*

*

Ads

Jumat, 21 Juni 2019

Pendekar Bodoh Jilid 159

Mari kita ikuti perjalanan Bu Pun Su dan Cin Hai yang berlari cepat menuju ke hutan dimana mereka bertemu dengan dukun Mongol itu. Ketika mereka tiba di tempat itu, pondok dimana kemarin mereka bertemu dengan dukun Mongol, hanya terjaga oleh empat orang Mongol saja, sedangkan di dalam pondok nampak sunyi saja.

Kemudian ternyata bahwa yang berada di dalam pondok hanya Si Dukun Mongol sendiri, maka cepat Bu Pun Su bertanya kepadanya.

“Dukun pikun! Jawab pertanyaanku baik-baik dan sejujurnya, kalau tidak, tentu kau akan kulempar ke neraka!” baru kali ini Cin Hai melihat suhunya mengeluarkan ancaman dan marah-marah, dan ia maklum bahwa hal itu terjadi karena kakek itu merasa gelisah dan kuatir mengingat akan keadaan Lin Lin. “Obatnya yang kau sebut daun semut merah itu, benar-benarkah obat itu penolak racun ular hijau?”

“Benar, siapa yang meragukan obat buatan Mahambi si Dukun Dewa?” jawab kakek dukun itu dengan suara bangga.

“Apakah setelah minum obat itu, orang yang terkena racun ular hijau akan sembuh sama sekali?”

“Pasti sembuh, seketika itu juga akan pulih semua kekuatannya. Akan lenyaplah semua racun yang menguasai tubuhnya dan tertolonglah nyawanya dari cengkeraman maut!” jawabnya.

“Apakah tidak ada pengaruh lain yang merusak dari obat itu?”

“Tidak, tidak! Obat itu adalah semacam racun pula yang setelah masuk ke dalam tubuh, merupakan racun penolak dan pengusir racun ular hijau! Ketahuilah, dulu aku sendiri pun tidak dapat mencarikan obat sebagai penolak racun ular hijau itu, hingga pada suatu hari, ketika aku mencari daun-daun obat di dalam hutan, aku melihat seekor ular hijau dikeroyok oleh semut-semut merah itu dan matilah si ular hijau! Kemudian aku menyelidiki dan ternyata bahwa semut-semut merah itu bersarang di bawah pohon kembang yang kembangnya kecil berwarna merah pula. Semut-semut itu telah mendapatkan racunnya dari sari kembang inilah, maka kembang itu kusebut kembang semut merah yang mengandung racun berbahaya sekali, akan tetapi menjadi obat satu-satunya untuk mengalahkan racun ular hijau yang jahat!”

Bu Pun Su memandang dengan tajam dan penuh perhatian dan matanya yang awas itu dapat melihat bahwa dukun itu tidak membohong.

“Akan tetapi mengapa orang yang kuobati dengan obatmu itu tiba-tiba terserang penyakit lupa ingatan dan marah-marah seperti orang gila dan kemudian tertidur setelah marah-marah?” tanyanya.

Dukun itu tersenyum dan mengangguk-angguk.
“Memang, memang demikian,” katanya dan sepasang matanya yang hitam bersinar-sinar, “Tadi aku lupa menceritakan padamu. Racun semut merah itu mengalir di seluruh urat syaraf dan membersihkan serta menghalau semua racun ular hijau. Pada urat yang besar, peristiwa itu tidak mengakibatkan sesuatu, akan tetapi pada saat kedua macam racun itu berperang di dalam urat syaraf di bagian otak, maka ada kemungkinan orang akan terpengaruh dan menjadi marah-marah serta lupa ingatan untuk sementara waktu, yaitu pada saat kedua racun itu saling gempur!”

Cin Hai tak sabar untuk berdiam diri,
“Sampai berapa lamakah orang itu akan terganggu seperti itu? Dapat sembuh kembali atau tidak?” tanyanya tak sabar.

“Tidak ada bahayanya dan hanya untuk sementara waktu saja tergantung dari lamanya orang terkena racun ular hijau. Kalau ia terkena racun selama satu bulan, maka kira-kira satu bulan pula ia akan mengalami hal demikian, kalau baru dua tiga hari, paling lama tiga hari pula ia akan terserang hal itu.”

Bu Pun Su dan Cin Hai menarik napas lega. Lin Lin baru terserang racun kurang lebih sepekan, maka untuk sepekan lamanya Lin Lin akan terserang penyakit aneh itu.

“Dan dimana perginya Hai Kong dan kawan-kawannya?” tanya pula Bu Pun Su.

“Kemana lagi kelau tidak mengambil harta pusaka di gua itu?” kata Dukun Mahambi sambil mengangguk-anggukkan kepala. “Manusia-manusia macam mereka itu yang dipikirkan hanya harta benda belaka dan untuk mendapatkan harta benda, mereka tak segan-segan melakukan segala macam kejahatan dan kekejaman.”

Bu Pun Su lalu berkata kepada Cin Hai,
“Cin Hai, kau kembalilah kepada Lin Lin dan ajak ia mencari Ang I Niocu dan kawan-kawan lain yang berada di kota Lan-couw. Aku akan menghalangi mereka mengambil harta pusaka itu. Kalau harta yang demikian besarnya terjatuh ke dalam tangan orang-orang jahat, maka harta benda itu akan menimbulkan berbagai kejahatan pula.”






Cin Hai mengangguk dan mereka lalu meninggalkan pondok itu. Cin Hai berlari kembali ke gua dimana Lin Lin berada sedangkan Bu Pun Su berkelebat pergi ke gua Tun-huang!

Bu Pun Su berlari cepat dan sebentar saja ia tiba di gua Tun-huang, dimana ia melihat banyak orang Mongol menjaga dengan senjata di tangan. Ia tidak melihat adanya Hai Kong dan kawan-kawannya, maka ia dapat menduga bahwa pendeta jahat dan kawan-kawannya itu tentu berada di dalam gua, sedang mengambil harta pusaka.

Dengan sekali melompat, Bu Pun Su telah berada di depan gua, melewati kepala para penjaga sehingga para penjaga itu menjadi terkejut sekali. Mereka tadinya menyangka bahwa seekor burung besar terbang melayang dan menyambar turun, tidak tahunya yang turun adalah seorang kakek tua yang mereka kenal baik, yaitu kakek jembel yang sakti dan yang telah menghalau semua lawan secara luar biasa itu.

“Hai Kong, Wi Wi, dan yang lain-lain! Jangan harap kalian akan dapat mengangkut pergi harta pusaka itu selama aku masih berada disini!”

Tiba-tiba, Hai Kong Hosiang, Wi Wi Toanio, Balaki dan kawan-kawan mereka keluar dari gua itu dengan muka merah karena marah.

“Bu Pun Su, jangan kau berlaku seperti anak kecil! Kau telah mencuri harta pusaka itu dan membawanya pergi, sekarang kau masih berani datang dan berpura-pura melarang kami mengambil harta pusaka itu. Sungguh kurang ajar dan tak tahu malu sakali!”

“Apa katamu?” bentak Bu Pun Su kepada Hai Kong Hosiang.

“Harta Pusaka itu telah kau curi dan kau bawa pergi, mau berkata apalagi?”

Hai Kong Hosiang balas membentak marah dan segera menyerang dengan tongkat ularnya kepada Bu Pun Su. Juga Balaki segera menyerang dengan senjatanya, diikuti oleh Wi Wi Toanio yang mencabut tusuk konde pemberian Bu Pun Su dulu dan menyerang Bu Pun Su dengan tusuk konde itu!

Menghadapi serangan Hai Kong Hosiang dan Balaki, Bu Pun Su tidak menaruh hati gentar sedikit pun, akan tetapi serangan Wi Wi Toanio dengan tusuk konde itu benar-benar membuat ia gentar juga. Ia maklum bahwa dengan mengandalkan pengaruh tusuk konde itu ia tidak akan mau menurunkan tangan kepada Wi Wi Toanio, maka ia lalu mengelak cepat dan berkata,

“Aku masih belum mengerti maksud omongan kalian! Biar kuperiksa harta pusaka itu!”

Secepat kilat ia lalu menerobos masuk ke dalam gua dan tak lama kemudian ia keluar lagi dan berdiri di depan Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya sambil tertawa bergelak,

“Ha-ha-ha! Puluhan anjing kelaparan berebut tulang dan akhirnya secara diam-diam anjing tua membawa lari tulang itu dengan enaknya. Ha-ha-ha!”

Bu Pun Su nampak demikian gembira dan Hai Kong Hosiang beserta kawan-kawannya memandang dengan marah.

“Kau maksudkan bahwa yang mengambil harta pusaka itu jago tua Hok Peng Taisu?” tanya Hai Kong Hosiang sambil memandang tajam.

“Dasar kau yang bodoh,” tegur Bu Pun Su. “Apakah kau tidak membaca tulisan di atas itu? Dengan tongkat bambunya Hok Pek Taisu membuat syair yang diukir pada dinding tanah, dan memang perbuatannya itu cocok sekali dengan cita-citaku. Ha, kalian boleh makan angin! Memang sudah menjadi bagian dan hukuman bagi kalian orang-orang serakah dan bodoh!”

“Lu Kwan Cu, kau harus mendapatkan kembali harta pusaka itu untukku!” tiba-tiba Wi Wi Toanio berseru sambil mengangkat tinggi-tinggi tusuk konde yang dipegangnya.

Akan tetapi kini Bu Pun Su tidak tunduk kepadanya seperti dulu.
“Wi Wi, sekarang kau tidak perlu menggertak kepadaku lagi! Rahasia kita sudah diketahui orang lain dan bukan merupakan rahasia lagi, Apa peduliku kalau kau hendak menceritakan rahasia itu kepada orang sedunia lagi? Mulai saat ini, aku Bu Pun Su tidak bernama Lu Kwan Cu lagi dan kau tak dapat mempengaruhi Bu Pun Su! Selamat tinggal!”

“Lu Kwan Cu, pada suatu hari aku akan membunuhmu!”

Wi Wi Toanio menjerit, akan tetapi Bu Pun Su telah berkelebat pergi dari situ. Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya tak berani menghalangi kepergiannya karena mereka maklum bahwa kakek jembel itu bukanlah lawan yang ringan, sedangkan sekarang harta pusaka telah tercuri orang lain, untuk apa mereka harus memusuhi kakek jembel itu?

Ternyata bahwa harta pusaka itu memang benar telah tercuri orang. Beberapa orang penjaga bangsa Mongol yang ditugaskan menjaga disitu ketika Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya pergi mengantar Bu Pun Su ke rumah dimana dukun Mongol ditahan, tiba-tiba diserang oleh seorang tua yang menotok mereka secara cepat sehingga mereka tak sempat melihat jelas siapa yang menotok roboh mereka itu.

Orang ini masuk ke dalam lubang penyimpanan harta pusaka dan setelah mengambil semua benda berharga itu, lalu menggunakan tongkatnya untuk menuliskan atau mengukir syair di dinding yang berbunyi seperti berikut :

Harta pusaka di gua rahasia, telah banyak menimbulkan sengketa! Harta kembali kepada rakyat jelata, sebagai peninggalan nenek moyang mereka!

Tadinya Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya mengira bahwa yang melakukan perbuatan itu adalah Bu Pun Su sendiri, akan tetapi mereka masih merasa ragu-ragu oleh karena mereka pun tahu bahwa tulisan itu dilakukan oleh seorang berilmu tinggi yang mempergunakan tongkat bambu untuk dipakai mengukir, sedangkan Bu Pun Su tak pernah membawa tongkat bambu.

Baru setelah Bu Pun Su menyebut nama Hok Peng Taisu, mereka teringat akan kakek sakti itu, maka mereka lalu mengambil keputusan untuk mencari kakek itu dan merampas kembali harta pusaka yang telah dicurinya.

Mereka ini tidak tahu bahwa diam-diam Bu Pun Su yang tadi berkelebat keluar, sebenarnya belum pergi dan mendengarkan perundingan mereka tentang maksud mereka mencari Hok Pen Taisu, dan setelah mendengar dengan jelas, barulah Bu Pun Su pergi dengan cepat ke gua dimana Lin Lin berada.

Ketika Cin Hai yang disuruh kembali kepada Lin Lin oleh Suhunya itu tiba di gua, dengan girang ia bertemu dengan Ang I Niocu dan Ma Hoa. Ia lalu menceritakan segala pengalamannya dan bergiranglah semua orang mendengar bahwa penyakit aneh yang menyerang Lin Lin itu hanya akan berlangsung selama sepekan.

“Agaknya penyakit Adik Lin hanya timbul pada saat ia melihat wajah baru dan mendapat kekagetan,” berkata Ang I Niocu setelah mendengarkan semua penuturan mereka. “Ketika ia terserang kemarahan pada pertama kalinya, kebetulan ia baru sadar dari pingsan dan melihat Susiok-couw ia lalu menyerangnya. Yang kedua kalinya ketika tiba-tiba Ma Hoa muncul, ia menjadi terkejut dan lalu menyerangnya pula. Bukankah kau terkejut ketika melihat Ma Hoa muncul secara tiba-tiba itu Lin Lin?”

Gadis itu sambil menarik napas panjang menggeleng kepala.
“Entahlah, aku tak ingat sama sekali Enci Im Giok, seakan-akan aku mimpi.”

“Lebih baik kau dan Cin Hai tinggal saja di tempat ini sampai sepekan lamanya, karena sungguh tidak enak kalau kau pergi ke tempat ramai dan tiba-tiba mengamuk orang!” kata Ma Hoa. Semua orang menyetujui nasihat ini.

Tiba-tiba Cin Hai berkata kepada Lin Lin sambil memegang tangan kekasihnya itu agar tidak mengagetkannya,

“Lin Lin, pusatkan pikiranmu karena Suhu telah datang. Ingat baik-baik bahwa dia yang datang itu adalah Suhu kita sendiri!”

Lin Lin mengangguk-angguk dan maklum bahwa kalau tidak memusatkan pikirannya, mungkin melihat kedatangan kakek itu akan menimbulkan penyakitnya!

Benar saja, Bu Pun Su bertindak masuk dan semua orang memberi hormat kepadanya, Bu Pun Su dengan tenang lalu menceritakan tentang perbuatan Hok Peng Taisu yang mendahului semua orang mengambil harta pusaka itu untuk dikembalikan kepada rakyat, karena memang harta itu dulu telah dirampok dari rakyat jelata. Ma Hoa merasa girang sekali mendengar tentang suhunya ini akan tetapi ia merasa kecewa juga mengapa suhunya itu tidak datang menemuinya.






Tidak ada komentar :