*

*

Ads

Jumat, 21 Juni 2019

Pendekar Bodoh Jilid 158

Setelah menceritakan pengalamannya yang aneh, yaitu tentang pertempuran antara fihak Mongol dan Turki serta kerajaan yang melawan Bu Pun Su hingga membuat Nelayan Cengeng dan Yousuf terheran-heran, Ang I Niocu lalu berkata,

“Di balik peristiwa itu tentu ada sesuatu yang hebat, karena kalau tidak demikian, tak mungkin Susiok-couw sampai membantu Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya yang jahat itu. Hal ini perlu sekali diselidiki.”

“Memang hal itu aneh sekali,” kata Kwee An. “Hai Kong terkenal jahat dan banyak tipu muslihatnya hingga maut pun seakan-akan jerih mencabut nyawanya. Ia telah menjadi buta dan terguling ke dalam jurang akan tetapi kini tiba-tiba ia muncul dan sebelah matanya masih dapat digunakan, bahkan ia telah berhasil menarik Bu Pun Su Lo-cianpwe membantunya, tentu ia menggunakan akat muslihat yang keji. Mari kita menyelidiki mereka!”

“Cin Hai tentu tahu akan hal ini karena ia sedang pergi mencari Suhu itu, maka sudah pasti ia akan segera kembali ke sini. Baiknya aku dan Ma Hoa menyusulnya sehingga dapat bertemu di jalan, sedangkan kalian orang-orang lelaki mencari tahu akan rahasia peristiwa yang aneh itu, sekalian melihat apakah harta pusaka itu telah diambil,” kata Ang I Niocu.

Semua orang setuju dan demikianlah, Ang I Niocu bersama Ma Hoa lalu keluar dari Lan-couw untuk menyusul atau mencegat kembalinya Cin Hai.

Ketika mereka tiba di luar kota Lan-couw, tiba-tiba mereka melihat bayangan tiga ekor burung besar sedang terbang berputaran di atas bukit-bukit batu karang.

“Lihat, bukankah itu Sin-kong-ciak?” teriak Ma Hoa dengan hati girang ketika ia mengenal burung merak yang indah bulunya itu terbang di atas.

“Betul, marilah kita pergi menyusul ke sana!”

Ang I Niocu berseru, akan tetapi ternyata Ma Hoa telah mendahuluinya berlari ke bukit itu. Ma Hoa merasa gembira sekali karena dengan adanya burung-burung itu disana, tentu Lin Lin juga berada di tempat itu.

Melihat kegembiraan Ma Hoa, Ang I Niocu juga ikut bergembira, akan tetapi ia hanya tersenyum dan ikut berlari di belakang Ma Hoa. Mereka berlari dan sampai di tempat yang penuh bukit batu karang itu dan ketika merak itu melayang turun ke depan gua besar dimana Lin Lin berada, Ma Hoa segera berlari ke situ, meninggalkan Ang I Niocu yang berdiri memandang dan mengagumi merak yang indah bulunya itu.

Ma Hoa berlari masuk gua dan tiba-tiba saja terdengar bentakan hebat,
“Manusia tidak tahu malu! Kau akan membunuh kekasihku? Rasakan pembalasanku ini!”

Dan tiba-tiba saja melompat seorang wanita yang menyerangnya dengan sebuah pedang pendek.

“Lin Lin!”

Ma Hoa berteriak nyaring dan penuh keheranan sambil mengelak dari serangan berbahaya itu.

“Ini aku… Ma Hoa…!”

Akan tetapi Lin Lin yang kumat lagi gilanya itu tidak mempedulikan seruan Ma Hoa, bahkan menyerang terus sambil memaki-maki! Melihat hebatnya serangan itu, terpaksa Ma Hoa mencabut keluar sepasang bambu runcingnya untuk dipakai menangkis dan menjaga diri.

Ia merasa heran, terkejut, dan kuatir melihat keadaan Lin Lin, akan tetapi oleh karena ilmu pedang gadis itu benar-benar lihai dan gerakannya amat sulit untuk diduga semula, terpaksa Ma Hoa mengerahkan seluruh ilmu kepandaiannya untuk menjaga diri dan menangkis semua serangan Lin Lin!

Kalau saja Ma Hoa belum memiliki ilmu silat bambu runcingnya yang lihai itu, pasti dengan mudah saja ia telah dirobohkan oleh Lin Lin, karena setelah mempelajari Ilmu Silat Han-le-kiam yang telah diperbaiki pula oleh asuhan Bu Pun Su, Lin Lin benar-benar luar biasa dan lihai sekali.

Terpaksa Ma Hoa mengeluarkan kepandaiannya dan kedua batang bambu runcingnya digerakkan secara hebat untuk mempertahankan dirinya sehingga di dalam gua itu terjadilah pertandingan yang amat dahsyat. Berkali-kali Ma-Hoa berseru,

“Lin Lin…! Aku adalah Ma Hoa, sahabat baikmu…!”






Tiga ekor burung yang melihat pertempuran ini, beterbangan di sekeliling mereka sambil mengeluarkan suara keluhan bingung karena burung-burung itu, terutama Merak Sakti, tak tahu harus membela yang mana! Kedua nona itu sama-sama mereka kenal di Pulau Kim-san-to, dan ketika burung bangau yang belum mengenal Ma Hoa hendak menyerang gadis berambut panjang itu dan membantu Lin Lin, tiba-tiba Rajawali Emas dan Merak Sakti menahan dan mencegahnya sehingga ketiga burung itu seakan-akan bertempur sendiri di udara!

Mendengar ribut-ribut itu, Ang I Niocu segera lari menghampiri dan ia merasa terkejut sekali melihat betapa Lin Lin melakukan serangan bertubi-tubi kepada Ma Hoa yang mempertahankan diri dengan sibuknya.

“Enci Im Giok, lekas… lekas tangkap dia, agaknya dia telah berubah ingatan!” seru Ma Hoa menahan isak.

Ang I Niocu berdiri bagaikan patung dan menjerit,
“Lin Lin…!”

Tiba-tiba suara ini seakan-akan menyadarkan Lin Lin dari keadaan yang tidak sewajarnya itu dan ia menengok ke arah Ang I Niocu, lalu menjerit,

“Enci Im Giok…!” pedangnya terlepas dari pegangan dan tubuhnya terhuyung-huyung karena ia merasa pening sekali.

Ang I Niocu segera melompat memeluknya dan ternyata bahwa Lin Lin jatuh pulas dalam pelukannya!

Maka melongolah Ang I Niocu dan Ma Hoa, saling berpandangan dengan mata terbelalak dan mulut celangap. Mereka benar-benar tidak mengerti dan heran melihat Lin Lin. Baru saja mengamuk bagaikan orang gila dan kini tiba-tiba saja jatuh tidur pulas!

Alangkah anehnya keadaan ini. Ang I Niocu duduk sambil memangku kepala Lin Lin yang masih tidur pulas, sedangkan Ma Hoa lalu memeriksa keadaan gua itu kalau-kalau ada orang lain berada di situ, akan tetapi selain tiga burung besar yang kini berjalan-jalan di depan gua, di situ tidak terdapat sesuatu lagi.

Beberapa lama kemudian, setelah Ang I Niocu dan Ma Hoa duduk menjaga Lin Lin yang sedang tidur, Lin Lin menggerakkan tubuhnya dan membuka matanya. Ia bangun dan ketika melihat bahwa ia berada di atas pangkuan Ang I Niocu, ia menggosok-gosok kedua matanya seakan-akan tidak percaya kepada kedua matanya sendiri. Kemudian ia bangkit dan menubruk Ang I Niocu sambil menangis.

“Enci Im Giok…”

“Lin Lin, kau kenapakah…?” bisik Ang I Niocu sambil menahan tangisnya.

Kemudian, Lin Lin merasa betapa pundaknya dipeluk orang, ketika ia menengok dan melihat Ma Hoa, ia segera merangkul dan menciumi muka Ma Hoa.

“Enci Hoa… kau juga datang…?”

“Eh, eh, anak nakal! Betul-betulkah baru sekarang kau tahu bahwa aku telah datang?” tegur Ma Hoa. “Mengapa tadi datang-datang kau menyerangku dengan hebat hingga hampir saja nyawaku melayang ke alam baka?”

Lin Lin memandangnya dengan terheran-heran.
“Benarkah? Sudah datang lagikah penyakitku itu? Ah, celaka…” dan ia lalu menangis sedih.

Ma Hoa dan Ang I Niocu kembali saling pandang dan melongo seperti tadi. Mereka benar-benar tidak mengerti dan terheran-heran.

“Lin Lin,” kata Ang I Niocu sambil memegang tangan gadis itu. “Tadi ketika Ma Hoa masuk ke dalam gua ini, kau terus menyerangnya mati-matian, kemudian tiba-tiba kau jatuh pulas! Apakah sebabnya semua ini? Ceritakanlah semua pengalamanmu karena kami sedang merasa bingung melihat betapa Susiok-couw Bu Pun Su membantu Hai Kong si keparat, dan sekarang melihat kau seperti ini lagi! Ah, apakah gerangan yang telah terjadi sehingga menimbulkan peristiwa yang luar biasa ini?”

Lin Lin lalu menuturkan semua pengalamannya, betapa Bu Pun Su terjatuh ke dalam kekuasaan Wi Wi Toanio dan Hai Kong Hosiang, dan betapa kemudian ia terluka dan melakukan perjalanan bersama Cin Hai yang akhirnya berhasil membinasakan Song Kun dan mendapatkan obat penawar pengaruh racun dalam tubuhnya, akan tetapi yang mengakibatkan datangnya “penyakit gila” yang kadang-kadang menyerangnya itu.

Ang I Niocu dan Ma Hoa mendengarkan dengan girang, dan juga cemas. Girang karena ternyata bahwa Bu Pun Su melakukan hal yang aneh itu karena terpaksa dan hendak menolong jiwa Lin Lin dan girang pula bahwa Song Kun yang jahat dapat ditewaskan oleh Cin Hai hingga sebuah diantara syarat yang diajukan oleh Ang I Niocu kepada tunangannya yaitu Lie Kong Sian, telah terpenuhi. Akan tetapi mereka merasa gelisah dan cemas mendengar akan keadaan Lin Lin yang kini terserang semacam penyakit yang aneh.

“Dan sekarang kemanakah perginya Hai-ji dan Susiok-couw?” tanya Ang I Niocu kepada Lin Lin.

“Mereka sedang pergi ke dukun Mongol pembuat obat yang kuminum untuk mencari keterangan tentang pengaruh obat itu.”

Tiada habisnya mereka bercakap-cakap terutama Lin Lin dan Ang I Niocu. Lin Lin merasa gembira dan bahagia sekali karena dapat bertemu Dara Baju Merah yang dulu dianggapnya telah tewas itu, biarpun ia telah mendengar dari Cin Hai bahwa Ang I Niocu memang masih hidup. Juga ia merasa gembira mendengar akan pengalaman Ma Hoa yang juga terluput daripada bahaya kematian bersama tunangannya, yaitu Kwee An, kakak Lin Lin.

“Aku ingin sekali bertemu dengan An-ko, mengapa ia tidak ikut bersamamu? Aku telah rindu sekali kepadanya,” kata Lin Lin yang teringat kepada kakaknya.

“Dia bersama Suhu dan Yo-pekhu sedang pergi menyelidiki keadaan gua rahasia yang telah ditemukan itu,” kata Ma Hoa yang lalu menuturkan semua pengalamannya ketika melihat pertempuran Bu Pun Su.

Tiga orang dara yang cantik jelita itu duduk bercakap-cakap dengan gembira sambil menanti kembalinya Cin Hai dan Bu Pun Su untuk diajak bersama menemui Kwee An, Nelayan Cengeng dan Yousuf. Dan dalam kesempatan ini, tidak lupa Ma Hoa menggoda Ang I Niocu dan menceritakan kepada Lin Lin bahwa Dara Baju Merah itu kini telah mempunyai calon.

“Adik Hoa, kalau kau tidak mau diam, akan kuberitahukan kepada Kwee An bahwa kau telah berlaku nakal sekali, agar kau dihajarnya!” kata Ang I Niocu balas menggoda.

Sementara itu, Lin Lin merasa gembira sekali dan sambil memeluk bahu Ang I Niocu, ia berbisik,

“Kionghi (Selamat), Enci Im Giok. Semenjak dulu, di dalam hati aku selalu berdoa untuk kebahagiaanmu dan ternyata doaku itu terkabul! Berita ini benar-benar membuat aku merasa bahagia sekali!”

Dan ucapan ini memang sejujurnya karena dari kedua mata Lin Lin menitik keluar dua titik air mata yang membuat Ang I Niocu merasa terharu sekali dan ia menggunakan saputangannya untuk mengeringkan pipi Lin Lin.

“Terima kasih, Adikku, terima kasih,” jawabnya sederhana.

**** 158 ****





Tidak ada komentar :