*

*

Ads

Senin, 28 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 114

“Dukkk….!”

“Ayaaaaaaa, lihai sekali!”

Kiam Ki Sianjin berseru sambil mudur dua langkah, karena pertemuan lengan itu telah membikin gempur kuda-kudanya.

Juga Kwan Cu merasa lengan kanannya tergetar hebat dan dia pun mundur sampai dua langkah. Bukan main hebatnya pukulan Soan-hong-kang dari Kiam Ki Sianjin tadi. Akan tetapi diam-diam Kwan Cu menjadi girang bukan main. Ia tadi hanya mengerahkan setengahnya lebih dari tenaga Pek-in-hoat-sut, kira-kira hanya enam bagian.

Kalau dia mengerahkan seluruh tenaganya, dia yakin bahwa dia tentu akan dapat membuat tosu itu terpental jauh. Hal ini amat membesarkan hatinya dan dia tersenyum lebar. Tentu saja dengan pengertian bahwa ilmunya lebih tinggi dari lawannya ini, dia menjadi tabah sekali.

“Totiang (panggilan untuk tosu), kau belum menyaksikan semua pukulanku ini, bagaimana sudah tahu kelihaiannya? Nah, cobalah kau tahan!”

Setelah berkata demikian, Kwan Cu membalas serangan tosu itu dengan Ilmu Silat Pek-in-hoat-sut, kini dia tambah tenaganya kira-kira tujuh bagian.

Benar saja, Kiam Ki Sianjin terkejut sekali. Ia melihat betapa kedua lengan tangan pemuda itu mengebulkan uap asap putih yang mendatangkan hawa panas luar biasa. Angin pukulan itu saja sudah menggetarkan tubuhnya. Maka dia lalu menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Tangan kirinya mempergunakan tenaga Soan-hong-kang, sedangkan tangan kanannya mainkan pedang hitamnya dengan cepat sekali.

Namun harus dia akui bahwa dia terdesak hebat, karena pedang hitamnya itu sebelum mengenai tubuh lawan, telah bertolak kembali oleh hawa pukulan aneh dari lengan beruap putih itu! Sampai tiga puluh jurus Kwan Cu sambil tersenyum-senyum girang mainkan ilmu Pek-in-hoat-sut.

Hatinya makin besar karena dengan ilmu silat ini saja, kalau dia mau mengerahkan tenaga sepenuhnya, dia percaya akan dapat menang dari tosu ini. Akan tetapi pengalamannya tadi telah membuat dia kapok, tidak berani lagi dia mengerahkan terlalu banyak tenaga, khawatir kalau-kalau dia kehabisan hawa dalam tubuh.

“Kurang cukup lihai, Totiang? Nah, ini ilmu silatku yang lain!”

Pemuda ini dengan gembira mengejek dan tiba-tiba saja ilmu silatnya berubah hebat sekali. Kalau tadi gerakannya tenang bertenaga, kini gerakannya lincah dan seperti tidak karuan. Ia melompat-lompat, menubruk dan kedua kakinya bukan menendang, melainkan mencakar!

Namun kedua tangannya yang dibuka seperti cakar pula, mencengkeram sana-sini dengan kekuatan dan kecepatan luar biasa sekali. Inilah ilmu silat ciptaanya sendiri yang dikarangnya menurut lukisan-lukisan pada dinding. Banyak sekali pelajaran ilmu silat yang merupakan Kin-na-hoat, yakni ilmu silat mencengkeram yang dipergunakan untuk merampas senjata musuh.

Karena banyaknya ilmu silat macam ini, dia lalu memilih dan menciptakannya menurut gerakan seekor burung merak, maka ilmu silat ciptaannya yang aneh ini bernama Kong-ciak-sin-na atau Ilmu Mencengkeram Burung Merak!

Kembali Kiam Ki Sianjin tertegun. Kalau selama hidupnya dia belum pernah menyaksikan Ilmu Silat Pek-in-hoat-sut yang tadi dimainkan oleh pemuda ini dan yang telah membuatnya repot sekali, adalah ilmu silat yang dimainkan lawannya sekarang ini, jangankan melihat, bahkan dalam mimpi pun belum pernah dia menyaksikannya!

Ia dapat menduga bahwa ini adalah semacam ilmu mencengkeram, akan tetapi Kin-na-hoat macam apa! Gerakannya kacau-balau, namun pemuda itu seakan-akan kini mempunyai empat tangan. Kedua kakinya merupakan dua tangan pula karena pemuda itu melompat tinggi dan baik kaki mau pun tangannya mencakar-cakar dan mencengkeram ke arah mata, hidung, tenggorokan, ulu hati dan mencoba untuk merampas pedangnya!

Kiam Ki Sianjin bingung dan kelabakan. Ia lalu menjadi penasaran dan mencoba untuk membabat pinggang pemuda itu ketika lawannya sedang melompat tingi. Akan tetapi, kaki Kwan Cu mencengkeram kearah pundaknya sedemikian cepatnya sehingga kalau Kiam Ki Sianjin melanjutkan babatannya, sebelum pedang mengenai tubuh lawan tentu pundaknya sudah akan terkena cengkeraman kaki atau semacam tendangan yang aneh gerakannya.






Kiam Ki Sianjin menarik kembali tangannya untuk membabat kaki yang menyerangnya, akan tetapi tiba-tiba tangan Kwan Cu mencengkeram pergelangan tangannya dan di lain saat, pedangnya telah terampas!

Kwan Cu tertawa dan melompat berjumpalitan ke belakang, lalu berdiri sambil tersenyum-senyum dengan pedang hitam di tangan.

“Pedang busuk!?” katanya dan sekali dia menekuk tiga jarinya pada pedang itu, terdengar suara nyaring dan pedang itu telah patah tengahnya!

“Terimalah kembali senjatamu!” seru Kwan Cu sambil melontarkan potongan pedang itu kepada pemiliknya.

Kiam Ki Sianjin melihat dua sinar hitam berkelebat menuju ke tenggorokan dan dadanya. Ia cepat mengelak sambil melompat ke samping untuk menghindarkan diri dari senjatanya sendiri. Akan tetapi ketika dia mengangkat muka, ternyata pemuda itu telah lenyap dari depannya!

“Setan……! Iblis….!”

Berkali-kali Kiam Ki Sianjin berkata seorang diri sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia harus akui bahwa selamanya dia belum pernah menghadapi lawan yang sedemikian pandainya dan dia mengaku bahwa di dunia persilatan muncul seorang pendekar muda yang amat sakti. Maka dia berjanji hendak memperdalam ilmu silatnya karena dia merasa bahwa dia telah tertinggal jauh sekali.

Hati Kwan Cu girang dan puas sekali ketika dia meninggalkan ruangan besar tempat orang-orang penting berkumpul itu. Tanpa disengaja dan dicari, dia telah dapat menemukan sebuah peta berikut penjelasan dari An Lu Kui dan kawan-kawannya tentang tempat persembunyian Menteri Lu Pin.

Hal ini sudah amat membesarkan hatinya karena selain dia mendengar makin jelas tentang kegagahan sepak terjang kong-kongnya itu, juga dia mendapat kesempatan untuk mencari kong-kongnya dan melindungi orang tua yang baik hati itu.

Selain daripada itu, dia pun mendapat kesempatan untuk menguji kepandaiannya pada orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Akan tetapi di samping kepuasan ini juga dia maklum bahwa kini tidak saja dia menghadapi musuh besar yang lihai dan yang telah menewaskan suhunya, melainkan juga mendapat musuh-musuh besar yang mengancam keselamatan kong-kongnya.

Malam itu dia tidak terus keluar dari lingkungan istana, akan tetapi masih mencari-cari dan menyelidiki, karena dia ingin sekali menyelidiki keadaan di situ dan juga ingin mencari pangeran botak putera An Lu Kui untuk menolong wanita yang terancam oleh pangeran mata keranjang itu.

Malam sudah amat larut dan bulan tua mulai menampakkan diri di antara mega-mega hitam. Kwan Cu sudah mulai putus asa mencari tempat kediaman Pangeran An Kong karena keadaan di situ sunyi belaka.

Ia pikir bahwa pangeran botak itu mungkin sekali berada di luar istana dan hal ini membuat dia menyesal sekali mengapa tadi siang dia tidak mengikuti pangeran itu, dan tidak menanyakan keterangan kepada Lu Thong. Ia menyesal karena dipikirnya bahwa wanita itu takkan tertolong lagi.

Akan tetapi tiba-tiba dia mendengar suara wanita menangis perlahan. Cepat bagaikan seekor burung, dari atas genteng Kwan Cu melompat ke bawah dan mengintai ke dalam sebuah kamar dari rumah gedung yang berada di sebelah selatan kelompok bangunan istana itu. Hatinya berdebar girang dan juga warna merah menjalari mukanya ketika dia melihat siapa adanya orang yang berada di dalam kamar itu.

Di dalam kamar itu amat terang dan keadaan perabot kamarnya mewah sekali. Bahkan dari luar jendela saja sudah dapat tercium bau yang amat harum, tanda bahwa penghuni kamar adalah seorang pesolek yang mewah. Di atas meja yang indah terdapat guci arak yang menyiarkan bau harum pula, arak baik yang amat mahal.

Wanita yang menangis terisak-isak dengan suara perlahan karena takut, adalah seorang gadis berusia kurang lebih delapan belas tahun, berwajah cantik akan tetapi pucat sekali. Rambutnya terlepas dan terurai menutupi sebagian mukanya yang berkulit halus, pakaiannya kusut. Gadis ini duduk di atas sebuah bangku sambil menangis sedih.

Di depannya, juga duduk di atas bangku sambil kadang-kadang minum arak dari cawan emasnya, kelihatan pangeran botak An Kong dengan mata bersinar-sinar dan mulut tersenyum-senyum.

“Kui Lan, mengapa kau begitu keras hati dan keras kepala? Mengapa kau berduka? Ingatlah, bukan sembarang wanita dapat masuk ke kamar ini dan lebih-lebih lagi bukan sembarang wanita dapat menjadi biniku, walaupun hanya bini muda. Aku amat sayang kepadamu, Kui Lan, kau cantik jelita dan halus gerak-gerikmu, aku sayang dan kasihan kepadamu. Tahukah kau bahwa kalau bukan kau, lain gadis yang berkeras menolak kehendakku, akan kusuruh algojo menyiksanya? Atau aku akan mempergunakan kekerasan. Akan tetapi kepadamu aku tidak mau berlaku demikian, Kui Lan. Aku cinta padamu dan aku ingin kau membalas cintaku itu.”

Jawaban Kui Lan gadis itu, hanya suara tangis yang lebih menyedihkan hati. Kwan Cu sudah mendidih darahnya menyaksikan keadaan ini, akan tetapi dia masih bersabar, hendak didengar dan dilihatnya lebih lanjut apa yang akan terjadi, karena dia belum mengerti duduknya perkara.

“Kui Lan, kalau kau mau menyambut cinta kasihku, kalau kau mau berlaku manis kepadaku, percayalah, ada kemungkinan kau kuangkat menjadi isteriku yang sah! Menurutlah, Kui Lan, bungaku yang manis,” kata pula An Kong dengan suara membujuk setelah dia menenggak habis arak di dalam cawannya.

Kini gadis itu menurunkan kedua tangan yang menutupi mukanya. Kwan Cu mendapat kenyataan bahwa gadis itu memang luar biasa cantiknya.

“Siauw-ong-ya…..” Gadis itu berkata dengan suara gemetar namun terdengar merdu dan halus, “aku tidak menghendaki semua kedudukan tinggi itu. Tidak kasihankah kau kepadaku, Siauw-ong-ya. Kau sudah tahu bahwa aku……. bahwa di sana ada The Kun Beng….. bahwa aku harus bersetia kepadanya karena……. Aku cinta padanya……. Siauw-ong-ya kembalikanlah aku kepada orang tuaku atau……… atau kau bunuh saja aku agar aku dapat bersetia kepada The Kun Beng sampai matiku, sesuai dengan sumpahku…….”

Mendengar ini, Kwan Cu terkejut sekali. The Kun Beng……. Ia ingat betul nama ini dan terbayanglah wajah seorang bocah tampan dan manis budi, murid ke dua dari Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Sekaligus terbayang pula semua pengalamannya dengan murid Pak-lo-sian ini ketika dia masih kecil dan perhatiannya makin membesar terhadap gadis yang mengaku cinta kepada The Kun Beng ini.

Sebaliknya, An Kong nampak marah sekali. Pemuda botak ini bangkit berdiri dengan kasar sehingga bangku yang didudukinya terguling, menimbulkan suara berisik. Mukanya menjadi makin merah, sebagian karena pengaruh arak dan sebagian lagi karena pengaruh kemarahannya.

“Kau benar-benar keras kepala dan menggemaskan! Bagaimana kau berani menyebut-nyebut nama The Kun Beng, pemuda liar murid iblis tua Siangkoan Hai itu? Apa kau kira aku takut kalau kau menyebut-nyebut namanya? Apa kau kira aku tidak tahu akan riwayatmu yang kotor dengan pemuda itu? Kui Lan! Boleh jadi kau mencinta pemuda iblis itu karena tertarik oleh ketampanannya, akan tetapi kau goblok sekali. Kau pun tahu bahwa dia tak mungkin dapat menjadi suamimu karena dia sudah bertunangan dengan Bun Sui Ceng, gadis liar itu!’

Kembali Kwan Cu terkejut dan hatinya berdebar keras, mukanya berubah. Kun Beng bertunangan dengan Sui Ceng? Terbayanglah wajah Sui Ceng yang manis dan teringat kembali dia akan pembohongan terhadap gadis raksasa Liyani ketika dia menuturkan bahwa dia mencinta Bun Sui Ceng! Ataukah hal itu bukan suatu kebohongan? Apakah benar-benar dia mencinta Sui Ceng? Tak mungkin! Akan tetapi mengapa dia merasa hatinya berdebar dan telinganya panas mendengar bahwa Sui Ceng sudah bertunangan dengan Kun Beng?

Kembali Kui Lan mengucurkan air mata.
“Biarpun semua itu benar belaka, Siauw-ong-ya namun aku cinta kepada Kun Beng dan aku bersumpah takkan menjadi isteri laki-laki lain, biarpun aku tiada harapan untuk menjadi isterinya.”

“Perempuan bodoh! Bagaimana kau masih bersetia kepada seorang laki-laki yang berlaku demikian kejam terhadapmu? Dia telah merusak namamu, telah mengkhianati suhengnya sendiri, telah melakukan perbuatan terkutuk kepadamu, telah menyeretmu ke dalam lumpur kehinaan……..”

“Cukup. Siauw-ong-ya! Biarpun apa yang akan terjadi, aku akan bersetia sampai mati kepadanya. Dia tetap merupakan laki-laki tunggal yang boleh menguasai hati, jiwa dan ragaku. Bunuhlah aku kalau kau kehendaki!”






Tidak ada komentar :