*

*

Ads

Rabu, 22 Mei 2019

Pendekar Bodoh Jilid 091

Oleh karena menyangka kalau-kalau Lin Lin dan Ma Hoa telah mendahului pulang ke kampung Lin Lin, maka Kwee An dan Cin Hai lalu menuju ke selatan untuk kembali ke daerah Tiang-an.

Ketika mereka langsung menuju ke rumah Kwee An, ternyata bahwa rumah itu masih tertutup dan ketika mereka bertanya kepada orang di kampung itu yang menyambut kedatangan Kwee An dengan girang, mereka mendapat keterangan bahwa Lin Lin belum pernah kembali kesitu, dan bahwa Kwee Tiong masih tetap tinggal di kelenteng Ban-hok-tong di Tiang-an, dan bahwa Kwee Tiong kini bahkan telah mencukur rambutnya dan masuk menjadi hwesio!

Hal ini mengejutkan hati Kwee An, maka ia lalu mengajak Cin Hai mengunjungi kakaknya itu di Kelenteng Ban-hok-tong di kota Tiang-an. Ketika mereka tiba di kelenteng Ban-hok-tong yang mengingatkan Cin Hai akan pengalamannya ketika masih kecil dan belajar ilmu kesusastraan dari Kwi-sianseng guru sasterawan yang kurus kering itu, mereka disambut oleh seorang hwesio tua yang bertubuh tegap dan sikapnya masih gagah.

Hwesio ini adalah Tong Kak Hosiang, hwesio perantau yang mengajar silat pada putera-putera Kwee Ciangkun, seorang pendeta yang selain memiliki ilmu silat cukup tinggi dari cabang Kun-lun-pai, juga mempunyai pengertian yang dalam tentang Agama Buddha serta menjalankan ibadat dengan sungguh-sungguh.

Ketika Tong Kak Hosiang mendengar pengakuan Kwee An bahwa pemuda ini adalah putera termuda dari Kwee In Liang, ia menyambut dengan girang sekali.

“Ah, kiranya Kwee-kongcu! Silakan masuk!”

Hwesio ini memandang kepada Kwee An dengan mata kagum oleh karena Kwee Tiong seringkali menceritakan tentang kegagahan dan ketinggian ilmu silat adiknya ini.

“Lo-suhu, teecu mohon bertemu dengan kakakku Kwee Tiong.”

Tong Kak Hosiang tersenyum,
“Baik, baik, tentu saja, Kwee-kongcu, Tiong Yu memang sudah lama merindukan kau. O ya, hampir lupa pinceng memberitahukan bahwa kakakmu kini bernama Tiong Yu Hwesio.”

Ketika hwesio tua itu mengantar mereka masuk ke ruang dalam, mereka mendengar suara Kwee Tiong yang lantang membaca liamkeng (kitab suci yang dibaca sambil berdoa) dan suara kayu dipukul-pukulkan untuk mengikuti irama doa dan untuk menghalau segala gangguan yang memasuki pikiran di waktu membaca liamkeng.

“Tiong-ko!” Kwee An memanggil dengan suara di kerongkongan.

Suara liamkeng berhenti dan Kwee Tiong berpaling. Alangkah bedanya wajah pemuda ini dibandingkan dengan dulu dan hal ini pun dilihat jelas oleh Cin Hai. Pada wajah yang cakap itu kini terbayang kesabaran dan ketenangan yang besar hingga diam-diam Cin Hai merasa kagum sekali dan juga girang melihat perubahan besar.

Ketika melihat Kwee An, Kwee Tiong lalu bangkit berdiri dengan tenang dan keduanya lalu berpelukan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Agaknya dalam pelukan mesra ini keduanya telah mencurahkan keharuan hati masing-masing.

Ketika Kwee Tiong melepaskan pelukannya dan memegang kedua pundak Kwee An sambil memandang wajah adiknya, ia melihat dua butir air mata membasahi mata Kwee An. Kwee Tiong lalu tersenyum membesarkan hati adiknya sambil mengguncang-guncangkan pundak adiknya dan berkata lantang,

“An-te, kau kelihatan makin gagah dan tampan saja!”

Sambil berkata demikian, Kwee Tiong cepat menggunakan ujung lengan bajunya menghapus dua tetes air mata yang telah menetes di atas pipi adiknya.

“Tiong-ko, kau…”

Akan tetapi Kwee Tiong tidak memberi kesempatan kepada adiknya untuk melanjutkan kata-katanya dan untuk melampiaskan keharuan hatinya, maka ia lalu menarik tangan adiknya itu ke ruang tamu dengah muka girang, sedangkan gerakan kakinya masih menunjukkan kegagahan dan kejantanannya seperti yang dulu.






Cin Hai yang menunggu di ruang tamu ketika melihat Kwee Tiong, lalu menjura dengan hormat.

“Eh, eh, Pendekar Bodoh ikut datang pula! Kau memang hebat sekali, Cin Hai adikku. Tiada habisnya aku mengagumi kau.”

Ucapan ini keluar dari hatinya yang tulus hingga Cin Hai merasa girang dan terharu, maka ia lalu angkat kedua tangan memberi hormat lagi.

“Tiong Yu Hwesio saudaraku yang baik. Kebijaksanaanmu yang telah mengambil jalan suci ini membuat aku yang bodoh dan kasar menjadi malu saja.”

Kwee Tiong menghampiri Cin Hai dan menepuk-nepuk pundaknya.
“Aah, jangan begitu, Cin Hai! Aku masih Kwee Tiong bagimu, seperti dulu. Hanya saja bedanya, kini telah terbuka kedua mataku dan aku benar-benar girang bertemu dengan kau. O ya, dimana Lin Lin adikku yang manis?” Matanya mencari-cari dan mengharapkan munculnya Lin Lin di situ.

Setelah duduk menghadapi meja, Kwee An lalu menceritakan pengalamannya dan bahwa kini mereka berdua sedang mencari Lin Lin. Ketika mendengar tentang pembalasan sakit hati yang hampir selesai dan tinggal Hai Kong seorang itu, pada wajah Kwee Tiong tidak nampak kegirangan sebagaimana yang diduga semula, bahkan pemuda yang menjadi hwesio itu menghela napas dan merangkapkan kedua tangan, lalu berkata,

“Aah, inilah yang membuat aku mengambil keputusan untuk menjadi seorang yang beribadat. Tadinya aku selalu merasa takut kepada musuh, sedih karena kehilangan orang tua dan saudara-saudara, penasaran karena ingin membalas dendam. Tapi apakah artinya semua perasaan yang hanya mengganggu batin itu? Setelah aku mendapat petunjuk dari Tong Kak Suhu dan masuk menjadi hwesio, baru terbukalah mataku. Aku sekarang merasa berbahagia dan tidak menakuti sesuatu oleh karena di dalam hatiku memang tidak ada perasaan bermusuh kepada siapapun juga. Tentang pembalasan sakit hati itu, Adikku, biarlah kau yang berkepandaian tinggi dan yang merasa sakit hati, kau perjuangkan sebagai sebuah tugas suci berdasarkan kebaktian. Sedangkan aku, yang tiada berkepandaian ini, biarlah aku setiap saat berdoa untuk keselamatanmu, keselamatan Lin Lin, dan keselamatan kawan-kawan baik semua.”

Cin Hai yang mendengar ucapan ini, mengangguk-angguk dan ia maklum sepenuhnya bahwa memang jalan yang diambil oleh Kwee Tiong itu dianggapnya tepat sekali.

Setelah menuturkan pengalaman masing-masing dan melepaskan kerinduan dengan mengobrol semalam penuh, pada keesokan harinya Kwee An dan Cin Hai meninggalkan Kelenteng Ban-hok-tong.

“Kwee An marilah kita mampir sebentar di Tiang-an, karena sudah lama aku tidak pernah menginjakkan kaki di kota itu. Seringkali aku terkenang kepada kota dimana aku tinggal ketika kita masih kecil.”

Juga Kwee An ingin melihat kota kelahirannya maka ia menyetujui ajakan Cin Hai ini dan keduanya lalu memasuki kota Tiang-an yang berada di dekat Kelenteng Ban-hok-tong itu. Mereka lalu berjalan-jalan di dalam kota itu sampai sore.

Dan ketika mereka berjalan sampai di ujung timur, tiba-tiba mereka mendengar suara yang lantang dari dalam sebuah rumah. Mendengar suara ini, Cin Hai menyentuh tangan Kwee An dan berbisik,

“Coba, kau dengarkan itu, apakah kau masih mengenalnya?”

Kwee An memasang telinga dengan penuh perhatian dan dari jendela rumah itu terdengar suara yang jelas sekali.

“Su-hai-ci-lwe-kai-heng-te-yaaaa…”

Kwee An hampir tertawa bergelak, tapi cepat-cepat ia menggunakan tangan kanan untuk menutup mulutnya dan menahan ketawanya.

“Itulah Kwi Sianseng!” katanya.

Cin Hai tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
“Kalau tidak salah tentu dia. Siapa lagi yang dapat mengucapkan ujar-ujar itu demikian bagusnya? Tahukah kau berapa kali ia dulu pernah memukul dan mengetok kepalaku yang dulu gundul?”

Kwee An hampir tertawa keras-keras dan ia membelalakkan kepada Cin Hai sambil tersenyum lebar.

“Kau juga??”

Cin Hai bertanya heran,
“Apa maksudmu?”

“Kau juga menjadi korban kesukaannya memukul kepala murid-muridnya? Ha, ha, jangankan kau yang dulu memang banyak orang membenci, sedangkan aku sendiri pun entah sudah berapa kali merasai ketokan di kepalaku.”

Cin Hai benar-benar tak pernah menyangka hal ini dan sedikit kebencian yang berada di hatinya terhadap Kai Sianseng lenyap seketika.

“Kalau begitu, Si Tua itu tentu masih saja mengobral hadiah ketokan kepala itu kepada anak-anak yang sekarang menjadi murid-muridnya. Hayo, kita mengintai dia!”

Bagaikan dua orang anak-anak nakal, Cin Hai dan Kwee An menghampiri rumah kecil itu dengan perlahan dan mengintai dari balik jendela. Benar juga dugaan mereka, di dalam rumah itu Kwi Sianseng yang tampak sudah tua sekali dan tubuhnya makin kurus kering, sedang berdiri dengan tangan kanan di belakang punggung dan tangan kiri memegang sebuah kitab yang dikenal baik oleh Cin Hai dan Kwee An, oleh karena kitab yang terbungkus kulit kambing itu adalah kitab yang dulu dipakai untuk mengajar mereka pula.

Di depan kakek sastrawan ini duduk di bangku dengan kedua tangan bersilang, tiga orang anak laki-laki yang mengerutkan kening bagaikan kakek-kakek yang sedang berpikir keras.

“Kalian anak-anak goblok, bodoh dan tolol! Dengarkan sekali lagi! Seng-cia-cu-seng-ya. Ji-to-cu-to-ya! Apakah artinya, siapa tahu?”

Kwee An dan Cin Hai mengintai dan menahan geli hatinya, dan Cin Hai lalu teringat akan segala yang dialaminya di waktu kecil, karena sifat dan sikap Kwi Sianseng sama sekali tidak berubah seperti dulu.

Seorang di antara para murid yang jumlahnya tiga orang anak-anak itu bangkit berdiri dan mengacungkan tangan, lalu berkata dengan suara lantang,

“Seng-cia-cu-seng-ya. Ji-to-cu-to-ya, artinya: kesempurnaan hati suci murni harus dicapai sendiri dengan penyempurnaan watak pribadi. Jalan kebenaran yang menjadi sifat setiap orang harus diajukan dalam perbuatan sendiri.”

Kakek kurus kering itu mengangguk-anggukkan kepala seperti burung makan padi.
“Bagus, bagus! Begitulah sifat seorang kuncu (budiman) tulen!” ia memuji. “Kok-ji, kitab apa yang mengandung ujar-ujar itu dan fasal ke berapa?”

Anak yang tadi menjawab dengan lagak bagaikan seorang ahli pikir yang sudah kakek-kakek itu menjawab lantang,

“Terdapat di dalam kitab Tiong-yong, fasal… fasal…” ia tidak dapat melanjutkan jawabannya dan memandang ke kanan kiri dengan bingung.

“Anak bodoh dan tolol!” gurunya memaki dan Cin Hai baru melihat bahwa makian ini agaknya memang telah menjadi kembang bibir Kwi Sianseng. Baru saja anak itu dipuji-pujinya sekarang telah dimaki tolol. Kemudian Kwi Sianseng berkata lagi, “Dengarlah, ujar-ujar itu terdapat dalam… fasal…”

Ia juga lupa dan mencari-cari di dalam kitabnya, membuka-buka buku kitab itu dengan bingung.

Sambil menahan gelinya yang membuat perutnya kaku, Cin Hai menjawab dari luar,
“Dalam fasal dua puluh lima ayat pertama!”

Kwi Sianseng terkejut sekali dan menoleh ke arah jendela yang rendah dan masuk ke dalam kamar. Kedua anak muda itu lalu menjura dan memberi hormat kepada Kwi Sianseng.

Cin Hai berkata,
“Kwi Sianseng, hakseng berdua menghaturkan hormat.”

Kwi Sianseng terheran dan ragu-ragu.
“Jiwi ini siapakah?”

“Kwi Sianseng,” kata Kwee An, “sudah lupakah kepadaku? Aku adalah Kwee An, putera Kwee-ciangkun!”






Tidak ada komentar :