Bu Pun Su dengan mengeluarkan berbagai ilmu menangkap, akan tetapi selalu akibatnya terpelanting dan terbanting jatuh di depan kakek itu.

Dan anehnya, ketika terbanting itu, Kam Hong Sin tidak merasa sakit karena tidak terbanting keras dan tiap kali melakukan gerakan untuk melepaskan diri dari tangkapan, Bu Pun Su sengaja berlaku lambat hingga Kam Hong Sin dapat mengikuti gerakannya dan dapat memahami ilmu gerakan itu hingga seakan-akan mereka bukan sedang bertanding sungguh-sungguh, akan tetapi hanya merupakan latihan saja, yaitu Kam Hong Sin mendapat latihan tiga macam ilmu gerakan yang hebat dari Bu Pun Su!

“Terima kasih atas pengajaran Locianpwe. Saya mengaku kalah dan biarlah kekalahan ini kulaporkan ke Kota Raja”






Setelah berkata demikian, Kam Hong Sin lalu memimpin anak buahnya untuk kembali ke timur, memberi laporan tentang gagalnya tugas yang dijalankannya! Walaupun ia merasa penasaran dan kecewa, namun diam-diam ia merasa girang karena menerima pelajaran tipu gerakan yang lihai dari kakek sakti itu!

Hai Kong Hosiang tertawa dan sambil menuding ke arah Ang I Niocu dan Ma Hoa, ia berkata keras,

“Kalian apakah hendak merebut harta pusaka pula? Kalau demikian halnya, boleh kalian maju melawan jago kami. Ha, ha, ha,”

Biarpun merasa gemas dan marah, akan tetapi Ang I Niocu dan Ma Hoa tidak berani berlaku sembrono di depan Bu Pun Su. Mereka hanya berdiri bingung dan memandang ke arah kakek itu. Ketika Bu Pun Su berpaling kepada mereka, Ang I Niocu segera menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi, Bu Pun Su dengan mengerutkan keningnya, membuat gerakan dengan tangan mengusir mereka dan berkata,

“Pergilah, pergilah…”

Ang I Niocu dan Ma Hoa tak berani membantah dan terpaksa mereka pergi dari situ tanpa berani bertanya apa-apa lagi. Mereka cepat pulang ke rumah Yousuf untuk menceritakan peristiwa mengherankan ini kepada Nelayan Cengeng dan Yousuf.

Sementara itu, setelah berhasil mengusir semua pihak yang hendak mencari harta pusaka itu, Bu Pun Su lalu membawa kawan-kawannya masuk ke dalam gua itu.

“Inilah gua penyimpanan harta-pusaka itu.” katanya.

“Bu Pun Su, kau berjanji untuk mendapatkan harta pusaka itu, bukan hanya guanya,” kata Hai Kong Hosiang dengan senyum menyeringai.

“Kita harus mencari rahasianya,” keluh kakek jembel itu yang segera mencari-cari.

Ia adalah seorang yang sudah mempunyai pengalaman luas, maka biarpun tanpa bantuan peta, ia dapat menduga bahwa patung yang berdiri di dekat dinding itu tentu bukan sengaja dipasang di situ, karena biasanya patung Buddha itu selalu dipasang ditengah dan di tempat yang khusus untuk menjadi pujaan.

Maka ia lalu menggerak-gerakkan patung itu dan benar saja, terdengar bunyi di bagian atas dan tampaklah lubang tempat persembunyian harta itu. Bu Pun Su lalu menggerakkan tubuhnya dan memasuki lubang kecil itu sebagaimana dilakukan oleh Cin Hai dahulu. Tak lama kemudian, ia turun kembali dan berkata kepada Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio,

“Harta ada di dalam sana, kalian boleh mengambilnya dan sekarang keluarkanlah obat untuk muridku itu!”

“Obat itu tidak ada padaku,” jawab Hai Kong Hosiang.

Bu Pun Su memandang dengan mata bersinar-sinar hingga Hai Kong Hosiang menjadi takut dan mundur dua langkah.

“Aku tidak membohongimu, Bu Pun Su. Obat itu memang ada, yaitu dalam tangan dukun tua dari Mongol yang juga sudah kami ajak ke tempat ini dan kami sembunyikan di dalam sebuah tempat rahasia di dalam hutan.”

“Bawa dulu aku ke sana untuk mengambil obat, setelah itu kau serahkan kepadaku, barulah kalian boleh mengambil harta ini!”

Sambil berkata demikian, Bu Pun Su lalu menggerakkan kembali patung itu hingga lubang tadi tetutup kembali.

“Benarkah harta itu berada di tempat itu?” tanya Wi Wi Toanio kepada Bu Pun Su.

“Wi Wi, aku adalah seorang laki-laki sejati. Pernahkah aku membohong?” Bu Pun Su mendongkol sekali dan ia kembali menggerakkan patung untuk membuka “Lihatlah sendiri, perempuan curang!”

Wi Wi Toanio tertawa menjemukan lalu melompat ke atas dan memasuki lubang itu. Sampai lama ia tidak keluar hingga Hai Kong Hosiang terpaksa berseru memanggilnya. Akhirnya kepala perempuan itu muncul kembali dan sepasang matanya bersinar-sinar bagaikan seorang yang merasa girang sekali.

“Aduh, bukan main hebatnya!” katanya hingga ucapan yang pendek itu cukup meyakinkan hati Hai Kong Hosiang, Balaki dan kawan-kawannya.

Bu Pun Su menutup kembali lubang itu dan berkata,
“Hayo cepat antar aku ke dukun itu untuk mengambil obatnya!”

Mereka lalu membawa Bu Pun Su ke dalam sebuah hutan di luar kota, dimana terdapat sebuah pondok yang terjaga oleh beberapa orang Mongol kawan-kawan Balaki, dan ketika mereka datang para penjaga lalu menyambut mereka dengan muka pucat.

“Celaka, baru saja ada seorang muda yang mengacau disini. Kami semua tidak berdaya terhadapnya, karena ia lihai sekali!”

Hai kong Hosiang dan kawan-kawannya, juga Bu Pun Su menjadi terkejut sekali dan mereka segera memburu ke dalam pondok. Dukun tua yang kurus itu duduk di atas bangku sambil menundukkan kepala seperti orang yang mengantuk.

“Muhambi, apakah yang terjadi?” teriak Hai Kong Hosiang dengan kuatir.

“Tidak ada apa-apa, hanya seorang pemuda yang memaksaku menyerahkan obat penolak racun dari kembang semut merah itu.”

Hai Kong Hosiang menjadi pucat.
“Celaka! Justru obat itulah yang kami butuhkan! Siapa orangnya yang berani merampasnya?”

“Entahlah,” jawab Mahambi, dukun itu. “Seorang pemuda tampan yang mengaku bernama Song Kun!”

Mendengar ini, Bu Pun Su menjadi pucat dan ia segera berkata,
“Wi Wi, dan kau Hai Kong! Aku memenuhi janjiku mengusir semua lawan dan mendapatkan tempat disimpannya harta pusaka, akan tetapi ternyata kalian tidak dapat memenuhi janjimu!”

“Sabar dulu, Bu Pun Su,” kata Hai Kong Hosiang yang segera ia memegang pundak dukun itu sambil mengancam, “Buatkan lagi obat itu untuk kami!”

Mahambi menggeleng-gelengkan kepalanya yang sudah penuh uban.
“Harus menanti berkembangnya kembang semut merah itu kira-kira setengah tahun lagi.”

“Aku pergi!” kata Bu Pun Su. “Jangan harap kalian akan dapat membawa harta pusaka itu!” Setelah berkata demikian, kakek itu melompat keluar pondok dan lenyap.

**** 155 ****





Tidak ada komentar :