*

*

Ads

Jumat, 24 Mei 2019

Pendekar Bodoh Jilid 097

Cin Hai merasa girang karena menurut pikirannya, nama itu pun baik dan cocok sekali. Demikianlah, mulai saat itu Cin Hai mengajar ilmu pedang kepada Lin Lin, berdasarkan Ilmu Pedang Daun Bambu, akan tetapi diadakan perubahan di sana-sini untuk disesuaikan dengan pedang pendek di tangan Lin Lin.

Memang gerakan-gerakan pedang pendek berbeda dengan pedang panjang, karena pedang pendek yang merupakan sebilah belati atau pisau itu harus dipergunakan lebih cepat agar jangan didahului oleh ujung senjata yang lebih panjang. Senjata yang pendek ini harus dipergunakan dalam pertempuran secara mendekat dan rapat baru dapat berhasil, dan ini pun ada kebaikannya, oleh karena dalam menghadapi seorang lawan yang bersenjata toya, lebih menguntungkan apabila menghadapinya dengan rapat hingga gerak senjata yang panjang itu menjadi kurang leluasa.

Sudah tentu hal ini membutuhkan keberanian besar dan ketenangan serta kewaspadaan, juga terutama sekali harus memiliki ginkang (ilmu meringankan badan) yang tinggi hingga gerakan bisa dilakukan dengan lincah dan cepat.

Akan tetapi, Lin Lin memang telah mempelajari dasar ilmu silat yang cukup baik dan tinggi serta ginkangnya memang sudah hebat, apa lagi kini mendapat petunjuk dan latihan lweekang dan ginkang, maka dalam beberapa hari saja ilmu kepandaiannya telah maju dengan pesatnya.

Tidak hanya Cin Hai dan Lin Lin yang hidup penuh kebahagiaan di lereng bukit yang indah itu. Kwee An dan Ma Hoa juga hidup dengan penuh kebahagiaan. Mereka berdua saling mencinta dan saling mengindahkan, saling menghormati dan seperti halnya Cin Hai dan Lin Lin, kedua teruna remaja ini pun bergaul dengan mesra akan tetapi penuh kesopanan dan jangankan dalam perbuatan, bahkan dalam pikiran pun sama sekali tidak terdapat hal-hal yang melanggar norma kesusilaan.

Hal ini membuat Yousuf merasa girang dan kagum sekali. Diam-diam orang tua ini, seperti halnya orang-orang tua lain, amat memperhatikan pergaulan anak-anak muda itu. Tadinya timbul juga perasaan curiga dan tidak senang melihat pergaulan yang bebas itu, yang tak dapat dilarangnya oleh karena memang sudah biasa bagi orang-orang gagah untuk bergaul secara bebas, akan tetapi melihat betapa keempat anak muda itu bergaul dengan penuh kesopanan, ia menjadi kagum sekali.

Makin yakin dan pasti perasaan hatinya bahwa mereka itu memang cocok untuk menjadi jodoh masing-masing, sama-sama cakap, sama-sama gagah, dan sama-sama sopan pula!

Biarpun selalu memilih tempat terpisah dari Lin Lin dan Cin Hai, tiap hari Kwee An dan Ma Hoa berjalan-jalan di pegunungan yang luas itu, menikmati keindahan tamasya alam sambil membicarakan tentang ilmu silat. Tak jarang mereka berlatih bersama, saling mengisi kekurangan dan saling belajar. Pada saat itu, tingkat kepandaian Kwee An lebih tinggi setingkat dari Ma Hoa, maka ia lalu memberi pelajaran kepada kekasihnya itu.

Telah beberepa hari ini, Ma Hoa selalu melepaskan rambutnya yang hitam dan kering indah di atas pundaknya. Rambutnya yang indah melambai-lambai tertiup angin dan mengeluarkan keharuman bunga yang selalu menghias rambutnya. Hal ini terjadi semenjak malam terang bulan di waktu ia berjalan-jalan bersama Kwee An bermandikan cahaya bulan yang sejuk.

Angin gunung bertiup perlahan dan tiba-tiba ikatan rambut Ma Hoa terlepas, hingga rambutnya itu terurai ke atas pundaknya. Kebetulan sekali ia berdiri menghadapi bulan hingga mukanya tertimpa cahaya sepenuhnya. Ketika ia menggunakan kedua tangannya hendak menyanggul dan mengikat rambutnya, Kwee An yang berdiri memandangnya dengan mata terbelalak segera mengangkat tangan berkata,

“Jangan… jangan sanggul rambutmu, Hoa-moi, biarkan saja…”

“‘Eh, eh, kau kenapa, An-ko?” tanya Ma Hoa dengan heran sambil melepaskan kembali rambutnya yang telah dipegangnya.

“Kau… kau nampak cantik sekali dalam keadaan seperti ini, Moi-moi. Dengan rambutmu yang halus hitam berombak-ombak di sekitar lehermu, melambai tertiup angin, seakan-akan setiap lembar rambut itu hidup dan bernyawa kau seperti seorang bidadari yang baru turun dari surga. Demi segala kecantikan dan keindahan, jangan kau sanggul rambutmu, Moi-moi, biarkan saja terurai di atas kedua pundakmu!”

Sampai bertitik dua butir air mata dari mata Ma Hoa karena amat terharu dan girang mendengar pujian yang keluar dari mulut kekasihnya ini dan semenjak saat itu ia berjanji tidak akan menyanggul rambutnya lagi. Tentu saja ia tidak memberi tahu kepada orang lain tentang hal ini dan hanya mengatakan bahwa ia lebih suka mengurai rambutnya.

Lin Lin dan Cin Hai, juga Yousuf, menyatakan kagumnya karena dengan mengurai rambutnya yang berombak menghitam itu sesuai sekali dengan potongan wajahnya yang membulat telur.






Pada suatu hari, ketika Kwee An dan Ma Hoa sedang berdiri sambil mengagumi pemandangan di sebuah lereng yang baru kali itu mereka datangi, menikmati pemandangan yang ditimbulkan oleh matahari yang baru saja muncul hingga indah luar biasa itu, tiba-tiba mereka melihat dua orang mendaki bukit dengan tindakan kaki cepat sekali.

Keduanya merasa terkejut oleh karena kedua orang itu lari cepat sekali, tanda ginkang mereka sudah mencapai tingkat tinggi. Keduanya lalu berdiri menanti dengan hati berdebar-debar dan menduga-duga, siapa gerangan orang asing itu.

Ketika mereka datang dekat Kwee An dan Ma Hoa, ternyata bahwa mereka adalah seorang hwesio gundul yang tua dan seorang laki-laki muda yang rambutnya juga panjang terurai tertiup angin. Selain berambut panjang, laki-laki itu pun berpakaian secara aneh sekali, potongan baju itu berbeda dengan pakaian bangsa Han yang biasa dipakai orang. Juga kakinya mengenakan sepatu yang panjang sampai ke atas betis. Akan tetapi gerak-gerik laki-laki ini gesit dan cepat, agaknya kepandaiannya tidak di sebelah bawah hwesio gundul itu.

Agaknya kedua pendaki bukit yang aneh itu pun telah melihat Kwee An dan Ma Hoa, karena mereka segera menujukan ke arah kedua anak muda itu. Setelah tiba di hadapan Kwee An dan Ma Hoa yang memandang heran, hwesio tua itu lalu menjura dan bertanya,

“Jiwi mohon tanya di mana rumah seorang Turki bernama Yousuf?”

Kwee An dan Ma Hoa saling pandang, sedangkan orang muda berambut panjang itu memandang Ma Hoa dengan sinar mata kagum yang tidak disembunyikan.

“Suhu ini siapakah dan apakah perlunya mencari rumah Yo-sianseng?” tanya Kwee An yang berlaku hati-hati karena menaruh curiga kepada dua orang pengunjung ini.

“Eh, siapakah nama Nona yang cantik seperti bidadari ini? Kumaksudkan rambutnya yang cantik dan indah, alangkah bagusnya,” kata pemuda berambut panjang itu dengan kagum.

Suaranya juga aneh, karena terdengar seperti suara wanita halus dan merdu, akan tetapi tak dapat disangsikan lagi bahwa dia adalah seorang pria, karena selain potongan tubuhnya yang kuat dan dadanya yang bidang itu, juga jelas nampak kalamenjing di lehernya yang takkan terdapat pada leher seorang wanita.

Ma Hoa menjadi marah sekali dan memandang dengan mata bernyala. Ia hendak menegur dan mendamprat, akan tetapi Kwee An memberi isyarat agar supaya ia bersabar.

“Pinceng hendak mencari dua orang gadis yang berada dengan orang Turki itu. Kenalkah Jiwi kepada dua orang nona bernama Ma Hoa dan Lin Lin?”

Makin curiga dan terkejutlah Kwee An dan Ma Hoa mendengar pertanyaan ini.
“Akulah yang bernama Ma Hoa. Suhu mencari aku ada keperluan apakah?”

Tiba-tiba mata hwesio itu terbelalak dan ia tertawa terbahak-bahak dengan girang.
“Ha, ha, ha! Dicari-cari sampai pusing tidak bertemu, tahu-tahu mencari keterangan pada orang yang dicari! Ini namanya memang harus mampus di tangan pinceng ini hari!”

Bukan main terkejutnya hati Kwee An dan Ma Hoa mendengar ini, karena sungguh tak pernah mereka sangka bahwa hwesio tua ini mencari Ma Hoa dan Lin Lin dengan maksud jahat!

Kwee An melompat maju dengan marah.
“Hwesio tua? Apa maksud kata-katamu yang jahat itu? Siapakah kau dan mengapa kau datang-datang mengandung maksud yang buruk dan jahat?”

“Buka lebar-lebar mata dan telingamu! Pinceng adalah Bo Lang Hwesio dan Boan Sip adalah muridku. Muridku itu terbunuh mati oleh Ma Hoa dan Lin Lin, maka sekarang pinceng mencari dua orang pembunuh itu untuk maksud apa lagi?” Sambil berkata demikian, Bo Lang Hwesio tertawa lagi bergelak. “Dan ketahuilah bahwa anak muda kawanku ini adalah Ke Ce, pendekar gagah dari Mongolia Dalam. Dia adalah adik sepupu Pangeran Vayami dan datang hendak membalas dendam kepada Yousuf! Karena Yousuf orang Turki itulah yang telah menggagalkan usaha Pangeran Vayami dan mungkin orang Turki itu pula yang telah membunuh Pangeran Vayami!”

Bukan main marahnya Kwee An mendengar ucapan ini.
“Hm, jadi kau ini guru Boan Sip yang jahat? Pantas muridnya jahat, tidak tahu, gurunya juga berpemandangan sempit dan berpikiran dangkal! Adapun pembunuh Vayami bukanlah Yo-sianseng akan tetapi Hek Pek Mo-ko dan tak perlu kau mencari kedua orang tua itu, cukup aku wakilnya!”

“Bagus!”

Bo Lang Hwesio membentak marah dan ia segera melompat ke arah Ma Hoa dan mengirim serangan kilat!

“Bo Lang Suhu, jangan kau bunuh bidadari itu, tangkap hidup-hidup untukku!” teriak Ke Ce sambil menyerbu dan menyerang Kwee An.

“Ha, ha, ha, dasar kau mata keranjang!” kata Bo Lang Hwesio.

Ma Hoa terkejut melihat serangan Bo Lang Hwesio yang mencengkeram dan hendak menangkap pundaknya, karena serangan ini mendatangkan angin gerakan yang lihai. Ia maklum bahwa lweekang hwesio tua ini tinggi sekali dan merupakan lawan yang tangguh, maka ia cepat mempergunakan ginkangnya untuk melompat ke pinggir dan mengelak.

Sementara itu, Kwee An dengan tenang lalu menangkis pukulan Ke Ce dan keduanya berseru heran dan kagum karena ketika kedua lengan tangan mereka beradu, keduanya terpental mundur karena hebatnya tenaga lawan.

Diam-diam Kwee An terkejut karena tak disangkanya bahwa pendekar dari Mongolia Dalam ini memiliki tenaga dalam yang demikian besarnya hingga tidak kalah oleh tenaganya sendiri! Maka ia lalu membalas dengan serangan kilat dan mengerahkan kepandaiannya karena maklum bahwa kali ini lawannya bukan orang lemah.

Pada waktu Bo Lang Hwesio dan Ke Ce datang, Kwee An dan Ma Hoa sedang berdiri di dekat tebing gunung yang curam sekali hingga hutan dan pohon-pohon nampak kecil di bawah mereka maka ketika mereka berdua diserang, mereka sedang berdiri membelakangi tebing itu hingga keadaan mereka amat berbahaya.

Hal ini pun diketahui oleh Bo Lang Hwesio dan Ke Ce, maka mereka mendesak dengan hebat dan tidak memberi kesempatan kepada dua orang muda itu untuk berpindah tempat.

Kwee An masih dapat mempertahankan diri dari serbuan Ke Ce dengan ilmu silatnya yang tinggi, bahkan ketika ia membalas dengan serangan-serangannya, Ke Ce menjadi sibuk sekali karena harus berlaku awas untuk menghindarkan diri dari kaki dan tangan Kwee An yang mempunyai gerakan gesit dan tak terduga sama sekali itu.

Akan tetapi Ma Hoa yang menghadapi Bo Lang Hwesio, menjadi terdesak hebat sekali hingga gadis ini makin mundur mendekati tebing yang curam dan berbahaya! Kwee An yang melihat hal ini, merasa kuatir sekali, maka ia segera mengirim serangan kilat dengan tipu gerakan menyerampang dengan kaki kanan dan membarengi memukul dengan tangan kanan hingga Ke Ce terpaksa harus mempergunakan gerakan Ikan Leehi Melompati Ombak. Tubuh pemuda berambut panjang itu melompat ke atas dan berjungkir balik ke belakang dan karenanya dapat menghindarkan diri dari serangan Kwee An yang berbahaya tadi.

Kesempatan ini digunakan oleh Kwee An untuk melompat ke dekat Ma Hoa sambil berseru,

“Hoa-moi, hati-hati di belakangmu tebing!”

Sambil berseru demikian, ia lalu menyerbu untuk menahan serangan Bo Lang Hwesio yang lihai itu. Akan tetapi, pada saat itu, Ke Ce yang sudah mengejarnya, lalu mengirim pukulan yang berupa dorongan dengan kedua telapak tangan dibarengi bentakan yang keras sekali, bagaikan seekor harimau mengaum!

Kwee An merasa terkejut sekali ketika dari dorongan ini keluar tenaga dan angin yang luar biasa hingga ia terhuyung ke belakang dan pada saat itu, Bo Lang Hwesio yang tahu bahwa Kwee An memiliki ilmu kepandaian cukup lihai, lalu mengejar dan mengirim tendangan maut ke arah perut Kwee An yang sedang terhuyung ke belakang itu!

Ma Hoa menjerit ngeri melihat ini karena tendangan ini benar-benar berbahaya sekali dan agaknya Kwee An tak dapat mengelak lagi. Akan tetapi, Kwee An telah memiliki ketenangan dan kepandaian yang hampir sempurna, maka ketika merasa betapa tendangan maut mengancam perutnya, ia berseru keras dan tubuhnya mumbul ke atas dengan gesit bagaikan seekor burung walet. Cara menghindarkan diri dari tendangan maut ini sama sekali tidak diduga oleh Bo Lang Hwesio sendiri hingga tak terasa lagi hwesio ini mengeluarkan seruan kagum.






Tidak ada komentar :