*

*

Ads

Rabu, 22 Mei 2019

Pendekar Bodoh Jilid 092

Kwi Sianseng melengak, kemudian setelah teringat, ia lalu tersenyum lebar dan wajahnya berseri-seri, nampak sekali kebanggaannya melihat betapa muridnya telah menjadi dewasa, gagah, dan cakap! Ia lalu memegang lengan Kwee An dan dengan muka yang terang berkata kepada ketiga anak muridnya,

“Nah, kalian lihatlah! Kwee-kongcu ini dulu adalah muridku yang baik dan pandai. Kalau kalian belajar baik-baik dari aku, kelak kau pun akan menjadi seorang berguna seperti dia ini!”

Kemudian ia teringat kepada Cin Hai yahg telah dapat menemukan fasal dalam kitab Tiong Yong maka ia lalu menjura dengan hormat kepada Cin Hai dan bertanya,

“Dan kongcu yang cerdik pandai dan hafal akan fasal dan ayat dalam kitab Nabi kita ini, siapakah namamu yang mulia?”

Cin Hai menahan geli hatinya, menjawab sambil menjura,
“Sianseng, sudah lupakah kepada hakseng yang tolol dan bodoh?”

Selagi Kwi Sianseng memandang heran dan mengingat-ingat, Kwee An yang tak dapat menahan kegembiraan hatinya lalu berkata,

“Kwi Sianseng, ini adalah Cin Hai, juga muridmu yang belajar darimu di Kelenteng Ban-hok-tong!”

Cin Hai tertawa bergelak.
“Kwee Sianseng, sekarang hakseng tidak berani menggunduli kepala lagi, supaya jangan dijadikan sasaran pukulan dan ketokan!”

Merahlah muka Kwi Sianseng dan ia merasa betapa ia dulu memang sering kali memukul kepala anak gundul ini. Akan tetapi, sebagaimana sudah lazimnya sifat manusia yang teringat selalu adalah sifai-sifat keburukan orang lain, maka Kwi Sianseng lalu memegang tangan Cin Hai dan kini dengan suara sungguh-sungguh berkata kepada para muridnya,

“Lihatlah Kongcu ini, demikian gagah dan tampannya! Ketahuilah, dia ini dulu juga seorang muridku! Aku sayang sekali kepadanya maka tidak heran sekarang menjadi seorang pandai dan sekali mendengar saja sudah dapat menjawab pertanyaan tentang fatsal tadi! Kalian tadi mendengar bahwa dulu aku sering mengetok kepalanya? Nah, jangan kira bahwa ketokan kepalanya tidak ada gunanya! Tanpa diketok kepalanya, seorang murid takkan menjadi pandai!”

Hati Cin Hai yang dulu seringkali mengenangkan guru ini dengan benci dan mendongkol, kini menjadi lemah, bahkan ia merasa kasihan sekali melihat betapa pakaian guru ini butut dan tambal-tambalan, tanda bahwa keadaannya miskin sekali, sedangkan tubuhnya makin kurus kering dan lemah bagaikan mayat hidup!

Betapapun juga, guru-guru yang pandai ujar-ujar akan tetapi tak mampu melaksanakan ini patut dikasihani oleh karena dia adalah seorang jujur dan rela hidup dalam kemiskinan dan masih tekun menurunkan ilmu-ilmu batin yang hanya dikenal dibibir saja itu kepada anak-anak dengan menerima upah kecil!

Ia mengerti bahwa segala penderitaan, makian, pukulan yang diterima dari guru ini dalam waktu mengajar, bukan tidak ada gunanya! Sakit dan derita merupakan obat pahit yang dapat menguatkan batin dan meneguhkan iman.

Maka teringatlah ia kepada ucapan Bu Pun Su dulu,
“Segala apa di dunia ini mempunyai dua muka yang berlainan dan baik buruknya muka itu terpandang oleh seseorang, hal ini tergantung sepenuhnya kepada orang itu sendiri, oleh karenanya banyak pertentangan di dunia ini yang terjadi karena perbedaan pandangan ini!”

Dan ia merasa betapa tepatnya ucapan ini. Dulu ia memandang perbuatan Kwi sianseng kepadanya amat buruk dan kejam sehingga menimbulkan rasa benci dan sakit hati. Akan tetapi sekarang, ia telah mempunyai pandangan lain dan menganggap bahwa perbuatan Kwi-sianseng itu telah menjadi watak guru ini dan bukan timbul karena membencinya, maka ia bahkan menganggap semua siksaan itu baik, hingga sebaliknya kini menimbulkan rasa terima kasih!

Cin Hai lalu memberi isyarat dengan matanya kepada Kwee An dan ia merogoh sakunya, mengeluarkan beberapa potong uang emas yang ada padanya. Ia masukkan uang itu ke dalam saku Kwi-sianseng tanpa dilihat oleh guru ini, kemudian setelah mereka berkelebat maka lenyaplah keduanya dari depan Kwi-sianseng. Tentu saja hal ini tak terduga sama sekali oleh guru itu, juga oleh anak anak tadi yang menganggap kedua pemuda ini main sulap.

“Hebat, hebat… mereka telah menjadi orang-orang gagah yang berkepandaian luar biasa,” katanya kemudian ia berkata keras-keras agar terdengar oleh murid-muridnya yang kecil-kecil. “Mereka hebat sekali dan mereka itu adalah murid-muridku. Kalian bertiga yang bodoh ini kalau mau belajar sungguh-sungguh, kelak pun akan menjadi seperti mereka.”






Ketika seorang muridnya menjatuhkan kitab ke atas tanah karena terheran-heran melihat lenyapnya Kwee An dan Cin Hai hingga tanpa disengaja kitab yang dipegangnya jatuh, Kwi-sianseng marah sekali dan melangkah maju, siap dengan jari-jarinya untuk mengetuk kepala yang gundul itu. Akan tetapi tiba-tiba bayangan Cin Hai muncul dan guru ini teringat akan kejadian dulu-dulu, maka ia lalu menahan tangannya, dan sebaliknya ia lalu mengetok kepalanya sendiri yang sudah botak.

“Jangan kau lakukan kepada orang lain apa yang kau sendiri tidak mau diperlakukan oleh orang lain kepadamu,” kata-kata Cin Hai yang dulu bergema di dalam telinganya.

Semenjak saat ini Kwi-sianseng mempunyai kebiasaan baru, yaitu tiap kali ia mengetok kepala muridnya, tentu ia juga menambahkan sebuah ketokan kepada kepalanya sendiri.

Cin Hai dan Kwee An sambil tertawa-tawa mengenangkan peristiwa pertemuan dengan Kwi-sianseng tadi, lalu berjalan cepat meninggalkan Tiang-an. Mereka keluar dari kota itu dari jurusan timur dan tidak melewati Kelenteng Ban-hok-tong yang berada di sebelah barat kota itu. Hari telah agak gelap ketika mereka tiba di sebuah hutan di luar kota.

Tiba-tiba mereka mendengar suara orang berseru minta tolong dan ketika mereka lari menghampiri, ternyata seorang laki-laki tua yang berpakaian seperti piauwsu (pengawal kiriman barang berharga) sedang dikeroyok oleh lima orang perampok.

Piauwsu ini biarpun melawan dengan nekad dan memutar-mutar goloknya, namun pengeroyoknya ternyata memiliki kepandaian yang lihai hingga pundak kiri piauwsu itu telah berlumur darah karena mendapat luka bacokan pedang. Akan tetapi, sambil berseru minta tolong, piauwsu itu terus saja melawan dengan nekad.

Cin Hai marah sekali melihat pengeroyokan ini dan sekali pandang saja ia maklum bahwa piauwsu ini tentu dirampok, oleh karena di pinggir tampak sebuah kereta dan para pendorongnya yang terdiri dari empat orang telah berjongkok sambil menggigil ketakutan di belakang kereta.

“Perampok ganas, pergilah dari sini!” katanya dan tubuhnya telah menyambar cepat ke arah tempat pertempuran.

Cin Hai tidak mau membuang banyak waktu, ia segera mempergunakan kepandaian Ilmu Silat Tangan Kosong Kongciak-sin-na yang hebat. Memang ilmu silat yang belum lama ia pelajari dari Bu Pun Su ini lihai sekali.

Begitu kedua tangannya bergerak, pedang kelima orang perampok itu tahu-tahu telah kena dibikin terpental den sebelum kelima orang perampok yang juga memiliki ilmu silat lumayan itu tahu apa yang terjadi, tahu-tahu mereka telah dipegang oleh tangan kanan kiri pemuda itu dan dilempar-lemparkan ke kanan kiri bagaikan orang melempar-lemparkan kentang busuk saja.

Tentu saja mereka merasa jerih dan ngeri melihat ilmu kepandaian sehebat ini dan tanpa menoleh lagi mereka lalu berlari secepatnya ke jurusan yang sama hingga merupakan balap lari yang ramai. Kwee An tertawa bergelak, sedangkan Cin Hai hanya tersenyum saja melihat pemandangan yang lucu itu.

Sedangkan piauwsu itu ketika melihat pemuda luar biasa lihainya yang telah menolong jiwanya, lalu melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan Cin Hai sambil berkata dengan suara terharu,

“Taihiap yang gagah perkasa telah menolong jiwaku yang tak berharga, aku tua bangka lemah takkan dapat membalas budi besar ini dan untuk menyatakan terima kasihku, biarlah Taihiap menyebut nama Taihiap yang mulia agar dapat kuingat selama hidupku!”

Cin Hai merasa tidak enak sekali melihat dirinya dihormati sedemikian oleh piauwsu itu maka buru-buru ia memegang pundak piauwsu itu dan menariknya berdiri sambil berkata,

“Lo-piauwsu janganlah berlaku demikian. Pertolongan yang tidak ada artinya ini untuk apa dibesar-besarkan?”

Ketika piauwsu tua itu mengangkat muka dan memandang dengan sepasang matanya yang luar biasa lebar, Cin Hai merasa bahwa ia seperti pernah melihat muka ini, akan tetapi tidak ingat lagi dimana dan bilamana. Tiba-tiba Kwee An berseru sambil meloncat menghampiri,

“Tan-kauwsu! Kau kah ini?”

Memang benar, piauwsu itu ternyata adalah Tang-kauwsu, guru silat yang dulu pernah mengajar silat kepada putera-putera keluarga Kwee In Liang! Tan-kauwsu memandang heran dan ia segera mengenali Kwee An, maka sambil menjura ia berkata girang,

“Kwee-kongcu! Tak tersangka kita telah bertemu disini! Ah, aku orang tua telah mendengar tentang kemajuan dan kelihaianmu dan telah mendengar pula bahwa engkau telah menjadi murid Eng Yang Cu-locianpwe, tokoh Kim-san-pai yang lihai itu! Sukurlah kepandaianmu tentu telah berlipat ganda dan aku orang tua yang tak berguna ini hanya merasa gembira!”

Kemudian ia memandang kepada Cin Hai dengan mata kagum dan melanjutkan kata-katanya,

“Akan tetapi, siapakah Taihiap yang muda akan tetapi telah memiliki kepandaian yang demikian lihainya hingga belum pernah mataku yang tua menyaksikan kelihaian seperti yang telah Taihiap lakukan tadi?”

Cin Hai ketika mengingat bahwa piauwsu ini bukan lain adalah Tan-kauwsu yang dulu membencinya dan bahkan mengejarnya untuk membunuh, timbul pula rasa bencinya, maka ia tidak mau menjawab dan hanya memandang tajam dengan muka tidak senang.

Kwee An belum pernah mendengar tentang kekejaman Tan-kauwsu kepada Cin Hai, oleh karena Cin Hai memang tidak menceritakan hal itu kepada siapapun juga, maka Kwee An lalu tertawa girang dan berkata,

“Tan-kauwsu, sesungguhnya pemuda kawanku ini pun bukan orang luar, akan tetapi kurasa kau takkan dapat menduganya dia ini siapa biarpun kau akan mengingat-ingat sampai semalam penuh! Biarlah aku membantumu. Dia ini adalah Cin Hai anak gundul yang dulu pernah pula belajar silat padamu!”

Tiba-tiba pucatlah wajah Tan-kauwsu mendengar bahwa anak muda yang luar biasa gagahnya yang baru saja telah menolong jiwanya itu, bukan lain adalah Si Cin Hai, anak gundul yang dulu hendak diambil jiwanya! Kedua kaki Tan-kauwsu menggigil dan ia tak dapat menahan dirinya lagi. Serta merta ia menjatuhkan diri berlutut lagi di depan Cin Hai dan tak tertahan lagi kedua matanya mengucurkan air mata!

“Taihiap… aku… aku… ah, apakah yang harus kukatakan? Kalau Taihiap suka, ambillah jiwaku. Aku tua bangka yang tak tahu diri akan mati dengan rela di dalam tanganmu!”

Kwee An memandang heran dan segera berkata,
“Eh, eh, apa-apaan ini? Tan-kauwsu, apakah kau mendadak telah menjadi mabok?”

Akan tetepi Cin Hai mengejapkan mata kepada kawannya itu dan kini ia tidak mengangkat bangun tubuh orang tua yang berlutut di depannya.

“Tan-kauwsu, memang benar kata ujar-ujar kuno yang menyatakan bahwa apa yang diperbuat orang pada masa mudanya, akan mendatangkan sesal pada masa tuanya. Kau dulu berkeras hendak membunuhku, dan sekarang kau bahkan minta dibunuh olehku dengan rela. Bukankah ini merupakan buah dari pohon kebencian yang dulu kau tanam dengan kedua tanganmu sendiri? Kau minta aku membalas dendam? Tidak, Tan-kauwsu! Akan terlalu senang bagimu. Biarlah kau pikir-pikirkan perbuatanmu yang sewenang-wenang dulu itu dan menyesalinya. Kau tak berhutang jiwa padaku, maka bagaimana aku bisa membunuhmu? Nah, selamat tinggal! Mari, Kwee An, kita pergi dari sini!”

Setelah berkata demikian, Cin Hai lalu melompat pergi dan terpaksa Kwee An menyusul kawannya itu dengan heran. Kemudian, atas desakan Kwee An, Cin Hai lalu menuturkan pengalamannya.

Kwee An menghela napas dan berkata,
“Memang nasib manusia itu tidak tentu. Sekali waktu ia boleh berada di bawah, di tempat yang serendah-rendahnya, akan tetapi akan tiba masanya ia akan berada di atas, di tempat yang setinggi-tingginya.”






Tidak ada komentar :