*

*

Ads

Senin, 15 April 2019

Pendekar Bodoh Jilid 006

“Nah, kau baru tahu adat sedikit sekarang setelah kuhajar, ya?” kata Tan Hok uring-uringan.

“Tan-suhu memang beraninya hanya kepada anak kecil yang tak berdaya. Alangkah baiknya kalau kegagahanmu ini kau perlihatkan ketika menghadapi Biauw Suthai tadi, hingga Lin Lin tidak sampai terculik.”

“Bangsat kecil, kuhancurkan kepalamu!”

Guru silat itu melangkah maju dengan sikap mengancam. Tetapi Cin Hai tidak mundur sedikit pun.

“Boleh, boleh! Pukullah aku sampai mati, sayang Bibiku tak melihat kelakuanmu ini.”

Teringatlah Tan-kauwsu bahwa anak ini setidak-tidaknya masih menjadi kemenakan dari Kwee-hujin maka ia menahan tangannya yang telah terangkat di atas untuk menjatuhkan pukulan. Ia lalu meludahi kepala anak yang gundul itu sambil membentak,

“Hayo pulang dan kau menjadi saksi utama betapa aku telah membela Nona Lin Lin dengan mati-matian. Harus kau terangkan duduknya perkara yang sebenarnya di hadapan Kwee-ciangkun!”

Cin Hai tak menjawab, tapi segera memungut sebatang bambu kuning. Tan Hok menjadi marah dan ia menyambar tangan anak itu dan diseretnya sambil berlari cepat!
Alangkah kaget dan marahnya Kwee In Liang mendengar laporan Tan Hok. Mukanya sebentar merah sebentar pucat ketika Tan-kauwsu berkata,

“Hamba sudah melawan mati-matian untuk mencegah penculikan itu, tetapi ternyata Biauw Suthai sangat lihai hingga akhirnya pedang hamba dapat terampas dan hamba dibikin tak berdaya. Sebelum hamba dapat mencegahnya, Nona Lin Lin telah dibawa pergi cepat sekali.”

Karena marah dan sedih, Kwee In Liang menggebrak meja di depannya sambil membentak kepada Cin Hai,

“Cin Hai! Mengapa kau ajak Lin Lin ke hutan tanpa memberi tahu siapa-siapa? Kau anak tolol lancang sekali!”

Cin Hai merasa hatinya tertusuk. Biasanya pamannya ini baik sekali terhadapnya, tak pernah memukul tak pernah memaki, bahkan jarang sekali bertemu atau mengajaknya bicara. Sekarang ie-thionya membentak dan memakinya, sungguh menyakitkan hati.

“Ie-thio (Paman),” katanya dengan suara perlahan, “memang aku yang lancang. Biarlah aku pergi mencari Adik Lin Lin sampai dapat…”

Hampir saja Cin Hai mengeluarkan air mata karena kepiluan hatinya. Ia meraba-raba kepala gundulnya yang masih merah karena ditempeleng oleh Tan Hok tadi.

Melihat betapa kepala anak itu merah dan bibirnya pecah-pecah, berkuranglah kemarahan Kwee In Liang,

“Apakah engkau juga dilukai oleh tokouw siluman itu?”

Sebelum Cin Hai menjawab, Tan Hok yang merasa khawatir kalau-kalau anak itu mengadu, cepat berkata,

“Kalau tidak hamba lekas-lekas datang, tentu kemenakan Ciangkun ini akan mendapat celaka pula.”

Cin Hai melirik kepada guru silat itu dengan pandangan mata mengejek.
“Ya, ie-thio, sayang sekali bahwa baru maju segebrakan saja, Tan-suhu yang lihai ini telah terampas pedangnya dan ia dibikin jatuh bangun oleh ujung kebutan tokouw siluman itu!”

“Begitu lihaikah dia?” tanya Kwee In Liang kepada Tan Hok.

“Memang dia lihai sekali, dan hamba bukanlah lawannya.”

Tan Hok mengaku dengan muka merah karena malu dan kebenciannya terhadap Cin Hai bertambah.






Karena kejadian itu, Kwee In Liang merasa sedih sekali. Kwee-hujin, yang diberitahu oleh pelayan akan peristiwa itu segera berlari keluar dan sambil menangis tersedu-sedu ia duduk di sebelah Kwee-ciangkun. Loan Nio memang cinta sekali kepada Lin Lin dan menganggap anak itu sebagai anak sendiri, maka berita ini benar-benar menghancurkan hatinya.

“Cin Hai, kau… kau anak tolol! Bodoh dan lancang! Mengapa kau mengajak Lin Lin pergi ke hutan? Bukankah engkau berpamit padaku, engkau tidak menyatakan hendak pergi dengan Lin Lin?” Bibi ini menegur Cin Hai.

“Ie-ie, sungguh aku menyesal sekali, ie-ie… Bukan kusengaja membawa dan mengajak Lin Lin, tapi ketika aku hendak keluar, Adik Lin Lin melihat dan bertanya. Aku mengaku terus terang bahwa hendak mencari bambu kuning di hutan dan ia memaksa hendak ikut.”

Sementara itu, Tan Hok melihat bahwa nyonya muda itu keluar, segera mengundurkan diri. Kwee In Liang lalu memerintahkan para pengawalnya untuk mengejar tokouw itu, dan ia sendiri naik kuda mencari sampai jauh ke dalam hutan.

Biarpun kepada bibinya sendiri, Cin Hai tidak menceritakan tentang perlakuan Tan-kauwsu yang sewenang-wenang padanya. Anak ini memang tidak suka mengadu dan segala hal yang menyakitkan hati hanya ia pendam di dalam dada sendiri saja. Ia selalu ingat akan ujar-ujar yang bermaksud : Balaslah kebaikan dengan kebaikan pula dan kejahatan dengan keadilan!

Maka dia menganggap kurang adil kalau ia membalas kejahatan Tan-kauwsu dengan mengadukan halnya kepada ie-ie atau ie-thionya. Itu kurang adil dan kurang tepat karena ia yang dijahati, maka baru adil kalau ia sendiri yang membalasnya! Tidak dapat sekarang, tentu kelak akan tiba masanya ia membalas segala perlakuan tak pantas itu.

Hatinya telah merupakan buku catatan dimana ia mencatatkan segala perlakuan baik dan buruk yang dijatuhkan orang kepadanya dan yang ia anggap sudah menjadi kewajibannya untuk membayar lunas semua perlakuan dan budi itu, baik yang jahat maupun yang baik.

Ketika Ie-thionya sedang sibuk mencari-cari tokouw yang melarikan anaknya itu dibantu puluhan pengawal dan anak buahnya, sedangkan bibinya menangisi nasib Lin Lin di kamarnya, Cin Hai menyeret bambu kuning ke belakang. Ia duduk di kebun belakang sambil asyik menggosok bambu itu menghilangi bulu-bulu bambu dan mencabut daun dan cabang-cabangnya.

Tiba-tiba terdengar suara anak-anak memasuki kebun itu.
“Nah, itu dia Si Jahat!” terdengar seorang di antara mereka berkata.

Yang masuk adalah lima orang anak-anak, yakni putera-putera Kwee-ciangkun. Mereka ini tampan wajah nya dan indah-indah pakaiannya. Yang sulung bernama Kwee Tiong berusia sepuluh tahun, ke dua bernama Kwee Sin berusia sembilan tahun, ke tiga Kwee Bun delapan tahun. Ke empat Kwee Siang berusia tujuh tahun dan ke lima ialah Kwee An berusia enam tahun.

Di antara mereka ini, hanya dengan Kwee An saja Cin Hai sering bergaul, karena selain Kwee An mempunyai perangai yang baik dan halus, juga mereka ini sebaya, jadi lebih cocok. Yang empat lainnya sudah biasa menggoda dan memukul atau memaki Cin Hai.

Kini mendengar betapa adik perempuan mereka dibawa lari oleh karena tadinya ikut Cin Hai ke hutan, marahlah mereka. Bahkan Kwee An yang bersedih kehilangan adiknya, juga marah. Mereka mencari Cin Hai dan melihat Cin Hai duduk seorang diri membawa bambu kuning di dalam kebun, mereka segera menangkapnya! Kwee Tiong lalu mengambil tali dan menyeret Cin Hai ke sebatang pohon lalu mengikat Cin Hai di situ dengan tali tadi.

Cin Hai tak dapat melawan karena ia sudah lelah sekali bahkan tubuhnya masih sakit-sakit bekas bantingan Biauw Suthai tadi dan terutama bekas tangan Tan-kauwsu. Sekarang diperlakukan kasar oleh kelima anak-anak itu, ia sama sekali tidak melawan, walaupun andaikata ia melawan juga takkan berguna.

“Bangsat, mengakulah bahwa kau yang menjadi gara-gara lenyapnya Lin Lin!” Kwee Tiong membentak.

“Bukan, bukan aku!” jawab Cin Hai sambil membalas pandangan Kwee Tiong dengan berani.

“Kepala anjing!” Kwee Tiong memaki sambil menempeleng kepala Cin Hai yang gundul itu.

“Bukan aku!” Cin Hai tetap berkokoh menyangkal.

Kelima saudara yang sedang marah itu berganti-ganti memukul dan menempeleng kepala Cin Hai yang gundut, tetapi biarpun merasa kesakitan dan kepalanya pening, anak ini tetap berteriak-teriak,

“Bukan aku… bukan aku!”

Melihat betapa keadaan Cin Hai makin lemas dan suara teriakannya makin parau dan lemah, Kwee An menjadi kasihan dan timbul sifat baiknya.

“Koko sekalian, aku jadi ingat akan perkataan Ayah bahwa di dalam segala hal kita harus berlaku gagah berani. Sekarang kita ikat Cin Hai dan memukulinya tanpa ia dapat membalas, apakah ini adil? Kurasa ini bukan kelakuan gagah berani seperti yang dianjurkan oleh Ayah, dan kalau Ayah melihat perbuatan kita ini tentu kita mendapat marah.”

“Eh, pengecut, apakah kau hendak membela dia?” Kwee Tiong membentak marah kepada adiknya.

“Bukan pengecut, juga bukan membelaku,” Cin Hai yang sudah matang biru mukanya dan lemas tubuhnya itu mewakili Kwee An menjawab, “tapi dia ini telah banyak mempunyai kegagahan dari pada kamu berempat yang terhadap seorang anak lebih kecil saja melakukan pengeroyokan secara pengecut.”

“Plok!!” tangan Kwee Tiong terayun, menampar mulut Cin Hai hingga bibir yang sudah bengkak karena jatuh terpukul oleh Tan-kauwsu tadi, kini lukanya terbuka pula dan mengeluarkan darah baru.

“Twako, kalau memang kau hendak main pukulan dan berkelahi, lakukanlah secara ujur. Lepaskan dia lebih dulu dan berkelahi dengan adil!”

Kwee An berkata marah melihat kekejaman kakaknya, lalu ia sendiri maju membuka belenggu tangan Cin Hai.

“Baik, baik! Kaubukalah ikatannya, biar ia coba menahan seranganku,” kata Kwee Tiong gembira.

Cin Hai merasa seluruh tubuhnya lemas dan tak bertenaga maka biarpun ia sudah dilepaskan dari ikatan, tetap saja ia tak berdaya. Sebaliknya, Kwee Tiong yang bertubuh tegap dan lebih besar darinya itu, lagi pula memiliki kepandaian silat yang sudah lumayan, segera maju menyerang dengan sepasang kepalan dan tendangan kakinya.

Berkali-kali Cin Hai dipukul jatuh dan selagi anak itu dengan mata kabur hendak merayap bangun, sebuah tendangan Kwee Tiong tepat mengenai lambungnya hingga ia tersungkur lagi.

“Nah, rasakan ini, nah, ini lagi! Kau anak celaka, anak tolol, kau yang menjadi gara-gara sehingga Lin Lin terculik orang! Rasakan ini!”

Sambil menunggangi tubuh Cin Hai di punggungnya, Kwee Tiong menghujani pukulan pada seluruh tubuh Cin Hai yang sudah tak berdaya. Karena rasa sakitnya, Cin Hai lalu meramkan mata dan menggunakan kedua tangannya untuk balas menyerang.

Ia tak dapat memukul, tapi menangkap apa saja yang dapat ditangkap. Karena kebingungan dan putus asa dihujani pukulan-pukulan keras oleh Kwee Tiong, Cin Hai menjadi nekad. Dengan tenaga terakhir ia dapat membalikkan tubuhnya yang tadinya tertelungkup itu sehingga menjadi miring.

Tangan kanannya menyerang ke depan dan mencengkeram dan seketika itu juga terdengar Kwee Tiong memekik ngeri karena tanpa disengaja tangan Cin Hai dapat mencengkeram anggauta rahasia Kwee Tiong.

Mendengar jerit ini baru Cin Hai tahu bahwa Kwee Tiong kesakitan hebat. Alangkah senang hatinya mendengar anak itu menjerit-jerit kesakitan. Timbul niatnya untuk sekali remas membikin hancur anggauta tubuh yang dicengkeramnya itu agar anak jahat yang telah cukup banyak menghina dan cukup sering menyiksanya itu mampus seketika itu juga.

Tetapi, entah mengapa, di dalam pikirannya yang sudah kabur itu tiba-tiba terdengar ujar-ujar nabi yang dipelajarinya. Betapa hebatnya Kwee Tiong menyiksanya dan menghinanya, tetapi anak itu tidak sampai membunuhnya, kalau sekarang ia membalas dengan membunuh, itu tidak adil namanya.

Pula, ada ujar-ujar yang ia lupa lagi bunyinya, tetapi yang ia masih ingat bahwa orang tak boleh membunuh sesamanya hanya untuk melampiaskan marah dan memuaskan perasaan. Teringat akan semua ini, tiba-tiba cengkeraman tangannya mengendur.






Tidak ada komentar :