*

*

Ads

Minggu, 02 Juni 2019

Pendekar Bodoh Jilid 120

Sambil menundukkan kepala dan tak berani menentang mata Ang I Niocu, Kong Sian lalu berkata perlahan,

“Sumoi, sebetulnya lidahku seakan-akan beku untuk mengeluarkan ucapan ini, akan tetapi, biarlah aku berterus terang saja. Sebelum bertemu dengan kau, tak pernah terpikir olehku tentang diri seorang wanita dan aku telah mengambil keputusan untuk hidup menyendiri di pulau ini sampai mati. Akan tetapi…. setelah aku bertemu dengan kau… bahkan sebelum aku mengetahui siapa adanya kau, melihat kau menderita sakit tanpa mengetahui apakah kau orang baik-baik atau orang jahat, hatiku sudah…. tertarik sekali kepadamu dan… dan…. ” kemudian ia mengangkat mukanya dan dengan wajah pucat ia memandang kepada gadis itu dengan mata sayu, “Sumoi… maafkan kata-kataku ini… kita sama-sama hidup tidak berisi seakan-akan kosong dan sunyi. Maukah kau….. maukah kau menghabiskan sisa hidupmu dengan aku di pulau ini?”

Warna merah menjalar di seluruh muka Ang I Niocu sampai ke telinganya, dan matanya terbelalak ketika ia memandang pemuda itu.

“Suheng….. apakah maksudmu?” tanyanya dengan suara gemetar.

“Sumoi, kalau kau sudi, marilah kita hidup bersama di pulau ini…. maksudku, kita hidup sebagai suami isteri!”

Kini mata Ang I Niocu memandang tajam.
“Mengapa, Suheng? Mengapa kau mengajukan usul ini? Apakah yang mendorongmu?”

Sementara itu, Kong Sian sudah dapat menetapkan hatinya yang tadi berguncang. Dengan gagah ia lalu mengangkat muka memandang wajah Ang I Niocu sepenuhnya.

“Sumoi, biarlah kau mendengar pengakuanku. Biarpun kau akan mentertawaiku, akan mencaci, biarlah! Aku cinta kepadamu, Sumoi, sebagai cinta seorang laki-laki terhadap seorang wanita! Belum pernah ada perasaan demikian di hatiku, akan tetapi setelah aku melihatmu, aku cinta padamu, cinta dengan sepenuh jiwaku! Maka, sekarang aku mengajukan pinangan kepadamu, Sumoi, kalau kau sudi, sukalah kiranya kau menjadi isteriku dan kita menghabiskan sisa hidup sebagai suami isteri di pulau ini.”

Tiba-tiba tanpa dapat ditahan lagi, mengalirlah air mata dari kedua mata Ang I Niocu hingga Kong Sian menjadi terkejut dan berkata halus,

“Sumoi, kalau aku menyinggung dan melukai hatimu, ampunkanlah aku. Aku tidak akan memaksamu, Sumoi, demi Tuhan Yang Maha Kuasa, kalau kau tidak suka menerima katakanlah tanpa ragu-ragu atau sungkan-sungkan lagi. Aku takkan menyesal kepadamu, hanya akan menyesali diri sendiri yang bodoh dan tidak tahu diri!”

Sambil menghapus air matanya, Ang I Niocu menggelengkan kepala berkali-kali dan berkata,

“Bukan demikian, Suheng. Jangan kau salah sangka. Aku… aku hanya merasa terharu sekali mendengar pernyataanmu yang sama sekali tak pernah kusangka-sangka itu. Aku telah menerima budi pertolonganmu yang besar yang selama hidupku takkan pernah kulupa. Kau telah menolong jiwaku dan kalau seandainya tidak ada kau, aku Kiang Im Giok pasti sudah mati! Dan seandainya aku tidak terjatuh dalam tanganmu, akan tetapi dalam tangan laki-laki lain ah… entah nasib apa yang akan kuderita! Kau seorang gagah dan mulia, Suheng, terlalu mulia bagiku….. aku…. aku seorang yang jahat dan kotor! Ketahuilah, ketika aku masih muda, aku telah jatuh cinta yang akhirnya mengorbankan nyawa Ayahku sendiri. Aku tidak berharga bagimu, Suheng.”

“Im Giok, aku sudah tahu akan hal itu dari Suhuku. Aku pernah mendengar betapa kekasihmu dibunuh oleh ayahmu sendiri. Akan tetapi, kau tidak bersalah dalam hal itu. Ayahmu meninggal dunia oleh karena serangan penyakit jantung yang berbahaya. Wajar bagi seorang gadis untuk jatuh cinta!”

“Bukan itu saja, Suheng. Semenjak peristiwa itu, aku membenci laki-laki! Banyak pemuda yang jatuh cinta kepadaku, sengaja kupermainkan perasaan cintanya hingga mereka menjadi seperti gila! Aku berlagak membalas perasaan mereka dan apabila mereka telah menjadi gila betul-betul, aku meninggalkannya. Banyak yang sudah menjadi korban, bahkan seorang pemuda yang baik budi bernama Kang Ek Sian, yang bahkan telah dipilih oleh Suhu Bu Pun Su sendiri untuk menjadi suamiku, telah kupermainkan dan kupatahkan hatinya!”

Kong Sian menggeleng kepala dan menarik napas dalam.
“Memang kau telah berlaku kejam dan sesat, Sumoi, akan tetapi pengakuanmu ini meringankan dosamu, tanda bahwa kau telah insyaf. Aku tidak menyesal mendengar ini dan tidak mengurangi rasa cintaku padamu.”

“Masih ada lagi, Suheng….. ” kata Ang I Niocu sambil mengusap air mata yang menitik ke atas pipinya, “aku…. aku yang tidak tahu diri telah jatuh hati akhirnya! Dan aku jatuh hati serta mencinta dengan sepenuh jiwaku kepada seorang pemuda yang usianya jauh lebih muda dariku, padahal ketika aku bertemu dengan dia, aku telah berusia dua puluh tahun lebih dan dia baru berusia dua belas tahun! Aku…. aku yang tidak tahu malu ini diam-diam mencinta padanya, dan…. dan orang itu adalah Cin Hai, murid Suhu Bu Pun Su yang pernah kuceritakan padamu!”






“Hm, jadi karena itukah maka kau mati-matian hendak mengorbankan nyawamu menolong Lin Lin seperti yang kau ceritakan itu? Sumoi, kau benar-benar seorang mulia yang bernasib malang dan patut dikasihani! Aku dapat membayangkan betapa suci dan mulia rasa cintamu terhadap Cin Hai! Melihat pemuda itu mencinta seorang gadis lain, kau tidak sakit hati, bahkan kau berdaya sekuat tenaga hendak mempertemukan mereka! Aku tahu, Sumoi, aku dapat menyelami jiwamu dan aku merasa bersyukur sekali bahwa kau dapat mengatasi perasaan-perasaan yang kurang baik. Sumoi, cerita dan pengakuanmu ini mempertinggi nilai dirimu dalam pandanganku.”

Ang I Niocu mengangkat muka dan memandang heran.
“Apa? Kau tidak marah kepadaku, Suheng? Tidak memandang rendah padaku setelah segala apa yang kuceritakan padamu itu?”

Kong Sian menggeleng-geleng kepalanya sambil tersenyum dan dari matanya bersinar cinta kasih yang diliputi kekaguman hati.

“Pengakuanmu bahkan mempertebal rasa cintaku, Sumoi. Sudah wajar bagi setiap manusia untuk menjalankan kekeliruan, akan tetapi, setiap kekeliruan akan musnah apabila orang itu menyadari dan menginsyafinya. Kau adalah seorang mulia.”

Lemaslah seluruh anggota tubuh Ang I Niocu mendengar ini dan ia lalu menjatuhkan dirinya duduk di atas rumput sambil menangis.

“Im Giok, jangan kau merasa berat untuk menolak permintaanku tadi. Aku maklum bahwa aku memang mungkin terlalu tua bagimu dan…. ”

“Tidak Suheng. Usia kita tidak berselisih jauh.”

“Apa??? ]angan kau membohongi aku, Sumoi!” kata Kong Sian dengan heran.

Ang I Niocu tersenyum sedih diantara air matanya.
“Aku tidak membohong, Suheng. Memang mungkin aku nampak lebih muda oleh karena aku banyak makan telur dari pek-tiauw (rajawali putih), akan tetapi sesungguhnya aku telah berusia tiga puluh lebih, sedikitnya tiga puluh dua tahun!”

Kong Sian mengangguk-angukkan kepalanya karena sebagai seorang ahli pengobatan yang menerima warisan kepandaian dari Han Le, ia maklum akan khasiat yang besar dari telur burung rajawali putih.

“Pantas, pantas! Dan hal ini lebih-lebih menunjukkan kegagahanmu, karena tidak sembarangan orang dapat mengambil telur pek-tiauw! Melihat wajahmu, agaknya kau paling banyak baru berusia dua puluh lima lebih! Bagaimana Sumoi. Bersediakah kau menerima aku yang bodoh dan buruk rupa sebagai kawan hidupmu?”

Ang I Niocu menggunakan tangan untuk menutup mukanya. Ia merasa bingung sekali. Di dalam hati ia mengaku bahwa mungkin di dunia ini tidak ada seorang pemuda yang layak dan patut menjadi suaminya selain Kong Sian. Kepandaiannya tinggi melebihinya sendiri, rupanya tampan dan sikapnya halus dan sopan santun. Pribadinya tinggi dan hal ini sudah ia buktikan ketika pemuda itu mendapatkan dirinya yang berada dalam keadaan setengah telanjang itu dan ketika pemuda ini merawatnya dengan penuh kesabaran dan ini saja sudah menunjukkan bahwa pemuda ini betul-betul mencintanya dengan sepenuh jiwa. Terutama sekali, dalam hal usia pemuda ini sebanding dengan dia! Apa lagi?

Pemuda ini bahkan telah menolong jiwanya hingga sampai mati pun belum tentu ia bisa membalas budinya. Akan tetapi, kalau ia menerima pinangan itu, seakan-akan ia terlalu murah memberi harga pada dirinya! Ia memang berwatak tinggi hati dan keras, dan tidak mau ditundukkan dengan mudah. Akan tetapi, untuk menolak ia pun tidak berani!

“Suheng,” katanya setelah berpikir dengan masak-masak, “aku harus menghaturkan beribu terima kasih atas budi kecintaanmu itu. Bagaimana aku dapat menolak pinangan seorang seperti kau? Akan tetapi hal ini terjadi terlalu tiba-tiba hingga aku belum dapat memutuskannya karena masih merasa bingung! Sekarang beginilah saja, Suheng. Biarlah kau anggap aku telah menerima pinanganmu itu dan aku pun takkan malu-malu mengaku bahwa aku telah menjadi tunanganmu. Akan tetapi, soal pernikahan antara kita baru dapat terlaksana setelah kau memenuhi beberapa syarat!”

Kong Sian tersenyum dan dari ucapan ini saja ia yang sudah paham akan tabiat manusia, dapat mengetahui bahwa gadis kekasih hatinya ini memiliki adat yang tinggi dan keras! Ia menjawab sambil masih tersenyum.

“Sumoi, katakanlah, apa syarat-syaratmu itu?”

“Pertama, kau harus menanti sampai aku dapat bertemu kembali dengan kawan-kawanku, terutama dengan Cin Hai dan Lin Lin. Sebelum aku dapat mempertemukan kedua sejoli ini atau melihat mereka telah berkumpul kembali, tak mungkin aku dapat mengikat diri dengan laki-laki lain!”

Kong Sian mengangguk-angguk, karena maklum akan isi hati Ang I Niocu.
“Kedua, kita harus mendapat perkenan dari Suhu Bu Pun Su, oleh karena dulu Beliau mempunyai maksud dan kehendak untuk menjodohkan aku dengan Kang Ek Sian, yang biarpun mencintaku, akan tetapi tak kubalas cintanya itu.”

Syarat ke dua ini diam-diam menggirangkan hati Kong Sian, oleh karena dari ucapan terakhir yang menyatakan bahwa gadis ini tidak menerima pinangan Kang Ek Sian oleh karena tidak mencintanya, hampir menyatakan bahwa biarpun sedikit, gadis ini “ada hati” kepadanya, kalau tidak, tentu ia akan menolaknya pula! Maka ia mengangguk-angguk kembali dengan mulut tersenyum.

“Ke tiga,” kata lagi Ang I Niocu, “kau harus keluar dari pulau ini dan turun ke dunia ramai untuk mencari sutemu Song Kun itu dan memenuhi pesan Suhumu, yaitu menasihatinya atau menggunakan kekerasan terhadapnya.”

“Ah, yang ke tiga ini berat sekali, Sumoi! Kau tahu bahwa aku amat mencintanya dan tidak tega untuk mencelakakannya!”

“Inilah kelemahan yang membuat hatiku tidak puas! Kau tidak tega kepada Sutemu karena kau mencintanya, akan tetapi apakah kau bertega hati melihat betapa wanita-wanita diganggunya? Kelemahanmu ini menimbulkan ketidak-adilan dalam hatimu yang tidak layak dan tidak patut dipunyai oleh seorang pendekar silat.”

Kong Sian menghela napas dan menjawab,
“Biarlah, hal ini perlu kurenungkan dan kupikirkan baik-baik, sumoi. Masih ada lagikah syarat-syaratmu?”

Pertanyaan ini membuat Ang I Niocu menjadi merah mukanya karena ia telah merasa keterlaluan mengajukan sekian banyak syarat. Akan tetapi, syarat-syarat itu setidaknya dapat “mengangkat” harga dirinya, tidak semurah kalau ia menerimanya mentah-mentah!

“Masih ada satu lagi,” katanya dengan muka merah dan menundukkan kepala, “akan tetapi yang terakhir ini baru akan kuceritakan kalau kau telah memenuhi yang ketiga itu.”

“Baiklah, Sumoi. Kuterima syarat-syaratmu.”

Kemudian Lie Kong Sian meloloskan pedangnya dari pinggang dan memberikan itu kepada Ang I Niocu berkata,

“Sumoi, terimalah Cian-hong-kiam ini sebagai bukti daripada ikatan yang ada di antara kita, dan biarlah Thian yang menjadi saksi atas pertunangan kita ini.”

Kata-kata ini diucapkan dengan suara menggetar hingga mengharukan hati Ang I Niocu yang menerima pedang itu.

Kemudian Ang I Niocu mengambil perhiasan rambutnya yang terbuat daripada mutiara dan memberikannya kepada Kong Sian.

“Aku tidak mempunyai apa-apa, Suheng dan biarlah benda ini menjadi bukti daripada kesetiaanku.”

Tidak ada upacara yang mengesahkan pertunangan mereka itu selain daripada penukaran barang yang dilakukan dengan sikap sederhana ini akan tetapi diramaikan oleh pertemuan pandang mata mereka yang menembus ke hati masing-masing.

Setelah itu, Ang I Niocu lalu berpamit hendak pergi mencari Cin Hai dan Lin Lin. Kong Sian lalu mengambil perahunya dan ia lalu mengantarkan tunangannya itu sampai ke darat di pesisir Tiongkok. Si Rajawali Emas tidak ketinggalan, ikut mengantar sambil terbang di atas perahu itu.

Ketika keduanya telah mendarat dan Ang I Niocu hendak meninggalkannya, mereka saling pandang dan Ang I Niocu berbisik,

“Semoga Thian memberkahi perjodohan kita dan semoga cita-cita kita bersama akan terlaksana, Koko.”






Tidak ada komentar :