*

*

Ads

Jumat, 31 Mei 2019

Pendekar Bodoh Jilid 111

Setelah bermalam di dalam gua, pada keesokan harinya Kwee An terjaga dari tidurnya dengan tubuh terasa panas sekali. Ketika ia menggerakkan tubuhnya, ia menjadi terkejut karena seluruh tubuhnya terasa kaku dan sakit.

Ternyata bahwa pukulan Angin Taufan dan kemudian kejatuhan itu mendatangkan akibat yang hebat juga. Ia menderita sakit dan agaknya keadaan gua yang kotor dan kekurangan hawa segar itu telah mendatangkan demam kepadanya! Terpaksa ia rebah di dalam gua itu dan selama tiga hari panas tubuhnya meningkat hingga ia rebah dalam keadaan sakit dan mengigau karena panasnya. Keadaannya berbahaya sekali karena selain tidak ada yang merawatnya, juga ia tidak dapat makan sesuatu.

Akan tetapi, pada hari ke empat, panasnya mengurang dan ia dapat menggerakkan tubuhnya merangkak perlahan ke mulut gua. Ia melihat tetumbuhan kecil di mulut gua itu dan oleh karena ia merasa lapar sekali, ia mengambil daun-daun muda dan memakannya!

Demikianlah, ia hidup dengan sengsara sekali selama berbulan-bulan di dalam gua itu, hanya makan akar-akar pohon dan daun-daun yang berada di dekat gua. Setelah tubuhnya menjadi kuat kembali, barulah ia merayap-rayap dengan jalan mencari pegangan pada akar-akar pohon dan menginjak batu-batu karang yang menonjol, berdaya keluar dari tempat tahanan alam ini!

Setelah ia dapat menginjak tanah datar lagi, ternyata bahwa tempat itu jauh berbeda dengan keadaan lereng gunung dimana Yousuf tinggal. Bagian bukit ini penuh dengan hutan-hutan liar dan tanpa ia sadari ia telah tiba di bagian utara gunung itu, sedangkan tempat tinggal Yousuf adalah di bagian selatan. Ia juga tidak ingat lagi bahwa ia telah berada di gua itu selama tiga bulan lebih!

Kwee An lalu memasuki sebuah hutan yang terdekat dan mencari buah-buah yang banyak tumbuh dari pohon-pohon besar di situ, dan makanlah ia sepuas dan sekenyangnya.

Akan tetapi, baru saja ia turun dari pohon, tiba-tiba dari hutan muncul serombongan orang yang segera datang mengurungnya sambil berteriak-teriak. Orang-orang ini berpakaian aneh, setengah pakaian Han dan setengah Mongol. Potongan tubuh dan wajah mereka bagus dan tiada banyak bedanya dengan orang-orang Han biasa, akan tetapi bahasa mereka terdengar aneh dan mirip bahasa Mongol.

Mereka ini adalah sekelompok sisa dari bangsa Haimi yang telah dipukul pecah dan diusir oleh bangsa Mongol. Orang-orang Haimi ini sebenarnya masih memiliki darah campuran, yaitu darah Han dan Mongol dan mereka mempunyai potongan muka yang boleh disebut tampan.

Kwee An merasa terheran-heran melihat bahwa semua orang yang aneh ini mempunyai kumis yang bagus dan panjang dan dilingkarkan ke atas. Akan tetapi mereka semua mencukur habis jenggot mereka, bahkan yang sudah agak tua pun tidak memelihara jenggot, hanya memelihara kumis yang melintang di bawah hidung! Lebih aneh lagi, bahkan orang-orang setengah dewasa yang berada di antara mereka, juga memelihara kumis pula!

Rombongan orang berkumis melintang ini mengepung Kwee An sambil mengajaknya bercakap-cakap dalam bahasa mereka yang sama sekali tidak dimengerti olehnya.

“Apakah yang kalian kehendaki? Aku tidak mengerti,” kata Kwee An kepada mereka sambil tersenyum dan mengangkat pundak.

Betapapun juga, ia melihat sikap mereka bukan seperti orang-orang liar yang hendak mencelakakan atau menyerangnya, maka hatinya menjadi lega.

Tiba-tiba seorang diantara mereka yang telah putih rambutnya, akan tetapi masih memiliki kumis yang hitam indah melintang di bawah hidungnya, maju menghampirinya dan bertanya dalam bahasa Han campuran yang kaku.

“Siapakah kau dan darimana kau datang?”

Kwee An merasa girang sekali. Ia cepat menjura memberi hormat kepada orang tua itu dan menjawab,

“Sukur sekali kau bisa bicara bahasa Han, Lopek. Siauwte bernama Kwee An dan aku datang ke sini bukan disengaja, hanya kebetulan saja. Tempat apakah ini dan siapakah kalian ini?”

Dengan sukar sekali kakek ini menjawab.
“Kami adalah bangsa Haimi yang mengikuti pemimpin kami dan sekarang tinggal di hutan ini. Telah bertahun-tahun kami tidak bertemu dengan orang Han, maka kami merasa heran sekali dapat bertemu dengan kau disini.”

“Mengapa kalian mengurungku?” tanya Kwee An dengan hati tidak enak juga.






“Kau harus ikut kami menghadap kepada pemimpin kami di dalam hutan.”

Biarpun tidak merasa keberatan untuk bertemu dengan pemimpin orang-orang Haimi ini, akan tetapi Kwee An tidak senang juga karena ia seakan-akan hendak dipaksa dan dijadikan tawanan pula, apa perlunya ia harus menghadap pimpinan mereka?

Adapun orang-orang yang mengelilinginya, terutama yang muda-muda, memandangnya seakan-akan ia adalah seorang yang lucu. Ia merasa betapa pandang mata mereka ini semua ditujukan kepada hidungnya hingga diam-diam Kwee An merasa heran dan beberapa kali ia menggunakan ujung lengan baju untuk menggosok-gosok hidungnya karena kuatir kalau-kalau tanpa disengaja ia telah mengotorkan hidungnya, ia tidak tahu bahwa para pemuda berkumis panjang itu memandangnya dengan tertawa-tawa karena geli melihat ia tidak berkumis sama sekali!

Bagi mereka, melihat seorang pria tidak berkumis sama dengan melihat harimau tak berkumis atau kera tak berbulu! Seorang di antara mereka, yang berwajah tampan dan mempunyai kumis kecil panjang melingkar ke atas sedangkan usianya paling banyak baru lima belas tahun, bahkan maju mendekatinya dan sambil menunjuk ke bawah hidung Kwee An, ia tertawa-tawa berkata dalam bahasanya.

Semua orang tertawa mendengar ucapan pemuda tanggung ini dan biarpun tidak mengerti bahasa mereka, namun Kwee An dapat merasa, bahwa ia dijadikan bahan olok-olok.

“Tidak, aku tidak mau pergi menghadap pemimpinmu!” kata Kwee An yang merasa sebal dan marah juga.

Orang tua itu melangkah mundur dua tindak dan bicara dalam bahasanya sendiri, yang maksudnya memberi tahu kepada semua kawannya bahwa orang asing ini tidak mau menghadap kepala mereka.

Tiba-tiba sikap orang-orang yang tadinya tertawa-tawa itu berubah. Mereka lalu mundur dan ketika tangan mereka bergerak, mereka semua telah mencabut golok kecil dengan tangan kiri dan melepaskan sebuah cambuk panjang dengan tangan kanan. Sikap mereka mengancam sekali.

“Eh, eh, apakah kalian hendak memaksaku?” tanya Kwee An kepada kakek tadi yang juga sudah mencabut keluar sebatang cambuk panjang berwarna merah dan sebuah golok kecil yang tajam sekali.

Kakek itu mengangguk.
“Kalau kau tidak mau menghadap dengan suka rela, terpaksa kami akan memaksamu. Setiap orang yang lewat disini, harus menghadap kepada pemimpin kami oleh karena daerah ini menjadi daerah kami dan berada di bawah kekuasaan kami! Jangan kau mencoba untuk melawan, anak muda, karena kau takkan keluar dari tempat ini dengan bernyawa kalau kau tidak menuruti permintaan kami!”

Tiba-tiba, anak muda belasan tahun yang tadi memperolok-oloknya, melompat maju ke hadapan Kwee An sambil memutar-mutar cambuknya ke atas. Cambuk itu berbunyi keras sekali, menyambar-nyambar di atas dengan ganasnya hingga diam-diam Kwee An menjadi terkejut dan juga kagum.

Tak mudah menggerakkan cambuk seperti itu kalau tidak memiliki kepandaian dan tidak melatih diri dengan baik. Cambuk itu dapat merupakan senjata yang berbahaya!

“Siapakah anak ini dan apa kehendaknya?” tanya Kwee An kepada kakek itu.

Orang tua itu berkata dengan suara dingin.
“Dia adalah putera pemimpin kami yang merasa tidak puas melihat sikapmu. Ia menganggap kau tidak menghormat ayahnya maka sekarang ia menantang kau untuk mengadu cambuk!”

“Mengadu cambuk? Apa artinya itu?”

“Ini adalah semacam adu kepandaian yang menjadi tradisi bangsa kami. Orang yang mengadu kepandaian memegang cambuk di tangan kanan dan golok di tangan kiri. Yang boleh dipergunakan untuk menyerang hanyalah cambuk itu saja, sedangkan golok itu digunakan untuk mencoba membabat putus cambuk lawan. Siapa yang cambuknya dapat putus berarti kalah. Apabila keduanya dapat menjaga hingga cambuk masing-masing tidak terputus, maka siapa yang terbanyak mendapat luka cambukan, ia kalah.”

Kwee An mengangguk-angguk dan ia memandang kepada pemuda belasan tahun itu dengan kagum. Sikapnya memang gagah sekali, tubuhnya kuat, sepasang matanya menyinarkan keberanian besar, sedangkan kedua tangan yang memegang senjata itu nampak tetap dan sigap.

“Aku terima tantangannya,” kata Kwee An dengan wajah berseri karena ia ingin sekali mencoba sampai dimana kepandaian anak muda yang tampan itu.

Ketika kakek itu memberi tahu bahwa Kwee An menerima tantangan pemuda itu, sikap mereka berubah lagi. Kalau tadi mereka bersungut-sungut dan marah, sekarang mereka bersorak dan bergembira, karena mereka memang menghargai kegagahan dan melihat bahwa Kwee An berani melawan pemuda yang menjadi jago diantara mereka itu, mereka merasa kagum!

Segera mereka berpencar dan duduk di atas rumput mengelilingi mereka dan memberi tempat yang cukup luas untuk kedua orang yang hendak bertanding itu. Sedangkan kakek itu lalu memberi pinjarnan sebatang cambuk panjang dan sebuah golok kepada Kwee An.

Sebetulnya Kwee An tidak gentar untuk menghadapi pemuda tanggung itu dengan tangan kosong, akan tetapi oleh karena ia kuatir kalau-kalau dianggap memandang rendah, ia lalu menerima kedua senjata itu dan memegang di tangan dengan sembarangan saja.

Tentu saja sikapnya ini menjadikan buah tertawaan lagi oleh karena bagi mereka, cara memegang kedua macam senjata itu saja sudah menunjukkan tingkat kepandaian pemegangnya. Menurut teori mereka, memegang cambuk itu harus di atas kepala dan selalu diayun-ayun dan diputar-putar, sedangkan tangan kiri yang memegang golok harus membalikkan golok itu dengan bagian yang tajam di atas agar mudah menangkis dan memutuskan cambuk lawan.

Akan tetapi Kwee An memegang cambuk yang tergantung ke bawah, sedangkan goloknya ia pegang seperti orang memegang golok untuk bersilat.

Pemuda tanggung itu tiba-tiba berseru keras dan Kwee An maklum bahwa itu tentu tanda bahwa lawannya hendak mulai menyerang, maka dengan tenang dan waspada ia berdiri memasang kuda-kuda dan memandang tajam.

Benar saja, cambuk pemuda itu tiba-tiba berbunyi keras dan berkelebat menyambar ke arah lehernya. Kwee An mengelak cepat sambil merendahkan tubuhnya, akan tetapi ternyata bahwa yang menyambar lehernya adalah bagian tengah cambuk itu, sedangkan ujungnya yang kecil lemas dan masih panjang itu tiba-tiba dapat bergerak ke arah dadanya.

Inilah tenaga lweekang yang dapat menggerakkan cambuk itu pada ujungnya seakan-akan cambuk itu hidup. Melihat ini, Kwee An merasa kagum juga dan cepat ia mengelak lagi dengan lompatan cepat ke samping.

Ia terlepas dari pada serangan pertama dan semua orang yang duduk mengelilingi tempat itu dan menonton, mengeluarkan seruan-seruan karena mereka merasa heran, melihat cara Kwee An mempertahankan diri.

Memang, mereka itu biasanya tidak mengandalkan kecepatan tubuh untuk mengelak dari serangan dan biasanya apabila diserang, mereka menggunakan golok di tangan kiri untuk menangkis dan mencoba memutuskan cambuk lawan, sedangkan cambuk sendiri harus segera dikerjakan untuk mengirim serangan balasan. Hingga ilmu cambuk mereka itu pada hakekatnya didasarkan atas kecepatan membalas serangan dan ketepatan menangkis dengan golok.

Gerakan Kwee An yang cepat itu membuat mereka terherah-heran, akan tetapi ketika pemuda itu menyerang terus bertubi-tubi hingga cambuknya menyambar-nyambar sambil memperdengarkan suara keras mengurung seluruh tubuh Kwee An, dan betapa Kwee An lalu mempergunakan ginkangnya berkelebat ke sana ke mari di antara sinar dan ujung cambuk, semua orang menjadi bengong karena tiba-tiba saja mereka tidak melihat lagi tubuh Kwee An dan hanya melihat bayangannya saja berkelebatan. Bahkan kakek tua itu pun tiada habisnya mengeluarkan seruan memuji.

Tiba-tiba pemuda tanggung itu menghentikan serangannya dan dengan muka merah karena penasaran dan marah, ia bicara dengan suara keras kepada Kwee An yang juga berdiri tenang.

Kakek itu lalu berkata dari tempat duduknya, “Ia merasa penasaran karena kau tidak menggunakan cara bertanding yang biasa. Kau mempergunakan cara berkelahi terhadap musuh, sedangkan permainan ini sama sekali bukan berkelahi, hanya mengadu kepandaian. Sekarang kau pilih, hendak berkelahi mengadu jiwa atau hendak bertanding mengadu kepandaian? Kalau hendak bertanding, kau harus membalas dengan cara yang sama dan menyerang dengan cambukmu!”






Tidak ada komentar :