*

*

Ads

Selasa, 14 Mei 2019

Pendekar Bodoh Jilid 072

Setelah mereka berlari selama dua hari, akhirnya mereka melihat sebuah dusun kecil dan mereka menjadi girang ketika melihat beberapa buah perahu diikat di pinggir sungai. Segera Cin Hai mencari pemilik perahu untuk disewa atau dibelinya. Dua orang menghampiri mereka dan bertanya,

“Jiwi membutuhkan perahu?”

“Betul,” kata Cin Hai dengan girang. “Kami berdua hendak menyewa atau membeli sebuah perahu.”

“Membeli?” kedua orang itu saling pandang “Ah, Kongcu. Di sini tidak ada yang mau menjual perahunya. Pernah kau mendengar ada orang menjual isterinya?”

“Apa katamu?”

Cin Hai bertanya heran, dan tak senang, oleh karena menyangka bahwa nelayan itu hendak mempermainkannya.

“Kongcu hendak membeli perahu, sedangkan sebuah perahu adalah sama dengan seorang isteri bagi seorang nelayan. Siapakah yang mau menjual perahu atau isterinya? Tidak, Kongcu, kalau kalian berdua hendak menyewa, boleh kalian pakai perahuku ini. Biarpun kecil, tetapi kuat dan laju!”

Cin Hai tersenyum geli.
“Boleh, aku hendak menyewa perahumu ini.”

“Jiwi hendak ke manakah?” tanya nelayan yang seorang lagi.

Ang i Niocu tidak senang melihat ada orang lain ikut bicara, bahkan bertanya tentang maksud kepergian mereka.

“Apa perlunya kau ikut campur dan bertanya ke mana kami hendak pergi?” tanyanya tak senang.

Orang itu berkata sambil mengangkat dadanya,
“Aku berhak penuh untuk ikut campur, oleh karena perahu ini adalah milik kami berdua!”

Cin Hai tertawa.
“Aha, kalau begitu isterimu ini mempunyai dua orang suami?”

Kedua orang nelayan itu tertawa.
“Kongcu, kami adalah orang-orang miskin, dan dua orang memiliki sebuah perahu saja.”

“Kami berdua hendak menuju ke laut dan hendak mencari sebuah pulau.”

Kedua orang itu nampak terkejut sekali.
“Apa? Hendak mencari pulau? Apakah Pulau Emas?”

Cin Hai dan Ang I Niocu tercengang, akan tetapi mereka memang hendak menyelidiki pulau yang belum pernah mereka ketahui ini sedangkan Bu Pun Su juga tidak memberi penjelasan, maka Cin Hai lalu tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Ya, kami mencari Pulau Emas!”

Tiba-tiba seorang di antara kedua nelayan itu menjadi pucat dan berkata kepada kawannya,

“Twako, marilah kita pergi dan jangan melayani mereka ini. Agaknya mereka ini pun sudah kegilaan emas dan mungkin akan timbul malapetaka lagi apabila kita membawa mereka seperti hal kita tempo hari itu!”

Cin Hai menjadi tertarik, dan Ang I Niocu segera membentak,
“Apakah yang terjadi? Apa ada orang lain yang juga mencari Pulau Emas itu?”

Kedua nelayan itu saling pandang dan keduanya lalu berdiri hendak meninggalkan tempat itu, sama sekali tidak berani menjawab. Ang I Niocu lalu meloncat dan sekali tangannya bergerak, maka pedang yang tajam telah dicabutnya dari pedang itu kini menempel di leher seorang nelayan,

“Kemana engkau hendak pergi? Jangan main-main, sebelum kalian menceritakan hal itu kepada kami, jangan harap akan dapat pergi dengan kepala menempel di lehermu!”






Nelayan itu menghela napas.
“Apa kataku, Twako? Benar-benar Pulau Emas itu pulau berhantu dan setan-setan saja yang berani mengunjungi pulau itu! Toanio, harap kau berlaku murah dan jangan begini galak. Kami hanya nelayan-nelayan biasa saja dan kalau Toanio menghendaki, baiklah kami tuturkan pengalaman kami. Beberapa hari yang lalu, kami kedatangan seorang asing yang sangat murah hati dan royal dengan hadiah-hadiahnya. Ia minta kami suka mendayung perahunya yang besar, oleh karena ia berkata bahwa ia tidak kenal daerah sini. Ia hendak pergi ke laut dan mencari Pulau Emas seperti kalian pula. Akan tetapi, pada suatu malam, perahu orang asing bangsa Turki ini kedatangan seorang perwira yang galak dan gagah, sedangkan perwira ini ketika datangnya saja sudah sangat aneh dan menakutkan yaitu ia mengempit tubuh seorang gadis muda yang cantik jelita!”

Berdebarlah hati Cin Hai dan Ang I Niocu. Bukankah gadis yang dimaksudkan ini Lin Lin adanya? Akan tetapi Cin Hai lalu mendesak,

“Teruskan, teruskan ceritamu!”

“Setelah perwira galak ini naik ke dalam perahu kami, maka kami berdua lalu mendapat perintah untuk mendayung perahu dan sepanjang yang kami dengar, perwira itu tadinya hendak membunuh gadis yang ditawannya, akan tetapi maksudnya dihalangi oleh orang asing itu, dan agaknya Si Perwira takut dan tunduk kepadanya. Gadis itu lalu ditahan di dalam kamar perahu dan tidak diganggu. Akan tetapi, memang setan berkeliaran di atas sungai ini! Tiba-tiba perahu yang kami dayung itu bertumbuk dengan sebuah perahu lain yang biarpun kecil, akan tetapi maju dengan kuat hingga perahu kami terhalang. Dan yang lebih hebat lagi, ketika kami menegur nelayan tua yang berada di perahu kecil itu, ia menjadi marah dan sekali pukulkan dayungnya yang besar, perahu yang kami dayung menjadi pecah dan bocor hingga tenggelam!”

“Nelayan Cengeng!” tak terasa lagi Cin Hai berseru.

Nelayan yang bercerita itu menjadi kaget karena menyangka bahwa dialah yang dimaki cengeng tetapi sebelum ia sempat bertanya, Cin Hai sudah mendesaknya lagi.

“Teruskanlah, teruskanlah!”

“Penumpang-penumpang kami orang Turki yang aneh dan perwira yang galak itu menjadi marah dan melompat ke darat, sedangkan gadis cantik yang ditawan itu pun tak tersangka-sangka lihai juga dan dapat melompat ke darat! Kami berdua tak dapat melompat sejauh itu maka kami lalu menceburkan diri ke dalam air dan berenang ke tepi. Ternyata di tepi itu terjadi pertempuran hebat! Orang Turki bertempur melawan nelayan tua yang memegang dayung dan yang telah memecahkan perahu kami, sedangkan Si Perwira dikeroyok oleh gadis tawanannya dan seorang pemuda tampan kawan nelayan tua itu.”

“Ma Hoa!” kata Ang I Niocu dan kembali nelayan itu memandang heran karena tidak tahu maksud Dara Baju Merah yang berseru karena amat tertarik mendengar penuturan ini.

“Dan bagaimana hasil pertempuran itu?”

Cin Hai mendesak dengan tak sabar, karena ia telah merasa pasti bahwa yang mengeroyok perwira itu tentu Lin Lin dan Ma Hoa dan yang bertempur melawan orang Turki tentu Si Nelayan Cengeng.

“Kesudahannya mengerikan sekali…” nelayan yang pandai bercerita itu sengaja berhenti sebentar untuk membikin pendengar-pendengarnya makin bernafsu dan ceritanya makin menarik, “perwira yang galak dan gagah itu tewas. Kepalanya remuk dipukul oleh dayung yang dipegang gadis tawanannya, sedangkan dadanya bolong-bolong tertembus pedang Si Pemuda tampan!”

Baik Cin Hai maupun Ang I Niocu menghela napas lega.
“Mampuslah si keparat!” seru Cin Hai dengan gembira, kemudian ia menegaskan, “Bukankah perwira itu masih muda, kira-kira tiga puluh tahun, dan bibirnya tebal?”

Nelayan itu memandangnya heran,
“Betul sekali, apakah Kongcu kenal padanya?”

Akan tetapi Cin Hai tidak menjawab pertanyaan ini, hanya bertanya lagi,
“Dan bagaimana hasil pertempuran orang Turki melawan nelayan tua itu?”

“Mereka bertempur secara luar biasa sekali hingga kami berdua tidak dapat melihat siapa menang siapa kalah. Tiba-tiba mereka berhenti bertempur dan agaknya lalu mengikat persahabatan. Si Nelayan Tua itu benar-benar setan air! Ia menyelam ke dalam air dan berhasil mencari dan mengambil perahu yang telah tenggelam itu. Bukan main! Selama hidupku belum pernah aku melihat orang dapat melakukan hal semacam itu. Tentu ia iblis air sungai itu!”

“Hush! Jangan membuka mulut sembarangan saja. Sekali lagi kau memaki dia, kutampar mulutmu!” kata Cin Hai sambil mendelikkan matanya hingga nelayan itu terkejut dan takut. “Teruskan ceritamu, bagaimana selanjutnya dengan mereka itu?”

“Selanjutnya? Tidak ada apa-apa lagi. Mereka berempat setelah memperbaiki perahu lalu berangkat pergi dan kami ditinggalkan dengan perahu kecil ini dan hadiah uang!”

“Jadi perahu kecil ini adalah perahu kepunyaan nelayan tua itu?” tanya Cin Hai dengan girang. Kedua nelayan itu menjadi pucat karena mereka telah kelepasan omong.

“Kalau begitu kami hendak memakai perahu ini,” kata Ang I Niocu yang merogoh keluar dua potong uang perak dari sakunya. “Nih, kalian ambil seorang satu! Perahu ini kami ambil!”

Melihat bahwa perahu itu hanya diganti dengan dua potong uang perak, kedua nelayan itu menjadi bingung,

“Eh, Siocia, eh… Toanio, nanti dulu, perahu… perahu kami ini harganya lebih dari lima potong uang perak!”

Ang I Niocu mengangkat tangan mengancam.
“Perahu ini bukan perahu kalian! Memberi dua potong perak sudah terlalu banyak untukmu dan itu pun bukan untuk membeli perahu ini, akan tetapi sebagai upah kalian bercerita tadi!”

Cin Hai dan Ang I Niocu lalu melompat ke dalam perahu dan mendayung perahu itu ke tengah sungai. Kedua nelayan itu tidak berani berbuat sesuatu, hanya melihat perahu itu pergi makin jauh dengan hati memaki-maki kalang kabut, akan tetapi mulut tidak berani bersuara!

Dua hari kemudian ketika perahu melalui sebuah hutan, Ang I Niocu melihat pohon-pohon buah lenci di dekat pantai.

Melihat buah yang bergantungan dan sudah masak itu, timbul seleranya dan ia mengusulkan untuk berhenti dan beristirahat sebentar sambil mencari dan makan buah. Cin Hai setuju, oleh karena ia pun merasa ingin makan buah yang segar nampaknya itu.

Mereka lalu mendayung perahu ke pinggir dan menarik perahu kecil itu ke darat. Kemudian, oleh karena melihat tempat itu sunyi dan indah sekali, timbul kegembiraan mereka dan keduanya lalu melompat ke atas cabang pohon dan memilih buah sesuka hati mereka.

Akan tetapi tiba-tiba Cin Hai berseru kaget dan cepat melompat turun dan ketika Ang I Niocu memandang ke arah perahu mereka, ia pun terkejut sekali. Seorang tosu (pendeta penganut Agama Tao) sedang menarik perahu mereka ke arah air, dan agaknya ia hendak mempergunakan kesempatan itu untuk mencuri perahu mereka! Ang I Niocu menjadi marah sekali dan ia pun cepat melompat turun dari atas pohon.

Ketika Cin Hai dan Ang I Niocu berlari ke arah perahu mereka, tiba-tiba dari balik batang pohon besar melompat keluar seorang hwesio (pendeta penganut Agama Buddha) yang bertubuh pendek tapi gemuk sekali. Hwesio ini kelihatan lucu sekali, mukanya seperti muka anak kecil yang gemuk, dan jika dilihat, ia persis seperti boneka besar atau Jilaihud yang berwajah baik dan peramah. Mukanya yang bulat itu selalu tersenyum ramah, tubuhnya bagian atas yang serba bulat dan gemuk hanya menutup kedua pundak dan lengannya saja, sedangkan tubuh atas bagian depan terbuka sama sekali! Dadanya yang bergajih dan pusarnya yang besar kelihatan menambah kelucuannya.

Ia menghadang Cin Hai dan Ang I Niocu sambil tertawa dan berkata,
“Ai, ai, kalian sepasang burung dara yang bahagia! Mengapa melayang turun dari pohon dan berlari-lari. Bukankah lebih senang bermain-main di atas pohon?”

Bukan main marahnya Cin Hai mendengar ini, sedangkan Ang I Niocu dengan muka merah lalu membentak,

“Bangsat gundul kurang ajar! Tutup mulutmu dan minggirlah!”

Akan tetapi hwesio tadi memandang heran dan tertawa lagi,
“Eh, eh, mengapa marah-marah? Apakah aku mengganggu kalian?”

“Hwesio gemuk, jangan kau menghadang di depan kami!” kata Cin Hai yang lebih sabar, “Kami akan mengejar pencuri perahu itu!”

Si Hwesio tertawa terus dan berkata,
“Pencuri perahu? Kau maksudkan tosu itu? Ah, dia adalah saudaraku! Kami hanya ingin pinjam sebentar perahumu itu!”






Tidak ada komentar :