*

*

Ads

Senin, 20 Mei 2019

Pendekar Bodoh Jilid 088

Perahu yang ditumpangi Yousuf, Lin Lin dan Ma Hoa bergerak maju dengan cepat meninggalkan pulau yang telah berkobar dan dimakan api. Tak lama kemudian, terdengar suara burung merak sakti dan Lin Lin menjadi girang sekali melihat merak sakti melayang turun dan berdiri di atas perahu.

Akan tetapi ia merasa kuatir karena tidak melihat Nelayan Cengeng. Juga Ma Hoa semenjak tadi melihat ke arah air oleh karena maklum bahwa suhunya tentu akan menyusul dengan berenang.

“Kong-ciak-ko, dimana Kong Hwat Lojin?”

Lin Lin bertanya sambil memegang leher merak sakti. Binatang itu hanya mengeluarkan suara perlahan dan memandang ke arah pulau, seakan-akan hendak mengatakan bahwa tadi mereka berpisah di pantai Pulau Kim-san-to. Lin Lin dan Ma Hoa menjadi gelisah sekali, demikian pun Yousuf. Mereka bertiga lalu berdiri di pinggir perahu sambil memandang ke air. Tiba-tiba, di bawah cahaya api yang berkobar besar, mereka melihat bayangan hitam bergerak di permukaan air.

“Itu tentu Suhu!” kata Ma Hoa dengan girang sekali dan ia yakin bahwa yang begerak-gerak itu tentu suhunya yang berenang cepat laksana seekor ikan. Mendengar seruan ini, Lin Lin dan Yousuf juga ikut bergirang hati.

Tiba-tiba terdengar letusan hebat dari pulau itu dan ketiganya terhuyung dan jatuh di dalam perahu. Bukan main terkejut hati mereka dan sebelum mereka sempat melihat dimana adanya Nelayan Cengeng, tiba-tiba datang gelombang sebesar gunung yang membawa perahu mereka terlempar jauh sekali.

Yousuf dengan dibantu kedua orang gadis itu, mengerahkan tenaga dan kepandaian untuk mencegah perahu mereka terbalik dan dalam keadaan tak berdaya mereka terpaksa mengikuti kemana ombak besar membawa perahu mereka.

Kalau perahu itu kecil, mungkin mereka masih sanggup menguasainya di antara permainan ombak, akan tetapi perahu mereka besar dan berat hingga mereka benar-benar tak berdaya.

Ombak demi ombak datang menyerbu dan membawa perahu mereka makin jauh dari tempat yang mereka tuju. Perahu itu terus terbawa menuju ke utara. Sampai satu malam penuh mereka terbawa makin jauh dan pada keesokan harinya barulah ombak menjadi lemah hingga mereka dapat mendayung perahu itu ke arah pantai. Akan tetapi mereka maklum bahwa mereka telah terdampar jauh sekali dari pantai yang hendak mereka tuju.

Ketika mereka telah mendarat dan beristirahat oleh karena lelah sekali, tiba-tiba datang barisan besar ke tempat itu. Kagetlah Yousuf ketika mendapat kenyataan bahwa barisan ini adalah tentara Turki yang sengaja datang menyusul rombongan pertama. Melihat Yousuf, pemimpin barisan itu lalu berseru,

“Tangkap pengkhianat itu!”

Banyak anggota tentara menyerbu hendak menangkap Yousuf, akan tetapi beberapa orang di antara mereka jatuh tunggang langgang karena dihantam dengan sengit oleh Lin Lin dan Ma Hoa.

Pemimpin barisan merasa kaget dan heran sekali, mengapa Yousuf dibela oleh dua orang gadis Han yang cantik jelita, maka ia lalu tertawa menghina dan memaki,

“Bagus sekali, Yousuf! Kau tidak saja pandai mengkhianati kerajaan dan menipu kami, akan tetapi juga pandai membujuk dua orang gadis Han yang cantik untuk menjadi bini muda dan pembela. Ha-ha-ha…!”

“Bangsat anjing bermulut jahat!”

Lin Lin memaki sengit karena gadis ini sedikit-sedikit telah mempelajari bahasa Turki dari Yousuf maka ia dapat mengerti ucapan pemimpin itu. Dalam kemarahannya, Lin Lin mencabut pedang dan menyerang pemimpin barisan itu.

Akan tetapi, puluhan tentara Turki lalu maju mengeroyok karena agaknya mereka ini suka sekali untuk menghadapi dua orang gadis cantik itu. Mereka berniat mempermainkan kedua dara jelita ini, tidak tahunya, begitu Lin Lin bergerak diikuti oleh Ma Hoa, beberapa orang serdadu terguling mandi darah.

Kini mereka baru tahu bahwa kedua orang gadis itu adalah pendekar pedang yang luar biasa, maka sambil berteriak-teriak marah, Lin Lin dan Ma Hoa dikeroyok oleh puluhan orang, sedangkan ratusan tentara berteriak-teriak di belakang mereka yang mengeroyok.






Yousuf marah sekali dan sekali tubuhnya bergerak, ia telah menangkap dua orang tentara yang diputar-putar di sekelilingnya dan digunakan sebagai senjata.

Tentara Turki terkejut sekali dan mereka menjadi jerih karena telah tahu bahwa Yousuf adalah seorang jagoan terkenal di negeri mereka, maka dengan amukan Yousuf ini, kepungan mengendur dan pengeroyok-pengeroyok berkelahi dengan hati-hati.

Tiba-tiba terdengar suara nyaring dari atas dan tahu-tahu seekor burung merak yang indah dan besar, menyambar-nyambar turun dan tiap kali sayapnya menyampok, seorang Turki terpukul roboh tanpa dapat bangun kembali. Amukan burung merak ini ternyata lebih hebat daripada amukan Yousuf.

Menghadapi empat lawan yang tangguh luar biasa ini pengeroyokan tentara Turki menjadi kacau balau dan Yousuf yang tidak saja segan untuk melawan dan mengamuk bangsa sendiri akan tetapi juga berpikir bahwa tak mungkin mereka harus menghadapi jumlah lawan yang sedikitnya ada lima ratus orang itu, lalu berseru,

“Mari kita pergi!”

Lin Lin dan Ma Hoa mengerti pula bahwa jumlah musuh terlalu banyak, maka tanpa membantah, mereka lalu ikut melompat pergi, melalui kepala pengeroyok dan menggulingkan tiap penghalang. Juga Sin-kong-ciak memekik nyaring dan mengikuti ketiga orang itu.

Sebenarnya burung merak ini merasa kecewa karena baru enak-enak membabat lawan-lawannya yang empuk itu, kini diperintahkan untuk pergi.

Ilmu berlari cepat dari ketiga orang itu cukup tinggi untuk memungkinkan mereka lari segera meninggalkan mereka yang mengejar sambil berteriak-teriak, dan tak lama kemudian mereka bertiga tak mendengar lagi suara teriakan barisan Turki yang mengejar itu.

Merak sakti tetap terbang di atas mereka dan ketika Yousuf berhenti, merak itu pun melayang turun dan membelai-belai tangan Lin Lin dengan leher dan kepalanya.

“Lin Lin dan Ma Hoa,” kata Yousuf yang kini juga menyebut nama Ma Hoa biasa saja oleh karena orang tua ini sudah menganggap dia sebagai keluarga sendiri. “Kalian tahu bahwa aku dikejar-kejar dan dimusuhi, oleh karena dianggap menipu dan mengkhianati mereka.” Ia menghela napas panjang. “Maka, demi keselamatan kalian berdua, kalian kembalilah ke pedalaman Tiongkok untuk mencari kawan-kawanmu, dan untuk mencari Nelayan Cengeng. Biarkan aku melarikan diri dan bersembunyi di gunung sebelah utara itu. Kalau kalian bersama dengan aku maka kalian hanya akan menghadapi bahaya saja.”

“Ayah, jangan kau berkata begitu,” bantah Lin Lin. “Bagiku, kau adalah ayahku sendiri, dan kemana kau pergi, aku sudah sewajarnya ikut.”

“Yo-peh-peh,” kata Ma Hoa yang kini menyebut peh-peh atau uwa kepada Yousuf, “benar seperti yang dikatakan Lin Lin. Semenjak berlayar kita telah bersama-sama dan aku pun menganggap kau sebagai orang tua sendiri, maka mengapakah sedikit bahaya saja membuat kita harus berpisah? Marilah Peh-peh bersama aku dan Adik Lin Lin kembali ke selatan dan mencari Suhu dan kawan-kawan lain. Adapun tentang segala bahaya yang menyerang dirimu, akan kita hadapi bertiga, bahkan berempat dengan Sin-kong-ciak.”

Yousuf merasa terharu sekali. Ia menggunakan kedua tangannya untuk memegang tangan Lin Lin dan Ma Hoa.

“Kalian memang anak-anak baik dan berhati mulia. Aku semenjak dulu hidup sebatang kara, setelah bertemu dengan kalian, seakan-akan mendapat kurnia besar sekali. Takkan ada di dunia ini perkara yang lebih kusukai daripada hidup di dekat kalian dan sahabat-sahabat baik seperti Kong Hwat Lojin, akan tetapi kalian anak-anak muda harus tahu bahwa aku adalah seorang Turki. Mungkinkah aku harus melawan dan membunuh tentara bangsaku sendiri? Ah, tak mungkin. Lebih baik untuk sementara waktu aku bersembunyi di tempat sunyi dan kelak apabila tentara Turki sudah kembali ke negeriku dan keadaan sudah aman kembali, barulah aku menyusul ke selatan dan mencari kalian.”

Namun Lin Lin merasa tidak tega untuk meninggalkan Yousuf dalam keadaan dikejar-kejar itu. Bagaimana kalau ia diketemukan dan akhirnya sampai mati?

“Tidak, Ayah. Biarlah aku ikut kau bersembunyi untuk sementara waktu, dan apabila keadaan telah aman kembali, kita bersama menuju ke selatan mencari kawan-kawan.”

Ma Hoa yang berpikir bahwa keadaan itu takkan berlangsung lama, karena setelah ternyata bahwa Pulau Kim-san-to terbakar habis, tentu tentara Turki itu tidak mau lama-lama tinggal di tempat yang bukan menjadi daerah mereka ini, maka ia segera berkata,

“Memang demikian sebaiknya, Yo-peh-peh. Lin Lin dan aku akan ikut kau bersembunyi untuk beberapa pekan, atau beberapa bulan kalau memang keadaan menghendaki.”

Yousuf merasa girang sekali dan wajahnya yang agak kecoklat-coklatan itu berseri bergembira.

“Bagus, anak-anakku, kalian benar-benar membuat aku merasa berbahagia sekali. Jangan kalian kuatir, di lereng bukit dekat tapal batas Tiongkok, aku dulu telah meninggalkan sebuah rumah yang mungil dan indah. Marilah kita pergi ke sana dan untuk sementara waktu kita tinggal di tempat itu, di mana pemandangan indah dan hawanya sejuk. Tentang biaya, jangan kuatir!”

Sambil berkata demikian, Yousuf mengeluarkan sekantung emas yang disimpan di dalam saku dalam bajunya.

Demikianlah, ketiganya, berempat dengan Merak Sakti, lalu cepat menuju ke bukit yang dimaksudkan oleh Yousuf. Benar saja sebagaimana kata Yousuf, keadaan di situ menyenangkan sekali. Tamasya alam indah mengagumkan, hawa pegunungan segar dan menyehatkan. Orang-orang yang tinggal di sekitar bukit itu adalah orang-orang petani yang ramah tamah dan hidup sederhana.

Rumah Yousuf masih ada dan bagus, hanya agak kotor karena tidak terawat. Ketiganya lalu bekerja keras membereskan rumah itu. Lin Lin dan Ma Hoa lalu mengatur taman di sekitar rumah, oleh karena di bukit itu terdapat banyak kembang-kembang yang indah.

Beberapa hari kemudian, para petani yang lewat di depan rumah itu, tidak habisnya mengagumi keindahan tempat itu dan mereka merasa seakan-akan tempat ini berubah semenjak rombongan ini tiba. Memang, siapa yang tidak kagum? Rumah itu kecil tapi indah bentuknya, dikelilingi oleh kembang-kembang tanaman kedua gadis itu, dan rumah ini ditinggali oleh seorang bangsa Turki yang bersikap halus dan ramah tamah, bersama dua orang gadis yang cantik jelita bagaikan dua orang bidadari dari kahyangan, ditambah lagi dengan adanya seekor merak yang berbulu bagus sekali!

Yousuf dengan hati sungguh-sungguh lalu melatih ilmu silat kepada Lin Lin dan Ma Hoa dan oleh karena ilmu silat Turki jauh berbeda dalam gaya dan variasi jika dibandingkan dengan ilmu silat Tiongkok walaupun pada dasarnya tak berbeda jauh, maka Lin Lin dan Ma Hoa merasa suka sekali mempelajari ilmu silat ini.

Tingkat kepandaian Yousuf memang lebih tinggi dari tingkat mereka dan berkat latihan-latihan ini, kepandaian kedua orang gadis ini maju pesat. Oleh karena tiap hari belajar ilmu silat, ketiga orang itu tidak merasa sunyi dan bahkan merasa betah dan senang tinggal di tempat itu.

Hanya, kadang-kadang saja, Lin Lin dan Ma Hoa terkenang kepada pujaan hati masing-masing yang membuat mereka termenung, akan tetap pikiran ini segera terhibur apabila mereka mengingat bahwa kelak mereka tentu akan bertemu kembali.

Sementara itu, Merak Sakti yang tidak mempunyai pekerjaan apa-apa, tiap hari hanya berjalan-jalan di dalam taman atau kadang-kadang terbang tinggi sekali berputar-putar hingga mengagumkan orang-orang yang melihatnya. Merak ini agaknya pun senang sekali tinggal di situ dan bulunya makin indah mengkilap.

Pada suatu pagi yang cerah, di kala matahari dengan sinarnya yang nakal mengusiri awan dan halimun pagi dari udara dan muka bumi dan burung-burung menyambut kedatangan Raja Siang itu dengan nyanyian dan pujian yang merdu dan sedap didengar, Lin Lin dan Ma Hoa telah berada di taman bunga mereka dan mencabuti rumput-rumput liar yang hendak mengganggu keindahan bunga. Mereka bekerja sambil bersendau gurau karena memang hawa pagi itu membuat dan memaksa orang untuk bergembira.

“Lin Lin,” kata Ma Hoa sambil tersenyum manis. “Alangkah senangnya hatimu kalau pada saat yang indah ini Saudara Cin Hai berada disini!”

Menghadapi serangan godaan ini, Lin Lin yang pandai bicara dan lincah itu juga tersenyum dan memandang tajam lalu mengangguk-anggukkan kepala dan menjawab,

“Memang betul, tentu saja hatimu akan senang sekali, akan tetapi kau bersabarlah, kawan! Tak lama lagi tentu kau akan dapat bertemu kembali dengan dia itu!”

Ma Hoa melengak dan tidak mengerti.
“Ih, eh, apa maksudmu? Siapa yang kau maksudkan dengan dia itu?”

Lin Lin berpura-pura memandang heran.
“Siapa lagi, bukankah kau tadi maksudkan Engko Kwee An?”






Tidak ada komentar :