*

*

Ads

Selasa, 14 Mei 2019

Pendekar Bodoh Jilid 073

“Bagus, hwesio maling!” kata Ang I Niocu yang segera melompat maju dan mengayun kepalan tangan menghantam dada hwesio yang gemuk itu.

Akan tetapi Ang I Niocu terkejut sekali karena tidak menyangka bahwa hwesio segemuk ini dapat bergerak gesit sekali ketika ia mengelak dari pukulan Ang I Niocu.

“Waduh, ganas… ganas…!” seru hwesio gendut itu yang masih saja tertawa-tawa sungguhpun Ang I Niocu menyerang bertubi-tubi dengan pukulan cepat hingga ia harus mengelak ke sana ke mari dengan repot sekali.

Sementara itu, tosu yang hendak mencuri perahu tadi, ketika melihat betapa saudaranya diserang oleh Ang I Niocu dan terdesak sekali, segera menarik kembali perahu itu ke darat dan berlari-lari ke arah tempat pertempuran.

“Jangan kau memukul Adikku!” teriaknya dan segera menyerang Ang I Niocu.

Melihat serangan ini hebat juga datangnya, Cin Hai lalu maju menangkis dan keduanya lalu bertempur ramai! Keadaan tosu ini sama sekali berbeda dengan hwesio itu. Kalau hwesio itu gemuk dan pendek bermuka ramah dan mulutnya selalu tersenyum, adalah Si Tosu ini mukanya seperti orang mewek dan menangis, matanya yang sipit itu seakan-akan memandang dengan sedih hingga membikin sedih pula kepada orang yang melihatnya.

Ang I Niocu biarpun sedang marah, akan tetapi melihat betapa hwesio itu biarpun terdesak sekali masih saja tertawa-tawa dengan muka sama sekali tidak memperlihatkan ketakutan, menjadi tidak tega hati untuk melukainya, dan hanya mendesak dengan ilmu silat yang baru dipelajarinya dari Bu Pun Su, yaitu ilmu Silat Kong-ciak-sin-na hingga hwesio itu tak dapat membalas menyerang dan dipermainkan oleh Ang I Niocu bagaikan seekor kucing.

Ang I Niocu memang sengaja menggunakan hwesio itu sebagai ujian bagi ilmu silatnya yang baru dan ia merasa girang sekali mendapat kenyataan bahwa ilmu silat yang dipelajarinya dari Bu Pun Su ini memang betul-betul luar biasa.

Sebaliknya dengan mudah Cin Hai pun dapat mendesak Si Tosu. Kemudian, sebelah kakinya berhasil menggaet kaki tosu itu yang segera jatuh terguling-guling dan mengeluh kesakitan.

“Nah, biar kau kapok mendapat hajaran sedikit!” kata Cin Hai. “Dan agar lain kali tidak berani mencoba untuk mencuri perahu lain orang.”

Si Tosu itu dengan muka seperti orang menangis menoleh ke arah hwesio yang masih diserang kalang-kabut oleh Ang I Niocu. Ia mengeluh lagi dan berseru.

“Ceng Tek, sudahlah baik kita menyerah. Mereka ini bukan makanan kita!”

Mendengar kata-kata ini, hwesio gemuk itu lalu melompat mundur dan berkata sambil tertawa,

“Sudahlah Nona, pinceng mengaku kalah!”

Ang I Niocu menjadi geli hatinya dan ia pun tidak tega untuk menyerbu terus.
“Kalian dua orang tua ini siapakah dan mengapa hendak mencuri perahu kami?” tanyanya.

Kedua pendeta itu saling pandang dan sambil menjura, tosu itu berkata.
“Kami dua kakak beradik adalah pendeta-pendeta perantau. Adikku ini bernama Ceng Tek Hwesio dan pinto sendiri bernama Ceng To Tosu. Tadinya kami kira bahwa kalian berdua adalah sepasang orang muda yang hendak berpelesir di sini, maka kami berani mengganggu dan hendak meminjam perahu kalian. Tidak tahunya, melihat pakaian dan kepandaian Nona ini, kami tidak akan heran apabila kau mengaku wanita yang berjuluk Ang I Niocu!”

Ang I Niocu tersenyum.
“Memang dugaanmu tepat sekali, Totiang. Aku adalah Ang I Niocu dan saudaraku ini adalah Pendekar Bodoh!”

Kedua mata Ceng To Tosu yang sipit itu dipentang lebar.
“Apa? Dengan kepandaiannya seperti itu, ia masih disebut Pendekar Bodoh? Ah, kalau yang bodoh saja kepandaiannya setinggi ini, apalagi yang pintar?”

Biarpun tosu ini mengucapkan kata-kata yang mengandung kelakar, namun tetap saja mukanya mewek seperti mau menangis! Dan hwesio pendek gemuk itu tetap tersenyum dengan muka sesenang-senangnya!






Cin Hai tertarik sekali melihat dua saudara yang aneh ini, maka ia lalu bertanya.
“Harap kau dua orang suci suka berkata terus terang saja. Sebetulnya mau meminjam perahu kami hendak pergi ke manakah?”

Kini hwesio gemuk itu yang menjawab dan ucapannya penuh kejujuran.
“Kami hendak pergi ke laut dan mencari sebuah pulau.”

“Pulau Emas?” Cin Hai cepat menyambung dan kedua pendeta itu tercengang.

“Kau… sudah tahu?”

“Tentu saja! Kami hendak pergi ke sana!”

“Aha! Sungguh kebetulan sekali. Sudahkah kalian dua anak muda tahu di mana letaknya Kim-san-to (Pulau Gunung Emas)?”

Terus terang saja Cin Hai menyatakan belum tahu. Kedua pendeta itu lalu saling pandang dan akhirnya Si Tosu berkata,

“Baiklah, sekarang diatur begini saja. Perahu ini cukup lebar untuk ditumpangi empat orang. Kami berdua membonceng kalian dan sekalian menjadi penunjuk jalan. Kalian mempunyai perahu akan tetapi tidak kenal jalan, sedangkan kami berdua yang kenal jalan tidak mempunyai perahu! Bukankah kita dapat saling menolong?”

Cin Hai dan Ang I Niocu kini saling berpandangan dan akhirnya Cin Hai mengangguk dan berkata,

“Kata-katamu ini pantas juga. Biarlah kita sama-sama mencari pulau itu dan kalian berdua menjadi petunjuk jalan!”

“Akan tetapi perahu kita kecil dan hwesio gemuk ini tentu berat sekali! Asal saja kau tidak banyak bergerak hingga jangan-jangan perahu kita akan terguling dan tenggelam!” kata Ang I Niocu sambil tertawa sehingga mereka berempat sama-sama tertawa gembira.

Cin Hai dan Ang I Niocu merasa suka kepada dua orang aneh itu dan mereka dapat menduga bahwa kedua orang ini tentulah orang-orang kang-ouw yang berwatak baik.

Beberapa hari kemudian, keempat orang dalam perahu kecil itu telah sampai di samudera dan mulai dengan usaha mereka mencari Pulau Kim-san-tho. Atas petunjuk kedua pendeta itu, perahu didayung ke kiri dan melalui pantai yang curam dan batu-batu karang yang tinggi.

Ketika perahu mereka bergerak perlahan di tepi batu karang yang tinggi dan hitam, tiba-tiba dari atas menyambar turun bayangan yang cepat sekali gerakannya! Bayangan ini menyambar ke arah dada dan perut Ceng Tek Hwesio yang telanjang.

Kaget sekali empat orang di dalam perahu itu ketika melihat bahwa yang menyambar adalah seekor burung rajawali yang besar dan buas sekali! Agaknya burung ini tertarik oleh kegemukan dada dan perut Ceng Tek Hwesio yang bergajih dan montok itu, hingga ia menyambar turun hendak mencengkeram daging gemuk itu!

Ceng Tek Hwesio kaget dan hendak berkelit, akan tetapi berat badannya membuat perahu berguncang!

“Hai, jangan bergerak!”

Ang I Niocu mencegah dan gadis ini dengan cepat lalu menendang ke arah burung yang menyambar turun itu dan alangkah kagetnya ketika burung itu dengan cepat dapat mengelak tendangannya dan melayang ke atas lagi!

Cin Hai yang berdiri di kepala perahu dan memandang tajam, juga ia merasa kagum melihat ketangkasan dan kecepatan burung yang besar itu. Sedangkan hwesio pendek gemuk itu, melihat bahwa dirinya diserang oleh burung rajawali, hanya tersenyum-senyum dan tertawa ha-ha-hi-hi saja, dan biarpun hatinya berdebar ngeri, akan tetapi mukanya tetap tersenyum.

Sebaliknya, muka Ceng To Tosu makin nampak sedih dan mewek bagaikan benar-benar hendak menangis tersedu-sedu oleh karena ia merasa kuatir dan juga marah kepada burung pemakan manusia itu.

Kini burung rajawali menyambar turun dari atas dengan cepatnya. Ang I Niocu yang merasa mendongkol melihat tendangannya tadi dapat dikelit oleh burung besar itu, berkata kepada kawan-kawannya,

“Jangan bergerak dan biarkan aku bikin mampus burung celaka itu!”

Ketika burung itu mengulur cakarnya dan kembali hendak menyerang hwesio gendut itu, Ang I Niocu cepat menghantam dengan tangan kanannya sekerasnya! Kembali ia tertegun oleh karena burung itu dapat miringkan tubuh dan mengibas dengan sayapnya seakan-akan menangkis pukulan Ang I Niocu!

Akan tetapi pukulan itu bukanlah pukulan biasa dan dilakukan dengan tenaga lweekang hingga biarpun burung itu menangkis dengan sayap, namun tubuh burung itu terlempar jauh dan oleh karena sakitnya, tiba-tiba sambil memekik keras burung yang terlempar ke atas itu mengeluarkan kotoran yang jatuh menimpa berhamburan ke arah perahu bagaikan hujan.

Kebetulan sekali kotoran itu jatuh tepat ke arah Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hosiang hingga muka dan baju kedua pendeta itu menjadi kotor kena kotoran burung itu.

Ang I Niocu makin gemas dan marah karena burung itu agaknya tidak terluka dan hanya terpental dan kaget saja. Juga burung itu kini terbang berputaran di atas perahu sambil mengeluarkan suara nyaring. Ang I Niocu mencabut keluar pedangnya dan dengan muka merah karena gemas ia berkata,

“Burung keparat, turunlah kalau kau berani!”

Seakan-akan mengerti dan dapat mendengar tantangan gadis itu, burung rajawali yang berbulu kuning emas dan berparuh merah itu memekik panjang dan kembali menyerang turun dan kini bukan menyerang kepada hwesio gendut, akan tetapi langsung menyerang Ang I Niocu, oleh karena agaknya ia marah sekali kepada Dara Baju Merah yang telah dua kali menyerangnya itu.

Burung ini adalah semacam Kim-tiauw atau Rajawali Emas yang jarang terdapat dan yang disebut raja segala burung. Ketika ia menyerang Ang I Niocu, gerak tubuhnya cepat dan tak terduga oleh karena ia bukan menyerang langsung dari atas, akan tetapi turun sambil bergerak-gerak ke kanan kiri dengan cepatnya.

Ang I Niocu bukanlah sembarangan gadis yang takut akan segala macam burung. Dengan seruan keras, sebelum burung itu menyambar, Ang I Niocu sudah mendahului melompat ke atas sambil menyambar dengan pedangnya.

Burung Kim-tiauw itu kembali secara aneh dapat mengelak dan mumbul lagi ke atas, kemudian berkali-kali ia menyerang turun. Terjadilah pertempuran yang hebat dan indah dipandang antara Ang I Niocu di atas perahu dan burung rajawali yang menyambar-nyambar dari atas.

Beberapa kali pedang Ang I Niocu yang hampir dapat memenggal leher burung itu, tiba-tiba dapat disampok dengan sayap atau cakar dengan kuku burung itu, hingga Ang I Niocu menjadi makin marah dan penasaran saja. Biarpun Ang I Niocu belum berhasil membunuh Kim-tiauw, akan tetapi banyak bulu burung itu telah rontok ketika sayapnya menyampok pedang, sedangkan burung itu sama sekali tidak mendapat kesempatan menyerang gadis perkasa itu.

Sebenarnya kalau ia berada di atas tanah keras, tentu Ang I Niocu sudah berhasil membunuh Kim-tiauw itu, akan tetapi ia berada di atas perahu yang bergerak-gerak hingga membuat gerakannya tidak leluasa sekali.

Setelah berkali-kali gagal serangannya, bahkan hampir saja pedang tajam menembus dadanya dan memenggal leher, akhirnya Kim-tiauw itu agaknya mengakui kelihaian Ang I Niocu dan sambil mengibaskan sayapnya yang lebar dan kuat dan mengeluarkan bunyi seperti orang mengeluh panjang, ia lalu terbang pergi dengar cepat sekali hingga sebentar saja tubuhnya hanya merupakan titik kuning emas di langit biru.

Ang I Niocu menyimpan kembali pedangnya dan duduk dengan muka merengut, hatinya tidak puas sekali karena kegagalannya membunuh burung besar itu, akan tetapi Ceng To Tosu lalu berkata sambil menghela napas panjang,

“Baiknya kau tidak membunuhnya Lihiap.”

“Eh, mengapa, kau berkata baik sedangkan hatiku kecewa sekali karena tidak berhasil membunuhnya?” kata Ang I Niocu sambil memandang heran.

“Burung itu adalah burung Kim-sin-tiauw atau Rajawali Sakti Berbulu Emas, dan burung itu di daerah ini terkenal burung pembawa rezeki dan kebahagiaan. Kita telah bertemu dengan dia dan memusuhi kita, hal ini tidak baik sekali, apalagi kalau kau tadi sampai salah tangan dan membunuhnya!”

Diam-diam Cin Hai terkejut sekali mendengar ini, akan tetapi Ang I Niocu berkata,
“Burung jahat itu mana bisa membawa kebahagiaan?”

Biarpun Cin Hai tidak setuju mendengar ucapan gadis ini akan tetapi oleh karena ia telah maklum bahwa gadis ini tidak takut apa pun juga, ia diam saja dan tidak menyatakan kekuatirannya, hanya berkata memuji,

“Kim-sin-tiauw itu lihai sekali dan gerakannya tangkas dan cepat.”

“Kalau di darat ada harimau menjadi raja dan di laut ada naga, maka di udara Kim-sin-tiauw boleh dibilang menjadi raja udara!” kata Ceng Tek Hwesio yang masih tersenyum-senyum seakan-akan kejadian tadi adalah hal yang menyenangkan hatinya!

“Dan raja udara itu hampir saja berpesta pora menikmati kelezatan dagingmu yang gemuk!” kata Cin Hai dan semua orang tertawa geli, kecuali Ceng To Tosu yang agaknya selama hidup tak pernah tertawa, dan ia hanya mengutarakan kegelian hatinya dengan mewek makin menyedihkan!

**** 073 ****





Tidak ada komentar :