*

*

Ads

Minggu, 02 Juni 2019

Pendekar Bodoh Jilid 119

Ketika Kong Sian sedang bercerita, Ang I Niocu memandang dengan penuh keheranan. Duduk berhadapan dengan Kong Sian dan mendengar suara orang ini bercerita tentang keadaannya, ia merasa seakan-akan ia telah menjadi kenalan lama, apalagi ketika ia dapat menangkap nada suara yang penuh getaran karena terharu pada saat pemuda itu menceritakan kegelisahannya melihat dia sakit!

“Kalau begitu, selama tujuh hari aku menderita sakit… akan tetapi sungguh heran… bagaimana aku masih dapat hidup….?”

Kong Sian merasa segan dan malu untuk menceritakan betapa ia merawat gadis ini selama sakit, maka ia hanya menjawab,

“Thian itu adil dan selalu melindungi orang-orang baik, maka Thian telah melindungimu dari keadaan yang membahayakan jiwamu itu.”

Ang I Niocu menggeleng kepalanya.
“Betapapun juga, kalau dalam keadaan sakit aku tidak diberi obat dan selama tujuh hari tidak makan apa-apa, tidak mungkin aku akan dapat hidup! Siapakah yang merawatku dan siapa yang memberi makan padaku?”

Merahlah wajah Kong Sian mendengar ini. Sikapnya menjadi canggung sekali dan suaranya menjadi gagap ketika ia menjawab,

“Memang… aku telah… aku yang memberi obat padamu dan… dan melihat kau begitu lemah dan gelisah…. aku memberi bubur gandum kepadamu.”

Sinar terima kasih yang amat mendalam terbayang pada mata Ang I Niocu ketika mendengar ini, karena biarpun pemuda itu tidak menceritakannya, ia sudah dapat menduganya.

Sikap ragu-ragu untuk memberitahukan bahwa pemuda itu telah merawatnya, membuat pandangannya terhadap pemuda itu semakin tinggi dan kagum sekali. Sikap ini menunjukkan betapa tinggi pribadi orang ini. Akan tetapi tiba-tiba Ang I Niocu teringat akan sesuatu dan sinar kemarahan tercampur keraguan membayang kembali pada wajahnya yang menjadi makin memerah.

“Dan… keadaan pakaianku ini…!” Ia lalu melompat berdiri lagi, kedua tangannya terkepal, “katakanlah terus terang, apa yang terjadi dengan pakaianku? Dan mengapa pula kau menyelimutkan dengan mantel? Mantel siapakah ini?” Pertanyaan ini diucapkan dengan ketus dan marah oleh karena ia merasa bercuriga.

Kong Sian menarik napas panjang.
“Nona, kalau saja bukan kau yang bersikap seperti ini dan menyangka yang bukan-bukan terhadap aku, tentu aku akan naik darah dan menjadi marah sekali! Kau kira aku Lie Kong Sian ini orang macam apakah? Nona, kau boleh maki padaku, bahkan kau boleh menyerangku, akan tetapi janganlah sekali-kali kau menyangka aku berlaku rendah dan biadab terhadap dirimu! Ketika Sin-kim-tiauw datang membawamu kesini, pakaianmu sudah robek semua dan tidak keruan macamnya, maka lalu aku menyelimutimu dengan mantelku. Nah, itulah keadaan yang sebenarnya!”

Sambil berkata demikian, teringatlah Kong Sian akan hal itu hingga ia menundukkan kepala dengan kemalu-maluan.

Kalau saja ia tidak menundukkan mukanya, tentu ia akan melihat betapa Ang I Niocu menjadi merah sekali mukanya dan betapa kedua mata gadis itu mencucurkan air mata! Tiba-tiba Ang I Niocu lalu menjatuhkan dirinya berlutut di atas tanah di depan pemuda itu sambil berkata dengan suara penuh keharuan,

“In-kong (Tuan Penolong), maafkanlah aku yang kasar dan yang telah menuduhmu yang bukan-bukan! Kau telah menolong jiwaku, telah merawatku selama tujuh hari, memberi obat, menyuapkan makan akan tetapi aku yang tertolong bahkan telah menuduhmu yang bukan-bukan! Maafkanlah aku…..”

Ang I Niocu mengucapkan kata-kata ini sambil menangis karena tidak saja ia merasa terharu, akan tetapi ia juga teringat akan semua peristiwa dan ia menguatirkan keadaan Lin Lin dan Cin Hai!

Lie Kong Sian berkata dengan halus,
“Duduklah, Nona, dan legalah hatiku karena sekarang kau telah percaya kepadaku.”

Ang I Niocu bangun dan duduk kembali sambil menyusut air matanya dengan ujung mantelnya. Ia kini merasa amat jengah dan malu hingga ia tidak berani memandang langsung kepada pemuda itu.

“Yang amat mengherankan,” katanya kemudian, “mengapa tubuhku tidak terluka sedangkan aku dicengkeram dan dibawa terbang oleh seekor burung rajawali yang begitu besar dan ganas.”






“Tak usah kau merasa heran, Nona. Sin-kim-tiauw bukanlah burung rajawali biasa. Ia sudah terlatih baik sekali oleh Supekku yang sakti, dan mungkin hanya Supek Bu Pun Su saja yang dapat melatihnya.”

Ang I Niocu mengangkat kepalanya dan memandang tajam.
“Apa? Jadi kau adalah murid keponakan dari Suhu Bu Pun Su?”

Kong Sian juga memandang heran.
“Benar, mendiang Suhuku yang bernama Han Le adalah sute dari Supek Bu Pun Su. Nona, ketika kau menyerangku di dalam gua tadi kau telah mainkan Ilmu Silat Kong-ciak Sinna. Dari siapakah kau memperoleh ilmu itu?”

Dengan girang sekali Ang I Niocu berkata,
“Kalau begitu, kau masih terhitung suhengku (kakak seperguruan) karena aku pernah menerima latihan silat dari Suhu Bu Pun Su! Biarpun sesungguhnya Suhu Bu Pun Su masih menjadi susiok couwku sendiri karena mendiang ayahku adalah murid keponakannya. Akan tetapi akhir-akhir ini aku mendapat latihan Kong-ciak-sinna dan Pek-in-hoat-sut dari Suhu Bu Pun Su hingga aku boleh juga menyebutnya Suhu!”

Bukan main girang rasa hati Kong Sian
“Ah, ah, dunia ini memang tidak berapa luas! Siapa tahu bahwa aku telah menolong seorang saudara sendiri. Sumoi, sungguh-sungguh aku merasa girang sekali mendengar ini. Akan tetapi, siapakah mendiang Ayahmu?”

“Ayahku adalah Kiang Liat,” jawab Ang I Niocu dengan singkat oleh karena ia merasa malu membicarakan ayahnya yang mati karena gila!

Kong Sian mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku pernah mendengar dari Suhu tentang ayahmu itu yang berjuluk Jian-jiu-sianjin (Manusia Dewa Tangan Seribu). Ketika merantau, aku pernah mendengar nama besar dari seorang pendekar wanita yang berjuluk Ang I Niocu, apakah kau sendiri orang itu?”

Ang I Niocu mengangguk.
“Memang itu nama julukanku yang kosong tak berisi. Namaku adalah Kiang Im Giok, seorang yatim piatu yang hidup sunyi dan penuh penderitaan.”

“Sumoi, kata-katamu ini benar-benar menyentuh jiwaku. Aku Lie Kong Sian juga merasa bosan sekali di dunia ramai karena hidupku sebatang kara penuh kesunyian.”

Keduanya berdiam sampai lama, dan tenggelam dalam lamunan masing-masing. Kemudian Kong Sian minta kepada Ang I Niocu untuk menceritakan pengalamannya ia sampai dapat berada di Pulau Kim-san-to.

Dengan panjang lebar Ang I Niocu lalu menceritakan semua pengalamannya dan menyebut nama-nama Cin Hai, Lin Lin, Kwee An, Ma Hoa, Nelayan Cengeng dan juga nama Yousuf dan lain-lain. Setelah selesai bercerita, Kong Sian lalu menepuk kepalanya sendiri sambil berkata,

“Ah, memang aku yang percuma dihidupkan di atas dunia ini! Telah terjadi peristiwa yang besar dan demikian banyaknya serta membutuhkan tenaga bantuanku, akan tetapi yang kukerjakan hanyalah duduk melamun di pulau ini! Sampai-sampai Pulau Kim-san-to telah kutinggalkan bertahun-tahun hingga sekarang lenyap dimakan api! Ah, arwah Suhu tentu marah melihat sikapku ini. Memang aku seorang yang berjiwa lemah!” Ia menghela napas berulang-ulang dan merasa kecewa terhadap diri sendiri.

“Suheng, kau adalah seorang gagah dan mulia dan melihat gerakanmu ketika kau menotok roboh padaku tadi, aku yakin bahwa ilmu kepandaianmu tentu tinggi sekali. Mengapa kau sia-siakan diri di tempat ini? Mengapa kau tidak mau terjun di dunia ramai dan melakukan darma bakti sebagai seorang yang berkepandaian? Kalau kau mengasingkan diri di tempat ini, bukankah berarti sia-sia saja kau mempelajari kepandaian sampai bertahun-tahun?”

Seperti biasa Ang I Niocu selalu merasa bahwa ia lebih berpengalaman dan lebih “berakal” daripada orang lain, maka di dalam ucapannya ini terkandung nasihat-nasihat, teguran dan penyesalan, seperti biasa orang-orang tua menasehati anak-anak atau guru menasehati murid.

Memang, selama ia menjelajah di dunia kang-ouw, yang disegani oleh Ang I Niocu dan yang membuat ia tunduk hanyalah Bu Pun Su seorang, sedangkan kepada lain-lain orang ia bersikap “lebih tinggi”.

Kong Sian tersenyum mendengar ucapannya ini.
“Sumoi, memang demikianlah dipandang sepintas lalu. Akan tetapi, selama kau malang melintang di dunia ramai, apakah yang kau dapat? Hanya permusuhan, kejahatan, dan perkelahian mengadu jiwa, bunuh-membunuh sesama manusia. Aku sudah bosan menghadapi semua itu. Disini aku mendapat ketenteraman jiwa dan tidak terpengaruh oleh kejahatan-kejahatan manusia yang terjadi di dunia ramai. Memang, sewaktu-waktu aku tentu keluar, dari sini untuk meninjau dunia ramai hingga tidak terputus hubunganku dengan manusia umumnya, akan tetapi, tempat ini telah kupilih untuk menjadi tempat tinggalku yang tetap dimana aku dapat hidup dengan tenteram dan aman sentausa!”

Ucapan ini membuat Ang I Niocu tertegun. Terutama kata-kata pertanyaan yang diucapkan oleh suhengnya ini berkesan di dalam hatinya. Apakah yang ia dapat selama ini? Hanya kesedihan, kekecewaan, dan permusuhan belaka.

Demikianlah, kedua orang itu lalu bercakap-cakap dengan asyiknya, menceritakan pengalaman masing-masing. Ketika mendengar tentang Cin Hai yang menjadi murid Bu Pun Su dan yang amat dipuji kepandaiannya oleh Ang I Niocu, Lie Kong Sian merasa kagum sekali.

“Ah, ingin sekali aku bertemu dengan dia itu! Memang sungguh mengagumkan bahwa seorang pemuda yang masih demikian muda sudah mewarisi ilmu-ilmu kepandaian pokok dari Supek Bu Pun Su. Suhu dulu pernah menyatakan bahwa ilmu pengertian pokok segala gerakan ilmu silat adalah kepandaian tunggal Supek yang membuat ia menjadi seorang yang tiada lawannya dalam dunia persilatan. Dan ia sudah mampu mencipta sendiri ilmu pedangnya. Sungguh mengagumkan.”

Diam-diam Kong Sian membandingkan anak muda itu dengan sutenya Song Kun yang juga amat lihai ilmu silatnya.

Sambil merawat dan memulihkan kesehatannya, Ang I Niocu berdiam di pulau itu dan melatih ilmu-ilmu silat bersama Kong Sian. Ia telah menggunakan waktu senggang untuk menjahit kembali pakaiannya hingga kini tak perlu lagi ia menyelimuti diri dengan mantel pemuda itu.

Dalam latihan ilmu silat, ia mendapat kenyataan bahwa ilmu silat pemuda itu benar-benar hebat dan lihai sekali hingga boleh dikata masih lebih tinggi setingkat daripada ilmu kepandaiannya sendiri. Oleh karena ini, ia mendapat petunjuk-petunjuk dari suhengnya ini yang juga merasa kagum sekali melihat kepandaian sumoinya.

Ketika mendengar tentang Song Kun, Ang I Niocu menyatakan pendapatnya,
“Suheng sudah terang bahwa sutemu itu jahat dan membahayakan keselamatan umum, mengapa kau tidak pergi mencari dan menasihatinya?”

“Dulu sudah pernah aku mencarinya, akan tetapi dia tidak mau mendengar nasihatku,” jawab Kong Sian dengan suara sedih.

“Kalau begitu, kau harus menggunakan kekerasan. Sudah menjadi kewajiban kita untuk memberantas kejahatan, dan siapapun juga orangnya yang berlaku jahat, harus kita berantas!”

“Kami bahkan telah bertempur dan aku tak dapat mengalahkan. Ilmu kepandaiannya walaupun tidak lebih daripada kepandaianku, namun ia memiliki bakat luar biasa serta kelincahan yang mengagumkan sekali. Dan….. dan aku tidak tega melihat ia mendapat celaka. Aku amat menyayangnya seperti adik sendiri, sumoi.”

Ang I Niocu memandangnya tajam dan kagum.
“Kau memang seorang berhati mulia, akan tetapi kau terlalu lemah, Suheng. Agaknya, kalau kau sudah mencinta seseorang, kau akan membelanya sampai mati! Sayang tidak ada seorang wanita yang mendapat kehormatan menerima cinta hatimu itu, Suheng. Alangkah bahagianya seorang wanita yang mendapat cinta hati seorang mulia seperti kau ini!”

Ucapan ini sebetulnya hanya muncul dari watak yang jujur dari Ang I Niocu karena ia merasa betapa ada persesuaian antara dia dan Kong Sian. Dia sendiri pun kalau sudah mencinta orang, ia rela membelanya dengan taruhan jiwa sekalipun. Seperti halnya Lin Lin dan Cin Hai, ia rela untuk mengorbankan jiwa demi kebahagiaan mereka! Akan tetapi, tak disangkanya, ketika mendengar ucapan yang diucapkan sewajarnya ini, tiba-tiba Kong Sian menjadi pucat sekali.

“Suheng, kau….. kau kenapakah?”






Tidak ada komentar :