*

*

Ads

Senin, 28 Januari 2019

Pendekar Sakti Jilid 115

Marahlah An Kong mendengar ini. Ia melompat dan tahu-tahu sudah berdiri di depan Kui Lan. Ia mengulur tangan menangkap pergelangan tangan wanita itu, akan tetapi Kui Lan sigap mengelak.

Kwan Cu yang tadinya sudah siap hendak melompat masuk, tertegun melihat betapa gadis itu sedikitnya mengerti ilmu silat, karena gerakannya ketika mengelak menunjukkan bahwa dia mengerti ilmu menjaga diri.

Akan tetapi, kepandaian gadis itu tidak seberapa karena di lain saat, tangannya sudah tertangkap oleh An Kong.

“Kui Lan, aku cinta kepadamu. Marilah kita minum arak bersama, Manis!” kembali suaranya melembut karena sesungguhnya dia tidak tega untuk bersikap kasar terhadap gadis ini.

Ia menarik Kui Lan ke meja dan melepaskan pegangannya, lalu menuangkan arak ke dalam cawannya yang kosong.

“Minumlah, Manis, mari kita habiskan isi cawan ini seorang setengah. Minumlah, Sayang…….”

Akan tetapi, Kui Lan mempergunakan tangan kanannya yang tidak terpegang untuk menyampok cawan. Gerakan ini tidak saja membuat cawan itu terlepas dari pegangan An Kong, bahkan guci arak yang berdiri di atas meja pun terguling dan pecah….. Arak yang putih harum mengalir keluar membasahi meja.

Habislah kesabaran An Kong.
“Kau menghendaki kekerasan, bunga liar? Baik, baik aku akan melayani kehendakmu!” setelah berkata demikian, An Kong hendak memeluk, akan tetapi Kui Lan menampar mukanya sehingga terpaksa dia menggunakan tangan kiri menangkap tangan yang menampar itu.

Pada saat mereka bergulat, terdengarlah suara tenang akan tetapi berpengaruh,
“An Kong, anjing berwajah manusia, lepaskan dia!”

An Kong terkejut sekali. Cepat dia melepaskan Kui Lan dan melompat sambil membalikkan tubuhnya. Di lain saat dia telah mencabut sepasang senjatanya, yakni kebutan di tangan kiri dan joan-pian di tangan kanan. Ketika dia memandang, ternyata bahwa yang berada di dalam kamarnya itu adalah pemuda berpakaian sederhana yang siang tadi dia lihat di rumah makan dan yang dihinanya kemudian dia dicegah oleh Lu Thong, suhengnya. Memuncak kemarahannya dan dengan gemas dia membentak,

“Jembel busuk, bagaimana kau berani memasuki kamarku?”

Kwan Cu tersenyum mengejek.
“An Kong, semua yang mengelilingi dirimu, pangkat dan kedudukan, pakaian yang mewah, kamar yang indah, kesemuanya ini hanya merupakan selimut yang menyembunyikan watak aslimu yang rendah dan hina-dina. Orang macam kau masih berani memaki aku?”

“Bangsat bermulut kotor! Kau telah mengetahui namaku, tidak tahukah kau bahwa aku murid dari Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, tokoh besar dari selatan? Siapakah kau yang begitu berani mati mengantarkan nyawa sendiri kesini?”

“Aku bernama Kwan Cu dan gurumu itu sudah lama aku kenal. Tak perlu kau memperkenalkannya kepadaku lagi.”

An Kong sudah tak dapat menahan kesabarannya lagi, sambil berseru keras dia lalu menyerang dengan joan-pian di tangan kanannya, diikuti oleh sambaran kebutannya yang menotok jalan darah Kwan Cu di bagian iga.

Kwan Cu maklum bahwa kepandaian An Kong cukup tinggi kalau dibandingkan dengan ahli silat-ahli silat tingkat biasa, namun baginya tentu saja bukan apa-apa. Dengan mudah dan sigap dia miringkan tubuh mengelak dari sambaran joan-pian, adapun serangan kebutan ke arah iganya itu dapat dia sampok dengan jari-jari tangannya. Secepat kilat Kwan Cu melanjutkan gerakan menyerang, dia menyampok muka pemuda botak itu dengan telapak tangannya.






An Kong terkejut sekali melihat cepatnya gerakan lawan dan bagaimana lawannya dapat menyampok serangan kebutannya yang terkenal lihai sekali itu. Cepat dia mempergunakan kebutannya untuk menangkis tamparan pada mukanya ini dengan maksud untuk melukai tangan Kwan Cu.

Akan tetapi, alangkah heran dan kagetnya ketika kebutannya itu pada saat beradu dengan tangan lawannya, lalu terpental kembali dan menyabet ke arah mukanya sendiri! An Kong mengeluarkan teriakan tertahan dan cepat melompat mundur sambil berjungkir balik beberapa kali.

“Ha, An Kong, lihatlah baik-baik. Cambukmu lebih mengerti bahwa orang macam kau harus dihajar!” kata Kwan Cu yang tidak mau memberi hati lagi, terus pemuda ini menyerang dengan pukulan-pukulan tangan miring yang dipelajarinya dari lukisan-lukisan di dinding goa.

Ini merupakan ilmu silat tangan kosong lain macam lagi yang telah dipahaminya, yakni ilmu silat yang dimainkan dengan kedua tangan miring dan jari-jari tangan terbuka. Kwan Cu menamakan ilmu silatnya ini Heng-pai-hud-jiu (Ilmu Silat Memuja Budha Tangan Miring). Namun gerakan kakinya masih mengambil sistem dari Ilmu Siat Sam-hoan-ciang (Ilmu Silat Tiga Lingkaran) yang dia pelajari dari suhunya, Ang-bin Sin-kai.

Menghadapi serangan-serangan aneh ini, An Kong tidak berdaya dan dia terdesak mundur terus. Biarpun pemuda botak ini mengerahkan kepandaian dan tenaga, mencoba menyerang lawan dengan sepasang senjatanya, namun tubuh lawannya seperti bayangan saja yang tak dapat diserang dengan senjata.

Kwan Cu yang sudah tahu akan semua gerakan lawan, tahu pula ke mana arah mana senjata itu menyambar tentu saja karena lebih tahu dapat mempersiapkan diri mencari kedudukan yang kosong lalu menyerang tanpa mempedulikan sambaran senjata yang tentu takkan dapat mengenai tubuhnya yang sudah mengambil tempat yang kosong itu.

Adapun Kui Lan, gadis itu, berdiri dengan mulut ternganga. Ia tahu betul akan kelihaian An Kong yang memiliki kepandaian setingkat dengan The Kun Beng. Akan tetapi bagaimana pemuda aneh itu dapat menghadapinya dengan tangan kosong, bahkan dalam beberapa gebrakan saja telah mendesak An Kong sedemikian rupa?

Kwan Cu belum pernah menghadapi peristiwa seperti yang dia lihat di dalam kamar tadi. Hal ini menimbulkan kebenciannya terhadap An Kong dan kerena kali ini dia menghadapi musuh dengan hati benci, maka dia tidak main-main lagi dan menyelesaikan pertempuran itu secepat mungkin.

Ketika lawannya sudah terdesak hebat di pojok kamar, Kwan Cu cepat memasukkan tangannya menghantam pinggang An Kong. Pemuda botak ini menjerit keras dan kedua senjatanya terlepas dari tangannya, lalu dia terhuyung-huyung dan roboh pingsan. Dari mulutnya keluar darah!

Pada saat itu terdengar pintu kamar diketok orang dan suara yang keras memanggil.
“Kong-ji (anak kong), kau belum tidur?”

Itulah suara An Lu Kui, pikir Kwan Cu. Ia mendengar pula tindakan kaki banyak orang, maka tahulah dia bahwa An Lu Kui tidak datang sendiri. Cepat ia melompat ke depan gadis itu.

Kui Lan melangkah mundur dengan wajah makin pucat. Sepasang matanya yang bening memandang kepada Kwan Cu penuh kecurigaan. Ketika Kwan Cu mengulurkan tangan dengan maksud mengajak gadis itu lari keluar dari tempat itu, Kui Lan mundur lagi sambil menggeleng-geleng kepala dan berkata,

“Tidak……. tidak……… jangan kau sentuh aku.”

Bukan main gemasnya Kwan Cu mendengar ucapan ini. Mukanya menjadi merah sekali. Ia tahu bahwa gadis ini telah menjadi ngeri hatinya melihat laki-laki, setelah mengalami kekagetan dari An Kong. Hm, apakah dia menganggap aku seorang laki-laki mata keranjang? Hatinya gemas dan dia berkata dengan kaku,

“Nona, kamar ini sudah terkurung, aku tak perlu banyak cakap. Pendeknya, kau ingin keluar dari sini atau tidak?”

“Tentu saja!” jawab Kui Lan cepat dan gadis ini lalu menggerakkan kaki melompat ke arah jendela yang masih tertutup.

Kwan Cu maklum akan maksud gadis itu, yakni hendak keluar. Akan tetapi, melihat gerakan gadis itu yang tidak begitu kuat, dia khawatir sekali dan sebelum gadis itu sampai di jendela, dia telah menyambar dan tahu-tahu dia telah memeluk pinggang yang ramping itu, terus dipondongnya tanpa mempedulikan betapa gadis itu meronta-ronta dalam pondongannya. Kwan Cu mencabut suling dan melompat ke arah jendela, sekaligus menendang daun jendela terbuka sambil memutar sulingnya.

Baiknya dia melakukan hal ini karena begitu jendela terbuka, beberapa batang golok telah menyerang ke arah jendela. Akan tetapi golok-golok ini tertangkis oleh putaran sulingnya sehingga beterbangan mencelat ke sana-sini dan ada pula yang patah menjadi dua! Kemudian Kwan Cu meloncat ke atas genteng.

An Lu Kui dan beberapa orang perwira menyusul, akan tetapi dua orang yang terdepan, roboh kembali ke bawah genteng karena tendangan Kwan Cu yang telah siap sedia. An Lu Kui yang sudah tahu akan kelihaian Kwan Cu, tidak berani mengejar, hanya berteriak-teriak memberi tanda kepada para pengawal istana untuk mengejar pemuda itu, kemudian dia segera memasuki kamar puteranya. Alangkah kagetnya ketika dia melihat keadaan An Kong, maka dia segera menolongnya.

Adapun Kwan Cu dengan gadis itu masih berada di dalam pondongannya, berloncat-loncatan dari genteng ke genteng sampai dia tiba di dinding tembok yang mengelilingi kelompok bangunan istana. Para pengawal telah siap sedia dan segera mengeroyok pemuda itu.

Akan tetapi mereka ini tentu saja hanya merupakan makanan empuk sekali bagi Kwan Cu. Dengan menggerakkan kedua kaki dan tangan kanannya, beberapa orang pengawal terlempar jauh dalam keadaan pingsan menimpa kawan-kawan lain sehingga para pengeroyok menjadi gentar. Ketika mereka memanndang, ternyata pemuda itu bagaikan seekor burung garuda, telah melompat naik ke atas dinding yang demikian tingginya.

Barisan anak panah dari dalam dan luar tembok menhujankan anak panah mereka ke arah bayangan Kwan Cu, namun pemuda itu terlalu gesit bagi mereka. Apalagi dengan tangan kanannya mengebut ke sana ke mari, anak-anak panah itu runtuh semua dan sebentar saja Kwan Cu telah melompat turun di luar tembok dan menghilang ke dalam kegelapan.

Gempar seluruh istana. Belum pernah istana diserbu oleh seorang pengacau sedemikian lihainya dan nama Lu Kwan Cu menjadi buah tutur semua orang. Ketika Lu Thong mendengar akan hal ini, diam-diam dia mengeluh dan berkali-kali menyayangkan bahwa pemuda sedemikian saktinya tidak mau bekerja sama dengan dia!

**** 115 ****





Tidak ada komentar :