*

*

Ads

Minggu, 19 Mei 2019

Pendekar Bodoh Jilid 085

Berkat kecerdikannya dan kepandaian supeknya yang gagu, Hai Kong Hosiang berhasil melarikan diri dari Pulau Kim-san-to dan karenanya ia terhindar dari bahaya maut. Ketika perahunya mendarat, ia pun dapat melihat pertempuran yang terjadi antara Nelayan Cengeng yang dibantu Biauw Suthai dan Toanio melawan Hek Pek Mo-ko, akan tetapi oleh karena melihat bahwa yang bertanding itu adalah tokoh-tokoh ternama yang berkepandaian tinggi sekali terutama Hek Pek Mo-ko yang telah ia ketahui memiliki ilmu kepandaian luar biasa, Hai Kong Hosiang lalu mengajak supeknya yang gagu untuk terus berlari dan jangan mencampuri urusan mereka.

Hatinya merasa mendongkol dan marah sekali oleh karena kembali ia telah mengalami kesialan. Pertama, ia telah kena dibujuk oleh Pangeran Vayami, kedua ia telah bertemu dengan Balutin dan bertempur tanpa bisa merobohkan pendeta asing itu, dan ketiganya ia hampir saja mendapat celaka besar di pulau yang terbakar dan meledak.

Di sepanjang jalan Hai Kong Hosiang menyumpah-nyumpah Cin Hai. Ia merasa menyesal sekali mengapa dulu ketika Cin Hai terjatuh ke dalam tangan Pangeran Vayami, ia tidak lekas-lekas membunuh anak muda itu.

Sekarang, anak muda itu tentu masih hidup dan selanjutnya akan merupakan halangan besar baginya oleh karena bahwa Cin Hai bersama beberapa orang kawannya tentu takkan tinggal diam saja dan akan mengejar-ngejarnya untuk membalas dendam atas kematian keluarga Kwee! Sedangkan kepandaiannya sendiri yang tadinya dibangga-banggakan itu baru menghadapi Balutin saja belum mampu mengalahkannya!

Maka lalu mengajak supeknya, yakni Kiam Ki Sianjin yang sudah pikun dan gagu untuk bersembunyi di atas sebuah gunung yang sunyi, lalu ia mengerahkan seluruh perhatiannya untuk memperdalam ilmu silatnya di bawah pimpinan Kim Ki Sianjin yang lihai!

Dengan bujukan-bujukan dan pujian-pujian, ia berhasil mengeduk semua ilmu yang dimiliki Kim Ki Sianjin yang lihai, sehingga kepandaian Hai Kong Hosiang sudah meningkat tinggi sekali, bahkan ia dengan giatnya meyakinkan ilmu lweekang yang berdasarkan ilmu yoga dari barat. Lweekang ini melatihnya secara terbalik, yaitu mengatur pernapasan dan pergerakan tenaga dalam secara jungkir balik, kepala di bawah dan kedua kaki di atas.

Berkat latihan ini, maka Hai Kong Hosiang memiliki ilmu silat yang diajarkan oleh supeknya, yakni Ilmu Silat Kalajengking yang amat lihai. Ilmu silat ini bukan digerakkan dengan tubuh dalam keadaah biasa, akan tetapi dalam keadaan kaki di atas dan kepala di bawah!

Dengan kepala di atas tanah, kedua kaki Hai Kong Hosiang dapat bergerak secara lihai sekali, mengirim serangan-serangan maut yang tak terduga datangnya dan oleh karena tenaga kaki memang lebih besar daripada tenaga tangan, maka kedua kaki yang menendang-nendang dan menyerang hebat itu sukar ditahan oleh lawan.

Ini masih belum hebat, akan tetapi kedua tangannya pun tidak tinggal diam dan melancarkan serangan-serangan dari bawah dengan secara tiba-tiba dan sukar dilawan. Kalau lawan sampai kena terpegang kakinya oleh tangan Hai Kong Hosiang yang berada di bawah, maka celakalah dia!

Ilmu kepandaian Kiam Ki Sianjin lebih tinggi tingkatnya daripada kepandaian Hek Pek Mo-ko, sedangkan dalam usia yang sangat tua saja ia sudah amat lihai, maka kini setelah Hai Kong Hosiang dapat mewarisi seluruh kepandaiannya dapat dibayangkan betapa hebatnya kelihaian Hai Kong Hosiang yang masih kuat dan bertenaga besar itu!

Selain Ilmu Silat Kalajengking yang lihai ini, juga Hai Kong Hosiang mempelajari Ilmu Kebal Kim-ciong-ko yang membuat kulit dan dagingnya dapat menahan serangan senjata tajam. Kim-ciong-ko yang bisa dipelajari oleh Hai Kong Hosiang ini bukanlah Kim-ciong-ko yang biasa dipelajari dalam dunia persilatan, oleh karena didasarkan khikang yang dilatih secara jungkir balik hingga ia bisa menyalurkan tenaga dalamnya disertai hawa dalam badan yang membuat kulitnya dapat melembung dan mengempis seperti karet dan jangankan pedang biasa, bahkan pedang pusaka yang tajam pun apabila digunakan oleh orang yang memiliki tenaga biasa takkan dapat melukainya!

Setelah merasa bahwa kepandaiannya telah sempurna betul, Hai Kong Hosiang turun dari gunung dan bersama supeknya lalu pergi ke kota raja. Di situ ia mendengar tentang terbunuhnya Boan Sip. Maka kebencian dan kemarahannya terhadap Cin Hai dan kawan-kawannya makin meluap dan bersumpah hendak membunuh mereka ini semua!

Nama-nama Cin Hai, Kwee An, Lin Lin, Nelayan Cengeng, Ma Hoa, Biauw Suthai, dan Pek I Toanio termasuk dalam daftarnya dan ia hendak mencari orang-orang ini untuk dibinasakan! Tentu nama Bu Pun Su juga tak pernah terlupa olehnya walaupun ia masih merasa jerih dan ragu-ragu apakah ia akan dapat menghadapi kakek jembel yang amat kosen itu!

Pada suatu hari, Hai Kong Hosiang dalam perantauannya tiba di sebuah dusun kecil dan oleh karena di dusun itu tidak ada penginapan, ia lalu memilih sebuah rumah yang terdekat dan masuk saja tanpa permisi kepada tuan rumah.






Seorang petani tua yang mendiami rumah itu menjadi marah sekali melihat seorang gundul memasuki rumahnya begitu saja, maka ia lalu membentak,

“Eh, eh, hwesio dari manakah dan perlu apa memasuki rumahku tanpa permisi.”

Hai Kong Hosiang memandang kepada petani tua itu dengan mendelik dan sekali ia mengulurkan tangan, pundak petani itu telah kena ia pegang dan ia lalu melemparkan tuan rumah itu keluar jendela.

Tubuh petani itu jatuh berdebuk di luar rumah dan bergulingan beberapa kali. Untung sekali Hai Kong Hosiang tidak berniat membunuhnya dan ia terbanting di atas rumput tebal, kalau tidak tentu ia akan tewas seketika itu juga.

Petani ini menjadi marah sekali dan ia lalu memaki-maki sambil berlari ke dalam kampung memberitahukan kepada semua tetangga. Beberapa orang laki-laki yang mendengar kekurangajaran ini, segera membawa senjata hendak mengusir Hai Kong Hosiang, akan tetapi baru saja mereka tiba di muka rumah kecil itu, Hai Kong Hosiang telah melompat keluar dengan bertolak pinggang.

“Kalian ini orang-orang dusun mau apakah?” tanyanya dengan muka bengis.

“Hwesio kurang ajar! Mengapa kau merampas rumah orang begitu saja?”

“Siapa merampas rumah? Aku hendak meminjamnya sebentar untuk beristirahat. Kalian ini orang-orang kampung sungguh tidak tahu aturan. Sepatutnya kalian segera menghidangkan makanan dan minuman untukku sebagaimana layaknya tuan rumah menghormati tamunya.”

“Mana ada aturan macam itu?” berkata seorang petani lain yang menjadi marah melihat sikap dan mendengar perkataan yang keterlaluan ini. “Kau bukanlah seorang tamu, akan tetapi kau masuk rumah orang seperti perampok, bahkan telah berani melempar tuan rumah yang mempunyai rumah ini.”

“Sudahlah jangan banyak cakap. Kalian mau memberi hidangan cepat keluarkan dan jangan banyak mengobrol karena aku menjadi tidak sabar lagi.”

“Hweso jahat!” teriak orang-orang kampung itu lalu menyerbu hendak memukul dan mengusir Hai Kong Hosiang.

Akan tetapi, orang-orang kampung yang lemah dan yang hanya mengandalkan tenaga kasar ini mana dapat menghadapi seorang kosen seperti Hai Kong Hosiang yang memiliki kepandaian tinggi.

Ketika berbagai senjata menyambar ke arah tubuhnya, Hai Kong Hosiang lalu menggunakan lengan kirinya untuk menangkis senjata-senjata itu, sedangkan tangan kanannya tetap bertolak pinggang. Semua petani berteriak kesakitan ketika senjata-senjata mereka beradu dengan lengan tangan Hai Kong Hosiang, karena senjata-senjata itu terpental dan terlepas dari pegangan, sedangkan telapak tangan mereka menjadi perih dan sakit.

Beberapa orang yang berhati tabah masih merasa penasaran dan maju memukul, akan tetapi ketika kepalan tangan mereka mengenai dada Hai Kong Hosiang yang bidang, mereka kembali menjerit-jerit kesakitan dan tangan mereka menjadi bengkak-bengkak.

“Ha-ha-ha! Cacing tanah busuk! Hayo kalian lekas ambil pergi semua makanan yang enak untukku kalau tidak, semua orang kampung ini akan kubikin mampus semua!”

Sambil berkata demikian, Hai Kong Hosiang bergerak cepat dan melempar-lemparkan orang-orang yang terdekat dengannya bagaikan orang melempar-lemparkan rumput kering saja.

Orang-orang kampung berteriak-teriak kesakitan. Mereka merasa terkejut sekali dan juga takut menghadapi hwesio yang jahat seperti setan dan yang memiliki ilmu kepandaian mujijat yang belum pernah mereka saksikan selama hidupnya. Maka sambil berteriak-teriak mereka lalu melarikan diri dan sekali lagi Hai Kong Hosiang membentak,

“Tidak lekas kau sediakan makanan enak dan arak yang baik? Atau kalian menunggu sampai aku membikin dusun ini hancur lebur?”

Takutlah orang-orang kampung itu mendengar ancaman ini oleh karena mereka percaya bahwa hwesio jahat ini pasti sanggup membuktikan ancamannya itu. Maka mereka lalu cepat mengeluarkan semua hidangan yang ada pada mereka dan menyuguhkan kepada Hai Kong Hosiang.

Akan tetapi, demi melihat suguhan-suguhan yang terdiri dari sayuran-sayuran dan hanya sedikit terdapat daging, Hai Kong Hosiang menjadi marah dan sekali ia menggerakkan kakinya, semua hidangan melayang dan hancur berantakan di atas tanah. Orang-orang kampung mundur ketakutan dan hwesio jahat itu lalu membentak,

“Bawa ke sini seekor babi. Hayo cepat!”

“Kami…kami orang sedusun tidak mempunyai babi seekor pun,” jawab seorang petani mewakili kawan-kawannya.

“Tidak ada babi? Awas, jangan kau membohong! Kalau kau membohong, kau sendirilah yang kujadikan babi dan kupanggang tubuhmu!”

“Benar-benar kami tidak mempunyai babi, Losuhu,” kata seorang petani lain.

Hai Kong Hosiang baru mau percayai keterangan mereka.
“Kalau begitu, bawa seekor kerbau ke sini!”

Orang-orang kampung itu menjadi pucat.
“Kami hanya mempunyai beberapa ekor kerbau yang kami pekerjakan sebagai penggarap sawah ladang. Kalau Losuhu mengambilnya, bagaimana nasib kami?”

“Tutup mulut dan lekas bawa seekor kerbau yang paling gemuk! Awas, aku sudah lapar sekali dan kalau aku habis sabar, mungkin kau yang akan kumakan!”

Tentu saja semua orang terkejut dan ngeri mendengar ancaman ini dan mereka terpaksa lalu menuntun kerbau tergemuk di kampung itu ke hadapan Hai Kong Hosiang. Hwesio itu memandang tubuh kerbau yang gemuk ini dan mulutnya tersenyum lebar.

“Nah, ini pun boleh!”

Secepat kilat ia merampas sebatang golok dari tangan seorang petani dan sekali saja tangannya bergerak, leher kerbau itu telah putus. Darah menyembur-nyembur keluar dari dalam perut binatang itu melalui lehernya yang berlubang dan kedua mata binatang itu masih terbuka lebar. Keempat kakinya berkelojotan lalu terdiam.

Terdengar pekik seorang kanak-kanak dan tiba-tiba dari rombongan para petani yang memandang penyembelihan kerbau secara istimewa ini dengan wajah pucat dan mata terbelalak, keluar berlari seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun lebih. Anak ini segera menubruk tubuh kerbau yang telah mati itu sambil menangis keras,

“He, siapakah anjing kecil ini?” tanya Hai Kong Hosiang kepada seorang wanita yang menarik-narik anak itu sambil mengeluarkan kata-kata hiburan.

“Dia… dia ini adalah anakku dan kerbau itu adalah kerbau kesayangannya. Semenjak kecil ia bersama-sama kerbau ini, maka ia menjadi sayang sekali. Maafkan dia Losuhu, karena dia tidak tega melihat kawan bermainnya itu terbunuh.”

“Ha-ha-ha! Anak goblok! Anak bodoh! Dia belum tahu bagaimana rasanya daging sahabatnya itu. Kalau sudah tahu, ha-ha-ha! Tentu ia akan senang melihat sahabatnya disembelih! Hayo anak kau ikut aku pesta dan menikmati daging sahabatmu ini!”

Sambil berkata demikian, Hai Kong Hosiang memegang tangan anak itu dan menariknya ke dalam rumah. Ketika ibunya hendak mengejar, Hai Kong Hosiang membentak,

“Aku hendak mengajak anakmu makan besar, apa salahnya! Kalau kau mengganggu, aku akan bunuh kamu berdua!”

Terpaksa ibu ini melangkah mundur dengan muka pucat, kemudian ia menjatuhkan diri di atas tanah sambil menangis. Seorang tetangganya lalu menariknya pergi dari situ oleh karena kuatir kalau hwesio jahat itu akan marah dan benar-benar melakukan pembunuhan.






Tidak ada komentar :