*

*

Ads

Senin, 15 April 2019

Pendekar Bodoh Jilid 009

Cin Hai belum mengerti benar maksud tosu itu, ia yakin bahwa tosu ini bermaksud membantunya, maka ia mengangguk-angguk dan berkata,

“Baik, baik, akan kupukul kepalanya sampai benjol dan benjut.”

“Pukullah!” kata Giok Keng Cu sambil mengulurkan lengan yang diduduki Cin Hai ke dekat Tan Hok dan benar-benar Cin Hai mengayun kepalan tangannya arah kepala guru silat itu.

Mana Tan Hok mandah saja dirinya dipukul, ia mengangkat tangan kiri menangkis dan tangan kanannya memukul ke arah muka Cin Hai, maksudnya hendak sekali pukul menjatuhkan anak itu dari atas lengan Si tosu. Tetapi Giok Keng Cu menggerakkan lengannya dan tahu-tahu Cin Hai sudah pindah ke lengan kiri!

“Guru silat, kalau kau bisa menjatuhkan anak ini dari lenganku, boleh kau bawa dia!”

Giok Keng Cu mengejek. Tan Hok marah sekali dan ia lalu menyerang, tetapi ternyata Cin Hai dibawa oleh lengan tosu itu dengan cepat menghindari setiap serangannya, bahkan tangan anak itu balas menghantam!

Tan Hok dengan geram dan marah lalu maju dan menyerang dengan gerak tipu Cin-jip-houw-hiat (Terjang Masuk Gua Harimau), sebuah serangan yang hebat sekali karena dilakukan dengan dua tangan.

Kalau kepala Cin Hai yang gundul terkena pukulan ini, pasti otaknya akan berceceran keluar dari batok kepalanya yang pecah! Tetapi dengan enak dan tenang Giok Keng Cu meloncat ke pinggir dan menggerakkan lengannya dengan cepat sekali. Tahu-tahu Cin Hai merasa dirinya terlempar ke atas melalui kepala Tan Hok, maka cepat anak itu menggunakan kakinya menyepak ke arah kepala itu!

Tan Hok yang kena sepak kepalanya menjadi marah sekali dan menggunakan tangan hendak menerkam tubuh yang masih berada di atasnya itu, tetapi tangan Giok Keng Cu lebih cepat lagi mendahuluinya menyangga tubuh Cin Hai dan dibawa turun lagi.

Demikianlah, dengan gerakan-gerakan aneh dan cepat melebihi angin, Cin Hai dapat dibawa oleh lengan Giok Keng Cu mempermainkan Tan Hok. Beberapa kali kepalan Cin Hai yang kecil dapat memukul muka, kepala dan dada guru silat itu sekerasnya, tetapi akibatnya ia sendiri yang mengeluh dan mengaduh karena anggauta tubuh guru silat yang terlatih itu keras dan, kuat, sedangkan kepalan tangannya lemah tak terlatih.

“Totiang, tanganku sakit.” Cin Hai berbisik.

“Anak tolol, kau pukul daun telinganya!” Giok Keng Cu balas berbisik.

Benar saja, semenjak saat itu, Cin Hai menujukan pukulannya kepada dua daun telinga Tan Hok hingga guru silat itu menjadi makin gemas, marah dan mendongkol. Ia rasakan daun telinganya pedas dan sakit, tetapi hatinya lebih perih dan sakit lagi.

Bagian-bagian tubuh lain memang terlatih, tetapi daun telinganya tak dapat dilatih dan terasa sekali hingga biarpun pukulan seorang anak kecil juga mendatangkan rasa sakit dan bahkan mendatangkan bunyi mendenging di dalam telinganya!

Cin Hai merasa gembira sekali karena ia mendapat kesempatan untuk membalas dendam. Kini ia tidak hanya memukul, tetapi menjewer, mencengkeram, menusuk lubang telinga dengan sulingnya dan lain-lain serangan yang membuat Tan Hok merasa mata gelap dan kepala berputaran karena marah, gemas dan tak berdaya!

Tan Hok sudah mendapat hajaran hebat ketika guru silat itu menyerang lagi, Giok Keng Cu sengaja menangkis dengan tangan kirinya sambil membentak,

“Masih belum cukupkah?”

Tangkisan itu membuat Tan Hok hampir menjerit kesakitan. Seluruh lengan kanannya, dari ujung jari sampai ke pundak, terasa seakan-akan dibakar api dan sakit sekali, hingga sambil meringis-ringis ia melangkah mundur, lalu berkata,

“Aku sudah menerima pengajaran dari orang pandai. Tidak tahu siapakah Totiang dan apa hubungannya dengan anak tolol ini hingga Totiang membantunya serta tak segan-segan memberi pukulan kepada siauwte.”






Pada saat itu, matahati telah mulai bersinar hingga wajah Cin Hai dengan kepalanya yang gundul pelontos tampak nyata. Ketika mendengar ucapan guru silat itu, Giok Keng Cu lalu memandang muka anak kecil yang ditolongnya.

“Eh, kau?” tanyanya dan Cin Hai tersenyum mengangguk sambil berkata,

“Ya, aku. Dan bagaimana dengan kedua Totiang yang lain?” tanyanya.

Giok Keng Cu lalu berdongak dan tertawa keras, hingga suara ketawanya menggetarkan daun-daun pohon.

“Dengarlah, guru silat buruk adat! Kau berhadapan dengan Giok Keng Cu, atau kalau nama ini tidak kau kenal, boleh juga kau ketahui bahwa pinto adalah orang termuda dari Kanglam Sam-lojin. Adapun tentang anak ini, dia ini adalah in-jin (penolong) kami!”

Bukan main kagetnya Tan Hok mendengar bahwa ia berhadapan dengan seorang daripada Kanglam Sam-lojin yang sangat tenar namanya dan yang sudah menggemparkan dunia kang-ouw dengan kelihaian dan kehebatan mereka. Tetapi lebih heran lagi ketika mendengar pengakuan orang tua itu bahwa Cin Hai dianggap sebagai in-jin mereka! Sungguh aneh dan gila! Cepat ia mundur dan menjura dalam-dalam sambil berkata,

“Maaf, siauwte yang tak mengenal Gunung Thai-san menghalang di depan mata (Orang Gagah berdiri di depan mata) dan berani berlancang tangan. Biarlah siauwte memberi laporan kepada Kwee-ciangkun bahwa anak tolol… (ia menahan makiannya) anak ini telah ikut dengan Locianpwe.”

Tetapi Giok Keng Cu yang kegirangan lagi bertemu dengan “tuan penolong” itu, tak mempedulikan lagi guru silat dan sekali berkelebat, ia telah lenyap dari pandang mata Tan Hok, sedangkan Cin Hai juga dibawanya pergi bersama.

Tan Hok menghela napas berulang-ulang dan hatinya penasaran, malu dan gemas. Berturut-turut dalam dua hari ia mengalami nasib sialan! Kemarin bertemu dengan Biauw Suthai dan mendapat hajaran yang memalukan dan menjatuhkan namanya, malam tadi dipermainkan oleh Cin Hai si setan kecil, sedangkan sekarang tiba-tiba saja berhadapan dengan seorang dari Kang-lam Sam-lojin yang lihai!

Semua ini gara-gara Cin Hai si setan kecil. Kemudian ia pergi ke gedung Kwee-ciangkun untuk memberi laporan bahwa Cin Hai pergi bersama seorang tua jahat yang mungkin mengambilnya sebagai murid. Ia tentu saja tidak mau menceritakan pengalamannya memalukan itu, hanya bercerita bahwa orang tua yang membawa Cin Hai itu agak miring otaknya, sedangkan Cin Hai sendiri ketika ikut orang tua itu bertelanjang bulat seperti anak gila.

Kwee In Liang tidak sangat memperdulikan peristiwa ini, tetapi Loan Nio lalu lari ke kamarnya dan setelah memeriksa kamar Cin Hai dan mendapatkan betapa anak itu pergi tanpa membawa sedikit pun barang atau sepotong pun pakaian, ia menangis tersedu-sedu dengan hati merasa terharu dan iba sekali.

Giok Keng Cu yang lari bagaikan terbang cepatnya sambil memondong tubuhnya karena angin besar menderu-deru di kedua telinganya hingga ia menutup matanya, membawa Cin Hai ke sebuah kuil rusak yang jauhnya beberapa li dari situ.

Baru saja tiba di pekarangan kuil, ia telah berteriak ke dalam.
“Twa-suheng (Kakak Seperguruan tertua)! Ji-suheng (Kakak Seperguruan Ke Dua)! Coba keluar dan lihat siapa yang kubawa ini!”

Baru saja ucapan itu habis dikatakan dari dalam kuil rusak itu berkelebat dua bayangan orang dan tampaklah Giok Im Cu si tinggi kurus, dan Giok Yang Cu si tinggi besar brewokan. Untuk sesaat mereka tak dapat mengenali anak kecil berlumpur itu, tetapi Giok Yang Cu segera ingat akan kepala gundul itu, maka cepat ia berkata girang.

“In-kongcu (tuan penolong muda)!”

Cin Hai segera turun dari pondongan Giok Keng Cu dan memandang kepada ketiga tosu itu dengan muka bodoh.

“Samwi-totiang (Ketiga Bapak Pendeta) mengapa menyebut aku penolong? Apakah memang cara-cara pendeta memutar balikkan kenyataan? Sebenarnya aku telah ditolong, tapi sebaliknya malah disebut penolong, bagaimanakah ini?”

Ketiga tosu ini saling pandang, lalu ketiganya berdongak dan tertawa bergelak.
“Kau tidak tahu, anak baik. Ketika kami bertiga bertempur melawan Hai Kong Hosiang di depan Kelenteng Ban-hok-tong, kami bertiga terdesak dan dikurung oleh ular-ularnya yang berbahaya dan lihai. Nah, ketika itu kalau tidak ada kau penolong kami yang membunyikan suling dan mengacaukan pertahanan ular-ular itu, tentu sekarang sudah tidak ada lagi Kanglam Sam-lojin! Kepada Hai Kong si hwesio itu kami tidak gentar, tetapi barisan ular sungguh lihai!”

Barulah Cin Hai mengerti ia disebut tuan penolong, tetapi ia lalu tertawa dan berkata.
“Sungguh aku girang sekali telah dapat menolong Sam-wi Totiang, tetapi sungguh mati ketika itu aku tidak sengaja menolong, hanya karena mendengar suara melengking dari Hai Kong Hosiang, aku merasa telingaku sakit dan kugunakan suling untuk melawan suara itu. Tidak tahunya suara itu dapat menolong Sam-wi, maka Sam-wi tak perlu berterima kasih kepadaku seharusnya kepada suling ini!” Ia lalu mengangkat dan mengacung-acungkan suling barunya.

“Anak baik, kata-katamu betul juga,” kata Giok Im Cu, tosu tertua yang tinggi kurus, lalu tiba-tiba tosu ini menyanyikan sebuah syair dengan suara tinggi nyaring,

“Tun Hek Ki Jiak Phak, Kong He Ki Jiak Kak, Huk He Ki Jiak Tak!”

Syair ini bukan sembarangan syair, tetapi adalah syair dari kitab To-tek-keng yang merupakan kitab pelajaran dari Nabi Lo Cu atau nabi para penganut agama To-kauw, yang mempunyai arti seperti berikut,

Berlakulah sopan jujur seperti balok, Berwataklah sunyi agung seperti jurang dalam, Dan bersikaplah seperti air keruh!

Cin Hai semenjak kecil telah dijejali bermacam-macam ujar-ujar, dari ujar-ujar Kitab Suci dari Khong Cu dan berbagai kitab-kitab Nabi Lo Cu dan lain-lain kitab kuno lagi. Dikala mempelajari segala ujar itu, ia hanya hafal seperti burung beo saja, dapat mengucap tanpa mengerti isi dan maksudnya. Jangankan baru seorang kanak-kanak sekecil Cin Hai, sedangkan orang-orang dewasa pun takkan mudah begitu saja menyelami arti ujar-ujar kuno yang biarpun singkat jika dipecahkan dan direnungkan panjang tiada habisnya dan makin dalam.

Oleh karena hafalan-hafalan ini, tiap ada kalimat yang dipetik dari buku dan kitab ujar-ujar itu, Cin Hai dapat ingat sambungannya. Mendengar syair ujar-ujar yang dinyanyikan oleh Giok Im Cu, ia tahu bahwa ujar-ujar itu diambil dari kitab To-tek-keng, maka cepat dan otomatis ia pun lalu menyanyikan ujar-ujar sambungan atau lanjutan daripada ujar-ujar yang dinyanyikan tosu itu tadi.

“Siok Ling Tok I Ci, Cing Ci Ji Jing, Siok Ling An I Kiu, Tong Ci Ji Seng! (Siapa bisa bersikap seperti air keruh lama-lama menjadi jernih, siapa bisa berlaku sabar, lambat laun memetik buahnya)”

Maka terbelalaklah mata Giok Im Cu mendengar syair ini dinyanyikan oleh Cin Hai. Harus diketahui bahwa Giok Im Cu adalah seorang pendeta To-kauw yang sangat tekun mempelajari ujar-ujar Lo Cu, maka tentu saja ia sangat pandai dan hafal akan segala macam ujar-ujar suci itu. Kini mendengar ujar-ujar itu disambung dengan tepatnya oleh Cin Hai, ia menjadi kagum dan heran. Diangkatnya anak kecil itu dengan penuh kasih sayang dan tiada hentinya ia menyebut,

“Siancai, siancai (damai, damai,) anak baik, anak baik!”

Setelah cukup memuji-muji Cin Hai ketiga tosu itu lalu berkata kepadanya,
“Anak baik, sebenarnya siapakah namamu dan kau she apa? Kau pernah apakah dengan pembesar she Kwee itu?”

Cin Hai bermuka sedih ketika menjawab,
“Teecu (murid) she Sie bernama Cin Hai. Kedua orang tua teecu telah terhukum mati oleh kaisar, entah apa salahnya. Kwee-hujin adalah Ie-ie teecu, tetapi karena seluruh penghuni gedung itu kecuali Ie-ie tidak ada yang suka kepada teecu, teecu lalu mengambil keputusan pergi saja!”

Juga kepada ketiga tosu ini Cin Hai tidak mau membuka rahasia dan menceritakan sebenarnya tentang keadaan Kwee-ciangkun dan apa yang telah terjadi baru-baru ini.

“Tidak apa, tidak apa, Cin Hai. Karena kau yatim piatu dan pernah menolong kami, sudah selayaknya kalau kami membalas jasamu. Kau ingin menjadi orang pandai? Bagaimana kalau kau menjadi murid kami bertiga?”

Girang sekali Cin Hai mendengar ini. Memang semenjak dulu ia ingin sekali belajar silat, hanya sayang tidak ada kesempatan baginya. Kini ketiga orang yang berilmu tinggi dan luar biasa kepandaiannya itu hendak mengangkat dia sebagai murid, tentu saja hal ini menggembirakan sekali.

Kedua matanya telah bersinar dan mukanya berseri, tetapi tiba-tiba ia teringat akan janjinya kepada seorang jembel yang telah lebih dahulu menjadi suhunya, yakni Bu Pun Su Si Jembel Tak Berkepandaian! Oleh karena ini, ia lalu menjura dan berkata,

“Besar sekali rasa terima kasih dan kebanggaan teecu menerima budi kecintaan Sam-wi Totiang, tetapi terpaksa teecu tidak berani menjadi murid Sam-wi.”






Tidak ada komentar :