*

*

Ads

Senin, 20 Mei 2019

Pendekar Bodoh Jilid 086

“Hayo lekas masak daging ini!”

Hai Kong Hosiang memerintah sambil minum arak yang disuguhkan di atas meja dalam rumah itu. Anak yang tadi ditariknya kini didudukkan di depannya dan sambil memandang anak itu, Hai Kong Hosiang tiada hentinya minum arak sambil tertawa-tawa. Anak itu duduk dengan muka pucat dan tubuh menggigil, tetapi ia tidak berani berteriak!

Setelah masakan daging kerbau matang dan disuguhkan di atas meja depan Hai Kong Hosiang dan anak itu, Hai Kong Hosiang lalu mulai makan dengan enaknya.

“Hayo kau makan daging kawanmu ini. Enak dan lezat sekali rasanya!” kata Hai Kong Hosiang kepada anak itu.

Akan tetapi sambil menggigit bibirnya dan menahan runtuhnya air mata yang mengembeng di bulu matanya, anak itu menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Hayo makan!” teriak Hai Kong Hosiang dengan suara yang menggeledek bagaikan guntur hingga semua orang tani yang berada di luar rumah itu menjadi terkejut dan kuatir sekali.

Akan tetapi, sekali lagi anak itu menggelengkan kepala karena jangankan harus makan daging kerbaunya yang dikasihinya itu, baru melihat saja betapa daging kawan baiknya kini telah dimasak dan dimakan oleh hwesio itu, hatinya telah terasa perih dan hancur sekali.

Melihat kekerasan anak ini, Hai Kong Hosiang menjadi marah dan penasaran. Ia lalu mengambil sepotong daging dengan tangannya dan begitu mengulur tangan, maka tangan kirinya telah menangkap mulut anak itu hingga dipaksa menyelangap dan lalu memasukkan daging itu ke dalam mulut anak tadi!

Anak itu membelalakkan matanya dan ketika merasa betapa daging itu dimasukkan ke dalam mulutnya, tiba-tiba ia muntah-muntah!

Bukah main marahnya Hai Kong Hosiang melihat hal ini. Ingin ia memukul mati anak di depannya ini, akan tetapi baru saja ia mengangkat tangannya untuk memukul, ia teringat bahwa jika membunuh anak ini, maka setidaknya tentu terjadi heboh dan ribut yang hanya akan mengganggu istirahatnya saja. Maka ia tidak jadi memukul, akan tetapi memegang batang leher anak itu dan sekali ia menggerakkan tangan, anak itu menjerit karena tubuhnya terlempar keluar pintu!

Baiknya di luar pintu, orang-orang tani sedang duduk berkumpul dengan hati berdebar penuh kekuatiran, maka tubuh anak kecil itu jatuh menimpa mereka hingga tidak mengalami luka hebat.

Anak itu jatuh pingsan karena sedih, ngeri dan takutnya dan orang-orang kampung itu lalu menggotongnya pulang sambil menghela napas, bahkan ada yang mengucurkan air mata karena merasa sedih, dan tak berdaya!

Hai Kong Hosiang melanjutkan makan-minumnya seakan-akan tak pernah ada gangguan apa-apa. Nafsu makannya besar sekali dan sebentar saja hidangan yang disuguhkan di atas meja itu habis bersih!

Memang hwesio ini mempunyai sifat aneh. Ia dapat bertahan tidak makan sampai tiga hari tiga malam, dan sekali ia makan, agaknya ia hendak menebus hutangnya kepada perutnya itu dan takaran makan yang tiga hari disekalikan!

Setelah hidangan itu habis semua, ia lalu merebahkan dirinya di atas sebuah balai-balai reyot di dalam rumah petani itu dan sebentar lagi terdengar suaranya mendengkur keras, seakan-akan kerbau yang dagingnya telah memasuki perutnya itu tiba-tiba bangkit kembali di dalam perut dan menguak-uak!

Semalam suntuk Hai Kong Hosiang tertidur tanpa berkutik dari tempatnya. Telah beberapa pekan ia meninggalkan kota raja dan supeknya ditinggal di kota raja, oleh karena supeknya yang sudah tua itu menyatakan lelah dan bosan merantau, hingga Hai Kong Hosiang pergi seorang diri.

Pada keesokan harinya, kebetulan sekali Biauw Suthai dan Pek I Toanio yang pergi mencari jejak Lin Lin, Ma Hoa dan Yousuf tiba di dusun itu. Kedua orang ini merasa heran melihat kelesuan muka orang-orang kampung itu ketika pada pagi hari itu mereka memanggul cangkul pergi ke ladang.

Pek I Toanio lalu bertanya kepada seorang petani tua yang bertemu di jalan,
“Lopeh (Uwa), agaknya kalian penduduk desa ini berduka dan bingung. Malapetaka apakah gerangan yang menimpa desamu?”






Tadinya si petani tidak berani banyak bicara, akan tetapi ketika melihat gagang pedang yang tergantung di punggung Pek I Toanio timbul kepercayaannya, bahkan ia lalu mengharap kalau-kalau kedua wanita yang nampak gagah ini akan dapat menolong desanya.

“Ketahuilah, Toanio. Desa kami kedatangan seorang hwesio jahat sekali yang mengganggu kami dan bahkan merampok kami. Itu masih belum seberapa, bahkan ia berani memukul dan melukai orang.”

Bangkitlah semangat pendekar dalam dada Pek I Toanio ketika mendengar penuturan ini, sedangkan Biauw Suthai yang lebih sabar lalu minta kepada petani tua itu untuk menuturkan sejelasnya.

Petani itu lalu menceritakan tentang kejahatan Hai Kong Hosiang dan Biauw Suthai menjadi marah sekali, apalagi ketika mendengar betapa hwesio jahat itu memaksa anak kecil itu makan daging kerbaunya sendiri dan kemudian melempar tubuh anak itu keluar ketika dia tidak mau makan daging kerbau kesayangannya.

“Hwesio bangsat kurang ajar! Hendak kulihat siapakah dia yang begitu jahat tak mengenal kemanusiaan itu.”

Setelah berkata demikian, Biauw Suthai dengan tindakan kaki lebar dan diikuti oleh muridnya, lalu pergi menuju ke rumah yang diceritakan oleh petani tadi. Sementara itu, petani tua itu lalu menceritakan kepada kawan-kawannya, sebentar saja semua orang tahu bahwa ada dua orang wanita gagah yang hendak mengusir dan menghukum hwesio jahat yang mengganggu mereka.

Semua orang lalu meninggalkan pekerjaan mereka dan beramai-ramai menuju ke rumah itu. Akan tetapi mereka tidak datang dekat, hanya memandang dari jauh dengan perasaan tegang.

Ketika melihat bahwa pintu rumah itu masih tertutup, Biauw Suthai dan Pek I Toanio lalu melompat ke atas genteng dan membuka dua genteng dan mengintai ke dalam. Dan mereka melihat pemandangan yang aneh. Seorang hwesio yang bertubuh tinggi besar dan berwajah bengis menakutkan, sedang berdiri dengan kepala di tanah dan kedua kaki di atas.

Hwesio ini menaruh kedua tangannya di belakang kepala dan saat itu sedang memutar-mutar tubuhnya sedemikian rupa hingga kelihatan dari atas seperti sebuah gangsingan atau semacam barang permainan yang terputar-putar. Di dekatnya kelihatan menggeletak sebuah topi bambu yang lebar.

Ketika Biauw Suthai dan muridnya memandang dengan penuh perhatian, mereka terkejut sekali karena mengenal hwesio itu yang bukan lain adalah Hai Kong Hosiang.

Ternyata bahwa Hai Kong Hosiang sedang melatih lweekangnya yang hebat dan aneh. Kepalanya dapat berloncat-loncat dan berpindah-pindah dengan cepat tanpa mengeluarkan suara, sedang sepasang kakinya bergerak-gerak hingga di dalam kamar itu berkesiur angin yang kuat.

Tiba-tiba terdengar Hai Kong Hosiang tertawa bergelak dan tahu-tahu kedua kakinya ditendangkan ke atas. Angin hebat menyerang ke atas genteng dimana Biauw Suthai dan Pek I Toanio sedang mengintai.

“Awas!” seru Biauw Suthai dan untung ia masih keburu membetot lengan muridnya, oleh karena tiba-tiba genteng dimana mereka tadi berdiri tiba-tiba pecah dan terpental ke atas tinggi sekali sebagai akibat pukulan angin tendangan Hai Kong Hosiang yang dahsyat.

“Hai Kong pendeta bangsat!”

Biauw Suthai memaki keras dan tiba-tiba tubuh Hai Kong Hosiang sudah berada di luar dan berdiri sambil tertawa berkakakan dan memandang ke atas genteng di mana Biauw Suthai dan Pek I Toanio masih berdiri.

Biauw Suthai menjadi marah sekali dan sambil mencabut senjata yang istimewa, yaitu sebuah kebutan berbulu merah, ia lalu melayang turun dari genteng diikuti oleh Pek I Toanio yang juga telah mencabut keluar pedangnya.

“Ha, ha, ha, tokouw mata satu yang buruk! Akhirnya aku dapat bertemu dengan engkau. Dan agaknya engkaulah orang pertama yang akan mampus di tanganku, mendahului anjing-anjing lain yang hendak kubasmi semua. Dan muridmu yang cantik ini pun takkan ketinggalan dan mengiringkan kau! Ha, ha, ha!”

“Hai Kong Hwesio keparat yang pantas mampus. Memang sudah lama pinni hendak menyingkirkan kau dari muka bumi ini oleh karena kedosaanmu telah melewati takaran. Bersedialah untuk mati!” Sambil berkata demikian, Biauw Suthai menggerak-gerakkan hudtimnya yang lihai.

Kalau dulu sebelum memperdalam ilmu silatnya, jika ia harus berhadapan dengan Biauw Suthai, tentu Hai Kong Hosiang akan merasa jerih oleh karena ia telah maklum akan ketangguhan tokouw mata satu ini, dan karena ia maklum akan kelihaian para musuh-musuhnya, maka ia lalu mengajak supeknya untuk menemaninya dalam perantauan.

Akan tetapi, sekarang setelah mempelajari banyak macam ilmu silat yang lihai-lihai dari Kiam Ki Sianjin, ia memandang rendah kepada musuh-musuhnya, dan melakukan perjalanan seorang diri tanpa dikawani supeknya. Memang Hai Kong Hosiang mempunyai dasar watak yang sombong dan tinggi hati serta memandang rendah kepandaian orang lain, akan tetapi harus diakui bahwa ia memang mempunyai dasar atau bakat yang baik sekali.

Jarang ada orang yang dapat mempelajari ilmu silat sebaik dan secepat dia. Ilmu Silat Kalajengking yang aneh gerakannya dan dilakukan secara berjungkir balik itu telah dapat dimainkan dengan sempurna dalam waktu tidak lebih dari tiga bulan saja. Juga selain ilmu silat ini, ia telah meyakinkan ilmu-ilmu silat lain dan bahkan telah mendapat kemajuan ilmu lweekang yang berdasarkan yoga dari Barat.

Kini melihat betapa Biauw Suthai telah menggerak-gerakkan ujung kebutan yang lihai hingga bulu-bulu halus kebutan itu mulai menggetar dan seakan-akan menjadi hidup oleh karena tenaga dalam tokouw itu telah disalurkan ke dalam senjatanya untuk menghadapi hwesio yang amat tangguh ini, Hai Kong Hosiang tertawa bergelak-gelak lagi dan tiba-tiba ia menyerang dengan tangan kosong.

Serangan ini berarti penghinaan dan memandang rendah kepada Biauw Suthai yang memegang kebutan, maka tokouw ini menjadi marah sekali. Benar-benarkah hwesio ini mengangap ia begitu ringan hingga tak perlu dilawan dengan senjata? Ia berseru keras dan menggerakkan kebutannya dalam tipu gerakan Angin Badai Memutar Ombak.

Terdengar angin bersuitan ketika hudtim berkelebat merupakan sinar merah dan dalam segebrakan saja ujung hudtimnya menyambar-nyambar ke tiga tempat, pertama ke arah pelipis kepala Hai Kong Hosiang lalu ke dua meluncur terus ke arah jalan darah di leher untuk melakukan totokan maut dan terus disambung lagi dengan serangan ke tiga yaitu mengebut ke arah uluhati hwesio itu.

Akan tetapi Hai Kong Hosiang memang lihai sekali. Melihat gerakan serangan yang sekali serang mengancam tiga tempat yang berbahaya dan yang membawa hawa maut ini, ia tidak menjadi gugup. Ia gunakan kedua tangannya yang dibuka untuk digerak-gerakkan ke arah ujung kebutan dan ternyata tenaga khikang yang kuat sekali itu berhasil memukul buyar ujung hudtim sebelum senjata itu mengenai tubuhnya.

Biauw Suthai terkejut sekali. Tak pernah disangkanya bahwa kepandaian Hai Kong Hosiang telah maju sedemikian hebatnya dan diam-diam ia maklum bahwa tenaga dalam hwesio ini telah maju pesat dan telah berada di tingkat yang lebih tinggi daripada tenaga dalamnya sendiri.

Akan tetapi, Hai Kong Hosiang terlampau memandang rendah Biauw Suthai. Ia tidak tahu bahwa Tokouw ini adalah tokoh persilatan yang boleh dibilang “kawakan” atau jago tua yang telah malang melintang dalam dunia kang-ouw sampai puluhan tahun lamanya dan jarang menemui tandingan.

Biauw Suthai telah terlalu sering menghadapi orang-orang pandai dan lawan-lawan tangguh, hingga ia tidak menjadi jerih menghadapi Hai Kong Hosiang, biarpun ia maklum bahwa hwesio ini berkepandaian tinggi sekali. Ia lalu mengeluarkan kepandaiannya yang terlihai dan kini kebutannya bergerak bagaikan seekor naga mengamuk dan semua serangannya ditujukan ke arah urat-urat kematian Hai Kong Hosiang untuk mempertahankan nyawanya lagi.

Setelah bertempur dengan hebat sampai lima puluh jurus lebih, Hai Kong Hosiang terpaksa mengakui keunggulan permainan silat Biauw Suthai dalam lima puluh jurus lebih itu, telah beberapa kali ia mengeluarkan keringat dingin dan menjadi pucat karena hampir saja ia menjadi korban senjata hudtim lawannya. Maka ia segera berseru keras,

“Biauw Suthai, rasakan kerasnya senjataku!” dan ia lalu mencabut keluar tongkat ularnya yang terkenal ganas dan ampuh.

“Hai Kong manusia sombong! Hayo kau keluarkan semua kesaktianmu, dan jangan kira aku takut kepadamu!”






Tidak ada komentar :