*

*

Ads

Senin, 15 April 2019

Pendekar Bodoh Jilid 010

“Eh, mengapa?” Giok Yang Cu yang tinggi besar memelototkan matanya karena heran. Tosu tinggi besar ini adatnya kaku dan jujur. “Apa kau anggap kami bertiga kurang berharga untuk menjadi gurumu?”

“Bukan demikian, Totiang. Tetapi sesungguhnya teecu sudah mempunyai seorang guru. Dan seorang saja sudah cukuplah!”

“Siapa? Siapa suhunya itu?” ketiga tosu itu serentak bertanya.

Cin Hai menundukkan kepala, karena sesungguhnya ia malu untuk mengaku. Tetapi keangkuhannya yang menentang segala rasa rendah itu bangkit membuat ia mengangkat mukanya dan berkata gagah,

“Guruku itu adalah seorang jembel tua yang tidak berkepandaian apa-apa!”

Di luar dugaannya, biarpun ia tidak menyebut namanya, ketiga tosu itu tiba-tiba menjadi pucat dan Giok Keng Cu si pendek kecil bahkan memandang ke kanan kiri seakan-akan ada yang ditakutinya.

“Gurumu adalah Bu Pun Su Sianjin? Celaka, Sute, kita selalu didahului oleh orang tua aneh itu!”‘ kata Giok Im Cu menyesal.

“Jadi, Samwi Totiang sudah kenal kepada suhuku. Dimana dia sekarang?” tanya Cin Hai dengan girang, tetapi ketiga tosu itu menggeleng-geleng kepala menyatakan bahwa mereka pun tidak tahu.

Kemudian, karena agaknya mereka ini tidak suka membicarakan tentang orang tua itu, Cin Hai pun tidak mau bertanya lebih jauh.

“Dan sekarang, kalau kau tidak bisa menjadi murid kami, cobalah kau ajukan sebuah permintaan, akan kami penuhi. Kau boleh ajukan semacam permintaan kepada seorang diantara kami hingga jumlahnya tiga macam permintaan, ini adalah untuk pembalas jasamu yang telah menolong kami.”

“Tetapi teecu tidak minta dibalas, Sam-wi, ujar-ujar yang mengatakan bahwa pertolongan yang dilakukan sambil mengharapkan balasan bukanlah pertolongan namanya, tetapi ialah utang-piutang! Dan teecu tidak suka menjadi tukang kredit!”

Kembali Giok Im Cu kagum dan pada dugaannya tentu anak ini memang telah paham akan ilmu batin, padahal sebenarnya Cin Hai hanyalah banyak menghafal belaka dan ia selalu menggunakan ujar-ujar hafalannya itu untuk diucapkan pada saat yang tepat dengan maksud dipakai sebagai pembela diri!

“Biarpun kau tidak merasa menghutangkan kepada kami bertiga, namun kami akan selalu merasa mempunyai utang jika kau belum minta apa-apa dari kami,” jawab Giok Yang Cu.

Karena didesak-desak akhirnya Cin Hai mengajukan ketiga permintaan.
“Pertama,” katanya, “teecu sudah lapar sekali dan belum makan sejak sore kemarin!”

Ketiga tosu tertawa bergelak, lalu Giok Yang Cu lari ke belakang kuil untuk mengambil kue kering dan sepotong daging yang telah digarami. Tanpa seji (sungkan) lagi Cin Hai lalu menyikat makanan itu dan karena lupa bahwa ia tidak berpakaian ia menggunakan lengan tangan menyapu-nyapu mulutnya yang berminyak setelah makanan itu habis. Perutnya sudah kenyang dan perasaannya enak.

“Permintaan teecu yang ke dua ialah minta diberi seperangkat pakaian karena teecu semenjak malam kemarin bertelanjang bulat dan merasa dingin sekali.”

Sekali lagi ketiga orang tosu itu saling pandang dan sinar mata mereka berubah ragu-ragu karena ternyata anak ini mengajukan permintaan remeh dan menyia-nyiakan ketika ada kesempatan bagus. Benar-benar tolol dan bodoh anak ini, pikir mereka. Mengapa tidak minta harta atau senjata pusaka atau ilmu kesaktian?

Tetapi karena permintaan Cin Hai yang ke dua sudah diucapkan, terpaksa mereka mencarikan pakaian. Kini giliran Giok Keng Cu yang mencarikannya. Ketiga tosu itu tak pernah membekal pakaian, maka Giok Keng Cu lalu pergi mencari. Tak lama kemudian ia kembali dan membawa seperangkat pakaian warna putih.






Ketika dengan girang Cin Hai mengenakan pakaian itu, ternyata baik celana maupun jubahnya terlalu besar! Karena pakaian itu adalah pakaian pendeta hwesio yang besar sekali hingga tubuh Cin Hai yang kecil itu lenyap di dalam lubang-lubang pakaian yang longgar dan besar itu.

Sambil tertawa-tawa ketiga tosu itu lalu membantunya dan mengikat yang terlalu longgar. Akhirnya pakaian itu dapat juga dipakai, walaupun potongannya sangat kebesaran dan lengan bajunya melompong terbuka hingga terpaksa dibelit-belitkan pada lengannya!

Betapapun juga Cin Hai merasa senang sekali dengan pakaian itu. Ia sama sekali tidak tahu bahwa Giok Keng Cu mendapatkan pakaian itu dengan jalan mencuri dari sebuah kelenteng yang berdekatan karena hendak membeli, beli dimana?

Setelah merasa tubuhnya hangat perutnya kenyang hingga matanya menjadi mengantuk sekali, akhirnya Cin Hai mengemukakan permintaannya ke tiga,

“Permintaan teecu yang ketiga, jika Sam-wi Totiang tidak keberatan teecu mohon diperbolehkan ikut dan belajar silat dari Sam-wi!”

Sekali ini ketiga tosu itu tertawa girang dan mereka merasa puas karena ternyata akhirnya bahwa anak ini bukannya gendeng dan tolol.

“KALAU begitu, sekarang juga kau lekas berlutut mengangkat guru kepada kami!” kata Giok Keng Cu.

Tetapi ketiga orang tua itu kaget karena Cin Hai menggeleng-geleng kepala. Kemudian anak itu berlutut tetapi tidak menyebut suhu, bahkan berkata,

“Sam-wi Totiang, tadi sudah teecu katakan bahwa teecu tak dapat mengangkat lain guru. Teecu hanya ingin ikut dan belajar silat, tetapi tidak ingin mengangkat guru!”

“He?? Mana bisa? Ini tak mungkin!” kata Giok Yang Cu.

Cin Hai mengangkat muka memandang,
“Bukankah tadi teecu sudah mengatakan bahwa teecu tidak ingin minta balasan dan tidak ingin apa-apa? Mengapa Sam-wi Totiang mendesak? Sekarang permintaan teecu yang ke tiga ternyata tidak dapat dikabulkan, padahal tak berapa berat! Totiang, pernahkah mendengar ujar-ujar yang berkata bahwa satu kali orang gagah mengeluarkan kata-kata, seribu ekor kuda pun takkan mampu mengejar, iya? Bukankah ujar-ujar ini berarti bahwa satu kali seorang budiman berludah, takkan ia jilat kembali?”

“Ha-ha-ha! Anak baik, anak baik! Kau telah menjatuhkan ji-sute! Biarlah kami mengaku kalah. Semenjak sekarang, kau boleh ikut kami ke gua kami dan belajar silat sampai kau menjadi bosan dan melepaskan diri sendiri!”

Tapi pada saat itu Cin Hai sudah tak kuat menahan kantuknya lagi. Semalam suntuk ia tidak tidur dan berlari-larian hingga ia sangat lelah dan mengantuk. Kini menghadapi tiga tosu yang mengajak ia berbantahan saja itu, membuat ia makin lelah dan makin mengantuk.

Setelah mendengar betapa permintaannya yang ke tiga lulus juga, ia menjadi begitu girang dan lega hingga tiba-tiba saja kedua matanya dimeramkan dan tak dapat dibuka lagi karena ia telah pulas sambil duduk!

“Kasihan, anak yang baik!” kata Giok Im Cu, “Ji-sute, kau pondonglah dia dan mari kita berangkat.”

Sambil mengomel,
“Anak yang tolol!”

Giok Yang Cu yang tinggi besar segera memondong tubuh Cin Hai yang telah mendengkur itu, kemudian ketiga tosu itu lalu meninggalkan tempat itu dengan menggunakan Ilmu Lari Hui-heng-sut mereka. Karena tingginya kepandaian mereka, maka sepasang kaki mereka seakan-akan tidak menginjak tanah dan mereka seperti orang melayang terbang saja.

Karena tidur nyenyak dalam pondongan Giok Yang Cu yang tinggi besar dan kuat, Cin Hai tidak tahu bahwa ia telah dibawa lari puluhan li jauhnya. Ketika ia sadar dan membuka matanya, ia merasa kepalanya yang gundul dingin sekali dan karena kepalanya berada di dekat dada dan perut Giok Yang Cu yang gemuk berdaging dan hangat, tanpa disengaja ia lalu menyusupkan kepalanya ke dalam jubah orang! Tetapi tiba-tiba ia merasa betapa dirinya tidak dibawa lari lagi. Cepat ia mengeluarkan kepalanya yang gundul dari balik jubah pendeta itu dan memandang keluar.

Ternyata mereka telah tiba di sebuah padang rumput di lereng gunung yang tinggi. Tak heran bahwa hawa demikian dinginnya. Tetapi yang membuat Cin Hai merasa heran ialah ketiga tosu itu berdiri diam dan memandang ke satu tempat dengan muka tegang. Ia pun lalu menengok dan tampak olehnya dua orang sedang bertempur seru!

Karena kesukaannya melihat orang bersilat dan berkelahi, segera Cin Hai melorot turun dari pondongan Giok Yang Cu dan hendak menonton lebih dekat, tetapi tiba-tiba tangan Giok Im Cu memegang pundaknya.

“Jangan mendekat!”

Tosu tinggi kurus itu berbisik dengan suara menyatakan bahwa larangannya itu sungguh-sungguh.

Cin Hai merasa heran akan tetapi ia tidak berani banyak ribut melihat sikap ketiga tosu demikian tegang, maka ia lalu duduk di atas rumput dan menonton orang yang sedang bertempur.

Ternyata yang bertempur adalah seorang wanita dengan seorang laki-laki. Yang wanita berbaju hijau bercelana putih, mukanya cantik tapi kelihatan galak dan kejam sedangkan rambutnya yang hitam bagus itu beriap-riapan ke belakang memenuhi punggungnya. Usianya paling banyak tiga puluh tahun tetapi karena ia memang cantik, orang yang baru melihat pertama kali dan tidak mengetahui keadaannya pasti mengira dia seorang dara berusia belasan tahun.

Ilmu silatnya hebat sekali karena gerakan-gerakannya cepat dan lincah bagaikan seekor burung kepinis. Laki-laki yang menjadi lawannya juga aneh, karena pakaiannya seperti seorang siucai (pelajar sastra) dan mukanya cakap. Usianya paling banyak dua puluh lima tahun dari mukanya putih agak kepucat-pucatan.

Kedua orang itu bersilat dengan tangan kosong, tetapi agaknya tidak kurang hebat daripada kalau orang bertempur bersenjata tajam. Buktinya serangan-serangan mereka hebat sekali dan setiap pukulan atau tendangan selalu merupakan serangan maut yang berbahaya sekali.

Kepandaian mereka berimbang dan tiba-tiba laki-laki itu berseru keras dan kedua kakinya lalu bergerak seperti kitiran angin! Kedua kakinya itu mengirim serangan berupa tendangan bertubi-tubi dan tiada hentinya karena kaki kiri kanan bergantian bergerak menendang saling susul sehingga agaknya sukar sekali untuk dihindarkan atau ditangkis!

“Celaka, Totiang! Kouwnio (Nona) itu tentu kena tendang!” dengan gembira tetapi cemas Cin Hai berkata sambil memegang tangan Giok Im Cu, “Mengapa tidak kau tolong dia?”

Tetapi Giok Im Cu menekan tangannya dan menjawab perlahan,
“Sst! Jangan berisik, kau lihat saja!”

Memang tadinya wanita baju hijau itu tampak terdesak hebat dan agaknya ia tentu akan tertendang roboh. Tetapi tiba-tiba ia tertawa, suara tawanya nyaring dan merdu, bernada menyeramkan karena setengah merupakan jerit tangis mengharukan.

“Hi-hi! Kang Ek Sian! Akhirnya kau tidak tahan juga dan terpaksa mengeluarkan tendanganmu yang terkenal lihai! Inikah ilmu Tendangan Chit-seng-twie (Ilmu Tendangan Tujuh Bintang) yang kau sohorkan itu? Hi-hi, orang she Kang, keluarkanlah yang lain lagi, yang lebih lihai!”

Sambil menyindir-nyindir, wanita itu meloncat tinggi dan berkelit ke sana ke mari dengan gerakan yang aneh karena bagaikan sedang menari-nari, tetapi tiap gerakannya selalu berkelit atau menghindari serangan kedua kaki lawan!

Tiba-tiba wanita itu balas menyerang. Gerakannya masih seperti menari-nari, tetapi kalau tadi kedua lengannya bergerak-gerak ke atas dengan gaya yang lemas sekali sambil mengelit serangan lawan, kini dia menggerakkan kedua tangannya ke depan dan belakang, jari-jari tangannya masih bergerak lemah gemulai, tetapi sebenarnya ini merupakan serangan yang sangat lihai karena ujung sepuluh jarinya dapat digerakkan untuk menotok jalan darah lawan. Akhirnya laki-laki yang dipanggil Kang Ek Sian itu tak tahan menghadapi lawannya dan main mundur saja.

“Pengecut, rebahlah kau!”

Tiba-tiba wanita itu berseru dan benar saja, pundak Kang Ek Sian kena tertepuk oleh tangan wanita itu yang biarpun kelihatannya dilakukan perlahan sekali, namun cukup membuat laki-laki itu roboh!

Wanita yang rambutnya riap-riapan itu lalu menggeleng-gelengkan kepala sambil tertawa ha-ha-hi-hi, mukanya tampak manis tetapi suara ketawanya menyeramkan perasaan. Tiba-tiba perempuan aneh itu menengok dan memandang ketiga tosu yang masih berdiri tak bergerak. Ia memandang dengan matanya yang bening dan bersinar tajam, lalu mengembangkan hidung dan mengedikkan kepalanya.






Tidak ada komentar :