*

*

Ads

Rabu, 22 Mei 2019

Pendekar Bodoh Jilid 093

Setelah meninggalkan Tiang-an, kedua pemuda itu lalu menuju ke kota raja, oleh karena selain mencari jejak Lin Lin dan Ma Hoa, keduanya juga tidak pernah lupa untuk mencari Hai Kong Hosiang, hwesio yang kini merupakan musuh besar satu-satunya yang masih belum berhasil mereka balas. Dan ke mana lagi mencari hwesio itu kalau tidak di kota raja? Mereka merasa ragu-ragu apakah Hai Kong Hosiang berada di sana, akan tetapi karena tidak mempunyai pandangan lain di mana hwesio itu mungkin berada, mereka mencoba-coba dan pergi ke kota raja.

Mereka langsung menuju ke Enghiong-koan, gedung perhimpunan para perwira Sayap Garuda dimana mereka dulu pernah datang mengacau dan berhasil membunuh mati musuh-musuhnya.

Ketika mereka tiba di atas genteng gedung itu, mereka melihat dua orang sedang bertempur mengeroyok seorang kakek, sedangkan di sekeliling tempat pertempuran, para perwira Sayap Garuda menonton sambil berseru-seru membesarkan hati kakek yang dikeroyok itu.

Melihat gerakan kakek tua renta itu, terkejut Kwee An dan Cin Hai oleh karena gerakan kakek ini benar-benar luar biasa hebatnya hingga kedua pengeroyoknya terdesak mundur terus. Dan ketika Cin Hai memandang tegas, ternyata bahwa kakek tua renta itu adalah Kiam Ki Sianjin sedangkan kedua pengeroyoknya adalah Eng Yang Cu guru Kwee An dan Nelayan Cengeng sendiri.

Kedua pemuda itu yang melihat betapa Eng Yang Cu dan Kong Hwat Lojin terdesak hebat oleh ilmu silat Kiam Ki Sianjin yang hebat luar biasa, segera melompat turun.

“Kwee An, jangan kau ikut turun tangan, biarlah aku sendiri menghadapi kakek tua renta itu. Ia adalah supek dari Hai Kong Hosiang.”

Kwee An kaget sekali dan menjadi jerih. Kalau Hai Kong Hosiang saja telah begitu hebat, apa lagi supeknya.

Cin Hai melompat masuk ke kalangan pertempuran dan berkata dengan suara hormat kepada Nelayan Cengeng dan Eng Yang Cu,

“Jiwi Locianpwe, biarkan teecu menghadapi setan ini, dan kalau teecu tidak dapat menandinginya, barulah jiwi berdua maju memberi hajaran kepadanya.”

Sebetulnya Eng Yang Cu dan Nelayan Cengeng telah terdesak sekali, dan kata-kata yang diucapkan oleh Cin Hai ini terang menandakan bahwa pemuda ini pandai membawa diri dan menghormat mereka maka keduanya lalu melompat mundur.

“Kiam Ki Sianjin!” kata Cin Hai dengan tenang, “dulu Suhuku Bu Pun Su telah mengampuni kau, maka apakah sekarang kau yang begini tua ini masih mau memamerkan kepandaian di depan mata umum?”

Kiam Ki Sianjin memandang kepada Cin Hai dengan sepasang matanya yang telah tua akan tetapi masih awas itu, lalu ia tertawa cekikikan dan tangan kanannya membuat gerakan merendah seperti hendak berkata bahwa Cin Hai masih kecil dan masih kanak-kanak, sedang tangan kirinya menuding keluar.

Dengan gerakan ini Kiam Ki Sianjin hendak berkata bahwa Cin Hai yang masih muda dan masih kanak-kanak itu jangan datang mengantar kematian, lebih baik keluar dan pergi saja sebelum terlambat!

“Kiam Ki Sianjin, tak perlu kau menggertak. Keluarkanlah kepandaianmu kalau kau memang gagah!”

Cin Hai menantang akan tetapi sikapnya tetap tenang dan waspada. Kiam Ki Sianjin menjadi marah sekali, dan sambil mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh, ia lalu menerjang maju dengan hebat sekali!

Nelayan Cengeng dan Eng Yang Cu adalah tokoh-tokoh besar di dunia persilatan, akan tetapi menghadapi Kiam Ki Sianjin, mereka berdua terdesak hebat setelah bertempur dua ratus jurus lebih, maka kini mereka memandang ke arah Cin Hai dengan penuh kekuatiran.

Mereka maklum bahwa sebagai murid tunggal Bu Pun Su, pemuda itu tentu memiliki kepandaian yang tinggi sekali, akan tetapi, tetap saja mereka merasa ragu-ragu dan cemas oleh karena kini pemuda itu menghadapi seorang lawan yang jauh lebih berpengalaman dan yang telah mereka rasakan sendiri kehebatan ilmu kepandaiannya!

Akan tetapi, mereka menjadi kagum sekali ketika melihat betapa dengan lincahnya Cin Hai dapat mengimbangi ginkang dari kakek itu. Bahkan ketika melihat betapa pemuda itu berani mengadu lengan dengan Kiam Ki Sianjin, tak terasa pula Nelayan Cengeng tertawa terbahak-bahak sambil mengalirkan air mata dari kedua matanya. Ini adalah tanda bahwa Nelayan Tua ini merasa gembira sekali.






Tadi ia pernah beradu lengan dengan Kiam Ki Sianjin, akan tetapi adu lengan yang sekali itu saja sudah cukup membuatnya kapok oleh karena betapa lengannya sakit sekali dan seakan-akan ada puluhan jarum menusuk-nusuk ke dalam daging lengannya!

Kini ia melihat betapa Cin Hai berani beradu tenaga dengan kakek sakti itu tanpa merasa sakit dan bahkan agaknya Kiam Ki Sianjin tidak saja nampak terkejut, akan tetapi juga terdorong sedikit tiap kali keduanya mengadu tenaga dalam!

Sementara itu, Kwee An memandang pertempuran hebat itu dengan bengong dan anak muda ini merasa heran sekali mengapa kini kepandaian Cin Hai agaknya telah bertambah berlipat ganda! Tadinya Kwee An merasa bangga bahwa ia telah menerima pelajaran ilmu silat dari ayah angkatnya, yaitu Hek Mo-ko dan diam-diam ia mengharapkan bahwa kini tingkat ilmu kepandaiannya sudah menyusul kepandaian Cin Hai.

Tidak tahunya kepandaian Cin Hai kini pun meningkat luar biasa sekali dan bahkan ia merasa bahwa kepandaian pemuda ini sekarang berada di tingkat yang lebih tinggi daripada kepandaian Hek Pek Mo-ko sendiri.

Tentu saja mereka ini tidak tahu bahwa Cin Hai telah mengeluarkan llmu Silat Pek-in-hoatsut atau Ilmu Silat Awan Putih! Kedua lengan tangannya mengeluarkan uap putih yang menimbulkan tenaga hebat sekali hingga lweekang yang tinggi dari Kiam Ki Sianjin masih saja tak kuat menghadapi ilmu pukulan ini!

Kiam Ki Sianjin selama hidupnya satu kali menerima tandingan yang tinggi ilmu kepandaiannya dari kepandaiannya sendiri, yaitu ketika ia berhadapan dengan Bu Pun Su. Sudah tiga kali selama hidupnya ia bertemu dengan Bu Pun Su dan tiap kali bertemu ia selalu dipermainkan oleh kakek jembel itu.

Kini baru pertama kalinya ia menghadapi seorang pemuda yang dapat menandingi kelihaiannya hingga tentu saja ia menjadi marah, penasaran dan gemas sekali! Ia tadi ketika menghadapi Eng Yang Cu dan Nelayan Cengeng walaupun dapat mendesak namun agak sukar merobohkan dua orang lawan yang bukan sembarang orang itu dan yang telah termasuk tingkat tokoh besar dalam lapangan ilmu silat, maka ia telah mengerahkan tenaganya, hingga membuat tubuhnya yang telah tua sekali itu menjadi lelah luar biasa.

Kini menghadapi Cin Hai yang ternyata lebih lihai lagi daripada kedua kakek itu, ia benar-benar merasa terkejut dan marah. Namanya yang telah terkenal menjulang tinggi sampai ke langit itu akan runtuh kalau ia tidak dapat mengalahkan pemuda ini. Jika diingat bahwa pemuda ini adalah murid Bu Pun Su, maka ia makin penasaran dan ingin membalas kekalahannya yang dulu-dulu dari Bu Pun Su kepada muridnya ini.

Karena marahnya, Kiam Ki Sianjin lalu melupakan sumpahnya sendiri dan tiba-tiba ia mencabut keluar sebatang pedang yang aneh bentuknya. Pedang ini tipis sekali dan seakan-akan lemas tak bertenaga, akan tetapi, di bawah ujungnya yang runcing terdapat dua buah kaitan di kanan-kiri dan pedang ini mengeluarkan cahaya berkilauan saking tajamnya.

Ketika beberapa tahun yang lalu ia merasa bahwa dirinya telah amat tua dan telah banyak darah ia alirkan melalui pedang ini, ia merasa menyesal sekali dan takut untuk menerima hukuman dari semua dosanya. Maka ia lalu bersumpah takkan mempergunakan pedang ini untuk membunuh orang lagi. Akan tetapi, oleh karena sekarang ia merasa marah sekali, ia tidak ingat lagi akan sumpah itu dan mencabut keluar senjatanya yang hebat.

Cin Hai terkejut melihat gerakan ini. Ia tidak mempunyai permusuhan dengan Kiam Ki Sianjin dan tadi pun ia hanya ingin menolong Nelayan Cengeng dan Eng Yang Cu saja dan hendak mencoba kepandaian kakek luar biasa ini. Sekarang melihat betapa kakek itu mencabut keluar pedangnya, maka tahulah bahwa kakek itu telah marah sekali dan bermaksud mengadu jiwa.

“Kiam Ki Sianjin!” kata Cin Hai keras-keras, “kita tak pernah saling bermusuhan hingga tak perlu mengadu jiwa!”

Kiam Ki Sianjin salah mengerti dan menduga bahwa pemuda itu merasa jerih melihat pedangnya, maka sambil tertawa cekikikan ia lalu menerjang maju dengan cepatnya.

“Baiklah, agaknya kau hendak membela muridmu yang durhaka Hai Kong Hosiang itu!” kata Cin Hai dan secepat kilat pemuda ini pun lalu mengelak dan mencabut keluar pedangnya, Liong-coan-kiam.

Karena maklum bahwa ilmu kepandaian kakek ini hebat sekali dan ia takkan dapat mengambil kemenangan apabila ia hanya mengandalkan pengertian pokok persilatan dan mengikuti gerakan serangan orang tua itu tanpa membalas dengan serangan berbahaya, maka ilmu pedang yang ia ciptakan bersama Ang I Niocu dan yang telah diyakinkan sempurna itu, pedangnya bergerak-gerak aneh bagaikan terbang ke udara dan tiada ubahnya dengan seekor naga sakti keluar dari surga menyambar-nyambar ke arah Kiam Ki Sianjin dengan garangnya.

Akan tetapi, Kiam Ki Sianjin benar-benar hebat dan luar biasa sekali ilmu silatnya. Biarpun ia merasa terkejut melihat ilmu pedang yang seumur hidupnya belum pernah disaksikan itu, namun pengalamannya membuat ia dapat menduga kemana arah tujuan pedang Cin Hai dan dapat menjaga diri dengan baiknya serta dapat pula melancarkan serangan balasan yang tak kalah hebatnya.

Kedua orang ini bertempur mengadu ilmu sampai tiga ratus jurus lebih dan para penonton telah merasa pening karena terpengaruh oleh gerakan pedang yang dimainkan secara hebat itu.

Bahkan Kwee An sampai menjadi merah matanya karena tidak tahan melihat menyambarnya sinar pedang, juga para perwira yang tadinya berseru-seru kini tidak bergerak dan memandang dengan muka pucat. Banyak diantara mereka yang mengalirkan air mata karena mata mereka terasa pedas sekali sehingga terpaksa mereka mengalihkan pandangan matanya dan tidak langsung memandang kearah pertempuran.

Hanya Eng Yang Cu dan Nelayan Cengeng saja yang masih sanggup menonton dengan tertariknya, akan tetapi juga kedua orang ini agak pucat karena maklum bahwa sekarang sedang berlangsung pertandingan tingkat tinggi yang langka terlihat. Mereka makin kagum saja kepada Cin Hai yang bagaikan sebuah batu mustika, baru sekarang tergosok dan kelihatan betul-betul sinar dan nilainya. Kedua tokoh besar ini diam-diam menghela napas saking tertarik dan kagumnya.

Biarpun di luarnya tidak menyatakan perubahan, namun sebetulnya Kiam Ki Sianjin telah merasa lelah sekali dan rasa penasaran dan marah telah berkobar di dadanya yang membuat seluruh tubuhnya terasa panas sekali. Inilah kesalahannya dan ia pun maklum akan hal ini, akan tetapi ia tidak berdaya. Nafsu marah dan penasaran yang sudah lama dapat ditenggelamkan di dasar hatinya, kini tiba-tiba melonjak dan timbul pula dengan serentak, maka tentu saja tangannya menjadi makin lemah.

Baiknya Cin Hai memang tidak bermaksud membunuh atau melukainya, karena betapapun juga, pemuda ini merasa kasihan melihat kakek yang amat tua hingga merupakan rangka hidup ini. Ia dapat menduga bahwa kakek ini telah mulai lelah, maka ia mendesak makin hebat dengan maksud agar kakek ini dapat menyerah karena kelelahannya.

Benar saja, desakannya telah membuat Kiam Ki Sianjin merasa lelah sekali. Tubuhnya telah penuh keringat dan napasnya mulai terengah-engah hingga membuat gerakannya menjadi lambat.

Pada suatu kesempatan yang baik, tiba-tiba pedang Cin Hai menusuk ke arah leher kakek itu. Kiam Ki Sianjin tiba-tiba melakukan gerakan nekad sekali dan tanpa mempedulikan tikaman pedang Cin Hai, ia membalas menikam ke arah dada Cin Hai. Ternyata bahwa dalam keadaan putus asa, kakek ini hendak mengajak mati bersama.

Cin Hai terkejut sekali. Cepat ia menarik kembali pedangnya dan dihentakkan untuk menangkis pedang lawannya. Kiam Ki Sianjin merasa betapa pedang pemuda itu menempel keras pada pedangnya dan ia pun lalu mengerahkan tenaga dalam dan mengait pedang Cin Hai dengan kaitan pedangnya.

Kedua lawan tua dan muda ini saling mengerahkan tenaga lweekang dan pedang mereka saling melengket bagaikan menjadi satu. Keduanya tidak bergerak, saling pandang bagaikan dua buah patung, tangan kanan memegang pedang yang saling menempel, tangan kiri diacungkan ke atas dengan jari-jari tangan terbuka seakan-akan menerima kekuatan dari atas.

Tiba-tiba terdengar suara “krak!” yang keras sekali dan pedang di tangan Kiam Ki Sianjin telah patah menjadi dua. Dan secepat kilat Cin Hai melompat mundur dan berjungkir balik sampai lima kali di udara untuk menghindarkan diri dari serangan tenaga dalam kakek luar biasa itu.

Ternyata ketika tadi ia mengerahkan tenaga dalamnya sampai sepenuhnya, tiba-tiba kakek itu menarik kembali tenaganya hingga pedangnya menjadi patah. Cin Hai terkejut dan menyangka bahwa penarikan tenaga ini adalah siasat yang hendak digunakan untuk memukulnya selagi ia kehabisan tenaga, maka ia lalu berjungkir balik di udara.






Tidak ada komentar :