*

*

Ads

Rabu, 12 Desember 2018

Pendekar Sakti Jilid 020

“Ah, tidak tahunya Hek-mo-ong Lo-taihiap yang datang berkunjung,” kata An Lu Shan sambil menjura.

“An-ciangkun, kau seorang perwira untuk apakah kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng? Apalagi Gui-siucai telah menterjemahkan bagian ilmu perangnya, yang lain-lain kau tidak perlu lagi. Oleh karena itu aku datang untuk mengambilnya, sekalian membawa Gui-siucai pergi bersamaku.”

An Lu Shan tidak berani membantah dan terlalu banyak bicara. Ia sudah kenal akan kelihaian Hek-mo-ong (Raja Iblis Hitam) ini yang di daerah utara namanya hanya sebelah bawah Pak-lo-sian Siangkoan Hai saja. Akan tetapi, Li Kong Hoat-ong tentu saja menjadi marah melihat lagak orang.

“Hek-mo-ong, sudah lama aku mendengar namamu dan baru sekarang aku mendapat kehormatan untuk bertemu muka. tidak tahunya Hek-mo-ong yang bernama besar itu hanya seorang sombong yang tidak memandang muka orang lain dan berlaku sewenang-wenang tanpa kesopanan sedikitpun juga.”

Wajah Hek-mo-ong tidak berubah, namun sepasang matanya mengeluarkan sinar kilat ketika dia berpaling kepada Li Kong Hoat-ong.

“Hm…” Ia mengeluarkan suara dari hidung, sikapnya menghina sekali, “Kalau tidak salah kau adalah Li Kong Hoat-ong, raja yang sudah kehilangan mahkotanya itu? Perlu apa kau mencampuri urusanku? Kalau memang betul aku kurang sopan dan sombong habis kau mau apakah?”

“Hek-mo-ong, kau benar-benar- tidak melihat orang! Kalau tidak ada aku di sini, kau boleh berbuat sesukamu, akan tetapi setelah aku berada di sini, apakah kau masih mau banyak lagak?”

“Li Kong Hoat-ong, apa kehendakmu?” suara Hek-mo-ong dahsyat sekali, mengandung ancaman maut.

“Tinggalkan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, kalau tidak jangan harap dapat keluar dari sini!” kata Li Kong Hoat-ong dan bekas raja yang memiliki kepandaian tinggi ini telah meloloskan senjatanya, yakni sebatang pedang kerajaan Yu-yan di tangan kanan dan sebatang tongkat tanda pangkat di tangan kiri!

An Lu Shan hendak mencegah akan tetapi sudah terlambat, karena telah terdengar suara ketawa ngakak seperti suara burung goak dari mulut Hek-mo-ong dan terdengar suara keras, disusul oleh melayangnya daun pintu yang telah dicabut oleh Hek-mo-ong dan kini menyambar ke arah Li Kong Hoat-ong!

Li Kong Hoat-ong cepat menghantam dengan tongkat di tangan kirinya dan terdengar suara keras lain. Daun pintu itu telah pecah menjadi beberapa potong dan pecahannya menyambar ke kanan kiri!

An Lu Shan dan An Lu Kui cepat mengelak, akan tetapi beberapa orang perwira lain yang kurang cepat telah terkena sambaran potongan dan pecahan daun pintu ini sehingga terdengar jerit mengerikan. Pecahan-pecahan daun pintu itu menembus baju perang bagaikan pelor-pelor baja dan beberapa orang perwira tewas pada saat itu juga!

Pertempuran segera terjadi dengan hebatnya. An Lu Shan tak berdaya dan hanya bisa menyuruh para perwira menjauhkan diri, karena setelah dua orang sakti ini bertanding, siapakah yang dapat dan berani memisahkan mereka? Yang nampak hanyalah berkelebatnya pedang dan tongkat di kedua tangan Li Kong Hoat-ong, dan tubuh Hek-mo-ong berubah menjadi sesosok bayangan yang gesit sekali.

Sebentar saja kelihatan betapa hebatnya kepandaian Hek-mo-ong, karena biarpun dia bertangan kosong, namun tongkat dan pedang ini sama sekali tidak dapat mengenai tubuhnya. Tiap kali kedua tangannya bergerak, menyambar angin pukulan yang dahsyat, yang tidak saja membuat kedua senjata itu terpental mundur, juga membuat bangunan di situ seakan-akan tergetar-getar!

Kwan Cu yang tadi terlempar oleh tangkisan Hek-mo-ong dan membentur tembok, berkat tubuhnya yang kuat, tidak mengalami luka hebat dan kini dia telah menolong gurunya bangun.

Gui Tin cepat menyingkir di pinggir karena gentar melihat pertempuran yang dahsyat itu, sebaliknya Kwan Cu malahan menonton dekat-dekat. Anak ini telah menghafal isi pelajaran ilmu silat dari kitab yang diperebutkan itu, dan biarpun pengetahuannya terbatas pada teori saja, namun pengertian ini telah mendatangkan dorongan sehingga dia mulai memperhatikan gerakan-gerakan kedua tokoh besar ini!

Ia diam-diam merasa gembira sekali dapat menyaksikan pertandingan yang demikian hebatnya, dan biarpun dia merasa ngeri juga, namun dia tidak pernah melepaskan pandang matanya dari kedua orang itu.

Setelah bertempur puluhan jurus, perlahan-lahan Hek-mo-ong mendesak lawannya. Raja Iblis Hitam ini mempergunakan pukulan berdasarkan lweekang yang cukup tinggi dan baginya untuk merobohkan lawan tak usah mempergunakan tenaga tangan, cukup oleh hawa pukulannya saja.






Li Kong Hoat-ong maklum akan kehebatan lawan, maka dia pun mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk mengimbangi permainan lawan. Akan tetapi sia-sia saja, pada saat dia membacok dengan pedangnya dan berbareng mengemplang dengan tongkatnya, tiba-tiba Hek-mo-ong berseru keras sekali sehingga Kwan Cu yang tadinya berdiri sampai roboh dan terlempar ke lantai saking hebatnya getaran seruan ini yang menyerang dan melumpuhkan dirinya melalui pendengarannya! Demikian pula orang-orang yang berada di sekitar situ, semua merasa seakan-akan lumpuh!

Berbareng dengan pekik yang dahsyat ini, Hek-mo-ong tidak mengelak dari serangan lawan, bahkan menubruk maju. Tangan kanannya mencengkeram ke arah pedang dan dia membiarkan kepalanya dipukul tongkat!

Terdengar suara keras ketika tongkat memukul kepalanya. Tongkat itu terpental dan Hek-mo-ong merasa kepalanya agak pening, akan tetapi dia berhasil mencengkeram pedang yang menjadi patah dua!

Sebelum Li Kong Hoat-ong hilang kagetnya, Hek-mo-ong telah menyeruduk maju dan menubruk dengan kepalanya ke dada Li Kong Hoat-ong. Terdengar pekik mengerikan dan tubuh bekas raja itu terhuyung ke belakang, mukanya pucat dan darah segar menyembur keluar dari mulutnya. Tulang-tulang dadanya telah remuk terkena benturan kepala lawannya dan dia tewas pada saat itu juga setelah tubuhnya roboh terlentang!

Keadaan menjadi sunyi, lalu dipecahkan oleh suara ketawa Hek-mo-ong. Tak seorangpun berani bergerak.

“Ha-ha-ha! An-ciangkun, lebih baik kau mengurus bala tentaramu baik-baik dan jangan meributkan urusan kitab ini,” kata Hek-mo-ong.

An Lu Shan maklum bahwa tiada gunanya menyerang orang luar biasa ini, akan tetapi dia tahu bahwa apabila Gui Tin sampai dibawa pergi, amat berbahayalah bagi dirinya. Hanya Gui Tin itu saja yang tahu bahwa dia telah mempelajari ilmu perang dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, dan kalau sampai orang luar mengetahuinya …, mungkin rencananya yang sudah terkandung di dalam hati selama bertahun-tahun akan gagal! Oleh karena itu dia lalu menjura dan berkata,

“Lo-enghiong, kami takkan meributkan urusan ini, akan tetapi kami harap Lo-enghiong juga suka berlaku adil. Kitab itu sudah kau ambil, biarlah. Akan tetapi harap kau jangan membawa pergi Gui-siucai, karena sesungguhnya masih banyak sekali penjelasan mengenai terjemahan yang kami perlukan dari padanya? Kalau kami sudah selesai dengan dia, boleh Lo-enghiong membawanya. Hal ini penting sekali, dan kami harap saja Lo-enghiong tidak akan menggunakan kekerasan terhadap puluhan ribu anak buah barisan kami yang sudah teratur dan menjaga berlapis-lapis di benteng ini.”

Hek-mo-ong terdiam sejenak. Ia tahu bahwa An Lu Shan adalah seorang komandan yang pandai sekali mengatur barisan. Kalau dia berkeras, dia akan menghadapi puluhan ribu tentara dan hal ini tidak boleh dibuat sembarangan.

Biarpun kepandaiannya tinggi dan dia tidak takut akan keroyokan, akan tetapi kalau harus membobolkan pertahanan puluhan ribu orang, sebelum bebas dia akan kehabisan tenaga dan akhirnya usahanya akan sia-sia belaka. Im-yang Bu-tek Cin-keng sudah berada di tangannya, mengapa dia harus tergesa-gesa? Masih banyak waktu untuk mempelajari kitab itu, pikirnya. Setelah berpikir demikian, dia mengangguk.

“Baiklah, An-ciangkun. Aku minta maaf karena telah kesalahan tangan membunuh gurumu, akan tetapi seperti kalian menyaksikan sendiri, gurumulah yang mulai lebih dulu.”

“Tidak apa, Lo-enghiong. Mati hidup bukan di tangan kita dan sudah lajim dalam pertempuran kalau tidak menang, tentu kalah dan mati,” jawab An Lu Shan.

Kembali Hek-mo-ong tertawa, kemudian dia melihat Kwan Cu masih berdiri di pinggir. kedua matanya mendelik dan dia kelihatannya akan menyerang anak ini, akan tetapi dia membatalkan niatnya, lalu tertawa sekali tubuhnya berkelebat, dia telah melompat keluar dari rumah itu.

Ketika dia berlari keluar dari benteng, benar saja dia melihat betapa tempat itu telah terkurung rapat oleh lapisan-lapisan tentara yang kuat sekali. Ia merasa girang bahwa tadi dia tidak mempergunakan kekerasan. Mudah kelak menculik Gui-siucai, pikirnya.

Mengapa An Lu Shan berlaku demikian lemah? Mengapa dia tidak mengeroyok dan mengerahkan pasukannya untuk membunuh Hek-mo-ong? An Lu Shan tidak demikian bodoh untuk mengorbankan anak buahnya. Ia adalah seorang yang amat cerdik. Ketika tadi dia melihat peti kitab itu tercuri oleh Hek-mo-ong, dia telah yakin bahwa Hek-mo-ong takkan dapat hidup lama di dunia ini.

Selain peti itu mengandung rahasia sehingga kalau dibuka akan ada tujuh batang anak panah beracun yang menyambar, juga peti itu telah dilabur dengan racun yang amat jahat. Kalau tangan Hek-mo-ong sudah terkena racun itu, sedikit racun masuk ke dalam mulutnya, pasti Raja Iblis Hitam itu akan mampus! Perlu apa mengeroyoknya?

Dia tahu ke mana harus mencari Hek-mo-ong, maka nanti saja dia akan menyuruh para penyelidik, mendatangi tempat tinggal Hek-mo-ong di dusun Thian-bun di Gunung Hek-mo-san. Kalau iblis itu sudah mati, mudah saja mengambil kembali peti itu.

Dan dia sengaja menahan Gui Tin, karena selain dia sendiri, hanya sastrawan tua itu saja yang pernah membaca Im-yang Bu-tek Cin-keng. Biarpun kitab itu sekarang berada di tangan Hek-mo-ong, takkan ada gunanya kalau tidak diterjemahkan!

Maka setelah Hek-mo-ong pergi, segera An Lu Shan mengumpulkan orang-orangnya yang paling cakap untuk pergi menyusul ke Hek-mo-san dan menyelidiki keadaan iblis itu, sekalian kalau iblis itu sudah mampus terkena racun, supaya mengambil kembali peti kitab tadi.

Akan tetapi, berturut-turut setelah serbuan Hek-mo-ong yang mencuri kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, terjadilah hal-hal yang luar biasa dan mengerikan hati An Lu Shan. Pada keesokan harinya, baru saja dia dan yang lain-lain selesai mengubur jenazah Li Kong Hoat-ong dan sedang duduk berunding di dalam ruang tengah, tiba-tiba datang penjaga-penjaga di pintu depan yang melaporkan dengan napas tersengal-sengal bahwa ada seorang tokouw (pertapa wanita) yang amat galak memaksa masuk ke dalam benteng dan siapa saja yang menghalanginya, dirobohkan dengan amat mudah!

An Lu Shan dan An Lu Kui diikuti oleh beberapa orang perwira tergesa-gesa keluar. Alangkah kaget mereka ketika melihat pemandangan yang amat aneh dan luar biasa. Seorang tokouw yang tua akan tetapi tubuhnya masih nampak sehat seperti tubuh seorang gadis berusia delapan belas tahun, jalan mendatangi.

Tangan kiri menggandeng seorang anak perempuan berusia enam tahun yang cantik mungil, tangan kanannya memegang sebatang ranting pohon yang panjang. Ia berjalan maju terus dan tiap kali ada perajurit yang hendak menghalanginya, dia menudingkan ranting itu kepada perajurit yang menghadang dan perajurit itu roboh sambil memekik keras dan ternyata bahwa perajurit itu telah tewas!

Berdiri bulu tengkuk An Lu Shan menyaksikan keganasan dan kekejaman yang luar biasa ini! Siapakah iblis wanita ini, pikirnya. Cepat dia lalu mengeluarkan aba-aba untuk melarang orang-orangnya menghalangi majunya wanita pertapa itu dan dia sendiri lalu cepat mundur dan menanti di ruang tengah, akan tetapi diam-diam dia menyuruh barisan panah mengurung tempat itu untuk bergerak apabila tokouw itu datang dengan maksud kurang baik.

Sambil tersenyum-senyum mengejek, tokouw itu bersama anak perempuan tadi langsung memasuki benteng dan menuju ke ruang besar di mana An Lu Shan duduk menanti.

Dengan melihat bendera yang berkibar di atas ruang itu, mudah saja bagi tokouw ini untuk mencari di mana adanya komandan benteng. Ia melangkah masuk dengan sikap tenang seperti memasuki rumahnya sendiri saja.

Setelah masuk ke dalam ruangan itu tokouw ini berdiri tegak dan memandang kepada An Lu Shan. Perwira ini cepat berdiri dan menyambut dengan penghormatan. Akan tetapi sebelum dia membuka mulut, terdengar seruang nyaring.

“Eh, adik Ceng....! Kau di sini....?”

“Heee....! Bukankan kau Kwan Cu?” jawab anak perempuan yang masih digandeng tangannya oleh tokouw itu.

Kwan Cu yang kebetulan keluar bersama gurunya, melihat bahwa anak perempuan itu adalah Bun Sui Ceng, puteri dari Thio Loan Eng, segera menegur. Juga Gui Tin yang sudah banyak merantau dan banyak sekali pengalamannya, ketika melihat tokouw itu, tersaruk-saruk maju menghampiri dan menjura.

“Dunia ini ternyata sempit sekali,” katanya kepada tokouw itu, “sehingga di ujung utara ini akan dapat bertemu muka dengan Kiu-bwe-coa-li Suthai dari ujung selatan!”






Tidak ada komentar :