*

*

Ads

Jumat, 29 Maret 2019

Ang I Niocu Jilid 069

Melihat Cheng-jiu Tok-ong, timbullah kenang-kenangan lama yang membuat hatinya sakit, maka ia mengambil keputusan untuk membunuh bekas gurunya ini. Juga melihat Im Giok yang cantik jelita, Pek Hoa tersenyum seorang diri dan berkata,

“Dia harus menggantikan aku…, ha-ha, anak Kiang Liat harus merasai seperti aku pula…”

Demikianlah, Pek Hoa Pouwsat lalu menyerbu dan berhasil membunuh Cheng-jiu Tok-ong juga berhasil memberikan obatnya kepada Im Giok. Biarpun untuk tercapainya dua maksud ini dia harus mengorbankan nyawanya.

Setelah Pek Hoa Pouwsat meninggal, Im Giok lalu menghampiri kekasihnya. Keduanya berpelukan dan keduanya mengeluarkan air mata.

“Aduh, Giok-moi, sama sekali aku tidak mengira bahwa kita dapat bertemu dalam keadaan hidup,” kata Tiauw Ki.

Im Giok meraba muka Tiauw Ki yang penuh luka-luka kecil akibat cambukan Lie Kian Tek, menjamah luka-luka itu dengan jari-jarinya yang halus, penuh kasih sayang.

“Kasihan sekali kau, Koko… kau maafkan aku yang telah meninggalkanmu seorang diri…”

“Tidak ada yang harus dimaafkan, adikku sayang. Aku memang sengaja membikin kau marah dan pergi, agar kau selamat…”

“Aku tahu, Koko, aku mengerti… alangkah besarnya kasih sayangmu kepadaku.”

“Aku mencintamu lebih dari mencinta jiwaku sendiri, Giok-moi…” Setelah keharuan mereka mereda, Tiauw Ki bertanya, “Nenek yang menolong kita itu, siapakah dia?”

“Dahulu, di waktu kecil, dia pemah menjadi guruku. Tadinya dia yang berjalan sesat, akan tetapi selalu aku tahu bahwa di dalam hatinya, ia amat sayang kepadaku. Dan ternyata benar…” Suara Im Giok menjadi lambat penuh keharuan. “Dia mengorbankan nyawa untukku… Aku harus merawat jenazahnya baik-baik, Twako. Dia harus dikubur baik-baik…”

Tiauw Ki menyetujui dan sibuklah mereka menggali lubang untuk mengubur mayat Pek Hoa Pouwsat.

“Bagaimana dengan mereka itu? Sudah sepatutnya mereka itu dikubur juga, bukankah mereka manusia?”

Tiauw Ki menuding ke arah tumpukan mayat yang berserakan di sana-sini dan suaranya gemetar. Ngeri ia melihat mayat manusia yang jumlahnya dua puluh orang lebih itu. Benar-benar hebat amukan Ang I Niocu dan Pek Hoa Pouwsat.

Im Giok memandang dan menarik napas panjang.
“Tak mungkin, Koko. Bagaimana kita berdua dapat mengubur mayat sebanyak itu? Apalagi tanpa ada alat untuk menggali lubang.”

“Akan tetapi hatiku tidak menginginkan mereka itu ditinggalkan begitu saja menjadi makanan binatang buas…” Tiauw Ki membantah.

“Jangan khawatir, Koko. Penduduk di sekitar tempat ini tentu akan mengurusnya. Pula, mereka itu adalah anggauta pasukan dari Lie Kian Tek, tentu kawan-kawan mereka akan datang kembali untuk mengurus mayat mereka. Dan lagi, kita harus cepat-cepat meninggalkan tempat ini. Kalau mereka datang lagi membawa bala bantuan, celakalah kita. Aku sudah kehabisan tenaga dan tak mungkin dapat melawan lagi…”

Kebetulan sekali mereka masih dapat menemukan dua ekor kuda yang tadinya lari kacau-balau, maka cepat mereka menunggang kuda ini dan melarikan kuda menuju ke utara, ke kota raja. Di tengah perjalanan, Tiauw Ki berkata,

“Giok-moi, aku ingin sekali lekas-lekas menyelesaikan tugasku dan bersamamu pergi ke Sian-koan menemui ayahmu. Kalau… kau sudah menjadi isteriku, kau harus membuang jauh-jauh pedangmu dan selanjutnya kita hidup dalam damai dan tenteram. Aku tidak bisa membiarkan isteriku merenggut nyawa manusia sedemikian banyaknya…!”

Im Giok tersenyum. Hatinya membantah, karena dalam hal pertempuran, membunuh atau terbunuh adalah hal biasa. Akan tetapi ia tidak mau membantah dengan mulut karena maklum bahwa kekasihnya yang lemah itu baru saja terlepas dari bahaya maut dan baru mengalami sesuatu yang benar-benar menakutkan.

Perjalanan dilakukan cepat dan ketika mereka lewat di sebuah kota, Im Giok membeli obat di toko obat untuk mengobati luka-luka kecil pada tubuh Tiauw Ki.

**** 059 ****





Tidak ada komentar :