*

*

Ads

Jumat, 21 Juni 2019

Pendekar Bodoh Jilid 157

“Ha, akhirnya obat ini terdapat juga olehku!” katanya girang.

Bukan main girangnya hati Cin Hai melihat ini sehingga tak terasa pula air matanya mengalir turun, bercampuran dengan darahnya yang tadi mengucur keluar dari luka di jidatnya.

Sementara itu, Song Kun menjadi marah sekali.
“Tua bangka!” ia memaki supeknya. “Kau selalu memusuhi aku dan membela muridmu! Majulah dan mari kita mengadu jiwa di sini!”

Bu Pun Su hanya tersenyum dengan tenang.
“Aku tidak sudi mengotorkan tanganku. Cin Hai, kau lawanlah dia!”

Cin Hai yang merasa beruntung sekali seakan-akan melihat Lin Lin bangkit kembali dari alam baka itu, segera memutar pedangnya dan berkata,

“Suhu, teecu mohon ijin dan restu untuk mengakhiri hidup manusia iblis ini!”

“Memang kejahatan harus dibalas dengan keadilan, dan orang macam dia ini sudah pantas kalau dibasmi. Laksanakanlah tugasmu menjadi wakil mendiang Susiokmu dan juga wakilku!” kata Bu Pun Su yang berdiri dengan tegak dan wajahnya nampak bersungguh-sungguh.

Cin Hai lalu maju menyerang dan terjadilah pertempuran yang lebih hebat dari tadi. Kini keduanya berusaha keras untuk menjatuhkan lawan, semua serangan dimaksudkan untuk menewaskan lawan itu.

Pedang Ang-ho-sian-kiam berubah menjadi gulungan sinar merah, sedangkan pedang Liong-cu-kiam ketika dimainkan, berubah menjadi sinar putih yang terang sekali. Sinar pedang kedua pihak bergulung-gulung menyelimuti tubuh mereka dan kalau yang menyaksikan pertandingan ini hanya orang-orang biasa, mereka akan merasa heran sekali melihat sinar putih dan merah bergulung-gulung tanpa melihat bayangan orang atau pedang, dan tentu mereka menyangka bahwa dongeng-dongeng tentang para kiam-hiap (pendekar pedang) yang dapat menerbangkan pedangnya yang disebut hui-kiam (pedang terbang) itu memang benar-benar ada!

Akan tetapi, mata Bu Pun Su dapat melihat dengan nyata betapa Cin Hai berhasil mendesak Song Kun yang kini hanya dapat menangkis saja. Biarpun Song Kun menang gesit dan menang pengalaman serta keuletan, akan tetapi karena pemuda itu selalu menjalankan penghidupan sebagai seorang pemogoran yang terlalu banyak pelesir, maka kesehatannya tidak sedemikian sempurna dan setelah terdesak oleh Cin Hai dalam sebuah pertempuran yang memakan waktu lama dan mereka telah berkelahi seratus jurus lebih, akhirnya ia menjadi lelah dan daya tahannya sudah banyak berkurang.

Sebaliknya, Cin Hai yang mencurahkan seluruh kepandaian dan tenaganya, walaupun banyak darah keluar dari dua lukanya, masih tetap segar dan bahkan mendesak makin hebat!

Akhirnya Song Kun terdesak sampai ke pinggir jurang dan ketika kaki kirinya menginjak tempat kosong sehingga tubuhnya terjengkang, Cin Hai secepat kilat menusuk ke arah dadanya. Ia masih berusaha miringkan tubuh, akan tetapi kurang cepat dan pedang Liong-cu-kiam telah masuk ke dalam dada kanannya dan tubuhnya lalu terguling masuk ke dalam jurang!

Cin Hai memandang ke dalam jurang dalam itu dan melihat betapa tubuh Song Kun itu terguling-guling dan makin lama makin kecil sehingga akhirnya lenyap dari pandangan matanya!

“Bagus, Cin Hai, kepandaianmu sudah banyak maju!”

Cin Hai bagaikan baru sadar dari lamunan dan ia segera berlutut di depan gurunya tanpa dapat mengeluarkan sepatah pun kata.






Mereka lalu menghampiri Lin Lin yang masih pingsan dan Bu Pun Su segera menuangkan isi botol itu ke dalam mulut Lin Lin yang dibuka oleh Cin Hai.

Pemuda itu lalu memondong tubuh Lin Lin, dibawa masuk ke dalam gua agar jangan terserang panas matahari. Bu Pun Su mengikuti dari belakang. Setelah dengan hati-hati sekali dan penuh kasih sayang Cin Hai meletakkan tubuh kekasihnya di atas batu karang, ia dan suhunya lalu duduk tanpa bergerak maupun mengeluarkan suara. Seluruh perhatian mereka menuju kepada keadaan Lin Lin, dengan hati penuh harap dan cemas!

Makin lama, wajah Lin Lin yang tadinya nampak pucat itu, makin menjadi merah, bahkan terlalu merah bagaikan orang yang sedang marah! Kemudian Lin Lin membuka kedua matanya dan melihat Bu Pun Su, ia lalu melompat dan bangun berdiri. Kedua matanya yang indah itu memandang marah kepada Bu Pun Su dan tiba-tiba ia mencabut Han-le-kiam, terus menyerang kakek itu!

Tentu saja kejadian ini membuat Bu Pun Su dan Cin Hai terkejut dan heran sekali. Bu Pun Su mengelak dan Cin Hai cepat memburu dan berseru,

“Lin-moi, mengapa kau menyerang Suhu?”

“Siapa yang menjadi Suhu? Dia orang jahat! Dia harus dibunuh… lekas kau bantu aku, Hai-ko kekasihku!” Sambil berkata demikian, kembali Lin Lin menyerang Bu Pun Su.

Cin Hai makin terkejut oleh karena selain gadis ini tidak mengenal pula kepada Bu Pun Su gurunya sendiri, juga di depan orang lain gadis ini menyebutnya “kekasihku” satu hal yang belum pernah terjadi!

Dengan hati berdebar kuatir, timbul persangkaan dalam hatinya bahwa kekasihnya ini telah terganggu ingatannya! Maka ia lalu menubruk dari belakang, memeluk pinggang kekasihnya itu dan merampas pedangnya.

“Lin Lin… dia adalah Suhu kita…!”

Dalam pelukan Cin Hai yang kuat, Lin Lin tidak berdaya, akan tetapi, ia masih memandang ke arah Bu Pun Su dengan mata melotot.

“Lin Lin, aku adalah Bu Pun Su!” kata kakek jembel itu dengan suara mengharukan karena ia merasa bersedih melihat keadaan muridnya yang terkasih itu.

“Tidak, tidak! Kau laki-laki kurang ajar yang hendak membunuh kekasihku. Pergi… pergi… Kalau tidak, kau akan kubunuh!”

Setelah memaki-maki lagi, akhirnya tubuh Lin Lin menjadi lemas dan ia jatuh pulas dalam pelukan Cin Hai!

Bu Pun Su dan Cin Hai menjadi cemas sekali dan ketika Cin Hai membaringkan tubuh kekasihnya di atas lantai gua, ternyata bahwa jalan pernapasan gadis itu normal dan tidak nampak tanda-tanda bahwa kesehatannya terganggu, bahkan ketika ia memeluk Lin Lin yang mengamuk tadi, Cin Hai merasa betapa tenaga gadis itu telah pulih kembali!

“Bagaimana baiknya, Suhu…?” tanya Cin Hai dengan bingung.

“Sabar dan tunggulah saja perkembangannya terlebih jauh. Mungkin sekali mereka sengaja memberi obat yang bukan semestinya!”

Tak lama kemudian, Lin Lin terbangun dari tidurnya dan ia memandang sekeliling bagaikan seorang yang baru saja sadar dari mimpi buruk. Ketika melihat Bu Pun Su, ia lalu maju berlutut dan berseru,

“Suhu…!”

Bu Pun Su dan Cin Hai saling pandang dengan mata terbelalak.
“Lin Lin, mengapa tadi kau mengamuk dan menyerang Suhu?” tanya Cin Hai.

Lin Lin memandangnya dengan heran dan menjawab,
“Hai-ko, apakah arti pertanyaanmu itu? Aku menyerang Suhu dan mengamuk? Ah, kau mengimpi barangkali!”

Ternyata bahwa Lin Lin tidak ingat sama sekali, bahwa tadi ia telah menyerang suhunya sendiri dan mengamuk bagaikan orang kemasukan setan! Ketika Bu Pun Su memeriksa nadi tangannya, kakek ini mengangguk puas dan untuk melenyapkan rasa penasaran, ia minta gadis itu mainkan ilmu silat dengan pedangnya.

Lin Lin lalu mencabut keluar Han-le-kiam dan bersilat di depan guru dan kekasihnya. Mereka berdua merasa kagum karena ternyata gadis ini telah sembuh benar, tenaga dan kegesitannya kembali sedia kala. Akan tetapi kalau mereka mengingat hal tadi, mereka menjadi gelisah juga.

“Cin Hai, marilah kita datangi mereka itu untuk bertanya kepada dukun Mongol mengapa setelah minum obat itu, Lin Lin menjadi terganggu pikirannya. Lin Lin, kau menantilah saja disini, dengan kembalinya tenaga dan kepandaianmu kami tidak perlu kuatir meninggalkanmu seorang diri disini. Apalagi kau dikawani oleh tiga burung sakti itu.” kata Bu Pun Su yang segera bersuit nyaring memanggil Merak Sakti dan kawan-kawannya.

Tiga ekor burung besar melayang turun dan masuk ke dalam gua itu.
“Kalian bertiga jagalah baik-baik pada Lin Lin!” kata Bu Pun Su kepada tiga burung itu, kemudian ia bersama Cin Hai lalu berjalan cepat meninggalkan tempat itu untuk mencari keterangan kepada dukun Mongol.

**** 157 ****





Tidak ada komentar :