*

*

Ads

Senin, 15 April 2019

Pendekar Bodoh Jilid 008

Dengan hati panas dan penuh marah ia lalu menanggalkan semua pakaiannya itu dan dengan telanjang bulat ia lari keluar. Tetapi dari mana ia harus keluar dari gedung itu? Pintu depan telah tertutup dan terkunci. Cin Hai yang gundul dan telanjang itu lalu berlari ke belakang dan memasuki kebun.

Angin malam yang dingin menyerang kulitnya sehingga ia menggigil. Tetapi dikeraskan hatinya dan segera menuju ke dinding yang mengelilingi kebun. Memang ia telah biasa memanjat dinding itu waktu bermain-main, maka kini dengan mudah saja ia dapat memanjat dinding menggunakan lubang-lubang dan pecahan-pecahan yang terdapat pada beberapa bagian dinding.

“He, bangsat kecil, kau hendak berbuat apa lagi?”

Itu adalah suara Tan-kauwsu! Cin Hai terkejut sekali dan ia memegang sulingnya erat-erat di tangan kanan. Memang, anak gundul itu tidak membawa bekal apa-apa bahkan pakaiannya pun tidak, akan tetapi suling buatan sendiri itu tak ia lupakan.

Ketika Tan-kauwsu sudah datang dekat dan melihat betapa Cin Hai dengan bertelanjang bulat berada di atas dinding, ia merasa heran sekali dan untuk beberapa lama ia berdiri bengong memandang. Sudah gilakah anak ini? Demikian ia berpikir, kemudian timbul maksudnya hendak menangkap dan menyerahkannya kepada Kwee-ciangkun dalam keadaan demikian, agar anak itu dan juga bibinya merasa malu!

“Bangsat tolol, turun kau!” bentaknya.

Tapi dalam takut dan bingungnya Cin Hai tak mempedulikan bahaya lagi. Ia meloncat di sebelah luar dan untung sekali ia jatuh ke dalam semak-semak hingga kakinya tidak patah-patah, hanya tubuhnya yang telanjang itu saja lecet-lecet. Ia lalu berdiri dan lari dalam malam gelap secepat mungkin.

Tan Hok, guru silat yang membenci Cin Hai itu menjadi penasaran dan marah. Sekali loncat saja ia sudah berada di atas dinding. Tetapi malam itu gelap sekali sehingga ia tak melihat Cin Hai. Ia memanggil-manggil dan memaki-maki.

Tiba-tiba ia mendengar suara keluhan, karena pada saat itu, Cin Hai yang sudah lari agak jauh itu tersandung akar pohon di dalam gelap hingga tubuhnya terguling! Karena dadanya yang telanjang tertumbuk pada akar, maka tanpa disengaja ia mengeluh hingga terdengar oleh Tan Hok. Guru silat ini meloncat turun dari tembok dan mengejar ke arah suara itu sambil memaki,

“Anak totol, apakah kau sudah gila?”

Cin Hai makin takut dan ia berdiri lagi lalu memaksa kakinya yang terasa sakit karena jatuh itu untuk berlari lagi. Saat itu telah lama lewat tengah malam hingga keadaan gelap sekali.

Tetapi dari suara kaki Cin Hai yang berlari-lari dapat juga Tan Hok mengejar kemana anak itu berlari. Hanya keadaan yang sangat gelap itu membuat Tan-kauwsu tak mungkin dapat berlari cepat, takut kalau-kalau ia akan menabrak pohon atau terjeblos dalam tanah berlubang.

Sebaliknya, Cin Hai yang ketakutan dan bingung, tak mempedulikan semua ini dan ia lari sekerasnya. Maksud hatinya hendak lari secepat-cepatnya agar dapat menghindarkan diri dari tangan guru silat yang jahat dan yang pasti akan membawanya kembali ke tempat yang tak disukainya itu.

Oleh karena berlari dengan nekad membuta ini, tiba-tiba ia terjeblos ke bawah! Cin Hai terkejut sekali tetapi tak berani mengeluarkan keluhan, takut kalau-kalau pengejarnya mendengarnya.

Ketika ia meraba-raba di sekitar dirinya, ternyata ia telah terjeblos ke dalam tanah lumpur yang lembek berair. Setelah berpikir-pikir sejenak dapatlah ia menduga bahwa ia tentu terjatuh ke dalam kolam lumpur yang biasa digunakan oleh para penggembala kerbau untuk membawa kerbau-kerbau mereka mandi lumpur di situ.

Anehnya, kalau tadi ia merasa tubuhnya dingin sekali karena angin yang meniup-niup tubuhnya, kini setelah masuk ke dalam lumpur itu, ia merasa hangat! Agaknya seperti ada hawa yang aneh dan hangat keluar dari kolam lumpur itu.

Akan tetapi, rasa girangnya hanya sebentar saja karena lagi-lagi terdengar suara makian guru silat yang masih tetap mencari-carinya itu. Cin Hai menjadi gemas sekali. Kalau saja ia kuasa mengalahkan guru silat itu pasti ia akan menghajar habis-habisan padanya! Ia memutar-mutar otak di dalam kepalanya yang gundul itu, mencari akal.

Tan Hok si guru silat merasa mendongkol sekali. Biarpun ia lari tidak cepat, tetapi telah dua kali ia menabrak pohon hingga tabrakan yang ke dua kali membuat hidungnya berdarah! Ia tidak menyesalkan hidungnya yang terlalu panjang itu, tetapi menimpakan semua penyesalan, kemendongkolan, dan kemarahannya kepada Cin Hai.

“Anak tolol, anak binatang rendah, anak haram! Kalau kau sampai terpegang olehku, tentu akan kubeset kulit kepalamu!” demikian ia memaki-maki dan maju terus, tetapi kini dengan kedua tangan di depan agar jangan sampai tertumbuk pada pohon lagi.






Tiba-tiba ia mendengar suara kaki Cin Hai berlari-lari di depan. Ia mendengar jelas betapa napas anak itu terengah-engah dan beberapa kali mengaduh-aduh. Girang hatinya mendengar ini.

“Bangsat kecil, kau hendak lari kemana sekarang?” bentaknya dan ia mempercepat larinya, karena ia pun mendengar suara kaki anak itu berlari makin cepat.

Ia maju dengan langkah lebar, tetapi setelah berlari beberapa tindak tiba-tiba ia menjerit dan terdengar betapa tubuhnya yang besar itu jatuh terjerambab di dalam kolam lumpur! Celakanya ia jatuh telungkup hingga mukannya penuh tertutup lumpur.

“Ha-ha-ha! Alangkah lucunya!” terdengar Cin Hai mentertawakan guru silat itu.

Ternyata tadi anak itu mendapat akal untuk menjebak pengejarnya. Ia berdiri di seberang kolam lumpur, lalu berlari di tempat sambil sengaja mengeluarkan suara napas terengah-engah.

Tan kauwsu telungkup di dalam lumpur bagaikan seekor kerbau besar! Setelah puas memaki-maki dan mengejek serta mentertawakan Tan Kauwsu, Cin Hai lalu berlari lagi ke depan dengan cepat. Kini malam telah hampir terganti fajar hingga samar-samar mata dapat menembus kegelapan yang dari warna gelap hitam menjadi abu-abu.

Sudah tentu Tan Hok meluap rasa marahnya. Untuk beberapa lama ia tak berdaya karena selain merasa pengap lubang hidungnya tertutup lumpur, juga ia merasa bingung bagaimana harus membersihkan lumpur yang memasuki mata kirinya!

Akhirnya ia dapat juga ke luar dari kolam lumpur itu dan dapat menggunakan bajunya yang masih bersih, yakni yang berada di bagian belakang tubuhnya, untuk membersihkan lumpur dari hidung, mulut dan matanya. Biarpun mata kirinya masih terasa pedas dan lamur, tetapi dengan mata kanan ia dapat memandang ke depan. Tampaklah olehnya sebuah lorong kecil di depan dan tanpa membuang waktu ia segera lari mengejar.

Fajar telah menyingsing ketika dari jauh Tan Hok dapat melihat berkelebatnya tubuh Cin Hai di depan. Guru silat ini mengeluarkan seruan girang, karena ia sebentar lagi pasti akan dapat memuaskan hati membalas dendam kepada setan cilik itu! Ia memperkuat larinya dan sebentar saja jarak antara ia dan Cin Hai yang berlari sekuatnya itu tinggal beberapa tombak saja lagi!

“Bocah tolol! Sekarang kau hendak lari kemana? Bersiaplah untuk mampus di tanganku!” teriak Tan Hok dengan girang sekali dan ia sudah siap mengulurkan tangan untuk menangkap.

Cin Hai yang sudah putus asa tidak mau menerima nasib. Ia bahkan berlari sekerasnya dan ia sudah mengambil keputusan tetap bahwa bilamana ia tertangkap, sebelum mati ia hendak melawan dulu sekuatnya, hendak menggunakan kaki tangan dan giginya untuk melawan. Ia ingat bunyi sebuah ujar-ujar kuno yang berkata bahwa lebih baik mati sebagai harimau daripada mati sebagai babi!

Tetapi pada saat itu, ketika ia sudah mendengar suara kaki dan napas Tan-kauwsu dekat sekali di belakangnya, tiba-tiba ia menabrak tubuh seorang yang berdiri di depannya! Dan tahu-tahu tubuh Cin Hai melayang ke atas lalu terduduk di atas lengan seorang tua yang pendek.

Cin Hai menjadi terkejut, heran dan bingung sekali. Mengapa tahu-tahu ada seorang tua pendek di depannya dan bagaimana maka ia tahu-tahu sudah melayang ke atas dan duduk di atas lengan kanan orang tua itu yang bertubuh pendek, dan mulutnya selalu menyeringai, memakai jubah hitam dan kopiah hitam pula.

Maka teringatlah dia bahwa orang ini bukan lain ialah seorang di antara tiga orang yang belum lama ini bertempur melawan hwesio gundul pemelihara ular di depan Kelenteng Ban-hok-tong!

Sementara itu, Tan Hok ketika melihat betapa seorang tosu pendek tahu-tahu menangkap Cin Hai dan berdiri di depannya, menjadi kaget sekali. Sebaliknya tosu itu yang bukan lain ialah Giok Keng Cu, orang ke tiga dari Kang-lam Sam-lojin (Tiga Orang Tua dari Kanglam) tidak kurang terkejutnya melihat Cin Hai dan Tan Hok.

Ia tidak mengenal anak itu karena bertelanjang bulat dan hanya berpakaian lumpur yang telah mulai mengering dan heran juga melihat pengejar anak itu yang juga penuh dengan lumpur pada seluruh tubuh bagian depan. Ia hanya memandang sambil menyeringai dan tertawa ha-ha-hi-hi.

Tan-kauwsu ketika melihat bahwa tosu pendek itu hanya orang biasa saja yang berpakaian sebagai seorang pendeta menyangka bahwa tosu itu kebetulan saja berada disitu, maka ia lalu membentak keras karena hatinya masih panas penuh kemarahan,

“Totiang, kau berikan anak tolol itu kepadaku!”

Mendengar kata-kata ini, Giok Keng Cu lalu bertanya.
“Sicu (Orang Gagah), apakah kau ayah anak ini?”

“Siapa sudi menjadi ayah anak haram ini? Dia ini… adalah bujang dari keluarga Kwee yang melarikan diri dan aku mendapat tugas menangkapnya! Lekas lepaskan dia!”

“Sabar dulu, Sicu, sabar dan tenanglah! Aku ingin sekali tahu, mengapa anak ini bertelanjang bulat dan penuh lumpur dan mengapa pula kau juga agaknya mandi lumpur? Kalian ini orang-orang Tiang-an agaknya suka benar dengan lumpur.”

Tiba-tiba Cin Hai tertawa geli. Ia menganggap tosu ini lucu dan ia merasa senang mendengar betapa Tan Hok dipermainkan. Ia pun maklum bahwa tosu pendek ini lihai sekali, maka hatinya menjadi tabah dan keberaniannya timbul.

“Totiang, kau harus menonton ketika kerbau hitam ini kujerumuskan ke dalam lumpur! Kerbau ini adalah kerbau gila, Totiang, ia mengejarku dari malam tadi dengan maksud membunuhku, tetapi sayang aku terlalu cepat baginya.”

“Bangsat kecil!”,

Tan Hok meloncat maju dan hendak menerkam Cin Hai serta merampasnya dari tangan tosu itu tetapi dengan sekali menggerakkan lengan saja tubuh Cin Hai dapat dilempar ke atas hingga terhindar dari serangan Tan Hok, lalu ketika tubuh kecil itu turun, diterima lagi dengan lengannya!

“Sabar dulu, Sicu. Biar pinto dengar dulu penuturan bocah ini. Hai, anak bodoh, coba, kau ceritakan padaku hal yang sebenarnya telah terjadi.”

Diam-diam tosu ini suka sekali melihat keberanian Cin Hai, hanya ia masih heran mengapa bocah kecil yang membawa-bawa suling ini bertelanjang bulat dan tubuhnya penuh lumpur.

Dengan singkat Cin Hai lalu menuturkan betapa ia melarikan diri dari gedung keluarga Kwee karena ia dibenci. Ia sama sekali tidak mau menceritakan tentang sebab-sebab yang sebenarnya dari kepergiannya itu. Ia menceritakan bahwa ia sengaja meninggalkan pakaiannya karena tidak mau pergi membawa sepotong barang dari gedung itu, takut kalau-kalau disangka mencuri, dan betapa di tengah jalan ia dikejar oleh Tan-kauwsu yang selamanya memang benci padanya.

“Betul demikiankah, Sicu?” tanya Giok Keng Cu dengan tetap menyeringai.

“Sudahlah, kau orang tua jangan ikut campur urusan ini. Ketahuilah, anak ini ikut dengan keluarga Kwee-ciangkun dan aku adalah guru silat di gedung itu. Jangan kau mencari penyakit!” Tan Hok membentak marah.

Giok Keng Cu berpaling kepada Cin Hai yang masih duduk di atas lengannya lalu bertanya sambil tertawa,

“Anak gundul, apakah kau sering dipukul oleh Kauwsu ini?”

“Bukan sering lagi, kalau ia diberi kesempatan tentu akan dibunuhnya!” jawab Cin Hai terus terang.

“Apakah kau berani melawannya kalau diberi kesempatan?”

“Kalau aku mempunyai kepandaian seperti Totiang, tentu kerbau hitam ini akan kuhajar kepalanya sampai benjut!”

“Anjing kecil, kau turunlah!” Tan Hok menantang.

“Nah, kalau kau berani, kau lawanlah dia sambil duduk di atas lenganku!” kata Giok Keng Cu sambil tertawa.






Tidak ada komentar :