*

*

Ads

Rabu, 19 Juni 2019

Pendekar Bodoh Jilid 154

“Hebat, hebat!” Thai Kek Losu menarik napas panjang. “Bu Pun Su, kepandaianmu membuat aku merasa takluk dan aku mengaku kalah.”

Setelah berkata demikian, Thai Kek Losu lalu memberi perintah kepada semua anak buahnya untuk mundur dan ia bersama kawan-kawannya lalu pergi dari situ.

“Thai Kek Losu, bawalah senjatamu ini dan jangan pergunakan lagi senjata itu karena akhirnya tentu akan mencelakakan dirimu sendiri!” teriak Bu Pun Su sambil melempar tengkorak itu ke arah Thai Kek Losu.

Thai Kek Losu mengulurkan tangan menyambut tengkorak kecil itu dan berkata sambil tersenyum,

“Biarpun aku sudah kalah olehmu, namun kau tak berhak melarang aku mempergunakan senjata buatanku sendiri!”

Setelah berkata demikian, dengan hati penuh dendam, Thai Kek Losu lalu pergi dengan cepat meninggalkan tempat itu. Ia telah merasa putus harapan oleh karena menghadapi kakek jembel itu ia tak berdaya dan percuma saja kalau ia hendak melanjutkan usaha mencari harta pusaka, maka ia lalu memimpin anak buahnya untuk kembali kepada Yagali Khan membuat laporan.

“Sekarang dipersilakan jago-jago Turki untuk memperlihatkan kepandaian,” kata Hai Kong Hosiang yang merasa girang sekali karena sebagaimana telah ia duga, dengan adanya Bu Pun Su di pihaknya, maka dengan amat mudah mereka mengalahkan pihak lawan yang hendak memperebutkan harta pusaka itu.

Memang, biarpun tidak ada bantuan dari Bu Pun Su, belum tentu ia dan kawan-kawannya yang cukup lihai akan dapat dikalahkan oleh pihak lawan, akan tetapi hal itu merupakan hal yang belum pasti dan juga amat berbahaya.

Siok Kwat Mo-li, Lo Kun Tojin, dan Perwira Turki yang bernama Sahali itu, ikut merasa terkejut melihat kehebatan sepak terjang Bu Pun Su tadi, akan tetapi sebagai orang-orang berilmu tinggi, tentu saja mereka pun tidak sudi menyerah sebelum mencoba.

Kini mendengar ucapan suhengnya yang telah menipunya, Siok Kwat Mo-li lalu mencabut keluar senjatanya yang lihai, yaitu sebatang tongkat hitam, diikuti oleh Lok Kun Tojin yang mengeluarkan sepasang rodanya dan Perwira Turki itu mengeluarkan sepasang golok (siang-to) yang tajam mengkilap.

“Bu Pun Su, jagalah serangan kami!” seru Siok Kwat Moli dengan keras sambil memutar-mutarkan tongkat hitamnya. “Majulah, majulah!” jawab Bu Pun Su tenang.

Sementara itu, Ang I Niocu dan Ma Hoa yang tadi bersembunyi dan mengintai, ketika menyaksikan pertandingan antara Bu Pun Su dan tiga orang jago tadi, saking tertariknya mereka telah keluar dari tempat persembunyian dan memandang penuh kekaguman, akan tetapi juga dengan keheranan besar mengapa Bu Pun Su bekerja sama, bahkan membela Hai Kong Hosiang yang jahat!

Hal ini sungguh-sungguh membuat Ang I Niocu heran dan juga penasaran, akan tetapi ia memang sudah maklum akan adat aneh dari susiok-couwnya itu, maka ia hanya menonton dan tidak berani mengganggunya.

Sebetulnya, kalau mau dibuat pertandingan tentang ilmu kepandaian maka tingkat ilmu kepandaian jago-jago yang berdiri di pihak Turki ini dengan jago-jago Mongol yang telah dikalahkan tadi, mungkin masih lebih tinggi kepandaian jago-jago Turki ini karena di situ terdapat Siok Kwat Mo-li yang amat lihai sedangkan senjata Lok Kun Tojin yang merupakan sepasang roda itu amat berbahaya sekali. Juga Sahali bukanlah seorang lemah karena dia adalah jago yang sudah amat disegani di Turki dan merupakan tangan kanan Pangeran Muda.

Maka mengingat akan kepandaian sendiri, ketiga orang ini tidak menjadi gentar bahkan mempunyai harapan untuk merobohkan Bu Pun Su dan mendapatkan harta pusaka yang belum pernah mereka lihat itu. Hasil penyelidikan mata-mata mereka membuat mereka tahu bahwa gua tempat harta pusaka disembunyikan itu telah didapatkan oleh orang-orang Mongol, maka mereka lalu menyerbu ke situ hingga secara kebetulan semua pihak dapat bertemu di depan gua dimana tersembunyi harta pusaka yang diperebutkan.

Bu Pun Su menghadapi ketiga orang lawannya yang baru ini dengan ketenangan yang amat mengagumkan. Dari gerakan-gerakan senjata ketiga lawannya yang mewakili pihak Turki ini, ia dapat memaklumi bahwa ilmu silat mereka ini tak kalah lihainya dari kepandaian ketiga lawan yang telah dikalahkan tadi, maka dia berlaku amat hati-hati.

Siok Kwat Mo-li adalah sumoi dari Hai Kong Hosiang yang jahat dan lihai, maka tongkat hitam di tangannya pun berbahaya sekali. Ketika ia membuat gerakan menyerang maka tongkat itu seakan-akan berubah menjadi banyak seperti ular-ular hidup berlenggak-lenggok menyambar ke arah tubuh Bu Pun Su.






Ternyata bahwa seperti halnya Hai Kong Hosiang, ilmu tongkatnya berdasarkan ilmu tongkat Jeng-coa-tung-hwat atau Ilmu Tongkat Seribu Ular yang mempunyai gerakan-gerakan luar biasa cepatnya.

Lok Kun Tojin mempunyai sepasang senjata roda bertali yang jarang dapat dimainkan orang karena memang amat sukar untuk memainkan senjata macam itu, akan tetapi di tangan pendeta itu sepasang roda bertali merupakan senjata yang amat ampuh dan berbahaya, yang menyambar-nyambar bagaikan mustika-mustika naga bermain-main di udara.

Perwira Turki bernama Sahali itu adalah tangan kanan Pangeran Muda dan ilmu golok sepasang yang dimainkannya ini hebat dan berbahaya. Ia mempunyai cara bertempur yang aneh dan ilmu silatnya pasti akan membingungkan lawannya karena di Tiongkok tidak terdapat ilmu golok seperti itu, akan tetapi kini ia menghadapi Bu Pun Su yang mengenal ilmu silat bukan berdasarkan permainannya, akan tetapi berdasarkan gerakan kaki tangan yang bagaimanapun juga mempunyai dasar-dasar yang sama.

Sebagaimana diketahui, rombongan ini tadinya dibantu oleh Wai Sauw Pu yang lihai dan juga Kang-lam Sam-lojin. Akan tetapi Wai Sauw Pu telah tewas dalam tangan Ibrahim, sedangkan Kam-lam Sam-lojin yang merasa gentar menghadapi lawan-lawannya, telah melarikan diri dan kembali ke timur, lenyap nafsu mereka untuk ikut mencari harta pusaka itu karena maklum bahwa mereka akan menghadapi lawan-lawannya yang luar biasa tangguhnya.

Akan tetapi, Siok Kwat Mo-li dan Lok Kun Tojin yang berilmu tinggi, tidak putus harapan biarpun ditinggalkan oleh kawan-kawannya ini apalagi ketika dari pihak Turki yang mereka bantu itu datang pula Sahali yang lihai.

Tadi ketika Bu Pun Su dikeroyok tiga oleh Thai Kek Losu dan kawan-kawannya, Siok Kwat Mo-li telah melihat dengan penuh perhatian. Permainan silat Pek-in-hoat-sut yang hebat itu terlihat amat kuat menghadapi lawan dari depan maupun dari belakang, karena pergerakan kaki tangan secara otomatis berpindah-pindah dan tubuh kakek itu dengan mudah membalik ke belakang, tiap kali bahaya datang dari belakang.

Dalam permainannya, seakan-akan kakek itu mempunyai empat mata, di depan dan di belakang! Dan Thai Kek Losu serta kawan-kawannya yang mengeroyok dari depan dan belakang menjadi tidak berdaya!

Siok Kwat Mo-li yang cerdik itu dapat melihat hal ini dan kini ia telah mendapat cara untuk mengeroyok kakek jembel itu maka ia berbisik kepada dua kawannya,

“Kalian menyerang dari kanan dan kirinya, sedangkan aku akan menghadapinya dari depan!”

Kini Bu Pun Su dikeroyok oleh lawan yang mempergunakan bentuk segitiga yaitu dari depan, kanan dan kiri, tidak menyerang dari belakang! Serangan yang dilakukan dari tiga jurusan ini jauh lebih berbahaya dari pada serangan yang dilakukan dari depan dan belakang, karena hanya datang dari dua jurusan, maka diam-diam ia merasa kagum dan memuji kecerdikan nenek bongkok itu.

Memang benar, ketika dikeroyok dengan cara demikian, ia akan menderita lelah sekali karena kini ia harus membuat lebih banyak gerakan untuk menghadapi ketiga orang lawan itu.

Bu Pun Su adalah seorang sakti yang pada masa itu sukar dicari bandingannya, maka tentu saja tipu muslihat ini tak membuatnya menjadi bingung. Tiba-tiba ia berseru,

“Siok Kwat Mo-li, kau benar-benar cerdik. Akan tetapi aku Si Tua Bangka ini tidak mempunyai banyak waktu dan tenaga untuk melayani kalian bermain-main!”

Setelah berkata demikian, Bu Pun Su mengambil sepotong gendewa yang telah patah dari Sian Kek Losu tadi yang kini panjangnya hanya tinggal satu kaki lebih. Biarpun benda itu hanya merupakan sepotong baja bengkok, akan tetapi setelah berada di tangan Bu Pun Su, merupakan sebuah senjata yang luar biasa ampuhnya. Kakek jembel ini berseru keras dan baja bengkok itu lalu menyambar hebat, merupakan gulungan sinar yang panjang dan dahsyat.

“Lepaskan senjata!” terdengar teriakan Bu Pun Su dari dalam gulungan sinar itu, sedangkan tubuh kakek itu sendiri lenyap ditelan gulungan sinar senjatanya yang diputar secara luar biasa itu.

Terdengar suara logam beradu keras sekali dan segera disusul pekik kesakitan dan terkejut oleh tiga buah mulut pengeroyoknya. Sepasang golok di tangan Sahali terpental dan melayang ke atas sedangkan dua buah roda dari Lok Kun Tojin juga melayang ke kanan kiri karena talinya telah putus. Adapun Siok Kwat Moli yang memiliki lweekang lebih tinggi daripada kedua orang kawannya itu, masih dapat mempertahankan senjatanya hingga tidak terlepas dari tangannya walaupun kulit telapak tangannya serasa akan pecah.

Namun ternyata bahwa tongkatnya tidak sekuat tangannya hingga ketika ia memandang, ternyata bahwa tongkatnya itu telah putus di tengah-tengah dan kini hanya merupakan sebatang tongkat yang amat pendek saja.

Ternyata bahwa tadi Bu Pun Su telah mengeluarkan ilmu silat simpanannya yang dahsyat, yang disebutnya Gerakan Halilintar Menyambar Bumi. Kehebatan gerakan ini memang luar biasa hingga jangankan baru ada tiga orang lawan yang bersenjata, biarpun ada puluhan lawan agaknya takkan ada yang dapat mempertahankan sambarannya ini yang dilakukan dengan tenaga lweekang sepenuhnya!

Siok Kwat Mo-li dan dua orang kawannya berdiri bingung karena mereka sendiri tidak tahu bagaimana cara kakek itu membuat senjata mereka terpental dan patah-patah. Akan tetapi, nenek bongkok itu menjadi marah sekali dan melihat Bu Pun Su berdiri di depannya dengan tenang, akan tetapi nyata bahwa kakek itu sedang mengatur kembali pernapasannya yang agak tersengal karena tadi ia telah mempergunakan tenaga sepenuhnya sedangkan usianya telah amat tua, maka sambil memekik keras Siok Kwat Mo-li lalu mengayun tangannya dan berhamburanlah jarum-jarum hitam ke tubuh Bu Pun Su!

Ang I Niocu dan Ma Hoa terkejut sekali melihat hal ini. Sebagai orang-orang yang telah mempelajari ilmu silat tinggi, mereka maklum bahwa pada saat itu Bu Pun Su sedang mengatur napas dan karenanya dilarang membuat gerakan-gerakan besar karena hal ini akan membahayakan keselamatannya.

Ma Hoa dan Ang Niocu memang amat tertarik melihat pertandingan ke dua yang lebih hebat itu, maka tak terasa pula mereka telah mendekat, dan bahkan Ma Hoa telah berdiri dekat Bu Pun Su, sedangkan Ang I Niocu yang masih merasa takut-takut kepada Bu Pun Su, berdiri agak jauh.

Ma Hoa melihat keadaan Bu Pun Su yang berbahaya itu, lalu melompat dengan sepasang bambu runcingnya di tangan. Ia melompat di depan Bu Pun Su dan cepat sekali ia memutar-mutar dua batang bambu runcing itu menangkis jarum-jarum hitam hingga semua jarum dapat dipukul runtuh ke atas tanah.

“Eh, anak lancang, lekas kau mundur, Im Giok! Jangan perbolehkan kawanmu ini maju!” kata Bu Pun Su dengan suara perlahan, akan tetapi berpengaruh hingga Ma Hoa menjadi terkejut dan segera melompat kembali ke dekat Ang I Niocu.

Bu Pun Su memandang kepada Siok Kwat Mo-li dan tersenyum.
“Kalau kau masih merasa penasaran, kau boleh menyerang lagi dengan jarum-jarummu!”

Akan tetapi, Siok Kwat Mo-li yang melihat betapa Ma Hoa dan Ang I Niocu yang telah ia kenal kelihaiannya itu berdiri disitu dan agaknya akan membantu pula kepada Bu Pun Su, merasa bahwa perlawanan dari pihaknya takkan ada gunanya, maka ia memandang dengan mata penuh mengandung kebencian ke arah Ma Hoa, kemudian tanpa berkata sesuatu ia lalu membalikkan tubuhnya dan berlari pergi, diikuti oleh kawan-kawannya dan semua anak buah Turki.

Makin sunyilah keadaan disitu sekarang dan hanya tinggal Kam Hong Sin seorang bersama anak buahnya yang masih berdiri di tempat semula. Kam Hong Sin menyaksikan semua pertandingan itu dan diam-diam ia pun amat kagum terhadap Bu Pun Su. Ia maklum bahwa kepandaiannya sendiri belum ada sepersepuluh bagian kepandaian kakek itu, akan tetapi Kam Hong Sin terkenal sebagai seorang panglima gagah yang pantang mundur dalam melakukan tugasnya. Sebelum ia dikalahkan, betapapun juga ia tilak mau mengalah begitu saja. Maka ia segera melangkah maju dan menjura kepada Bu Pun Su.

“Locianpwe, sungguh hebat kepandaianmu dan selama hidupku baru kali ini aku melihat kesaktian sedemikian hebatnya. Akan tetapi, sebagai seorang utusan Kaisar yang berkuasa, aku melarangmu mengambil harta pusaka yang menjadi hak milik kerajaan itu!”

Bu Pun Su tersenyum dan dalam hatinya ia mengagumi dan memuji sikap yang gagah berani dari perwira ini.

“Dan bagaimana kalau aku tetap hendak mengambil harta pusaka itu?” tanyanya dengan tenang.






Tidak ada komentar :