*

*

Ads

Jumat, 29 Maret 2019

Ang I Niocu Jilid 070

Kiang Liat yang melakukan perjalanan ke Go-bi-san untuk menyampaikan surat dari Bu Pun Su kepada Ketua Go-bi-pai tidak mengalami rintangan dan sampai di puncak gunung itu dengan selamat.

Ia menghadap ciangbunjin dari Go-bi-pai, yakni Twi Mo Siansu, seorang kakek berusia tujuh puluh tahun lebih dan sikapnya halus, tubuhnya tinggi kurus dan alisnya putih semua. Kakek ini setelah membaca surat dari Bu Pun-Su, mengangguk dan tersenyum.

“Bu Pun Su benar-benar mengagumkan sekali. Sudah tua masih berhati muda, bergelora dan bersemangat. Jatuh-bangunnya sebuah kerajaan berada di tangan Thian Yang Maha Kuasa, orang-orang seperti kita ini bisa apakah?”

Mendengar kata-kata ini, di dalam hatinya Kiang Liat tidak setuju sama sekali. Alangkah lemah dan pikunnya ketua Go-bi-pai ini, pikirnya. Akan tetapi tentu saja ia tidak berani bilang apa-apa, hanya mendengarkan lebih lanjut. Juga para murid Go-bi-pai yang berada di situ, yang jumlahnya belasan orang, tidak ada yang mongeluarkan suara.

Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring dan mengandung tenaga.
“Maafkan teecu, Susiok. Teecu sudah berani berlancang mulut dan ikut-ikutan bicara dalam urusan yang sama sekali teecu tidak berhak mencampuri. Akan tetapi, sungguhpun teecu tunduk dan setuju akan kata-kata Susiok tadi bahwa apapun yang diusahakan oleh manusia, akhimya keputusan berada di tangan Thian, namun, sebagai manusia yang berakal budi, apalagi yang menjunjung tinggi keadilan dan kegagahan seperti kita, teecu rasa sudah sepatutnya kalau kita berusaha demi keadilan dan kebajikan. Adapun akibat dan keputusannya, memang terserah kepada Thian Yang Maha Kuasa. Maafkan kalau pendapat teecu keliru dan selanjutnya mohon petunjuk, Susiok.”

Semua orang memandang kepada pembicara ini, juga Kiang Liat. Ia melihat bahwa yang bicara itu adalah seorang pemuda yang bertubuh tegap dan berwajah tampan gagah, patut sekali menjadi seorang pendekar. Pakaiannya indah, pedangnya tergantung di pinggang, alisnya hitam dan matanya berapi-api. Usianya paling banyak dua puluh lima tahun.

Kalau Kiang Liat memandang dengan kagum dan tertarik kepada pemuda ini, adalah lain-lain murid Go-bi-pai yang berada di situ memandang dengan muka merah dan ada yang khawatir. Mereka menduga bahwa Twi Mo Siansu pasti akan marah sekali, karena sudah merupakan peraturan perguruan di situ bahwa para anak murid tidak sekali-kali boleh mencampuri percakapan antara guru besar ini dengan tamu yang datang. Apalagi untuk urusan yang besar dan yang belum dimengerti oleh para anak murid. Akan tetapi pemuda ini telah berlancang mulut, tidak saja mencampuri percakapan, bahkan terang-terangan berani mencela pendirian Twi Mo Siansu!

Suasana menjadi sunyi dan tadinya Twi Mo Siansu menjadi merah mukanya, sepasang mata yang masih amat tajam berpengaruh itu memandang kepada pemuda gagah itu dengan marah. Akan tetapi ketika bertemu dengan wajah yang tampan terbuka, mata yang berani menentangnya penuh pengertian itu, wajah kakek ini melembut kembali dan ia tersenyum.

“Bagus sekali, Liem Sun Hauw. Biarpun pendirianmu itu pikiran orang muda jalan dan tidak sejalan dengan pikiranku, akan tetapi aku setuju sekali! Kau murid Go-bi-pai dari luar kuil, tentu tidak tahu akan peraturan di dalam kuil, maka kelancanganmu itu kumaafkan. Sayang Suheng telah meninggal, kalau tidak tentu ia akan bangga sekali mendengar ucapan muridnya di depanku.” Kakek ini lalu tertawa dengan girang.

“Harap maafkan, Susiok. Sesungguhnya teecu tadi telah lancang tanpa dipikir dulu, harap banyak maaf.”

“Tidak apa, tidak apa. Bahkan kebetulan sekali. Aku sedang berpikir-pikir siapa gerangan orangnya yang dapat mewakili aku. Sudah kukatakan tadi bahwa biarpun tidak sejalan dengan pikiranku, aku setuju sekali dengan pendirianmu. Karena itu aku pun setuju dengan pendapat Bu Pun Su. Pendekar Sakti itu minta bantuanku agar supaya kita dari Go-bi-pai ikut mengamati-amati kalau-kalau ada pihak penyerang mendatangi dari utara, karena menurut pendapat Bu Pun Su, negara berada dalam bahaya dan ancaman musuh berbagai pihak. Hal ini dapat dilakukan oleh semua anak murid yang berada di sini melakukan penjagaan di sepanjang tapal batas sebagai pengawas. Akan tetapi tentang permintaan ke dua dari Bu Pun Su agar supaya aku turun gunung dan menghubungi kawan-kawan untuk memperkokoh persatuan dan melenyapkan pertikaian antara kawan sendiri, sungguh tak dapat kulakukan. Kaulah, Sun Hauw, kau yang harus mewakili aku turun gunung!”

“Teecu siap sedia menjalankan perintah Susiok. Mohon nasihat dan petunjuk selanjutnya agar teecu dapat melakukan tugas dengan baik,” jawab pemuda itu dengan suara tegas dan bersemangat.






“Kau hubungi semua tokoh besar dunia kang-ouw dan katakan bahwa aku sendiri sudah menyatakan setuju sekali akan pendapat Bu Pun Su bahwa pada saat seperti ini kita semua harus bersatu. Jangan sampai ada perpecahan diantara kita dan kalau misalnya ada, urusan itu harus dibereskan secara damai. Persatuan harus ditujukan untuk melindungi negara dan rakyat dari bahaya. Apabila benar-benar terjadi perang, tentu muncul banyak manusia jahat dan perlu sekali kita melindungi rakyat jelata dari penindasan mereka ini. Sampaikanlah salamku kepada mereka dan pertama-tama lebih tepat kalau kau pergi ke Bu-tong-san mengingat bahwa partai Bu-tong-pai pada waktu ini sedang ada urusan percekcokan dengan Kim-san-pai. Katakan kepada Lo Beng Hosiang ciangbunjin dari Bu-tong-pai bahwa kalau dia mau mengadakan pertemuan damai dengan pihak Kim-san-pai, boleh mempergunakan kuil kita di Go-bi-san sini.”

“Teecu sudah ingat akan semua pesan Susiok dan akan mentaati,” kata Sun Hauw, pemuda gagah itu.

Tiba-tiba seorang di antara para anak murid Go-bi-pai yang duduk di situ, berdiri dan berkata dengan suara lantang,

“Maaf, Suhu. Teecu merasa kurang puas dengan diangkatnya Liem-sute sebagai wakil Suhu. Hal ini menyangkut nama baik partai kita, maka teecu merasa ragu-ragu apakah kelak nama baik partai kita tidak akan terancam bahaya. Liem-sute baru saja datang di Go-bi-pai, baru tiga hari dan hanya menurut pengakuannya sendiri Suhu tahu bahwa dia adalah murid Thian Mo Siansu Supek. Bagaimana kalau dia itu sebenamya bukan murid Supek? Sungguhpun andaikata dia itu benar-benar murid Supek, masih belum boleh dia dianggap sebagai anak murid Go-bi-pai, mengingat bahwa antara Suhu dan Supek…”

“Cukup!”

Twi Mo Siansu membentak dan murid yang bicara tadi, seorang tosu pula berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, tak berani melanjutkan kata-katanya dan duduk kembali.

“Tek Sin, aku mengerti akan maksud kata-katamu. Kita telah menerima tugas untuk menjadi tukang menggalang persatuan, bagaimana kita masih ingat akan perpecahan sendiri? Tidak, bagaimanapun juga, murid Suheng adalah murid Go-bi-pai pula. Keraguanmu tentang kemampuan Sun Hauw, memang tepat. Baiklah kau kuserahi tugas mengujinya apakah benar dia itu anak murid Go-bi-pai, dan apakah kiranya dia sudah cukup kuat untuk melakukan tugas mewakili aku.”

Tek Sin Tojin terkejut. Tak disangkanya bahwa ucapannya tadi membuat suhunya marah dan ia kini diharuskan menguji Liem Sun Hauw! Tek Sin Tojin adalah murid pertama dari Twi Mo Sian-su dan tadi mendengar tugas mewakili suhunya diberikan kepada pemuda itu, tentu saja ia merasa tidak senang.

Sekarang, ada jalan baginya untuk memperlihatkan bahwa pandangannya tepat dan bahwa gurunya telah berlaku keliru menyerahkan tugas sepenting itu kepada seorang pemuda seperti Liem Sun Hauw yang baru saja datang dan mengaku sebagai murid Thian Mo Siansu.

“Teecu tidak berani menolak perintah Suhu,” katanya sambil berdiri, lalu katanya kepada Liem Sun Hauw. “Liem-sute, kau sudah mendengar sendiri perintah Suhu bahwa pinto harus mengujimu. Oleh karena itu, marilah kita pergi ke lian-bu-thia (tempat berlatih silat).”

Liem Sun Hauw tersenyum dan menjura kepada tosu yang tubuhnya tinggi besar ini. “Twa-suheng, siauwte mana berani menolak? Hanya mengharap belas kasihan Suheng dan jangan berlaku terlalu keras kepada siauwte yang masih hijau.”

Sambil berkata demikian, Liem Sun Hauw lalu bersiap mengikuti Tek Sin Tojin pergi ke lian-bu-thia.

“Tidak usah ke lian-bu-thia, di ruangan inipun cukup lebar kalau hanya untuk menguji kepandaian saja, Tek Sin, kau coba kepandaian Sun Hauw ini di sini saja,” kata Twi Mo Siansu.

Semua anak murid Go-bi-pai lalu mengundurkan diri berdiri di pinggir untuk memberi tempat yang lega bagi dua orang yang hendak mengadu kepandaian itu. Juga Kiang Liat yang sebagai tamu tidak berani turut bicara lalu minggir.

Ia melihat Tek Sin Tojin sebagai seorang tosu tinggi besar yang jelas sekali bertenaga kuat dan dari pandang mata tosu ini ia dapat mengetahui bahwa Tek Sin Tojin mempunyai lwee-kang dan kepandaian yang tinggi. Maka diam-diam ia mengkhawatirkan keadaan pemuda tampan itu.

Kiang Liat yang sudah berpengalaman itu maklum bahwa Tek Sin Tojin merasa iri hati kepada Sun Hauw dan dalam ujian silat ini tentu saja tosu itu berusaha untuk membikin malu dan merobohkan Sun Hauw.

Liem Sun Hauw menanggalkan jubah luarnya dan kini ia berpakaian ringkas, menambah kegagahannya karena nampak bentuk tubuhnya yang bidang dan tegap. Ia berdiri di tengah ruangan menghadapi Tek Sin Tojin dengan tubuh direndahkan dan kepala ditundukkan, tanda menghormat kepada saudara tua.

“Liem-sute, pinto lihat ada pokiam (pedang pusaka) tergantung di pinggangmu. Dalam ujian ini, apakah kau hendak mempergunakan pedang?”

Liem Sun Hauw menjura.
“Siauwte serahkan pada kebijaksanaan Suheng saja, bagaimana cara Suheng hendak menguji, siauwte siap mentaati perintah.”

“Hemm, kalau begitu cabut pedangmu. Biar aku menghadapi pedangmu dengan tangan kosong saja.”

Liem Sun Hauw patuh. Ia menghunus pedangnya dan nampak sinar putih berkilauan, tanda bahwa pedang itu adalah pedang yang baik. Ia memutar pedangnya dengan gerakan indah dan cepat, tahu-tahu pedang itu kini telah dipegang di bagian pucuknya dan gagangnya disodorkan ke arah Tek Sin Tojin, tangan kiri dibuka terpentang di depan dada.

Melihat ini, Kiang Liat tahu bahwa biarpun kelihatannya aneh sekali memegang ujung pedang secara terbalik, namun gerakan ini bukanlah gerakan sembarangan dan tentu saja mempunyai arti tertentu.

“Ketika Suhu memberikan gin-kiam (pedang perak) ini kepada siauwte, Suhu berpesan siauwte jangan sekali-kali menggunakan pedang ini untuk menghina orang dan melawan yang bertangan kosong dalam pibu,” kata pemuda itu dengan sikap hormat.

Twi Mo Siansu mengangguk-angguk girang.
“Ah kiranya Suheng masih ingat akan pesan Sucouw, masih ingat untuk mengajarkan peraturan ini kepada muridnya.”

Memang Go-bi-pai terkenal keras dengan peraturan-peraturannya. Di antaranya, seorang anak murid sama sekali tidak boleh memamerkan ilmu pedangnya, juga tidak boleh menghadapi lawan dalam pibu (pertandingan persahabatan) yang bertangan kosong dengan pedang.

Kalau terjadi lawan itu bertangan kosong menantang, ia harus menyerahkan pedang itu dengan sikap dan gerakan tertentu sebagaimana yang dilakukan oleh Sun Hauw ini. Tadi memang Tek Sin Tojin menguji apakah pemuda ini mengerti akan peraturan ini dan ternyata Sun Hauw mengerti baik!

“Kau memberikan pedangmu kepadaku? Baik, kuterima dan awas terhadap caraku mengembalikannya!” kata Tek Sin Tojin.

Tangan kanannya menyambar dan di lain saat pedang itu telah berpindah ke dalam tangannya, tosu tinggi besar itu lalu membuat gerakan melompat ke belakang, berjungkir balik tiga kali, kemudian pada jungkiran terakhir, ia menggerakkan tangannya dan pedang itu meluncur seperti anak panah menyambar ke arah dada Liem Sun Hauw!

Pemuda itu cepat meloloskan sarung pedangnya dan dengan gerakan indah namun cepat sekali ia menyambut pedang yang meluncur ke dadanya itu dengan sarung pedang dan… tepat sekali pedang itu masuk ke dalam sarungnya, mengeluarkan suara keras!

Indah sekali gerakan dua orang itu. Tek Sin Tojin melakukan gerakan menyambit yang merupakan jurus terakhir dari ilmu pedang Go-bi-pai, yakni gerakan yang disebut Sin-liong kian-hwe (Naga Sakti Mengulur Ekor) yang dimaksudkan untuk dipergunakan pada saat terakhir atau pada saat sudah amat terdesak oleh lawan yang lebih tangguh.

Timpukan pedang yang tidak terduga-duga ini akan dapat menolong diri, kalau tidak berhasil merobohkan lawan, sedikitnya memberi kesempatan untuk melarikan atau menjauhkan diri!

Adapun Sun Hauw yang sudah menduga lebih dulu, telah meloloskan sarung pedangnya dan cepat memperlihatkan kelihaiannya sebagai anak murid Go-bi-pai, melakukan jurus ilmu silat yang disebut Sin-liong siu-cu (Naga Sakti Menyambut Mustikanya). Memang, dari gerakan ini saja sudah dapat dilihat bahwa Sun Hauw benar-benar seorang anak murid Go-bi-pai yang jempol.






Tidak ada komentar :