*

*

Ads

Jumat, 21 Juni 2019

Pendekar Bodoh Jilid 160

“Dan satu hal yang amat penting lagi harus kita perhatikan,” kata pula Bu Pun Su. “Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya kini berusaha merampas kembali harta pusaka itu dan mengejar Hok Peng Taisu. Ma Hoa, kau sebagai muridnya harus memberi tahu hal ini kepada Suhumu agar ia dapat berjaga-jaga dan kalau perlu, kita semua harus membantunya. Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya cukup lihai dan kecurangan serta kecerdikan Hai Kong Hosiang merupakan hal yang amat berbahaya. Lin Lin, kau tinggal dengan Cin Hai disini sampai sepekan setelah itu barulah kalian boleh pergi ke Gua Tengkorak menyusulku. Nah, aku pergi!”

Sehabis berkata demikian, kakek jembel yang sakti itu lalu bertindak keluar. Terdengar suaranya di luar menggema,

“Tiga burung kubawa serta!”

Ketika semua orang keluar untuk melihat, ternyata kakek itu telah tak nampak lagi, hanya kelihatan tiga ekor burung besar itu terbang tinggi ke timur.

Ang I Niocu berkata kepada Lin Lin dan Cin Hai,
“Kami berdua hendak pergi ke rumah Paman Yo lebih dulu agar mereka tidak menanti-nanti kami. Kami akan berdiam disana menunggu kalian berdua?”

“Enci Im Giok, janganlah kau dan kawan-kawan pergi dulu sebelum aku dan Hai-ko menyusul kesana,” kata Lin Lin, yang sebetulnya ingin sekali pergi bersama dan bertemu dengan ayah angkatnya.

Ang I Niocu dan Ma Hoa berjanji akan menanti sampai sepekan, lalu mereka juga pergi meninggalkan gua itu. Tinggallah kini Cin Hai dan Lin Lin berdua di tempat yang sunyi itu.

“Lin-moi, sepekan bukanlah waktu yang lama, akan tetapi tak baik kalau selama itu kita menganggur saja. Lebih baik kita bersemadhi dan membersihkan napas melatih lweekang, sekalian membantu bekerjanya obat di dalam tubuhmu.”

Lin Lin menyetujui usul ini dan bersama Cin Hai, ia lalu duduk bersila di dalam gua itu, bersamadhi memperkuat tenaga dalamnya.

Sementara itu, Ang I Niocu dan Ma Hoa yang kembali ke Lan-couw untuk bertemu dengan Kwee An, Nelayan Cengeng dan Yousuf, ketika tiba di kampung orang Turki itu, mereka mendengar hal yang baru dan tak mereka sangka-sangka.

Kwee An, Nelayan Cengeng dan Yousuf, ketika mendengar tentang hal Lin Lin dan Cin Hai, segera menyatakan keinginan mereka untuk menengok, akan tetapi Ang I Niocu melarangnya.

“Jangan, sebelum lewat sepekan, janganlah mengganggu Lin Lin karena munculnya wajah baru hanya akan membangkitkan penyakitnya yang aneh. Aku telah berpesan bahwa apabila sepekan telah lawat dan ia telah sembuh, ia dan Cin Hai harus menyusul kita ke tempat ini.”

Kemudian, Kwee An lalu menuturkan pengalamannya yang cukup menarik dan untuk mengetahui hal ini lebih baik kita mengikuti perjalanan Kwee An dan Nelayan Cengeng.

Sebagaimana diketahui, mereka berdua ini mendapat tugas untuk menyelidiki peristiwa yang aneh yaitu mengapa Bu Pun Su sampai membantu dan membela Hai Kong Hosiang kawan-kawannya yang jahat.

Mereka berdua pergi ke gua-gua Tun-huang karena menurut cerita Ang I Niocu, di sanalah terjadinya adu kepandaian yang hebat itu. Akan tetapi di situ hanya sunyi saja dan tidak terlihat orang-orang yang mereka cari, hanya di depan gua rahasia tempat harta pusaka itu tersimpan, terlihat banyak orang Mongol menjaga dengan tangan memegang senjata.

Nelayan Cengeng dan Kwee An mengintai dari balik gunung karang dan melihat penjaga-jaga itu, Nelayan Cengeng berkata,

“Mungkin sekali harta pusaka itu belum diambil. Mengapa kita tidak mempergunakan kesempatan ini untuk merobohkan mereka dan mengambil harta pusaka itu sebelum Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya kembali?”

Kwee An menjawab,
“Aku setuju sekali, akan tetapi, bagaimana kalau Bu Pun Su Lo-cianpwe datang dan mempersalahkan kami?”

“Jangan kuatir, betapapun juga, aku tetap tidak percaya bahwa orang sakti itu benar-benar hendak membantu Hai Kong. Pasti ia terkena pengaruh jahat, Hai Kong memang terkenal curang dan mempunyai banyak tipu muslihat. Menurut dugaanku, tentu ada sesuatu yang memaksa Bu Pun Su untuk menyerah dan kesempatan itu digunakan oleh Hai Kong Hosiang untuk memperalat tenaga Bu Pun Su mengalahkan semua lawan dan mengambil harta pusaka itu. Kalau sekarang kita mendahului mereka, berarti bahwa kita menolong Bu Pun Su, karena aku yakin bahwa betapapun juga, di dalam hatinya, kakek jembel yang sakti itu tidak suka melihat harta pusaka terjatuh ke tangan orang-orang jahat.”






“Kalau kita berhasil mengambil harta pusaka itu, harus kita apakan benda itu?” tanya Kwee An yang berhati polos dan jujur.

Nelayan Cengeng tertawa sambil memandang pemuda itu, dan karena ia merasa geli maka dari kedua matanya keluarlah air mata.

“Ha-ha-ha! Bagi orang-orang seperti kita ini, untuk apakah harta benda yang kotor itu? Aku pernah mendengar Yo Se Pu bercerita bahwa harta itu adalah milik rakyat jelata yang dirampok, dan sebagian pula terdapat harta pusaka Kerajaan Turki yang juga menjadi korban perampokan. Tentu saja sudah sepatutnya kalau harta benda itu dikembalikan kepada mereka yang berhak!”

“Yang berhak?” tanya Kwee An dengan heran. “Menurut cerita, harta itu telah terpendam ratusan tahun lamanya, kalau memang dulunya datang dari rakyat jelata, maka siapakah yang berhak menerimanya kembali?”

Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa halus dan menjawab pertanyaan itu,
“Dari rakyat harus dikembalikan kepada rakyat!”

Nelayan Cengeng dan Kwee An merasa terkejut sekali dan cepat mereka menengok. Ternyata diatas mereka telah berdiri seorang kakek tua yang berkepala botak dan memegang sebatang tongkat bambu warna kuning. Mereka tercengang sekali karena maklum bahwa kakek ini tentu seorang berilmu tinggi, kalau tidak, tak mungkin ia bisa datang tanpa terdengar sedikit pun oleh mereka.

“Apakah Ji-wi (Tuan Berdua) masih ada hubungan dengan seorang gadis bernama Ma Hoa?” tiba-tiba kakek botak itu bertanya.

Nelayan Cengeng tertawa terbahak-bahak dan berkata,
“Hok Peng Taisu, silakan kau turun agar kami dapat memberi penghormatan yang layak!”

Kakek botak itu tertawa pula dan tubuhnya melayang turun bagaikan sehelai daun kering ringannya.

“Nelayan Cengeng, biarpun matamu mudah mengeluarkan air mata, namun harus dipuji ketajamannya,” katanya.

Nelayan Cengeng memang cerdik dan melihat seorang kakek lihai menyebut nama Ma Hoa, ia teringat akan cerita gadis itu tentang suhunya yang baru, maka ia sengaja menyebut namanya. Sedangkan Hok Peng Taisu tadi melihat betapa Nelayan Cengeng itu tertawa sambil mengeluarkan air mata maka mudah saja baginya untuk menerka siapa adanya kakek aneh ini.

“Bagaimana dengan murid kita itu?” tanya Hok Peng Taisu.

“Baik, baik, dan terima kasih kuhaturkan kepadamu yang telah memberi bimbingan padanya. Kepandaian yang kau berikan padanya dalam beberapa bulan saja itu tak mungkin dapat kuberikan dalam sepuluh tahun!” jawab Nelayan Cengeng sejujurnya.

“Ah, memang kau benar-benar mempunyai sifat betina, mudah menangis dan suka puji memuji. Sudahlah, Kong Hwat Lojin, sekarang kita bicara tentang hal penting. Eh, siapakah anak muda ini?”

“Dia adalah calon suami murid kita.”

Hok Peng Taisu mengangguk-angguk dan memandang kagum. Baru mendengar pertanyaan Kwee An tentang harta itu tadi saja sudah membuat ia dapat menghargai sikap dan kebersihan hati pemuda itu.

“Sekarang dengarlah kalian. Kedatanganku ke tempat ini bukanlah tanpa maksud. Aku mendengar tentang perebutan harta pusaka itu, dan karenanya aku hendak mempergunakan kesempatan selagi mereka itu saling gempur dan berebut, aku hendak mengambil harta pusaka itu!”

Nelayan Cengeng memandangnya tajam,
“Untuk apakah harta itu bagimu, Taisu?”

“Ha-ha-ha! Kini kau mengajukan pertanyaan yang bodoh sakali. Kau boleh menjawab sendiri pertanyaan itu dengan jawaban yang kau berikan kepada pemuda ini tadi!”

Nelayan Cengeng mongangguk-angguk.
“Kalau begitu, aku setuju membantumu.”

Kakek botak itu berkata,
“Memang aku perlu sekali dengan bantuan kalian. Aku akan mengambil harta itu dan kalian beserta Ma Hoa dan yang lain-lain berkewajiban untuk menjalankan tugas membagi-bagi harta pusaka itu kepada rakyat jelata yang miskin. Bagaimana, sanggupkah kalian?”

Tentu saja Nelayan Cengeng dan Kwee An menyatakan kesanggupan mereka. Kemudian, Hok Peng Taisu minta mereka menanti sebentar dan sekali berkelebat saja kakek botak itu telah lenyap dari pandangan mata. Nelayan Cengeng menarik napas panjang dan berkata,

“Entah mana yang lebih tinggi kepandaian Kakek Botak ini dengan Kakek Jembel. Pada dewasa ini, kedua orang itulah yang menduduki tingkat tertinggi dalam dunia persilatan.”

Kwee An juga merasa kagum melihat kelihaian Hok Peng Taisu dan mereka berdua lalu mengintai ke arah gua itu. Mereka melihat betapa kakek itu bergerak cepat laksana seekor burung elang menyambar-nyambar dan tahu-tahu semua penjaga telah tertotok roboh olehnya.

“Bukan main!” seru Kwee An dengan kagum sekali karena ia melihat dengan baik betapa kakek botak itu mempergunakan tongkat bambunya untuk menotok dan tiap totokannya ternyata berhasil baik dan gerakannya demikian cepat sehingga serangannya ini tak memberi kesempatan sama sekali kepada para penjaga itu untuk melawan ataupun melihatnya!

Tak lama kemudian, kembali kakek botak itu keluar dari gua dan menuju ke tempat mereka dan kini ia telah membawa buntalan besar yang nampaknya berat sekali. Ternyata bahwa kakek botak itu telah menggunakan mantel luarnya untuk membungkus semua harta pusaka yang banyak itu dan mengangkutnya keluar dalam waktu yang amat cepatnya.

“Nah, kalian terimalah ini. Memang benar kata-katamu tadi. Kong Hwat Lojin, diantara harta pusaka itu terdapat mata uang emas yang memakai cap huruf-huruf Turki. Tentang pembagiannya terserah kepada kalian, aku percaya penuh kepadamu. Tugasku hanyalah mengambil harta itu, dan untuk membagikannya kepada yang berhak, terserah kepadamu. Nah, aku pergi!”

Dan sebelum Kwee An maupun Nelayan Cengeng membuka mulut, kakek botak itu telah lenyap dari situ!

Nelayan Cengeng dan Kwee An lalu membawa pulang buntalan itu ke rumah Yousuf dan menceritakan semua pengalamannya. Ketika harta pusaka itu diperiksa, ternyata memang terdapat banyak mata uang emas dari Turki jaman dahulu, maka Nelayan Cengeng lalu memberikan mata uang yang banyak sekali itu kepada Yousuf dan berkata,

“Saudara Yo, bangsamulah yang berhak menerima sebagian daripada harta ini. Bawalah kembali ke Turki, sedangkan bagian lain akan kubagi-bagikan kepada rakyat yang amat membutuhkannya.”

Yousuf menerima harta pusaka itu sambil berlinang air mata.
“Pangeran Tua yang kini menjadi Raja amat lemah karena miskinnya dan Pangeran Muda mempergunakan kesempatan ini untuk membeli orang-orang pandai dengan emas. Maka pemberian ini merupakan pertolongan yang datangnya dari Tuhan Yang Agung, karena harta pusaka ini akan dapat digunakan membiayai pembangunan Kerajaan Turki.”

“Terserah kepadamu, Saudaraku. Aku cukup percaya dan tahu akan kebijaksanaanmu!”

Yousuf lalu menyuruh orang membuat kantung-kantung dari kulit kambing untuk tempat menyimpan sekalian harta pusaka itu.

Demikian pengalaman Nelayan Cengeng dan Kwee An sebagaimana yang mereka tuturkan kepada Ang I Niocu dan Ma Hoa.

“Kalau demikian, memang telah ada persesuaian antara Hok Pek Taisu dan Bu Pun Su Susiok-couw,” kata Ang I Niocu. “Kita harus menjalankan tugas membagi-bagi harta pusaka itu dengan baik.”

“Harta ini harus cepat dibagi dan jangan ditunda-tunda lagi, oleh karena Hai Kong Hosiang tentu takkan tinggal diam saja kalau mengetahui bahwa benda itu berada pada kita,” kata Kwee An. “Maka lebih baik kita segera melakukan tugas itu tanpa menundanya lagi.”

“Akan tetapi, bagaimana dengan Lin Lin dan Cin Hai? Apakah kita tidak harus menanti sampai Lin Lin sembuh?” Ma Hoa berkata ragu-ragu.

“Tak perlu,” jawab Ang I Niocu. “Bukankah Susiok-couw telah memberi perintah kepada mereka untuk menyusul ke Gua Tengkorak kalau Lin Lin sudah sembuh? Kita berangkat dulu dan kelak kita dapat bertemu dengan mereka di timur.”

“Biarlah aku yang menanti mereka disini dan akan kuberitahukan kepada mereka tentang semua ini,” Yousuf menyatakan kesanggupannya.

Semua orang telah menyetujui keputusan ini. Harta benda itu lalu dibagi menjadi empat kantung dan mereka, yaitu Nelayan Cengeng, Ang I Niocu, Ma Hoa, dan Kwee An masing-masing mendapat sekantung.

Setelah berpamit kepada Yousuf dan kawan-kawannya, empat orang pendekar itu meninggalkan Lan-couw yang memberi kenang-kenangan hebat kepada mereka. Mereka menuju ke timur dan di sepanjang jalan mereka membagi-bagikan harta itu kepada rakyat miskin.

Pemberian ini dilakukan secara diam-diam dan tanpa diketahui oleh mereka yang diberi sehingga tentu saja terjadi kegemparan hebat karena banyak sekali orang miskin tahu-tahu menemukan beberapa potong emas dan permata di dalam rumah mereka. Timbullah desas-desus di sana-sini bahwa Kwan Im Pouwsat (Dewi Kwan Im) telah turun ke dunia memberi pertolongan kepada orang-orang miskin yang menderita sengsara.

**** 160 ****





Tidak ada komentar :