*

*

Ads

Rabu, 22 Mei 2019

Pendekar Bodoh Jilid 094

Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa sebenarnya kakek itu telah kehabisan napas dan tenaga. Ia telah amat tua dan tenaganya banyak berkurang maka sekarang menghadapi Cin Hai setelah tadi melawan keroyokan Eng Yang Cu dan Nelayan Cengeng, ia tidak-kuat lagi dan tenaganya runtuh.

Ketika semua orang memandang ternyata Kiam Ki Sianjin masih berdiri dengan pedang potong di tangan, tanpa bergerak sedikit pun dan kedua matanya masih meram.

Cin Hai mendekati dan melihat keadaan Kiam Ki Sianjin, ia menjadi terkejut dan menyesal, karena ia tahu bahwa kakek itu telah putus nyawanya karena serangan dari dalam. Ini hanya terjadi kalau orang terlalu marah.

Seorang perwira menghampiri tubuh Kiam Ki Sianjin yang masih berdiri diam dan hendak menariknya.

“Jangan!” teriak Cin Hai dan maju melompat hendak mencegah.

Akan tetapi terlambat. Ketika perwira itu memegang lengan Kiam Ki Sianjin dan hendak menolong dan menuntunnya, tiba-tiba ia menjerit ngeri dan terjengkang ke belakang bagaikan mendapat pukulan hebat. Sementara itu tubuh Kiam Ki Sianjin lalu roboh ke depan dalam keadaan masih kaku.

Perwira itu roboh dan tewas di saat itu juga oleh karena ia terkena hawa dari tenaga dalam yang masih terkumpul di lengan tangan kakek itu dan biarpun ia telah mati, akan tetapi tubuhnya masih hangat dan hawa tenaga keluar dan menghantam perwira itu hingga binasa.

Dengan menyesal, Cin Hai lalu mengajak kawan-kawannya lari dari tempat itu untuk menghindari pertempuran-pertempuran selanjutnya, oleh karena mereka maklum bahwa kematian kakek ini tentu takkan dibiarkan saja oleh para perwira tadi!

Nelayan Cengeng dan Eng Yang Cu tiada habisnya memuji-muji kelihaian Cin Hai yang diterima dengan ucapan merendah oleh pemuda ini. Juga Kwee An, biarpun tidak mengucapkan sesuatu, namun pandangan matanya kepada pemuda itu berubah penuh hormat dan bangga serta memandang tinggi.

Nelayan Cengeng lalu menceritakan bahwa dalam usahanya mencari jejak Lin Lin dan Ma Hoa, di jalan ia bertemu dengan Eng Yang Cu yang telah dikenal baik. Eng Yang Cu mendengar tentang penderitaan yang dialami oleh muridnya, maka mereka berdua merasa marah sekali kepada Hai Kong Hosiang lalu mencarinya ke kota raja untuk mengadu kepandaian dan membalas sakit hati keluarga Kwee An.

Akan tetapi, ternyata bahwa mereka tak dapat menemukan Hai Kong Hosiang, sebaliknya bertemu dengan Kiam Ki Sianjin yang menyerang mereka dengan hebat ketika mendengar bahwa mereka datang hendak membunuh Hai Kong Hosiang!

Setelah menceritakan pengalaman masing-masing, Cin Hai lalu menceritakan kepada Eng Yang Cu tentang ikatan jodoh antara Kwee An dan Ma Hoa dan minta pertimbangan orang tua ini. Cin Hai yang tahu bahwa Kwee An tentu tidak berani bicara sendiri, telah mewakili pemuda itu. Eng Yang Cu tertawa bergelak-gelak ketika mendengar ini.

“Ha, ha, ha! Aku sudah tahu tentang hal ini dan Nelayan Cengeng telah berunding denganku. Tentu saja Pinto merasa bersyukur sekali, dan pinto yakin bahwa murid Si Cengeng ini tentu seorang nona yang baik asal saja sifat cengeng dari gurunya tidak menurun kepadanya!”

Nelayan Cengeng tertawa bergelak.
“Eng Yang Cu, begitulah kalau orang selamanya membujang! Tidak tahu akan sifat wanita. Wanita manakah yang tidak cengeng? Ha, ha, ha!”

Ketika mereka berempat sedang mengobrol gembira, tiba-tiba terdengar suara yang datangnya dari jauh sekali akan tetapi cukup jelas,

“Orang Turki dan kedua nona berada di bukit utara dekat tapal batas!”

Mendengar suara tanpa rupa ini, Cin Hai segera berlutut memberi hormat ke arah suara itu.

“Siapakah yang bicara dan memiliki khikang mujijat itu?” tanya Eng Yang Cu.

“Suhu sendiri yang memberi tahu bahwa mereka berada di utara!” kata Cin Hai yang lalu mengangguk-anggukkan kepala menghaturkan terima kasih kepada gurunya.

Nelayan Cengeng dan Eng Yang Cu saling pandang dan mereka ini kagum sekali akan kelihaian Bu Pun Su yang telah dapat mengirim suara dari tempat jauh. Kwee An merasa girang sekali dan setelah kedua orang tua itu berjanji hendak menghadiri perjodohan mereka, keduanya lalu pergi ke lain jurusan. Kwee An dan Cin Hai dengan hati girang lalu mempergunakan ilmu lari cepat untuk menuju ke utara, dimana kekasih mereka telah menanti dengan hati rindu!






Kwee An dan Cin Hai yang melakukan perjalanan dengan cepat sekali, beberapa hari kemudian telah tiba di pegunungan di utara dekat tapal batas. Mereka mulai mencari-cari hingga akhirnya tibalah mereka di dalam sebuah dusun di dekat lereng tempat tinggal Yousuf.

Ketika mereka bertanya kepada penduduk kampung tentang rumah seorang Turki dengan dua orang nona Han, mereka segera disambut oleh kepala kampung itu yang juga seorang Han dan berpakaian sebagai pembesar kampungan. Orang ini bertubuh pendek dan ramah tamah sekali. Ia menyatakan kenal baik kepada Yousuf karena sering kali saling mengunjungi dan bercakap-cakap.

Bukan main girangnya hati Kwee An dan Cin Hai yang menjadi berdebar ketika mengetahui bahwa rumah kekasih mereka telah dekat di depan! Kepala kampung yang baik hati dan ramah tamah itu bahkan lalu mengantar mereka menuju ke rumah Yousuf yang berada di lereng sebelah kiri dusun itu.

Ketika mereka telah melihat rumah kecil indah yang dikelilingi bunga-bunga itu dari jauh tiba-tiba dari atas bukit yang tak jauh dari situ terdengar suara pekik burung merak yang nyaring sekali. Cin Hai teringat akan Nelayan Cengeng tentang Merak Sakti, maka hatinya tertarik sekali dan ia lalu berkata kepada Kwee An,

“Saudara Kwee An, kau pergilah ke sana dulu dengan Chungcu (Kepala kampung) aku ingin sekali melihat burung aneh itu.”

Kwee An tersenyum dan ia maklum bahwa selain tertarik hatinya oleh burung merak itu, juga Cin Hai hendak menyembunyikan rasa girang dan malunya karena hendak bertemu dengan Lin Lin!

“Akan tetapi jangan terlalu lama,” katanya. “Aku tidak tanggung jawab kalau adikku marah-marah!”

Cin Hai mendelikkan mata dan melompat cepat ke arah puncak bukit itu hingga membuat kepala kampung merasa heran dan kagum sekali! Kwee An sambil tersenyum-senyum melanjutkan perjalanan menuju ke rumah dengan hati berdebar.

Kebetulan sekali, ketika mereka tiba di dekat rumah, Kwee An melihat seorang gadis sedang menyirami kembang mawar hutan yang indah dan sedang mekar dengan segarnya.

Gadis ini cantik jelita dan mengenakan pakaian titik-titik hijau dengan leher berwarna merah. Rambutnya yang hitam panjang itu disanggul ke belakang dan agak kusut karena tertiup angin gunung, akan tetapi kekusutan rambutnya ini bahkan menambah kemanisannya.

Kwee An tiba-tiba berhenti dan memberi isyarat kepada kepala kampung itu agar tak mengeluarkan suara. Kemudian ia menghampiri gadis itu dengan meringankan tindakan kakinya dari belakang. Setelah berada dekat di belakang gadis itu, ia telah tak dapat menahan lagi perasaan girang dan debaran jantungnya yang mengeras, lalu mengeluarkan panggilan yang diucapkan dengan bibir gemetar,

“Hoa-moi…”

Ma Hoa cepat menengok sambil berdiri. Matanya yang indah dan lebar terbelalak dan wajahnya tiba-tiba menjadi merah. Tak terasa lagi tempat air yang tadi dipegangnya terjatuh ke atas tanah dan hanya dapat berkata,

“Kau… kau… An-ko…”

Kemudian, setelah dua pasang mata itu saling bertemu dan saling pandang dalam seribu satu bahasa dan sinar mata itu mewakili hati masing-masing dan melepas kerinduan dengan pandangan mesra, Ma Hoa menundukkan kepalanya, lalu berkata perlahan,

“Koko, mengapa baru sekarang kau datang?”

Ucapan ini biarpun terdengar seakan-akan gadis itu menegur, akan tetapi bagi telinga Kwee An merupakan sebuah pengakuan bahwa gadis itu telah lama merindukannya!

“Moi-moi, maafkanlah bahwa baru sekarang aku dapat menemukan tempat ini. Kau makin cantik dan manis, hingga bunga ini nampak buruk berada di dekatmu!”

Ma Hoa mengerling dengan tajam dan bibirnya tersenyum senang, karena wanita manakah yang takkan merasa bahagia dan bangga apabila mendapat pujian dari kekasihnya?

Dalam kebahagiaan pertemuan ini, Kwee An sama sekali lupa bahwa ia datang dengan kepala kampung yang kini berdiri menjauhinya dan duduk di atas sebuah batu karena merasa jengah dan malu kalau harus mendekati mereka. Juga Kwee An lupa untuk bertanya tentang Lin Lin atau Yousuf.

Sebaliknya Ma Hoa juga sama sekali tidak ingat untuk bertanya tentang Cin Hai atau orang-orang lain. Pendek kata, pada saat itu, mereka merasai bahwa di atas dunia ini hanya ada mereka berdua saja.

Tiba-tiba, ketika kedua teruna remaja ini sedang bercakap-cakap dengan suara bisikan mesra, terdengar bentakan keras dari dalam rumah kecil itu.

“Ada tamu datang! Silakan kau minum air teh, anak muda!”

Dan, berbareng dengan bentakan ini tubuh Yousuf muncul dari pintu dan orang Turki yang berilmu tinggi ini lalu melempar sebuah poci yang tadi dipegangnya ke arah Kwee An!

Kepala kampung yang tadi duduk, melihat hal ini lalu bangkit berdiri dan memandang dengan hati kuatir. Ia tahu akan keanehan sikap orang Turki ini, dan pernah ia mendengar tentang lemparan poci teh dan mengerti pula akan maksudnya oleh karena dulu pernah ada beberapa orang pemuda kampung yang tertarik oleh kecantikan kedua orang gadis itu dan datang pula ke situ.

Akan tetapi, mereka ini pun mendapat sambutan lemparan poci teh yang membuat mereka lari tunggang langgang, oleh karena mereka tak sanggup menerima poci yang menyambar mereka bagaikan seekor burung yang dapat beterbangan dan bergerak-gerak!

Ternyata bahwa Yousuf menggunakan poci teh itu untuk mencoba pemuda yang berani mendekati Ma Hoa atau Lin Lin dan lemparan poci ini adalah semacam kepandaian sihir yang digerakkan oleh tenaga khikang.

Melihat menyambarnya poci teh ke arah kepalanya, Kwee An terkejut sekali karena ia telah merasa datangnya serangan angin sambaran benda itu.

Namun Kwee An tidak saja telah memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, bahkan kini setelah lama melakukan perjalanan dengan Cin Hai, ia mendapat petunjuk-petunjuk berharga dari pemuda itu dan kepandaiannya telah mengalami banyak kemajuan. Selain itu, Cin Hai juga memberi petunjuk tentang penyempurnaan latihan lweekangnya hingga dalam hal tenaga lweekang dan khikang, Kwee An juga mendapat kemajuan pesat.

Melihat datangnya poci teh yang menyambar, Kwee An lalu mengulur tangan kanannya dan ia makin terkejut ketika merasa betapa poci itu terdorong oleh tenaga yang kuat sekali. Akan tetapi ia dapat mengerahkan lweekangnya dan menerima poci teh dengan baik, bahkan air teh yang di dalam poci sama sekali tidak tumpah keluar!

“Bagus, bagus! Ma Hoa, siapakah pemuda gagah ini?” tanya Yousuf yang segera melangkah menghampiri.

“Lekas kau minum air teh dari poci. Ini adalah Yo-peh-peh,” bisik Ma Hoa.

Kwee An tanpa ragu-ragu melakukan apa yang dikatakan oleh kekasihnya itu dan ia minum air teh dari mulut poci begitu saja tanpa cawan. Yousuf makin girang dan tertawa bergelak-gelak.

“Yo-peh-peh, ini adalah An-koko yang seringkali kau dengar namanya itu.”

Yousuf terkejut dan tahu bahwa ia tadi telah salah sangka. Maka cepat ia menghampiri dan membungkuk.

“Maaf, Kwee-taihiap, aku tua bangka sembrono telah berlaku kurang ajar.”

Akan tetapi, Kwee An dengan hormat sekali menjura setelah memberikan poci teh kepada kekasihnya dan berkata,

“Yo-peh-peh, setelah Hoa-moi menyebut kau Peh-peh, maka kau bukanlah orang lain dan perkenankanlah aku menyebut Peh-peh pula kepadamu yang baik hati dan berkepandaian tinggi!”






Tidak ada komentar :