*

*

Ads

Minggu, 23 Juni 2019

Pendekar Bodoh Jilid 161

Setelah tinggal di dalam gua batu karang itu sepekan lamanya, akhirnya kesehatan Lin Lin telah pulih kembali seperti sediakala. Penyakitnya yang aneh, yaitu gangguan pada urat syaraf di otaknya yang ditimbulkan oleh obat kembang semut merah itu telah lenyap sama sekali. Hal ini dapat ia rasakan karena kalau biasanya tiap hari ia sering merasakan kepalanya kadang-kadang berdenyutan keras sekali hingga terpaksa Cin Hai memegang tangannya dan mengalirkan hawa ke dalam tubuh kekasihnya itu untuk membantu dan memperkuat jalan darah pada otaknya, kini denyutan kepala itu lenyap sama sekali! Bahkan ketekunan berlatih dan samadhi membuat ia dan Cin Hai mendapat kemajuan yang lumayan.

Sepasang teruna remaja itu lalu pergi menuju ke rumah Yousuf dan ketika Lin Lin berlutut di depan ayah angkatnya, Yousuf mengelus-elus rambut gadis itu dengan hati terharu dan mata merah, karena menahan runtuhnya air matanya,

“Lin Lin, anakku yang baik. Aku mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Adil bahwa kau telah terbebas dari keadaan bahaya. Kalau kau bertemu dengan suhumu Bu Pun Su, sampaikanlah hormat dan terima kasihku, karena sesungguhnya dialah yang telah menolongmu.”

Lin Lin dan Cin Hai terkejut.
“Apakah Yo-pekhu tidak ikut dengan kami ke timur?”

Yousuf menggelengkan kepalanya. Lin Lin memegang tangan ayahnya itu dan berkata,
“Ayah, kau harus ikut dengan kami ke timur. Hatiku takkan merasa tenteram kalau harus berpisah lagi dengan kau.”

Yousuf tersenyum dan memandang kepada Lin Lin dengan kasih sayang besar.
“Anakku yang baik, alangkah bahagianya perasaan hatiku mendengar ucapan itu. Ternyata Tuhan telah memberi berkah yang berlimpah-limpah kepada aku yang penuh dosa ini sehingga pada waktu usiaku telah tua, aku dapat memperoleh seorang anak seperti engkau! Percayalah, tidak ada kebahagiaan yang lebih besar bagiku selain hidup dekat dengan kau dan melihat kau berbahagia, melihat kau hidup beruntung dengan suamimu dan bermain-main dengan cucuku kelak!” Mendengar ucapan terakhir ini, baik Lin Lin maupun Cin Hai menjadi merah mukanya.

“Kalau begitu, marilah kau ikut dengan kami ke timur, Ayah,” kata Lin Lin dengan girang.

Kembali Yousuf menggelengkan kepalanya.
“Sekarang belum bisa, Anakku. Kau dan Cin Hai berangkatlah dulu menyusul Suhumu, karena aku masih mempunyai tugas yang amat penting.”

Kemudian orang Turki yang baik hati ini menuturkan tentang harta pusaka itu dan menuturkan pula bahwa Ang I Niocu dan yang lain-lain telah berangkat untuk melakukan tugas membagi-bagi harta pusaka kepada rakyat jelata yang membutuhkannya.

“Sedangkan emas yang menjadi hak milik Kerajaan Turki, harus kuantarkan dulu ke negeriku agar dapat digunakan untuk membangun kembali kerajaan yang telah dikacau oleh Pangeran Muda.”

Karena dapat mempertimbangkan bahwa hal itu memang amat penting dan memang telah menjadi kewajiban Yousuf untuk bekerja demi kebaikan negara dan bangsanya, maka terpaksa Lin Lin dan Cin Hai tak dapat membantah pula.

“Hanya kuminta, Ayah, agar supaya kau jangan terlalu lama tinggal di negeri barat dan segera menyusul kami ke timur. Kebahagiaanku takkan lengkap kalau kau tidak berada di dekatku.”

Setelah melihat kekasihnya sembuh, Cin Hai lalu menuturkan tentang tewasnya Pek I Toanio dan Biauw Suthai di tangan Hai Kong Hosiang. Bukan main terkejut dan marahnya Lin Lin mendengar ini, maka sambil menangis, ia lalu mengajak Cin Hai untuk mampir di kampung itu, dimana jenazah Biauw Suthai dan Pek I Toanio dimakamkan.

Lin Lin bersembahyang di depan kuburan guru dan sucinya dan sambil menangis ia bersumpah,

“Suci dan Subo, aku bersumpah bahwa sakit hati ini pasti akan kubalas dan bangsat gundul Hai Kong pasti akan mampus di dalam tanganku untuk membalas dendam hati Subo dan Suci.”

Setelah berdiam di makam subo dan sucinya sampai setengah hari lamanya, Lin Lin lalu melanjutkan perjalanannya bersama Cin Hai. Kebencian gadis itu terhadap Hai Kong Hosiang bertambah-tambah, karena memang hwesio itu telah banyak membuat sakit hati kepadanya, bahkan hwesio itu akhir-akhir ini telah melukainya dan kalau tidak tertolong oleh obat kembang semut merah, tentu jiwanya akan melayang pula!

Cin Hai maklum akan perasaan hati kekasihnya, maka dengan lemah lembut ia berkata,
“Lin-moi, jangan kau berkuatir. Aku pun bersumpah untuk menebus kesalahanku yang telah melepaskan hwesio itu dulu dan tidak membinasakannya sehingga ia masih hidup dan kini mendatangkan malapetaka pula.”






Lin Lin memandang kekasihnya dan tersenyum manis menghibur.
“Koko yang baik, semua itu bukan salahmu, sama sekali bukan!”

Melihat senyum manis kembali telah menghias bibir gadis yang amat dicintanya itu, hati Cin Hai menjadi gembira sekali karena ia tahu bahwa kekasihnya telah melupakan kesedihannya.

Mereka melanjutkan perjalanan dengan penuh kegembiraan dan kebahagiaan yang hanya dapat dirasakan oleh sepasang teruna remaja pada waktu mereka melakukan perjalanan bersama!

Dalam kegembiraannya, seringkali mereka berhenti di bawah pohon yang besar dan Cin Hai teringat kembali untuk meniup sulingnya, memenuhi permintaan Lin Lin. Gadis itu kini dapat pula menarikan Tarian Bidadari dengan pedangnya dan dalam pandangan mata Cin Hai, apabila Lin Lin menari diiringi sulingnya, maka gadis ini lebih menarik tariannya daripada tarian Ang I Niocu sendiri!

Untuk membalas kebaikan Cin Hai yang telah meniup suling untuknya, maka ketika Cin Hai minta supaya ia bernyanyi, Lin Lin tidak menolaknya. Gadis ini memang mempunyai suara yang merdu dan bagus, maka nyanyiannya terdengar merdu sekali.

Memang, bagi siapa yang pernah mengalaminya, akan mengaku bahwa tidak ada kegembiraan penuh bahagia yang lebih nikmat daripada berdua dengan seorang tunangan yang saling mencinta mesra, bercakap-cakap, bersendau gurau dan saling menjaga kesusilaan sebagaimana layaknya dilakukan oleh orang-orang sopan dan berbudi. Sekali saja kesusilaan dilanggar karena dorongan nafsu yang ditimbulkan oleh iblis maka akan hancur leburlah kebahagiaan murni yang mereka nikmati.

Akan tetapi, Lin Lin dan Cin Hai adalah orang-orang muda yang telah mendapat gemblengan dan didikan dari orang-orang bijaksana dan sakti, maka iman mereka menjadi kuat dan batin mereka telah bersih. Mereka telah menjadi majikan daripada nafsu sendiri dan menganggap nafsu sebagai hamba yang menjadi alat, bukan seperti halnya orang-orang lemah iman yang dikuasai dan diperhamba oleh nafsu yang menunggangi mereka.

Pada suatu hari, ketika mereka tiba di sebuah hutan yang besar, mereka melihat dua orang berlari-lari cepat dengan wajah seakan-akan sedang menderita ketakutan hebat. Dua orang itu terdiri dari seorang laki-laki setengah tua yang bersikap gagah sekali dan yang memelihara kumis tebal menjungat ke atas di kanan kiri hidungnya, matanya tajam dan sikapnya agung. Sedangkan orang kedua adalah seorang gadis yang amat cantik jelita, bermata jeli dan bermuka manis sekali, akan tetapi pada waktu itu wajahnya kemerah-merahan dan matanya mengandung kedukaan besar,

“Mereka seperti orang ketakutan, mari kita tolong!” kata Lin Lin dan Cin Hai mengangguk.

Mereka lalu menghadang di tengah jalan dan Cin Hai berseru,
“Ji-wi harap berhenti dulu!”

Kedua orang yang sedang berlari itu menahan kaki mereka dan dengan napas tersengal-sengal mereka berhenti, memandang kepada Cin Hai dan Lin Lin dengan heran.

“Mengapa ji-wi berlari-lari seakan-akan ada yang mengejar?” tanya Lin Lin sambil memandang dengan kagum dan hati suka kepada gadis manis tadi.

“Memang kami sedang dikejar-kejar orang, akan tetapi persoalan ini adalah persoalan bangsa kami sendiri dan sedikit pun tidak ada sangkut pautnya dengan Ji-wi,” kata laki-laki tadi dengan suara gagah, menandakan bahwa ia mempunyai keangkuhan dan ketinggian hati, tidak suka minta tolong kepada orang lain.

Cin Hai tersenyum.
“Sahabat, ketahuilah bahwa kami bukan bermaksud jahat dan kami hanya ingin menolong kepadamu, yaitu apabila kau berada dalam bahaya.”

“Memang aku dan anakku ini berada dalam bahaya, akan tetapi bagi seorang kepala suku bangsa Haimi seperti aku, tak pernah aku minta tolong kepada lain orang untuk memusuhi bangsa sendiri!”

“Suku Haimi?” seru Cin Hai yang teringat akan penuturan Kwee An ketika pemuda itu dulu menceritakan pengalamannya. “Apakah kau bukan Sanoko yang gagah dan nona ini Nona Meilani?”

Kedua orang itu tercengang.
“Bagaimana kau bisa mengetahui nama kami?” tanya Sonoko dengan heran.

Lin Lin yang juga sudah mendengar penuturan itu dari Cin Hai, lalu berkata girang,
“Nona Meilani, kau tentu masih ingat kepada Kwee An, bukan?”

Mendengar nama ini disebut-sebut, Meilani menundukkan kepala dengan muka merah.
“Dia… dia adalah suamiku…”

“Benar,” kata Lin Lin yang sudah tahu pula akan “perkawinan” itu. “Dan aku adalah bekas adik iparmu, karena Kwee An itu adalah kakakku!”

Mendengar ucapan ini, Meilani mengeluarkan isak tangis, lalu ia maju menubruk Lin Lin. Dua orang gadis itu berpelukan dengan mesra, dan Lin Lin mencium bau kembang yang luar biasa harumnya keluar dari tubuh gadis bangsa Haimi yang cantik itu.

Juga Sanoko menjadi girang sekali. Ia cepat menjura kepada Cin Hai dan berkata,
“Maaf, maaf! Tidak tahunya kami bertemu dengan sanak keluarga sendiri. Tidak tahu siapakah nama enghiong yang mulia?”

“Siauwte bernama Sie Cin Hai.”

“Apakah kau juga masih keluarga Kwee An?” tanya Sanoko.

Cin Hai merasa ragu-ragu untuk menjawab, akan tetapi Lin Lin mendahuluinya.
“Dia itu adalah tunanganku.”

Meilani yang sudah pandai berbahasa Han, membelalakkan matanya yang indah dan sambil tersenyum manis hingga giginya yang hitam berkilauan itu nampak sedikit, ia bertanya kepada Lin Lin,

“Apakah artinya tunangan?”

“Tunangan adalah… calon suami.”

“Ah…” Meilani lalu berlari menghampiri Cin Hai, memeluknya dan mencium kedua pipinya.

Tentu saja Cin Hai menjadi kaget sekali sehingga matanya terbelalak lebar, dan mukanya menjadi merah bagaikan udang direbus. Juga Lin Lin yang melihat hal ini menjadi terheran sekali, akan tetapi sebagai seorang wanita, ia menjadi cemburu dan wajahnya berubah pucat.

Sanoko agaknya tahu akan hal ini, maka cepat-cepat ia berkata,
“Nona, kebiasaan suku bangsa kami ialah bahwa setiap orang wanita berhak, bahkan diharuskan memberi selamat kepada seorang mempelai laki-laki dengan cara seperti itu.”

Legalah hati Lin Lin, karena ia tadi melihat betapa wajah Cin Hai menjadi kemerah-merahan dan dengan belaian kasih sayang seperti itu dari seorang gadis secantik Meilani, bukanlah hal yang boleh dianggap ringan bagi pertahanan hati Cin Hai. Dan kalau ia harus mendapat saingan dari seorang gadis seperti Meilani, akan berbahayalah! Kecuali giginya yang hitam mengkilap, Meilani merupakan gadis yang jarang terdapat karena cantik jelitanya.

Meilani kembali menghampiri Lin Lin dan memeluknya.
“Siapakah namamu, Adikku yang baik?” tanyanya.

“Panggil saja Lin Lin kepadaku,” jawab Lin Lin sambil tersenyum dan diam-diam ia mengerling ke arah Cin Hai dengan pandangan tajam. Adakah Cin Hai juga mencium bau kembang yang harum dan sedap itu? Demikian pikirnya.

“Sanoko Lo-enghiong, karena telah kau ketahui bahwa kita adalah orang sendiri, maka ceritakanlah mengapa kau dan Nona Meilani berlari-lari dan siapa pula yang mengejarmu?”

“Amat memalukan kalau diceritakan,” kata orang tua itu sambil menarik napas panjang, “Semua ini adalah gara-gara keponakanku sendiri. Lenyaplah sifat-sifat ksatria yang setia, gagah dan jujur, setelah ia merantau dan memiliki kepandaian dari… orang-orang Han. Maafkan ucapanku ini, Sie-taihiap, aku tidak bermaksud menghina orang-orang Han.”






Tidak ada komentar :