*

*

Ads

Jumat, 24 Mei 2019

Pendekar Bodoh Jilid 096

“Jangan, An-ko, biarlah kita ampuni jiwa anjing ini agar jangan menodai kegembiraan pertemuan kita!”

Kwee An memandang kepada kekasihnya lama sekali, kemudian ia menghela napas dan berpaling kepada Lin Lin. Ia melihat betapa adik perempuannya yang masih saling berpegang tangan dengan Cin Hai juga tidak berniat menurunkan tangan membunuh Hai Kong Hosiang, maka mereka lalu hanya saling pandang dengan bingung.

Yousuf tertawa.
“‘Anak-anak! Demikianlah seharusnya orang yang mempunyai pribadi tinggi. Jangan terlampau mengandalkan kekuatan dan kepandaian untuk secara mudah mengambil nyawa orang lain, betapa besar pun dosanya terhadap kita! Ada kekuasaan terbesar di dunia ini yang akan mengadili segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia dan biarlah Dia mengatur sendiri hukuman yang akan ditimpakan kepadanya!”

Cin Hai merasa kagum sekali mendengar ucapan ini, dan Lin Lin lalu memimpin tangan kekasihnya mendekati Yousuf.

“Ayah, inilah calon mantumu dan Hai-ko, ketahuilah bahwa orang tua ini adalah ayah angkatku!”

Cin Hai memberi hormat dan dibalas dengan selayaknya oleh Yousuf. Tiba-tiba tubuh Hai Kong Hosiang bergerak dan bergulingan sambil mulutnya berteriak,

“Bangsat-bangsat rendah, kau kira aku takkan dapat membalas dendam? Tunggulah pembalasanku!”

Sambil memaki-maki dan berteriak-teriak, Hai Kong Hosiang lalu menggulingkan dirinya cepat sekali dan tahu-tahu tubuhnya terguling masuk ke dalam sebuah jurang yang dalam!

“Nah, begitulah hukuman seorang jahat!” kata lagi Yousuf dan ia lalu mengajak mereka semua kembali ke rumahnya.

Cin Hai tak lupa membawa Pek-gin-ma bersama mereka. Malam yang indah. Bulan bersinar gemilang dan penuh hingga keadaan malam itu sama dengan siang, akan tetapi lebih indah. Daun-daun pohon menghitam dan mendatangkan pemandangan yang menarik sekali.

Di bawah pohon nampak dua orang muda berdiri dan bercakap-cakap dengan asyik dan mesra. Mereka ini adalah Lin Lin dan Cin Hai. Dengan suara penuh cinta kasih, kedua orang ini saling menuturkan pengalaman masing-masing diselingi pandang yang menyatakan betapa besarnya cinta kasih mereka.

Ketika Lin Lin mendengar tentang nasib Ang I Niocu, gadis ini menangis karena terharu dan kasihan, hingga Cin Hai lalu mengelus dan membelai rambutnya sambil berkata,

“Lin Lin kita tak boleh melupakan Ang I Niocu yang telah mengorbankan jiwa dalam usahanya mempertemukan kita. Akan tetapi, kita pun tak boleh terlalu bersedih. Biarpun ia telah pergi ke alam akhir, akan tetapi dia meninggalkan sesuatu untuk kita buat kenangan.”

Setelah berkata demikian, Cin Hai lalu mengeluarkan potongan kain merah dari pakaian Ang I Niocu yang ditemukan di permukaan air laut itu. Lin Lin menahan sedu sedannya dan mendekap kain itu ke dadanya.

“Enci Im Giok….” bisiknya, “kau… kau di manakah?” Kemudian, matanya terbelalak memandang kepada Cin Hai sambil berkata, “Engko Hai, aku tidak percaya bahwa Enci Im Giok telah meninggal dunia! Kalau aku tidak melihat jenazahnya dengan mata kepala sendiri aku tidak percaya seorang seperti dia dapat meninggal dunia!”

Cin Hai menghela napas dan menjawab,
“mudah-mudahan saja betul dugaanmu itu. Akan tetapi, menghadapi ledakan dan kebakaran hebat itu, manusia manakah yang sanggup menyelamatkan dirinya?”

Untuk beberapa lama mereka berdiam diri, seakan-akan berdoa kepada Thian Yang Maha Kuasa untuk keselamatan Ang I Niocu yang mereka sayang. Kemudian, setelah keharuan hati agak mereda, Lin Lin lalu menceritakan kepada kekasihnya tentang pertemuannya dengan Bu Pun Su dan tentang pedang pendek Han-le-kiam yang dibuat oleh kakek sakti dan diberikan kepadanya. Kemudian ia berkata,

“Hai-ko, Suhumu berpesan agar supaya engkau memberi pelajaran ilmu pedang kepadaku, karena setelah aku memiliki pedang ini aku berhak mempelajari ilmu pedangnya.”






Cin Hai menghela napas dan berkata,
“Lin-moi, ketahuilah. Dulu ketika aku mempelajari ilmu silat dari Suhu, aku diharuskan bersumpah.”

“Aku pun bersedia bersumpah!” memotong Lin Lin sambil cemberut.

Cin Hai tersenyum.
“Bukan begitu maksudku Lin-moi. Aku dulu harus bersumpah bahwa selain harus mempergunakan ilmu kepandaian itu untuk kebenaran dan keadilan juga aku tidak boleh mengajarkan kepada orang lain, siapapun juga orang itu.”

“Apa kau tidak percaya kepadaku?” Lin Lin memotongnya lagi.

Cin Hai memegang lengan kekasihnya.
“Kau harus belajar bersabar, Lin-moi. Aku hanya hendak menyatakan kepadamu bahwa apabila bukan atas kehendak Suhu sendiri, biarpun di dalam hati aku ingin sekali memberi pelajaran kepadamu, namun aku takkan berani. Sekarang Suhu bahkan menyuruh aku memimpinmu, tentu saja aku merasa girang dan berbahagia! Akan tetapi, oleh karena sudah menjadi keharusan, kau pun harus mengucapkan sumpah, Lin-moi. Dengan demikian, biarpun Suhu tidak menyaksikan sendiri akan tetapi kita tidak melakukan pelanggaran, oleh karena syarat terutama bagi seorang murid kepada gurunya yang terpenting ialah ketaatan dan kesetiaan!”

Lin Lin mengangguk girang. Kemudian ia lalu memegang pedang pendek Han-le-kiam itu dengan kedua tangannya, diangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala sambil berlutut. Dengan suaranya yang nyaring dan merdu, dara jelita itu bersumpah,

“Teecu Kwee Lin, dengan disaksikan oleh Pedang Han-le-kiam pemberian Suhu Bu Pun Su, disaksikan pula oleh Hai-ko, dan oleh bulan purnama, oleh langit dan bumi, teecu bersumpah bahwa apabila teecu telah mempelajari ilmu silat dan ilmu pedang dari Hai-ko sebagai wakil Suhu Bu Pun Su, kepandaian itu akan teecu pergunakan semata-mata untuk menjaga diri dari serangan orang jahat, untuk menolong sesama hidup yang menderita, untuk membasmi penjahat-penjahat dan penindas rakyat.”

Cin Hai menyaksikan sumpah ini sambil berdiri di bawah pohon dan memandang dengan wajah sungguh-sungguh.

Kemudian mereka lalu kembali ke pondok kecil di lereng bukit itu. Keadaan di bukit itu demikian indahnya hingga Cin Hai dan Kwee An merasa kerasan sekali. Mereka mengambil keputusan untuk berdiam di tempat indah itu beberapa bulan sebelum mengajak dua orang gadis kekasih mereka kembali ke pedalaman.

Dan mulai keesokan harinya Cin Hai mengajarkan ilmu-ilmu silatnya yang ia dapat dari Bu Pun Su. Akan tetapi, untuk dapat memiliki kepandaian mengenai dasar ilmu silat sebagaimana yang telah ia miliki, bukanlah pelajaran yang dapat difahamkan dalam beberapa bulan saja, maka Cin Hai lalu menurunkan Ilmu Pukulan Pek-in-hoat-sut dan Kong-ciak-sin-na kepada Lin Lin. Juga memberi pelajaran ilmu pedang yang telah diciptakannya sendiri itu.

“Apakah namanya kiam-hoat (ilmu pedang) ini?” tanya Lin Lin.

Cin Hai memandang dengan sinar mata bodoh, oleh karena sesungguhnya ia sendiri juga tidak tahu. Ia telah ciptakan ilmu pedangnya dan bahkan ilmu pedangnya yang luar biasa itu telah berjasa ketika digunakan dalam pertempuran hebat menghadapi Kiam Ki Sianjin yang tangguh akan tetapi sampai sekarang, ia sendiri masih belum tahu apa nama ilmu pedang ini.

“Eh, kenapa kau bengong saja?” Lin Lin bertanya. “Kau bilang bahwa kau sendiri pencipta ilmu pedang ini, masa tidak tahu namanya?”

“Lin-moi, bayi yang baru terlahir tidak membawa nama pula.”

Lin Lin tertawa geli.
“Jadi kau anggap ilmu pedangmu seperti bayi? Kalau begitu kau terlambat memberi nama kepada bayimu! Jangan-jangan ia sudah jenggotan masih belum mempunyai nama!”

Cin Hai tertawa juga mendengar kelakar ini, kemudian ia lalu berkata dengan sungguh-sungguh,

“Lin-moi ilmu pedang ini kuciptakan atas anjuran dan desakan Ang I Niocu, kalau tidak dia yang mendesak dan memberi saran, mungkin sampai sekarang atau selamanya aku takkan bisa menciptakan kiam-hoat sendiri. Pada waktu aku menciptakan kiam-hoat ini, selain Ang I Niocu yang memberi petunjuk-petunjuk, juga aku mendapat bantuan yang amat berharga dari daun-daun bambu.”

Lin Lin merasa heran sekali mendengar ini, hingga Cin Hai harus menceritakan bagaimana ia mencipta ilmu pedangnya itu, dan betapa Ang I Niocu telah memberi petunjuk-petunjuk pula tentang gaya gerakan untuk memperindah kiam-hoatnya.

“Aku telah mempelajari Tari Bidadari dari Ang I Niocu dan karenanya, selain suka akan seni suara, aku pun suka seni tari. Menurut pikiranku, ilmu silat tiada jauh bedanya dengan seni tari, atau boleh kusebut saja bahwa ilmu silat adalah seni tari yang tidak saja mempunyai gerakan indah dan manis dipandang, akan tetapi juga memerlukan bakat dan darah seni untuk dapat melakukannya dengan sempurna. Bedanya antara keduanya itu, yaitu antara tarian biasa dan ilmu silat adalah bahwa tarian hanya membayangkan keindahan, sebaliknya ilmu silat khusus mengatur gerakan kaki tangan yang keseluruhannya ditujukan untuk menjadi gerakan yang cepat dalam menyerang dan menangkis atau mengelak.”

“Eh, eh, Hai-ko, biarpun uraianmu itu amat menarik, akan tetapi telah melantur jauh daripada inti percakapan kita semula,” kata Lin Lin menggoda sambil tersenyum karena melihat betapa pandangan mata pemuda itu telah melayang jauh seperti orang melamun.

“Kalau kau bercakap seperti ini, kau seperti seorang kakek-kakek saja.”

Cin Hai bagaikan terbetot kembali dari alam renungan dan ikut tersenyum pula.
“O ya, kita sedang mempercakapkan soal nama ilmu pedang kita. Hm, apakah gerangan nama yang terbaik? Akan tetapi, apa pula artinya memberi nama yang indah?” ia mencela sendiri.

Tak tertahan pula geli hati Lin Lin hingga ia tertawa.
“Bagaimana sih kau ini? Berbantah-bantah seorang diri, seakan-akan dalam dirimu terdapat dua orang yang sedang bertengkar!”

“Biarlah kuberi nama Ilmu Pedang Daun Bambu saja!”

Sepasang mata Lin Lin yang indah itu bersinar gembira.
“Alangkah lucu dan anehnya nama itu. Ilmu Pedang Daun Bambu! Aneh seperti… penciptanya!”

Cin Hai memandang dengan mata terbelalak.
“Apa? Apakah dalam pandanganmu aku ini orang aneh?”

“Memang, aneh sekali! Karena di seluruh dunia ini tak mungkin aku bertemu dengan seorang pemuda seperti engkau. Kau berbeda dengan orang-orang lain, bukankah itu aneh namanya?”

“Kalau begitu sama saja dengan kau. Aku pun belum pernah dan rasanya takkan pernah bertemu dengan gadis seperti engkau, semanis kau, secantik kau, dan se… nakal engkau!”

Lin Lin mengulurkan tangan dan jari-jari yang halus itu mencubit lengan Cin Hai yang tertawa dengan hati beruntung.

“Sudahlah, Moi-moi, kalau kita bersendau-gurau saja, sampai kapan kau akan dapat menghafal pelajaran Kim-hoatmu?”

“Tapi aku tidak suka nama kiam-hoat itu. Ilmu Pedang Daun Bambu, sungguh lucu! Kalau aku bertanding dengan seorang lawan mempergunakan ilmu pedang ini, kemudian lawan itu kalah hingga aku menjadi bangga, tetapi apabila lawan yang kalah itu bertanyakan nama ilmu pedangku bukankah kebanggaanku akan musnah dan terganti rasa malu kalau aku menyebutkan bahwa ilmu pedang yang hebat itu, yang telah mengalahkannya, namanya tak kurang tak lebih hanya Ilmu Pedang Daun Bambu saja? Murah sekali!”

“Apa yang murah?”

“Daun bambu itu!”

Cih Hai hanya tertawa.
“Kalau begitu, biarlah ilmu pedangku ini dirubah sedikit dan disesuaikan dengan gerakan-gerakanmu serta dengan pedangmu yang pendek ini. Kemudian, setelah kau dan aku menciptakan ilmu pedang baru berdasarkan Ilmu Pedang Daun Bambu, kau lalu memberi nama sendiri. Bagaimana?”

Bersinar-sinar mata Lin Lin mendengar ini.
“Bagus! Hai-ko! Bagus, aku sudah dapat nama itu!”

Cin Hai terheran.
“Sudah ada namanya? Ini lebih aneh lagi! Bayinya belum terlahir sudah diberi nama! Apakah namanya?”

“Namanya Han-le Kiam-sut, sesuai dengan nama pedang pemberian Suhu.”






Tidak ada komentar :