*

*

Ads

Minggu, 02 Juni 2019

Pendekar Bodoh Jilid 118

Lie Kong Sian berhasil bertemu dengan sutenya, akan tetapi, biarpun ia melihat bahwa sutenya ini menyimpang dari perjalanan hidup yang benar, ia tidak tega untuk minta pertolongan Bu Pun Su.

Semenjak kecil ia hidup di atas pulau, belajar silat bersama sutenya ini hingga ia pandang Song Kun seperti adik sendiri yang amat ia kasihi, maka ketika ia melihat akan kesesatan Song Kun, ia hanya memberi nasihat.

Akan tetapi, benar sebagaimana dugaan suhunya, adiknya itu tidak mau menurut bahkan menantangnya hingga mereka lalu berkelahi! Tingkat kepandaian mereka memang sama, akan tetapi Song Kun memiliki kecepatan yang lebih hebat hingga akhirnya Lie Kong Sian dapat dikalahkan dan terpaksa melarikan diri.

Hal ini amat mendukakan hati Lie Kong Sian. Untuk minta bantuan Bu Pun Su, ia tidak tega melihat adiknya terhukum, kalau didiamkan saja bagaimana. Maka dalam kebimbangan dan keraguannya, ia lalu kembali ke Pulau Kim-san- to dan menangis di depan kuburan suhunya, mengakui akan kelemahannya. Kemudian ia lalu mengasingkan diri, bertapa di sebuah pulau kosong tak jauh dari Kim-san-to, sebuah pulau kecil yang disebut Pulau Pek-le-to. Seringkali Merak Sakti terbang ke pulau itu untuk mengunjunginya, dan juga beberapa kali Lie Kong Sian mendayung perahu kecil mengunjungi pulau dimana suhunya dimakamkan itu.

Demikianlah selama beberapa tahun bertapa di Pulau Pek-le-to, Kong Sian menuntut penghidupan tenteram, sampai pada hari itu ia dikejutkan oleh ledakan yang datang dari arah Pulau Kim-san-to. Kemudian datang Sin-kim-tiauw yang membawa tubuh Ang I Niocu yang pingsan, maka tentu saja ia menjadi heran, akan tetapi kepada siapa ia harus bertanya? Setelah menepuk-nepuk punggung rajawali itu, Kong Sian kembali ke dalam gua.

Seperti tadi, ia berdiri memandang Ang I Niocu dan kembali ia merasa jantungnya berdebar aneh. Ia menjadi terkejut sekali oleh karena belum pernah selama hidupnya ia mendapat perasaan seperti ini, sungguhpun telah banyak ia jumpai wanita-wanita cantik selama ia merantau. Ia maklum pengaruh apa yang mencengkeram hatinya, maka dengan wajah pucat ia segera membuang muka dan tidak mau memandang lagi.

Akan tetapi oleh karena hatinya masih saja berdebar, ia lalu pergi ke sudut gua dimana terdapat sebuah batu besar yang ia tilami jerami kering di atasnya, lalu duduk dan bersamadhi untuk menenteramkan hatinya yang terguncang!

Tak lama kemudian, Kong Sian berhasil menekan perasaan hatinya yang bergelora itu, maka ia lalu turun dari atas batu dan menghampiri Ang I Niocu kembali. Dilihatnya betapa wajah dara itu merah sekali dan pernapasannya sesak. Ia mengulurkan tangan meraba jidat gadis itu dan mendapat kenyataan bahwa gadis itu terserang demam hebat. Maka cepat ia keluar dari gua dan mencari daun obat yang banyak tumbuh di atas pulau Pek-le-to, lalu memeras daun itu dan meminumkan airnya pada Ang I Niocu, kemudian dengan saputangan yang dibasahi air ia lalu mengompres kepala Ang I Niocu.

Kekagetan dan ketakutan yang menyerang Ang I Niocu, ditambah lagi dengan pukulan hawa ledakan yang dahsyat itu, membuat gadis itu pingsan dan menderita sakit demam hebat selama tiga hari.

Dan selama itu, dengan setia dan hati penuh iba Kong Sian menjaga di sampingnya, merawatnya dengan penuh kesabaran dan ketelitian. Akan tetapi selama tiga hari itu, beberapa belas kali terpaksa Lie Kong Sian yang biasa berhati teguh dan beriman baja itu harus pergi duduk untuk bersamadhi dan mengatur pernapasannya menekan perasaan yang menggelora di dalam dadanya!

Pada hari ke empatnya, tubuh Ang I Niocu sudah mulai bergerak-gerak dengan gelisah, akan tetapi tubuhnya ternyata lemah sekali. Karena pergerakan yang gelisah itu, beberapa kali mantel yang menutupi tubuhnya terbuka dan dengan cepat dan sopan, Kong Sian lalu menutupkannya kembali. Kemudian ia lalu mengurut jalan darah gadis itu hingga Ang I Niocu merasa mendingan dan tidak begitu gelisah lagi, akan tetapi gadis itu masih belum membuka matanya. Sambil bergerak perlahan dengan mata tertutup ia berbisik.

“Lin Lin…. Hai-ji….” Kemudian sambil mengeluarkan ujung lidah yang disapu-sapukan pada bibirnya ia berbisik lagi, “Air…. air….”

Ketika Kong Sian meraba jidatnya, maka ternyata panasnya telah naik lagi. Kong Sian merasa kuatir sekali dan segera mengambil air yang telah dimatangkannya, lalu dengan sebuah sendok yang terbuat dari kayu, ia menyuapi air matang ke dalam mulut Ang I Niocu yang menelannya dengan lahap sekali.

Kong Sian lalu mengambil bubur gandum yang tadi di masaknya, lalu dengan perlahan ia menyuapkan bubur ini sesendok demi sesendok ke dalam mulut gadis itu yang menelannya tanpa membuka mata.

Setelah diberi makan bubur, gadis itu lalu tertidur kembali dan panasnya menurun. Kong Sian tetap menjaga dengan perasaan penuh iba. Dalam perawatan ini, timbullah rasa cinta yang amat besar dan mendalam di hati pemuda yang telah berusia tiga puluh lima tahun ini.






Memang tadinya Kong Sian mengambil keputusan untuk tidak kawin selama hidupnya dan tinggal di pulau itu menjadi pertapa, mempelajari ilmu batin, ilmu silat, dan ilmu pengobatan.

Akan tetapi semenjak pertemuannya dengan Ang I Niocu dalam keadaan yang ganjil ini, hatinya selalu bergoncang keras dan ia merasa betapa hidup ini baginya menjadi berubah sama sekali. Sering kali ia duduk di dekat Ang I Niocu dan membayangkan betapa akan hancur hatinya dan kosong hidupnya apabila gadis ini meninggal dunia karena sakitnya.

Setelah dirawat dengan amat teliti dan telaten oleh Kong Sian selama dua hari dua malam dalam keadaan setengah sadar dan belum pernah selama itu Ang I Niocu membuka matanya, maka lenyaplah demam yang menyerangnya. Tubuhnya menjadi segar kembali dan biarpun tubuhnya masih agak lemah, akan tetapi ia tidak gelisah lagi.

Pada hari ke tujuh semenjak ia tiba di situ, pagi-pagi hari Ang I Niocu membuka kedua matanya bagaikan baru bangun dari alam mimpi yang dahsyat. Ia bangun sambil tersentak kaget dan begitu membuka mata, ia lalu bangun duduk sambil memanggil nyaring.

“Lin Lin…. Hai-ji….. ” dan cahaya kekuatiran hebat terbayang pada wajahnya yang cantik.

Akan tetapi, alangkah kaget dan herannya ketika ia mendapat kenyataan bahwa ia sedang duduk diatas setumpuk rumput kering di dalam sebuah gua dan melihat seorang laki-laki cakap duduk di dekatnya sambil memandangnya dengan kagum sekali karena setelah kini Ang I Niocu membuka matanya Kong Sian merasa seakan-akan ia melihat seorang bidadari yang duduk di situ. Alangkah indah mata gadis itu!

Ang I Niocu meloncat ke atas karena kagetnya dan terlepaslah mantel penutup tubuhnya, hingga Kong Sian juga buru-buru melompat ke belakang dan memutar tubuhnya membelakangi gadis itu.

“Nona, pakailah mantel itu baik-baik, baru kita bicara!” katanya perlahan dan halus.

Sementara itu Ang I Niocu terkejut bukan main melihat betapa pakaiannya telah robek tidak karuan hingga ia hampir telanjang! Buru-buru dan dengan muka merah karena jengah, ia lalu menyambar mantel itu kembali dan menyelimuti tubuh dengan mantel itu dengan ikat pinggangnya yang berwarna kuning emas. Setelah selesai, maka dengan mata bernyala ia lalu menubruk dan menyerang Kong Sian dari belakang.

“Bangsat kurang ajar! Kau berani menghinaku?” serunya.

Mendengar sambaran angin pukulan, Kong Sian merasa terkejut sekali dan cepat ia mengelak sambil berkata,

“Eh, Nona, sabar dulu… aku… aku ….”

Biarpun merasa tubuhnya masih lemah, akan tetapi oleh karena marah maka Ang I Niocu tetap menyerang dengan hebat sambil mengeluarkan ilmu silatnya Kong-ciak Sian.

Kong Sian merasa terkejut sekali oleh karena tentu saja ia mengenal ilmu silat dari suhunya ini, maka dengan heran ia lalu melayani Ang I Niocu dengan baik. Makin kagumlah ia ketika mendapat kenyataan bahwa ilmu gerakan gadis ini ternyata lihai sekali dan biarpun tenaganya masih lemah, akan tetapi ginkang dan lweekang gadis ini menyatakan bahwa ia menghadapi seorang pendekar wanita yang tak boleh dibuat gegabah.

Ia pikir bahwa gerakan-gerakan ini membahayakan kesehatan gadis yang baru saja sembuh itu, maka dengan cepat ia lalu membalas serangan Ang I Niocu dengan totokan-totokan luar biasa dan karena Ang I Niocu belum cepat gerakannya disebabkan tubuhnya yang masih lemah, pula oleh karena ilmu kepandaian silat Kong Sian memang masih lebih tinggi, maka sebentar saja pemuda itu berhasil menotok pundak Ang I Niocu yang segera mengeluh dan roboh dengan lemas!

Kong Sian segera mengangkat tubuh Ang I Niocu dan membawanya keluar gua dimana ia menaruh tubuh gadis itu di bawah sebatang pohon dan angin gunung yang sejuk membuat Ang I Niocu merasa nyaman sekali.

“Nona, banyak sekali hal yang perlu kita bicarakan. Harap kau bersabar mendengarkan bicaraku. Pertama-tama yang perlu kau ketahui ialah kau sama sekali keliru menyangka padaku. Aku bukanlah orang jahat dan sama sekali aku tidak mempunyai maksud buruk terhadapmu. Ketahuilah bahwa aku adalah seorang yang mengasingkan diri di pulau ini dan tujuh hari yang lalu, Sin-kim-tiauw datang terbang ke mari sambil mencengkeram tubuhmu yang telah pingsan! Kemudian kau jatuh sakit tidak sadarkan diri sampai tujuh hari dan aku merawatmu di dalam gua itu!”

Mendengar ucapan ini, lenyaplah sinar marah dari mata Ang I Niocu danKong Sian lalu mengulur tangan memulihkan totokannya pada pundak gadis itu sambil berkata,

“Biarlah, kalau kau tetap tidak percaya kepadaku, kau seranglah aku lagi, aku tak hendak membalas untuk menyatakan bahwa kata-kataku tadi benar belaka!”

Setelah sadar dari totokan, Ang I Niocu memandang dengan mata bengong dan ia tidak berkutik dari tempat duduk. Tubuhnya masih merasa lemah dan ia menyandarkan diri pada pohon itu.

“Benar-benar masih hidupkah aku?” tanyanya perlahan setengah berbisik, karena sekarang ia teringat betapa ia telah dilontarkan ke atas oleh ledakan dahsyat itu dan kemudian ia tidak ingat apa-apa lagi.

Kong Sian tersenyum dan wajahnya yang tadi nampak bersungguh-sungguh itu berubahlah setelah ia tersenyum. Sekarang ia tampak tampan dan matanya memancarkan seri gembira.

“Tentu saja kau masih hidup, Nona, kalau tidak bagaimana kau bisa berada di sini? Kau berada di Pulau Pek-le-to dan di pulau ini hanya akulah penghuni satu-satunya.”

“Bagaimana seekor rajawali dapat membawaku kesini? Dimana burung itu?” tanya Ang I Niocu yang masih merasa ragu-ragu oleh karena ia masih kurang percaya kepada cerita yang aneh itu.

Lie Kong Sian lalu berdiri dan bersuit keras. Dari atas lalu terdengar suara balasan dari seekor burung dan tiba-tiba nampaklah setitik hitam yang tinggi menyambar turun dengan cepatnya.

Setelah tiba dekat, ternyata yang melayang turun itu adalah seekor burung rajawali besar, mengingatkan Ang I Niocu kepada burung rajawali yang dulu menyambar-nyambarnya di atas perahu ketika ia masih mencari Pulau Kim-san-to di atas perahu bersama Cin Hai dan Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hwesio.

Akan tetapi rajawali ini lebih besar dan bulunya indah sekali. Sin-kim-tiauw terbang rendah lalu turun di depan Kong Sian, memandang kepada Ang I Niocu dengan sepasang matanya yang tajam sinarnya.

“Nah, inilah Sin-kim-tiauw yang membawamu kesini. Sekarang akulah yang minta keterangan kepadamu bagaimana kau bisa terbawa oleh burung sakti ini.”

“Aku…. aku berada di Pulau Kim- san-to dan pulau itu terbakar lalu meledak hingga aku terlempar ke udara oleh ledakan itu kemudian aku tidak ingat apa-apa lagi. Agaknya ketika tubuhku melayang di udara dalam keadaan pingsan, burung sakti ini menyambar diriku dan membawanya kesini. Kalau begitu, dia adalah penolong jiwaku!” Setelah berkata demikian, Ang I Niocu lalu berdiri dan ia berlutut di depan burung itu!

Kim-tiauw itu adalah seekor burung yang luar biasa cerdiknya. Melihat Ang I Niocu, ia agaknya tahu dan dengan keluhan panjang ia lalu menundukkan kepalanya dan membelai kepala Ang I Niocu dengan lehernya yang berbulu tebal. Kemudian, sambil memekik girang burung itu lalu terbang ke atas dan berputaran di udara seakan-akan merasa girang sekali bahwa ada orang yang berterima kasih dan berlutut padanya!

“Kau katakan tadi bahwa aku jatuh sakit dan tidak ingat diri sampai tujuh hari disini?” tanya Ang I Niocu sambil menghadapi Kong Sian kembali. Mereka masih duduk di atas rumput, berhadapan.

Kong Sian mengangguk.
“Ya, kau pingsan tiga hari tiga malam dan tubuhmu panas sekali. Kau terserang demam hebat dan tiap hari mengigau dalam keadaan tidak ingat orang. Kemudian kau dapat bergerak, akan tetapi kau gelisah dan panas sekali dan sama sekali tidak membuka matamu. Aku telah merasa kuatir sekali dan sudah hampir habis harapanku untuk dapat melihat kau hidup lagi.”






Tidak ada komentar :